Kamis, 27 Oktober 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #15-1










* * *


Lima Belas


Banyak proses harus dilalui. Banyak urusan yang harus diselesaikan. Butuh waktu hampir enam bulan bagi Mai dan Grandy untuk memantapkan hati dan bicara serius tentang sebuah pernikahan.

“Aku belum punya rumah,” celetuk Grandy dengan wajah tersipu.

“Aku sudah,” Mai tergelak ringan. “Kita bisa tinggal di sini. Tetap terpisah dari Ayah dan Ibu, maupun Papa dan Mama.”

“Aku baru mulai lagi merintis karirku yang sempat terbengkalai saat aku harus sekolah di Jepang,” lanjut Grandy.
                       
“Aku masih punya penghasilan yang lebih dari cukup untuk menghidupi kita,” tukas Mai dengan senyumnya yang masih lebar.

Grandy tertawa karenanya. Ia percaya bahwa Mai tak pernah mempermasalahkan persoalan finansial. Perempuan yang luar biasa tegar dan mandiri itu sudah terbukti selama ini bisa hidup lebih dari taraf layak bersama putri tunggalnya. Dan sejujurnya, gaji Grandy pun lebih dari cukup untuk hidup tiga orang.

“Aku dan Qiqi tak pernah mau memberatkan Abang,” tegas Mai. “Abang bersedia menjadi ayah Qiqi, mencintainya tanpa syarat, itu sudah lebih dari cukup buatku.”

“Dan aku tak pernah melakukannya karena terpaksa, Mai,” tangan Grandy terulur. Mengelus lembut pipi Mai. “Aku mencintai kalian seutuhnya. Dan sudah memilih untuk memberikan seluruh hidupku untuk kalian.”

“Ya,” angguk Mai dengan mata berbinar. “Aku percaya.”

* * *

Dan sebuah pembicaraan panjang antara Mai dan Grandy, di sela-sela kesibukan mereka, pada akhirnya membuat Mai dan Grandy membawa Qiqi ke rumah Intan. Intan menyambut ketiganya dengan sangat ramah. Apalagi sedikit banyak ia sudah tahu tentang perkembangan hubungan Grandy dan Mai dari Amey.

“Kami bermaksud membawa Qiqi untuk bertemu kakek-neneknya di Surabaya,” ucap Mai. Akhirnya. “Bagaimana menurut Ibu?”

Intan menatap Mai sejenak sebelum berucap ragu-ragu, “Orang tua Nirwan, maksudmu?”

Mai mengangguk. “Apakah rumahnya masih di daerah Rungkut, atau sudah pindah?”

“Masih di Rungkut, tapi...”

“Kenapa, Bu?” Mai mengerutkan kening melihat ekspresi aneh Intan.

“Kapan kalian akan membawa Qiqi ke sana?”

“Secepatnya,” jawab Mai lugas. “Kami tak ingin ada beban lagi sebelum menjalani pernikahan. Soal bertemu Nirwan, itu nanti urusan kesekian. Yang lebih penting adalah kakek-neneknya.”

“Hm... Begitu, ya?” gumam Intan, setengah tercenung. “Sebetulnya... mereka sedang ada di sini,” Intan menatap Mai.

Tanpa sadar Mai menatap Grandy yang duduk memangku Qiqi di sofa seberangnya. Samar, Grandy terlihat mengangguk.

‘Ada aku, Mai...’ begitu sinyal yang dikirimkan Grandy.

Mai kemudian kembali menatap Intan sambil menghela napas panjang. Mengumpulkan kekuatan.

“Maaf,” Grandy menyela dengan suara rendah. Membuat Intan dan Mai menatapnya. “Aku pikir sebaiknya Mai menemui dulu orang tua Nirwan. Supaya mereka tidak kaget. Bagaimana menurut Tante Intan?”

“Begitu malah lebih baik,” Intan mengangguk mantap. Dialihkannya tatapannya. Kembali pada Mai. “Tapi terserah padamu, Mai.”

Mai menimbang-nimbang sejenak. Ditatapnya Grandy.

I’ll tell her,” ucap Grandy sambil melirik sekilas ke arah Qiqi di pangkuannya.

Mai akhirnya mengangguk. Menatap Intan. “Baik, Bu Intan.”

“Ayo, mereka ada di teras belakang. Hanya berdua, kok. Nggak ada Nirwan.”

