Kamis, 21 April 2016

[Cerpen] Anniversaire







SEBUAH CERPEN HASIL KOLABORASI PUTRI APRIANI DENGAN LIZZ



BEBE

Aku sudah bosan berada di sini. Ruangan ini makin sempit saja buatku. Aku sudah tak lagi bebas berenang di dalamnya. Sudah tak lagi bebas jungkir-balik. Posisiku benar-benar membosankan!

Kalau aku meluruskan tanganku yang terasa pegal, selalu saja kepalanku menghantam dinding yang begitu empuk dan lembut. Lalu kudengar sayup-sayup, "Aduh... Kau sedang bertinjukah, Nak?" Kalau aku meregangkan kakiku yang terasa kaku karena harus meringkuk, suara itu muncul lagi, "Aduh... Kau menendang-nendang. Sudah bosan berada di dalam ya, Nak?"

Ah, ia tahu! Pemilik suara lembut yang suka mengajakku bicara walau aku hanya bisa menanggapinya dengan gelitikan dan gerayangan tanganku. Pemilik suara lembut yang suka sekali bersenandung hingga membuatku mengantuk. Pemilik suara lembut yang akhir-akhir ini lebih banyak diam. Ibuku.

Sesungguhnya aku merindukan suaranya. Tapi bagaimana aku bisa memintanya untuk mengajakku bicara lagi? Aku masih juga terperangkap di sini. Berenang dalam ruangan sempit berair ini. Untuk berguling ke kanan dan ke kiri saja sudah susah. Apalagi jungkir-balik seperti kemarin-kemarin.

Huh! Aku bosaaannn!!!

* * *

CHERI

Sudah beberapa hari belakangan ini Si Tampan-ku terasa berubah. Ia masih menciumku setiap saat. Masih membisikkan kata-kata cinta padaku dan Si Mungil-ku. Masih mengelus Si Mungil-ku dari luar. Masih bersikap seperti biasanya. Tapi...

Aku melihat seolah pikirannya jauh berkelana entah ke mana. Selain itu, ia mulai sering pulang terlambat, dengan alasan ada rapat darurat. Huh! Aku sungguh-sungguh tak tahu harus percaya padanya atau tidak.

Ketika aku bercermin, aku bisa melihat bentuk tubuhku sendiri. Kini hanya bulat. Pinggangku hilang. Pergelangan kakiku seolah sama besarnya dengan betisku. Pipiku tembem. Lenganku jauh lebih berisi. Belum lagi perutku. Mengembang pesat layaknya balon yang ditiup maksimal.

Pantas! Berat badanku sudah naik 28 kilo dalam jangka waktu sembilan bulan ini. Ada kehidupan baru yang sedang berkembang di dalam tubuhku. Kehidupan baru yang sudah kami tunggu sejak kami menikah. Kami, Si Tampan-ku dan aku.

Ah! Kurasa dia sudah mulai bosan padaku. Aku sudah tak secantik dan semenarik sebelumnya. Pasti dia sudah berpaling! Bukan tak mungkin pada sekretarisnya yang bertubuh sintal itu. Si Jeanne!

Hiks!

* * *

BEBE

Lagi-lagi aku harus terbangun. Tiba-tiba ruanganku meregang dan menyempit begitu saja. Ada apa ini? Aduuuh... Aku semakin terdesak dan terdorong! Kalau aku tergencet, lantas bagaimana?

Huhuhu...

Aku harus menghindar ke mana?

* * *

CHERI

Rasa nyeri itu datang dan timbul. Mengganggu, tapi tidak terlalu juga. Aku mencoba mengalihkannya dengan beraktivitas seperti biasa. Pagi ini aku bangun dan menyiapkan sarapan untuk Si Tampan-ku. Semalam dia sudah bilang kalau hari ini, di Sabtu pagi yang cerah ini, dia harus tetap ngantor karena pekerjaannya banyak.

Ah...

Dia sudah melupakannya. Bahkan sekecup ciuman ekstra pun tak diberikannya padaku. Dia sarapan dengan cepat dan kemudian berangkat dengan tergesa.

Padahal Sabtu ini istimewa. Setidaknya begitulah menurut perasaanku. Tapi tampaknya dia tak mampu mengingatnya sedikit pun.

* * *

BEAU

Proyekku bersama Jeanne harus berhasil! Kalau tidak, aku tak tahu harus bagaimana menebusnya.

Tentu saja bisa kulihat keraguan di mata Sayang-ku ketika aku beralasan rapat mendadak tiap kali aku telat pulang. Tapi aku berusaha untuk mengabaikannya.

Proyek ini sangat penting! Proyekku bersama Jeanne, sekretarisku yang berparas ayu dan bertubuh aduhai. Jeanne, aku tak tahu harus bagaimana berterima kasih padamu.

Hm... Kupikir sebetulnya Sayang-ku mulai tidak suka dan cemburu. Tapi dia diam saja. Jadi, tak ada alasan untuk menghentikan aktivitas asyik-masyukku bersama Jeanne.

Jalan teruuusss...

