Senin, 12 September 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #5-1










* * *


Lima


Terlalu banyak yang harus diceritakan dan ditanyakan. Sehingga hanya suasana hening yang tercipta. Ares menatap Mai dengan dentuman-dentuman dahsyat sibuk bermain di dalam hati.

Rara-nya sudah banyak berubah. Bukan lagi gadis berumur 20 tahun yang terlihat polos dan ketakutan. Tatapannya kini jauh lebih tegar. Dewasa. Matang. Tampak siap menghadapi apa pun.

Putrinya...

Ares mendegut ludah. Gadis kecil itu sudah menghilang entah ke mana. Digiring pergi oleh kakek dan neneknya, dengan membawa sebatang coklat besar yang tadi dibawa oleh Ares. Supaya tidak mengganggu. Ares menghela napas panjang.

“Aku...,” ucapnya ragu. “Jujur, aku tidak pernah menduga... kita bertemu... begitu saja. Seperti saat ini. Aku... selalu berharap, Ra.”

“Dan kamu kecewa?” Mai mendegut ludah. Tertunduk.

“Aku bangga padamu,” tatapan Ares jatuh lurus pada Mai. “Aku tahu tak pernah mudah menghadapi apa yang sudah pernah kamu hadapi. Tapi kamu berhasil bertahan. Tapi kecewa... Ya, aku kecewa.”

Mai mengangkat wajahnya. Menatap Ares dengan mata mulai berair.

“Aku kecewa karena aku sama sekali tak ada pada setiap saat jatuh bangunmu,” Ares menggeleng. “Aku ingin. Tapi nyatanya... aku tak punya kesempatan itu.”

“Maafkan aku, Di,” Mai kembali tertunduk. “Segalanya kacau saat itu. Ayah dan Ibu tak tahu harus berbuat apa. Aku putri satu-satunya. Dan Nirwan pun menolakku. Mengemis padanya? Tidak. Aku tidak mau. Lalu semuanya gelap.”

Ares mengerjapkan mata. Mai menghela napas panjang.

“Ibu memberitahu aku belakangan, bahwa kamu selalu menemaniku,” suara Mai melirih. “Hanya meninggalkanku kalau ada jadwal kuliah. Tapi Ayah dan Ibu merasa tidak bisa membebanimu lebih lanjut. Makanya Ibu menyuruhmu menjauh. Aku tidak bisa berbuat lain, Di. Yang bisa kulakukan hanya menuruti kata-kata Ayah dan Ibu. Setelah aku melakukan pelanggaran berat yang membebani perasaan seluruh keluarga. Apalagi...,” Mai mendegut ludah. “Apalagi Qiqi...”

Ares mengangguk. Mengerti.

“Dia pejuang yang sangat hebat,” Mai tersenyum tipis. “Lahir prematur, tanpa lengan kiri, mengalami kebocoran bilik jantung, paru-paru yang belum berkembang sempurna. Tapi dia berhasil melewati semua itu. Menjadi Qiqi yang sekarang. Sehat. Sempurna bagiku.” Sebutir air mata meluncur di pipi kiri Mai.

Ares tercenung. Sesungguhnya, ia tak tahu harus mengatakan apa. Ia benar-benar merasa jauh di luar semua itu. Entah ke mana keinginan menggebu itu menguap. Keinginan untuk bertemu lagi dengan Rara-nya dan...

Now what?

Ditatapnya Mai.

Mereka sudah bertemu. Keinginannya terpenuhi. Harapannya terkabul. Mimpinya menjadi nyata. Dan Rara-nya baik-baik saja.

Apa lagi?

Ares menghela napas panjang. Tercenung menatap lantai. Waktu yang berlalu tanpa Rara-nya rupanya agak terlalu panjang. Sehingga ia ketinggalan begitu banyak hal. Tapi getar itu masih ada. Setiap kali ia menatap kedalaman mata Rara-nya.

“Diaz...”

Ares mengangkat wajahnya.