Mai kemudian berdiri dan melangkah mengikuti Intan. Jantungnya berdebar kencang. Apalagi ketika ia dan Intan sudah mencapai teras belakang.

“Mbak Murni, Mas Broto,” ucap Intan halus. “Ini ada Mai, eh... Rara.”

Sepasang manusia sepuh itu sempat ternganga sejenak sebelum berdiri. Dan entah bagaimana, Murni sudah menenggelamkan Mai dalam pelukannya. Intan diam-diam menyisihkan diri dari tempat itu.

“Maafkan Ibu, Nak... Maafkan Ibu,” bisik Murni. Menghujani Mai dengan air mata.

“Tidak apa-apa, Bu,” Mai balas memeluk Murni. “Andil saya dalam kesalahan ini juga sangat besar.”

Murni kemudian melepaskan pelukannya. Mai bergeser sedikit, menyambut jabat tangan Broto. Laki-laki itu menggenggam tangannya dengan erat dan hangat.

“Duduk, Ra,” ucapnya lembut.

Setelah keheningan yang terasa panjang, Mai akhirnya berhasil memecahkannya dengan suara lirih.

“Sebelumnya, saya ingin minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak dan Ibu, atas perlakuan kasar saya beberapa bulan yang lalu. Apa pun alasannya, saya salah besar sudah melakukannya. Saya...”

“Rara,” potong Broto halus. “Soal itu jangan dipikirkan lagi, ya? Kami mengerti sepenuhnya. Kami juga salah besar. Sudah mengagetkanmu dan kedua orang tuamu dengan datang tiba-tiba seperti itu. Aku, selaku kepala keluarga kami dan juga ayah Nirwan, minta maaf yang sebesar-besarnya atas semua yang telah terjadi.”

“Pak, Bu,” Mai menatap Broto dan Murni bergantian, “saya sudah memaafkan siapa pun yang ada kaitannya dengan kejadian di masa lalu itu. Saya juga sudah menemukan seseorang yang selama ini bisa mencintai Qiqi dan saya seutuhnya, tanpa syarat. Sesuatu yang sungguh-sungguh jauh di luar nalar saya. Dan kami sudah merencanakan untuk menikah. Saya belum bisa menemukan cara untuk menjelaskan kepada Qiqi tentang ayah kandungnya. Tapi saya pikir, ada baiknya Qiqi berkenalan dulu dengan kakek-nenek kandungnya. Karenanya kami bermaksud untuk membawa Qiqi ke Surabaya untuk bertemu dengan Bapak dan Ibu. Makanya, saya menemui Bu Intan untuk menanyakan apakah rumah bapak dan Ibu masih sama dengan dulu ketika saya masih di Surabaya. Dan Bu intan mengatakan bahwa Bapak dan Ibu sedang ada di sini. Jadi...”

“Kamu bawa dia?” ada gulungan harapan yang tergambar nyata dalam mata Murni.

“Iya, Bu,” angguk Mai. “Dia ada di depan, bersama orang yang selama ini sudah seperti ayahnya sendiri. Dan akan segera menjadi ayahnya secara resmi.”

“Dan kami... boleh bertemu... dengannya?” ucap Broto dengan suara bergetar.

“Ya, Pak, Bu, tapi...”

“Kenapa?” sergah Murni, nyaris tak sabar.

“Tolong, jangan dulu pertemukan Qiqi dengan Nirwan. Saya masih perlu waktu untuk menjelaskan pada Qiqi.”

“Tentu saja!” tegas Murni. “Kamu boleh pegang omongan kami ini. Anak itu masih harus menerima pelajaran. Nirwan, maksudku.”

“Dan Qiqi...,” lanjut Mai, “terlahir berbeda. Tapi sangat istimewa bagi saya. Bagi kami semua yang mengenalnya. Tangannya... hanya satu.”

Broto mengangguk. “Dia istimewa, kami sudah tahu. Tak pernah jadi masalah. Qiqi tetap cucu kami sampai kapan pun. Tolong, Ra, pertemukan kami dengannya.”

“Mari, Pak, Bu...,” Mai segera berdiri dari duduknya.

* * *

“Qi,” ucap Grandy sepeninggal Intan dan Mai. “Selain Kakek-Nenek-Opa-Oma, Qiqi juga punya kakek dan nenek lagi. Sebentar lagi kita akan bertemu dengan mereka. Qiqi jadi anak manis, ya?”

Qiqi menatap Grandy. Laki-laki itu tersenyum. Mengangguk. Membuat gadis mungil itu pun mengembangkan senyumnya.

