Senin, 17 Oktober 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #12-1










* * *


Dua Belas


“Itu putri Mbak?”

Mai menoleh sekilas mendengar pertanyaan dari Maika. Perempuan itu berdiri tak jauh darinya. Menatap foto kanvas besar yang tergantung di dinding. Foto cantik Mai dan Qiqi.

“Ya,” Mai mengangguk, sambil tangannya tetap membuka kunci-kunci lemari kaca.

“Ah, cantik banget!” suara Maika terdengar tulus, walaupun matanya menangkap ada keistimewaan kondisi fisik gadis kecil dalam foto itu. “Sudah umur berapa, Mbak?”

“Hampir delapan tahun,” Mai tersenyum karenanya. Ia kini menghadap ke Maika. Kedua tangannya terbuka, mengarah ke lemari kaca. “Silakan pilih, Mbak.”

“Terima kasih,” Maika tampak antusias.

Perempuan itu kemudian memilih beberapa perhiasan yang disukanya sambil bertanya ini-itu pada Mai. Tentang asal perhiasan, tentang bahannya.

“Sebetulnya saya langganan NitNit, lho...,” ungkap Maika sambil lalu. “Biasanya order secara online. Dan saya suka sekali dengan asesoris yang Mbak Mai rangkai sendiri. Artistik. Lain daripada yang lain. Unik! Apalagi model kalungnya. Jempol!”

“Wow! Terima kasih banyak, Mbak.”

Maika memilih-milih lagi. Setelah puas, ia meletakkan keranjang plastik kecil berisi belasan asesoris pilihannya di atas meja Mai untuk menyelesaikan pembayaran. Ia kemudian duduk di depan Mai, berseberangan meja.

“Mbak Mai kelola semua ini sendirian?” usik Maika tiba-tiba.

“Oh, enggak,” Mai menggeleng sambil tersenyum. “Saya punya beberapa karyawati, kok. Cuma, kalau Sabtu-Minggu mereka libur.”

“Wah, saya jadi merepotkan Mbak Mai,” sesal Maika.

“Ah, nggak apa-apa, kok. Sudah biasa itu. Lagipula rejeki, kok, ditolak?”

Maika tertawa kecil mendengar ucapan Mai.

“Ini mau dijadikan satu atau gimana, Mbak?” tanya Mai setelah selesai mencetak nota pembelian.

“Oh... Bisa dijadikan beberapa? Karena ada titipan teman juga.”

“Bisa... Mbak pisahkan saja, nanti saya kantongin sesuai kelompoknya.”

Maika kemudian sibuk memisahkan asesoris itu, menjadi lima kelompok. Mai pun mengambil lima kantong kertas berlogo NitNit Jewelry dari dalam laci meja. Dengan hati-hati ia memasukkan asesoris, yang masing-masing sudah terbungkus rapi oleh plastik mika bening, ke dalam kantong. Maika segera menuliskan nama pada setiap kantong yang sudah selesai dirapikan Mai.

Saat itu pintu kantor diketuk dari luar. Kepala Yayah menyembul. Wajahnya terlihat khawatir.

“Bu, maaf, saya lupa pesan Ibu untuk bikin minuman,” ucap Yayah, takut-takut.

“Hehehe... Nggak apa-apa, Yah,” Mai menanggapi dengan santai.

Yayah pun dengan cekatan menghidangkan dua cangkir teh dan sepiring lapis legit.

“Aduh, repot-repot saja,” gumam Maika.

“Santai saja, Mbak,” senyum Mai. “Silakan...”

Maika meraih cangkir dan tatakan setelah mengucapkan terima kasih. Disesapnya isi cangkir itu sambil menatap Mai yang sibuk memasukkan kantong-kantong kertas kecil itu ke dalam sebuah tas kertas. Terlihat ia menimbang-nimbang sesuatu, sebelum akhirnya memutuskan untuk bertanya.

“Mbak Mai, sebelumnya saya mohon maaf.”

Mai mengangkat wajahnya. Segera saja matanya menangkap siratan ekspresi ragu pada wajah cantik dan eksotis Maika.

“Ya?” senyum Mai.

“Mbak Mai... sudah menikah?”

Mai tercenung sejenak, sebelum menggeleng. Sepertinya pertanyaan Maika memang agak tidak pada tempatnya. Tapi sebagai sesama perempuan, seutuhnya Mai memaklumi hal itu.

“Saya belum menikah,” Mai kembali tersenyum sambil menyisihkan tas kertas agak ke pinggir meja, dan meraih cangkir tehnya. Disesapnya sedikit teh itu, sebelum kembali berucap, “Dulu ayahnya menolak untuk bertanggung jawab. Saya tidak punya pilihan lain, kecuali menerima dan membesarkannya dengan tangan saya sendiri. Dengan bantuan ayah dan ibu saya, tentunya. Dan banyak orang lain.”