“Aku sudah bukan lagi Rara yang dulu,” Mai menggeleng pelan. “Tapi bagiku, kamu tetap sahabatku yang paling baik. Salah satu hal yang membuatku mampu bertahan adalah kamu. Harapan untuk bertemu lagi denganmu, walau hanya sekadar untuk mengucap terima kasih karena kamu sudah begitu setia mengampingiku di saat gelap. Terima kasih, Diaz. Untuk semuanya. Dan kita masih bisa tetap berteman, kan? Bersahabat? Karena kadang-kadang aku masih merasa kesepian.”

Ares mengangguk. Tersenyum. Mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Mai. Menggenggamnya. Erat. Seolah tak ingin melepaskannya lagi.

* * *

Dan Winda menjadi saksi betapa berubahnya Ares. Paling tidak, sejak Ares pulang dari rumah Mai kemarin, hingga detik ini saat ia menunggu Obet datang menjemputnya. Ditatapnya Ares.

“Mas, seneng banget gitu, ya, ketemu lagi sama Kak Rara?” usik Winda.

Sejenak, Ares mengalihkan tatapannya dari layar televisi. Tersenyum menatap Winda. Mengangkat bahu. “Ya, begitulah.”

Winda tercenung sesaat. Entah kenapa, begitu saja nama Dira muncul dalam benaknya.

“Kamu nggak senang?”

Winda tersentak. Kembali ditatapnya Ares. “Senanglah!”

“Ekspresimu nggak meyakinkan,” goda Ares.

Winda mengerucutkan bibirnya. “Hm... Kalau aku mengalami seperti Kak Rara itu, entah aku harus bagaimana. Aku nggak yakin bisa setegar Kak Rara.”

“Kalau kamu mengalami hal itu, Mas akan buru Obet sampai ke mana pun. Nggak mau bertanggung jawab? Mas gantung dia di Monas.”

Winda terkikik. “Gayamu, Mas... Oh, ya, bagaimana Qiqi?”

Ares menghela napas panjang. “Nggak sempat ngobrol lama. Om Rama dan Tante Hening buru-buru menggiringnya pergi. Mungkin maksudnya agar Rara dan Mas punya kesempatan untuk ngobrol secara pribadi. Baru ketika makan malam, Mas punya kesempatan lebih banyak untuk berinteraksi dengannya. Itu juga nggak full.”

“Hm...,” Winda manggut-manggut.

“Kelihatan sekali Qiqi anaknya cerdas dan mandiri, Win,” gumam Ares.

“Banget!” sahut Winda. “Dan sama sekali nggak mudah membentuknya untuk jadi seperti itu. Apalagi sejarahnya... Ah! Salut buat Kak Rara, Om Rama, dan Tante Hening.”

Ares langsung menyetujuinya. Tepat saat itu bel berdenting. Winda segera beranjak untuk membukanya. Wajahnya seketika menjadi jauh lebih cerah ketika melihat siapa yang datang.

“Masuk dulu, Bet,” ajaknya.

Obet pun menuruti perkataan Winda dan menyapa Ares dengan sopan. Winda kemudian mengambil barang-barangnya yang masih ada di dalam kamar.

“Kamu langsung dari Bandung?” tanya Ares.

“Iya, Mas,” Obet mengangguk.

Beberapa menit kemudian keduanya berpamitan. Ares melepasnya dengan hati ringan.

Sejak pertama kenal Obet, ia bisa melihat bahwa pemuda itu bukanlah pemuda ‘sembarangan’ yang mungkin bisa mencelakakan Winda. Selama ini Obet bisa melindungi Winda dengan baik. Winda pun mau mendengarkan Obet. Keduanya terlihat saling menjaga dan memahami.

Lain sekali dengan Nirwan sialan itu!

Ares menghela napas panjang. Berusaha mengusir rasa kesal yang masih selalu muncul di hatinya bila mengingat seorang Nirwan.

