Rabu, 08 Juli 2015

[Cerpen Stripping] Infal #1




Dengan wajah terlihat gelisah, Bu Wondo menunggu seseorang di seberang sana mengangkat panggilan telepon darinya. Dengan dandanannya yang masih rapi, ia mondar-mandir di teras belakang rumahnya. Suara ketukan sepatunya terdengar teratur, tak-tuk-tak-tuk... Dan wajahnya mendadak cerah ketika ada jawaban dari seberang sana.

“Halo, selamat sore. Dengan Yayasan Asah Abdi, ada yang bisa dibantu?”

“Iya, halo. Sore juga,” sahut Bu Wondo. “Saya Bu Suwondo, sudah telepon kemarin, ART infal yang saya pesan sudah ada?”

“Eh, Mbakyu Rini to? Kok suaranya lain?”

“Iya, lagi pilek. Ini Jeng Retno to? Suaranya kok lain juga?”

“Hehehe... Iya, Mbakyu, saya lagi batuk. Begini, Mbakyu, infalannya saya belum dapat. Soalnya kan spek yang Mbakyu minta agak tinggi. Susah carinya.”

“Aduuuh...,” semangat di wajah Bu Wondo langsung surut. “Apa sebaiknya speknya diturunkan saja ya, Jeng? Tapi...”

“Nggak apa-apa saya carikan dulu, Mbakyu. Kalau sampai deadline nggak dapat, mungkin bisa kita turunkan sedikit speknya. Atau... Mbakyu bisa coba cari dulu di yayasan lain.”

“Saya nggak mau ambil dari yayasan lain, Jeng. Takutnya nggak bisa dipercaya.”

“Oh... hehehe... Terima kasih atas kepercayaannya, Mbakyu. Saya akan usahakan yang terbaik buat Mbakyu.”

“Oke kalau begitu, Jeng. Saya tunggu kabar berikutnya ya? Terima kasih...”

“Sama-sama, Mbakyu...”

Bu Wondo menyentuh kotak end pada layar ponselnya sambil menghembuskan napas panjang. Ia kemudian duduk di sofa. Sejenak melepaskan lelahnya.

Menjelang hari raya seperti ini, sama sekali tak mudah mencari ART infal. Suni sudah mendapat tiket mudik dengan menggunakan kereta. Dan Bu Wondo tak pernah tega membujuk Suni untuk tidak berlebaran walaupun dengan iming-iming upah lemburan yang jauh di atas lumayan. Begitu juga dengan Memet, sopirnya. Baik Memet maupun Suni selalu libur saat lebaran.

Sudah beberapa lebaran, Bu Wondo menggunakan jasa ART infal yang didapatnya dari yayasan milik teman arisannya. Dan selama tiga lebaran terakhir kemarin, Jeng Retno, pemilik yayasan itu, mengirimkan ART infal yang sangat handal untuknya. Sayangnya, Wiwik si ART infal handal itu saat ini sedang hamil 5 bulan. Tak mungkin menggunakan jasa Wiwik. Tak tega rasanya.

Sekali lagi Bu Wondo menghela napas panjang sambil melepaskan high heels-nya. Masih ada waktu delapan hari lagi sebelum Suni mudik.

Semoga Jeng Retno bisa mendapatkan ART infal sesuai kebutuhanku...

* * *

Retno merasakan kepalanya bertambah pening setelah mendapatkan telepon dari Rini Suwondo. Rini Suwondo adalah pengguna jasanya yang paling setia. Selama Rini Suwondo menjadi kliennya, Rini Suwondo secara tak langsung sudah menjadi biro iklan yayasannya. Banyak teman-teman Rini Suwondo akhirnya menjadi klien setianya juga.

Semuanya itu menjadikan yayasannya bagai menghadapi dua sisi mata uang. Pada satu sisi, yayasannya sudah terbukti terpercaya menyediakan tenaga ART infal. Pada sisi yang lain, Retno juga cukup pusing ketika menyadari bahwa kadang-kadang jumlah kliennya berbanding terbalik dengan jumlah tenaga infal yang berhasil diperolehnya. Kliennya banyak, tenaga infalnya sedikit. Untuk itu ia terpaksa memilah klien dengan mengutamakan klien-klien lama dan setia seperti Rini Suwondo.

Dan permintaan Rini Suwondo termasuk premium. Dikompensasi dengan harga tinggi yang berani dibayarnya. Harus tenaga infal yang benar-benar perfect yang bisa dikirimkannya pada Rini Suwondo, seperti Wiwik.

Tapi... Retno menggelengkan kepalanya. Tahun depan mungkin masih bisa, tapi tidak tahun ini.

“Tan...”

Retno menoleh. Sebuah cengiran ceria langsung tertangkap oleh matanya. Ia tersenyum lebar.

“Suntuk gitu? Kenapa, Tan?”

“Duduk, Sas.”

Sasya, keponakan Retno, segera duduk manis di depan tantenya, di seberang meja.

“Ini lho, Tante masih belum dapat ART infal buat klien paling setia,” Retno menyandarkan punggungnya.

“Hm...,” sesungguhnya Sasya tak terlalu mengerti juga soal penyaluran ART infal itu.

“Kalau nggak dapat juga, kasihan dia...”

“Bukannya kemarin yang daftar banyak?” Sasya mengerutkan keningnya.

“Ya kan harus diseleksi juga, Sas. Kalau nggak ada rekomendasinya, ya Tante nggak bisa terima begitu saja.”

“Oh...”

Retno menatap Sasya yang manggut-manggut. Tiba-tiba sebersit pikiran muncul di benaknya.

“Eh, Sas,” mendadak semangat Retno muncul lagi. “Kira-kira Marsih punya teman yang mau jadi infalan nggak ya?”

“Coba nanti aku tanya Yu Marsih. Kalau Mbak Ginten yang biasanya dipakai Mama kalau Yu Marsih mudik natalan kayaknya nggak bisa deh! Mbak Ginten kan lebaran juga.”

“Aduuuh! Pusing aku!” Retno memijit-mijit pelipisnya.

“Atau...,” mendadak Sasya menatap Retno sambil memicingkan sebelah mata.

“Apa?”

Dan Retno langsung terbelalak mendengar ucapan Sasya kemudian.

* * *

Sambungannya ada di : Infal #2

8 komentar:

  1. Mbak, pertama ki. Hadiahnya apa ya? ¥&)nyengir nyengir ngarep@;:/

    BalasHapus
  2. Adaaaaaaaaa aja idenya...aku sukaaaaaa.

    BalasHapus
  3. Atau aku aja Tan...? Kata Sasya*hihi asal

    Yo wis ngenteni. Lek guduk Sasya aku wae infale...dijamin qualified...... Hahaha...

    BalasHapus
  4. Apa? Apa? Motongnya tega...

    BalasHapus
  5. waah.......selalu menarik...mumpung masih seri 1....ikutiiin...yuuk..

    BalasHapus