Maika cukup kaget mendengar keterusterangan Mai.

“Mbak tidak berusaha menyembunyikan kondisi ini pada orang lain?” begitu saja kalimat itu meluncur dari bibir Maika.

Mai menggeleng.

“Buat apa?” Ia mengedikkan bahunya sedikit. “Cepat atau lambat semua orang juga akan tahu. Saya menyesali perbuatan saya di masa lalu. Itu sudah pasti. Tapi yang lebih penting adalah menebus kesalahan itu dengan menerima, merawat, dan mensyukuri karunia yang sudah dititipkan pada saya itu. Apalagi...,” dikerjapkannya mata. “Putri saya hanya punya satu tangan. Plus ketika bayi sempat mengalami kebocoran katup jantung. Tapi sekarang dia sudah normal. Setidaknya dia sangat istimewa bagi saya.”

Mai mengerjapkan matanya yang sedikit basah.

“Dan ayahnya sama sekali tidak mau bertanggung jawab?” ada kilatan kemarahan dalam mata Maika.

“Mau,” Mai tersenyum sedikit. “Tapi sudah terlambat. Selama ini ia tak pernah ada buat Qiqi - nama putri saya Qiqi. Jadi, yah... Sudahlah, hidup sendiri-sendiri seperti biasanya saja. Tak perlu saling menganggu,” senyum Mai melebar.
                                                                                        
Maika tercenung. Merasa seperti terjebak di tengah dua kutub yang berlawanan. Antara menyesali dan mantap dengan keputusan yang sudah diambilnya. Keputusan untuk mengakhiri pertunangannya dengan Nirwan. Tapi rasa mantap itu sepertinya lebih kuat. Lebih menang. Sekaligus menimbulkan harapan bahwa ia akan memperoleh pengganti yang lebih baik daripada Nirwan.

“Ini pelajaran buat kita semua, Mbak,” suara Mai lirih memecah keheningan. “Di balik kemanisan sesaat, seringkali ada hal pahit yang kita tidak tahu.”

Maika mengangguk.

Sambil menikmati lapis legit dan sesekali menyesap teh, keduanya mengobrol tentang banyak hal. Usaha Mai, pekerjaan Maika. Dan setelah mengenal Mai sedikit lebih jauh, Maika kemudian memutuskan untuk tak mengusik kehidupan Mai beserta masa lalu bersama Nirwan. Rasa ingin tahunya sudah mendapatkan cukup jawaban. Apalagi Maika seutuhnya memahami, bahwa saat ini benar-benar tak lagi ada hubungan antara Nirwan dengan Mai, dan juga Nirwan dengannya.

“Sudahlah, hidup sendiri-sendiri seperti biasanya saja. Tak perlu saling menganggu.”

Suara tegas Mai jelas-jelas masih terngiang di telinganya. Dan seutuhnya ia menangkap kesungguhan dalam suara dan wajah Mai. Membuatnya makin mantap untuk menyudahi segalanya dengan Nirwan. Termasuk tak lagi ingin mengusik masa lalu Nirwan bersama perempuan berwajah tegar di hadapannya itu.

* * *

Sunyi. Hanya ada nyanyian angin dan jutaan tetes air hujan di luar mobil. Nyanyian dari arah sebelah kirinya sudah berhenti beberapa menit yang lalu. Pemilik suara bening itu kini terlelap dengan masih terikat oleh sabuk pengaman di atas jok. Pelan, Grandy mengulurkan tangan kirinya. Mengusap puncak kepala Qiqi.

Ketika lampu merah terakhir berubah menjadi hijau, kaki Grandy pun menekan lembut pedal gas. Mobil itu kembali meluncur membelah jalan dan derai hujan. Beberapa menit kemudian Grandy sudah menepikan mobil yang dikendarainya. Dilihatnya pintu pagar kantor olshop terbuka lebar. Ke sanalah ia kemudian membelokkan mobil. Carport yang sepenuhnya dilindungi kanopi bening.

Mai sudah berdiri di depan pintu kantor ketika Grandy turun. Laki-laki itu kemudian melepaskan sabuk pengaman yang mengikat Qiqi, dan menggendongnya dengan begitu lembut agar gadis kecil itu tidak terbangun. Bibir Mai membundar, membentuk huruf O. Diulurkannya tangan, tapi Grandy menggeleng. Hanya menyorongkan kunci pada Mai, agar Mai membantunya mengunci pintu mobil.

Grandy terus masuk, membawa Qiqi ke kamar. Dengan lembut pula, ia membaringkan Qiqi di atas kasur, kemudian melepas sepatu sandal yang dikenakan Qiqi. Ketika Grandy hendak menghidupkan pendingin udara, Mai sudah mendahuluinya. Sejenak kemudian keduanya tenggelam dalam hening, sebelum Mai bergerak menyelimuti Qiqi dengan selembar kain batik, dan Grandy menyelinap keluar dari kamar.