* * *

BEBE

Aduuuh! Kenapa aku digencet-gencet seperti ini? Iya, iya... Aku memang sudah bosan terkungkung di dalam ruangan sempit ini, tapi tak perlu mendorong-dorongku seperti ini dong!

Aku harus bergerak ke mana lagi? Ini kepalaku sudah hampir terjepit di lorong. Ubun-ubunku... Aduh!

* * *

CHERI

Huhuhu...

Aku sudah tak tahan lagi! Dia, Si Tampan-ku, tak bisa lagi kuhubungi. Ponselnya rupanya dimatikan. Dalam keadaan seperti ini? Oh, tidaaak! Sedang apa dia bersama Jeanne?

Dengan jengkel kubanting ponselku hingga menghantam dinding. Pecah berkeping-keping.

Sakitnya hatiku...

Sakitnya perutku...

Sudah tak bisa lagi aku menghitung berapa kali aku dilanda mulas melilit seperti ini. Punggung dan pinggangku nyeri. Berjalan hilir-mudik sepanjang hari tak lagi bisa mengalihkan rasa sakit ini. Bahkan yang kurasakan makin bertambah saja.

Tadi aku sudah mencoba untuk menelepon mamaku. Rupanya mamaku sedang keluar dengan papaku. Kuhubungi ponsel Mama. Mati. Begitu juga ponsel Papa.

Ke mana semua orang ketika kubutuhkan?

Tapi...

Apa itu? Bel berbunyi?

Dengan tertatih aku berjalan ke arah pintu. Aduuuh... Aku tak sanggup lagi berjalan. Mulaaasss... Membuatku terpaksa berhenti di dekat meja makan.

Bel berbunyi lagi. Bersamaan dengan mulasku yang mereda. Aku pun melanjutkan langkahku mendekati pintu. Lalu...

"Surprise!!!"

Aku seketika ternganga ketika pintu berhasil terbuka.

Mama dan Papa menyerbu masuk. Begitu juga mama dan papa mertuaku. Di belakang mereka ada kakak dan kakak iparku. Di belakangnya lagi telihat abang dan abang iparku mendorong sebuah kotak besar berbentuk amplop berwarna biru.

"Mana suamimu?" tanya Mama.

Aku hanya bisa menggeleng. Tapi kujawab juga pertanyaan itu, "Sedang kencan dengan sekretarisnya yang bohay itu."

Hening sejenak. Mereka bertatapan dengan wajah sukar diartikan. Aku mengangkat bahu. Berusaha tegar.

"Apa yang terjadi?" mama mertuaku mengerutkan kening.

"Dia...," aku tertunduk, "... sibuk akhir-akhir ini. Sering pulang terlambat, beralasan rapat, pikirannya sering tidak di rumah. Kurasa dia berpaling. Pada sekretarisnya yang cantik itu. Padahal...," kususut air mataku dengan sebelah tangan, "... aku kangen padanya. Kangen dia yang biasanya..."

Krak! Krak! Kretek! Kretek...

Aku tersentak. Ternganga menatap kotak besar berbentuk amplop yang mendadak saja berantakan. Ia segera beranjak keluar dari amplop berwarna biru itu, memelukku, kemudian berkata "Aku juga kangen kamu. Joyeux anniversaire!"

Lalu Jeanne muncul dari balik pintu depan. Membawa sebuah kue tart besar di tangannya. Di belakangnya ada seorang laki-laki tinggi besar mengawalnya.

Seketika keriuhan pecah disekelilingku. Sorakan, ucapan selamat, permintaan agar aku segera meniup lilin, tepuk tangan, semua bersahutan di telingaku.

Tapi aku terdiam. Aku merasa ada letupan di dalam tubuhku. Tepatnya di bawah, di perutku. Lalu sekujur kakiku terasa basah. Dan rasa mulas itu datang lagi menggigitku. Makin parah.

"Aduuuh...," rintihku, tak tertahan.

Hening sejenak. Sebelum panik melanda.

* * *

BEBE

Oh, tidak!

Ruanganku terus menyempit. Sayup kudengar jeritan-jeritan. Suara ibuku. Tanganku meraba-raba. Kakiku serasa ada yang mendorong. Aku ingin melawannya, tapi aku tak kuat.

Sesekali dorongan itu berhenti. Tapi dorongan berikutnya selalu makin kuat dan makin kuat. Aku kini terjebak di sebuah lorong gelap dan sempit. Lorong yang terbentuk di atas kepalaku. Entah lorong apa itu, aku tidak tahu.

Plop!

Tiba-tiba saja kepalaku sudah terbebas dari lorong itu, tapi badanku masih terjebak. Aku mencoba berputar. Berhasil! Dan sebuah sentakan mendorong kakiku. Selesai.

Akhirnya aku berhasil keluar, setelah beberapa lama menggerayangi rahim Ibu. Entah kenapa, aku tak bisa menahan tangisku.

"Oeeek... Oeeek..."

Aduh! Suaraku jelek dan cempreng sekali! Tapi kemudian aku merasakan elusan itu. Lembut. Juga pelukan itu. Hangat. Begitu menenangkan. Kebosananku terjawab sudah.