* * *

Terkadang ia memang membutuhkan keheningan itu. Di sini. Di dalam ruangan kantor merangkap bengkel kerjanya. Resahnya selalu terhambur menembus berbagai manik dan bebatuan aneka bentuk dan warna. Menjelma menjadi rancangan yang segera saja diwujudkannya dalam bentuk rangkaian asesori yang unik.

Tapi kini ia hanya duduk diam. Merenungi nama yang kemarin muncul lagi dalam kehidupannya. Sembari menatap bias-bias cahaya yang terpantul melalui sekumpulan kristal Swarovski di dalam sebuah kotak plastik bening.

Diaz...

Mai mengerjapkan mata.

Diaz sudah berubah banyak. Tentu saja! Waktu delapan tahun itu cukup panjang bagi seorang Diaz untuk berubah. Menjadi jauh lebih dewasa dari sebelumnya, ketika mereka bertemu untuk terakhir kalinya sebelum perpisahan itu. Tapi masih ada satu yang sama dari diri Diaz. Pendiamnya. Dengan mata memancarkan kata-kata yang kaya.

Tapi seperti apa siratan kata-kata itu menyentuh hatinya, Mai tak lagi tahu. Ia terlalu senang bertemu Diaz. Sekaligus terlalu takut untuk berharap. Semuanya itu justru menimbulkan perasaan sesak yang ia tak tahu bagaimana menghilangkannya.

Sepertinya ia sudah terlalu banyak berharap. Membiarkan diri melambung ke awan, untuk kemudian jatuh tersungkur ketika berhadapan dengan kenyataan. Sakit yang ditimbulkannya terlalu bertumpuk. Hingga segalanya menjadi terasa begitu hambar di hati.

Mai menatap senyum Qiqi yang terekam sempurna dalam foto di atas meja. Dan Qiqi adalah hal paling lengkap yang bisa menyentuh perjalanan hidupnya.

Sehancur apa hatinya ketika mengetahui kondisi awal Qiqi, hanya ia yang tahu. Seperti apa harapan itu timbul ketika Grandy menghiburnya, hanya ia yang merasakan. Semenyesal apa ketika ia mencoba untuk bercermin, hanya ia yang memahami.

Bang Grandy...

Entah kenapa ia berkali-kali mendapati sekilas diri Diaz ada dalam Grandy. Ketenangan laki-laki itu. Kesabarannya. Kemauan untuk mendengar. Kedewasaannya. Yang ada dalam diri Grandy memang lebih. Sesuai dengan usia yang berjarak hampir sepuluh tahun lebih tua daripadanya.

Mai mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Pada siraman sinar matahari yang redup tertahan mendung.

Secinta apa Grandy pada dunia kedokteran, Mai tahu. Cinta yang berhasil mengalihkan perhatian Grandy dari kehidupan pribadinya. Hingga masih melajang di usianya yang sudah 37 tahun. Cinta yang mengalahkan keinginan kedua orang tua untuk melihatnya berkeluarga. Mai tahu sebesar apa keinginan Dokter Satya dan Bu Amey. Sekaligus Mai memahami cinta Grandy. Karena ia pun berada pada posisi yang serupa dengan Grandy. Posisinya bersama Qiqi.

Mai menghela napas panjang.

Rasanya ia sudah tak lagi mau punya mimpi. Ketika ia ‘terbangun’, selalu rasa sakit yang dirasakannya. Hanya rasa sakit karena banyaknya harapan yang pecah berantakan dihantam kenyataan.

* * *


Selanjutnya


Ilustrasi : www.yourhomewizard.com



13 komentar:

  1. Akirnya baca juga😘😘😘thanks Momy Anggelo


    Di tunggu episode selanjutnya

    BalasHapus
  2. Permainan rasa. Jan elok tenan! Jempol!

    BalasHapus
  3. Rara needs an angel.
    Just like me mb Lis.
    Aq ngrapel yoh .....

    BalasHapus
  4. 😭😭😭😭😭 jantung berdetak mangkin cepat ,Nirwan muncul juga tapar aja 😁😁😁gregetan jadinya hehe

    BalasHapus