Ketika Mai keluar, Grandy sudah duduk di depan meja makan. Menyesap secangkir kopi susu yang dihidangkan Yayah. Ia mengangkat wajah ketika Mai muncul dari dalam kamar.

“Bagaimana tadi?” Grandy meletakkan kembali cangkirnya, dan mencomot sepotong pisang goreng hangat.

“Ya... Begitulah...,” Mai mengambil tempat di sebelah Grandy. “Intinya, aku tidak ingin mereka semua, sekeluarga besar, mendekati Qiqi dengan alasan dan kepentingan apa pun. Setidaknya sekarang dan nanti, dalam waktu dekat ini. Kalau Qiqi sudah lebih besar, bisa jadi keinginanku berubah. Karena bagaimanapun, ia berhak tahu siapa ayah kandungnya.”

“Sebetulnya mereka mau bertanggung jawab? Setidaknya, menganggap Qiqi sebagai bagian dari keluarga?”

Mai mengangguk. “Itu sudah lebih dari cukup.”

Grandy manggut-manggut.

“Eh, Abang nggak buru-buru mau pulang, kan?”

Grandy menggeleng. “Qiqi tadi sudah bilang, kalau dia ketiduran, dia minta aku ada ketika dia bangun nanti.”

“Oh...,” Mai tersenyum lebar. Sekilas diliriknya jam dinding. “Masih jam dua, Bang. Kalau Abang mau istirahat, sana, ke kamarku.”

“Jangan,” Grandy berdiri. “Aku di kamar Qiqi saja. Nggak apa-apa di karpet.”

“Yah...,” seketika Mai merasa tak enak.

“Nggak apa-apa, Mai,” Grandy menegaskan.

Sebelum Mai menanggapi lebih lanjut, Grandy segera melangkah dan masuk ke kamar Qiqi. Direbahkannya tubuh di atas karpet tebal di dekat tumpukan koleksi boneka Qiqi. Diambilnya sebuah boneka domba berbentuk menyerupai bantal besar, untuk alas kepalanya. Sejenak kemudian, ia sudah terlelap.

* * *

“Kelihatannya Mas Grandy itu cocok sekali jadi ayah Qiqi,” Winda duduk di sebelah Ares.

Keduanya kini duduk bersama di atas sebuah sofa ganda yang tadi sengaja diseret Ares ke depan pintu balkon yang dibukanya lebar-lebar. Kesegaran memenuhi ruangan itu. Hujan masih tercurah dari langit. Mau tak mau menimbulkan sensasi kelabu di hati. Kini hanya tinggal mereka berdua di apartemen itu. Obet sudah pamit pulang beberapa belas menit yang lalu.

“Seandainya Mas diberi kesempatan untuk menemaninya, bisa jadi Mas yang berada di posisi itu,” desah Ares.

“Belum tentu juga, sih, Mas,” tukas Winda halus. Berusaha untuk tidak menambah keresahan abangnya. “Kupikir, Mas juga perlu waktu dan kesempatan untuk lebih mengembangkan diri Mas. Mas punya masa depan yang harus diperjuangkan dan diraih. Dan belum tentu semuanya akan berjalan dengan baik kalau Mas memaksa diri untuk menjadi ayah dari anak Kak Rara. Karena saat hal itu terjadi, Mas sama sekali masih belum mapan. Baik secara mental maupun finansial.”

Mau tak mau, Ares terpaksa mengakui kebenaran ucapan Winda. Sebetulnya, pencariannya sudah berakhir dengan dipertemukannya lagi ia dengan Mai.

Lalu apa lagi?

Sisa rasa itu masih ada. Tapi ia makin tak yakin dengan kadarnya. Apalagi bukan hanya Mai saja yang harus diraihnya, seandainya ia meneruskan niat. Masih ada sosok lain. Qiqi. Yang walaupun usianya masih sangat muda, tapi keberadaannya harus sangat diperhatikan dan diperhitungkan.

Ia tahu, tidak akan terlalu sulit untuk memenangkan hati Qiqi. Apalagi memang sesungguhnya Qiqi sangat merindukan kehadiran seorang ayah dalam hidupnya. Tapi apakah ia orang yang tepat? Hingga detik ini ia masih belum yakin.

Apakah perlu mencoba untuk memindahkan hati ke arah yang lain?

Ares menghela napas panjang.

* * *


Ilustrasi : www.publicdomainpictures.net



10 komentar:

  1. Siip udah tak tunggu dari tadi :)

    BalasHapus
  2. Untung Maika apik areke ya.
    Sing pinter ya sing nulis critae ini.
    Pokoe jempol ae sing akeh ......

    BalasHapus
  3. Selalu setia dengan menunggu episode selanjutnya ☺️Thanks momy Anggelo

    BalasHapus
  4. Vote Grandy for Mai. Ayeyeye... :-)

    BalasHapus