Kini aku harus menyelesaikan petualanganku berikutnya. Mencari puting susu Ibu.

Hap!

Horeee... Aku dapat!

* * *

CHERI

Dia mungil. Dia manis. Dia cantik. Dia begitu mengagumkan. Terlihat begitu nyaman dalam pelukanku. Setelah melewati semua rasa sakit paling menyiksa yang pernah kurasakan, akhirnya aku bisa juga membelai, mencium, dan memeluknya.

Kutatap Si Tampan-ku. Wajahnya tampak begitu bercahaya. Mengirimkan cinta lewat sorot matanya, dengan jemarinya lembut mengelus pipi Si Mungil-ku. Eh, salah! Si Mungil kami.

Tapi tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Si Jeanne itu...," celetukku. "Ada apa antara kau dengannya?"

Si Tampan-ku berjengit. Kaget. Dengan kening berkerut ia balas menatapku.

"Jeanne?"

"Iya, Jeanne!" tegasku. "Kau begitu sibuk dengannya belakangan ini."

"Oh...," senyumnya melebar. "Kau cemburu?"

Aku mendengus.

"Dengar ya," ucapnya sabar. "Kejutan ulang tahunmu itu, Jeanne yang merencanakan. Termasuk membuat amplop biru itu. Dia mengerjakannya bersama Arnold."

"Arnold?"

Siapa pula itu?

"Iya, Arnold. Calon suami Jeanne."

Aku ternganga.

Jadi...?

Rasa hangat tiba-tiba saja menjalari pipi dan telingaku. Aku tertunduk. Diam membisu. Menatap Si Mungil kami yang tertidur lelap setelah puas menyusu.

"Hm... Sebenarnya... aku enggan mengatakan ini padamu," suara Si Tampan-ku terdengar ragu-ragu. "Tapi sepertinya aku harus, supaya kau tak cemburu lagi."

Kuangkat wajahku. Terlihat wajah Si Tampan-ku begitu serius.

"Walaupun Jeanne itu perempuan cantik sepertimu, aku tetap tak akan tertarik padanya, atau pada perempuan lain mana pun," bisik Si Tampan-ku. "Karena aku terlanjur mencintaimu. Apalagi Jeanne itu ternyata dulunya bernama Jono."

Aku terperangah. Si Tampan-ku meringis. Si Mungil kami menggeliat kecil dalam pelukanku. Tapi belum selesai.

"Hm... Kau tahu," wajah Si Tampan-ku perlahan mendekat ke wajahku. "Hadiah ulang tahunmu masih menunggu di rumah," bisiknya. "Di dalam kulkas kita. Di dalam kue tart untukmu. Itu juga ide Jeanne."

Wow! Apa ya?

Aku jadi sibuk menerka-nerka. Tapi kurasa itu tak terlalu penting lagi sekarang. Hadiah yang terindah sudah ada dalam pelukanku. Kutatap ia yang masih memejamkan mata dengan wajah lucunya.

Kelak kami akan saling bertukar ucapan joyeux anniversaire dan kecupan sayang pada hari yang sama.

* * * * *

(Ide cerpen ini dilepasliarkan dari fiksimini berjudul "Bosan" dan "Surat Cinta" karya Putri Apriani)


Picture : www.play.google.com

21 komentar:

  1. Ha ha ha jeane ternyata dulunya bernama Jono qi qi qi cerpen yang menarik good luck ya mbak Putri dan bu Lis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasih mampirnya ya, Bu... Yang hebat idenya Mbk Putri tuh! 😉

      Hapus
  2. Haduuuu ngikik gaentek" tekan Jono.
    Keren iki mba!

    BalasHapus
  3. Huaaaaaaa.. Akhirnya fiksimini saya yang nggak jelas itu berhasil dieksekusi jadi cerpen yang keren banget! Keren, keren!

    Makasih Tan :*
    Jangan kapok lho, hahaaa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kok bisa nggak jelas lho??? Justru ide awalnya itu yang super keren 👍👍👍

      Hapus
  4. Mbak satu ini nggak pernah kering idenya. Keren. Keren juga yang punya fiksi mini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Ide yang keren itu sepenuhnya milik penulis fiksimini, Mbak... Aku cuma buruh nulis thok 😀

      Hapus
  5. Balasan
    1. Lebih keren yang sehari posting dua cerpen ituuu lho... 👍👍👍

      Hapus
  6. Cerpennya mengalir banget...keren!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih singgahnya, Mbak Alin. Salam kenal... 😊

      Hapus
  7. Balasan
    1. Hahaha... Fokusnya jadi ke Jono 😂
      Makasih mampirnya, Mbak Mila... 😘

      Hapus
  8. apik mbak....aku tertawa membaca ini plop...membayangkan waktu lahiran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Semoga bisa menghibur ya, Mbak... Makasih sudah mampir. Aku belum selesai kelilingan di blog Mbak 👌

      Hapus
  9. Balasan
    1. Makasih, Mbak Khairunnisa... Salam kenal 👍

      Hapus
  10. Waah, waah, kolaborasinya kereeen...

    BalasHapus