“Kok, ada di sini, Pa?” sejak beberapa minggu belakangan ini, Qiqi sudah wajib membiasakan diri untuk mengganti sebutan ‘Om Grandy’ dengan ‘Papa’.

“Sebetulnya rumah mereka di Surabaya,” jawab Grandy sabar. “Tapi mereka lagi ada di sini. Menginap di sini. Dokter Intan itu, yang biasanya memeriksa gigi Qiqi, adalah adik dari nenek Qiqi.”

“Oh...,” Qiqi mengangguk-angguk walaupun belum mengerti sepenuhnya.

Saat itu Intan muncul lagi dari dalam. Ia duduk di tempatnya semula. Ditatapnya Grandy.

“Aku senang pada akhirnya kamu yang akan menjadi suami Mai dan ayah Qiqi, Gran,” senyumnya. “Yang aku sesalkan, kenapa tidak dari dulu?”

Grandy tertawa ringan mendengarnya.

“Semua ada waktunya yang tepat, Tante,” jawabnya kemudian. Diplomatis.

“Ya... Ya... Kalau soal itu, sudahlah, aku angkat tangan saja,” Intan mengangkat kedua tangannya sambil tergelak ringan.

“Ngomong-ngomong, orang tua Nirwan sering datang ke Jakarta sini, Tante?”

Intan menghela napas panjang sebelum menjawab, “Nggak juga, sih... Bagaimana, ya, Gran? Nirwan itu sudah umur segitu, tapi masih saja bikin malu keluarga.”
                                   
“Hah?” Grandy terbengong sejenak. “Maksud Tante?”

“Jadi begini,” Intan memperbaiki posisi duduknya, “Nirwan itu, kan, sebelum bertemu lagi dengan Mai, sudah punya tunangan. Putri boss-nya. Sejawatku juga. Tapi karena Nirwan selama ini selalu menyembunyikan masa lalunya, tunangannya itu jadi mogok. Memutuskan untuk bubaran. Nirwan jadi limbung. Apalagi kehadirannya ditolak juga, kan, sama Mai. Jadi sering dugem, dia. Kejadianlah one night stand. Dengan perempuan yang ditemuinya di tempat dugem. Dan setelah itu mereka masih sering bertemu di night club. Sampai... yah... you know-lah. Jadi orang tuanya terpaksa jauh-jauh datang untuk melamar secara resmi besok, karena pernikahan mereka harus dilakukan secepatnya,” Intan mengangkat bahu.

Grandy kembali terbengong. Sejadi-jadinya. Dan pada saat hening seperti itu, Mai muncul dari arah dalam. Diikuti kedua orang tua Nirwan. Grandy bisa melihat betapa goyahnya langkah Broto dan Murni.

“Qi...,” Mai melambaikan tangannya.

Grandy menurunkan Qiqi dari pangkuannya.

“Itu kakek dan nenek Qiqi,” bisik Grandy lembut. “Ingat pesan Papa, jadilah anak manis.”

Dengan langkah ragu, Qiqi menghampiri Mai. Mai pun menjangkau bahu Qiqi dengan halus.

“Pak, Bu, ini Qiqi,” ucap Mai, sambil menghadapkan putri mungilnya itu pada Broto dan Murni.

Segera saja tubuh mungil Qiqi tenggelam dalam pelukan Broto dan Murni. Pun kedua pipinya dihujani ciuman bertubi-tubi. Broto dan Murni menangis dan tertawa sekaligus, ketika satu-satu mereka diberi pelukan di leher oleh Qiqi. Dengan satu-satunya lengan yang gadis kecil itu miliki.

* * *


Ilustrasi : www.decoaro.com  



20 komentar:

  1. 😭😭😭😭😭mewek aku hiks

    Hiks Jumat setia menunggu besok ☺️

    Thanks

    BalasHapus
  2. Tokoh utama "Mai" ya... perempuan mandiri secara finansial

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak Retha. Maaf, komennya nyemplung di spam, jadi terlambat balesnya. Makasiiih... 😊😊😊

      Hapus
  3. Kereeennn........ Makasih banyak mbak Lizz.........

    BalasHapus
  4. Aq dapet pelajaran akeh soro dari critae mb Lis ini.
    Thank you mba !
    You're the best !

    BalasHapus
  5. Kalimat terakhirnya sungguh menyesakkan dada.

    BalasHapus
  6. Ada yg sdh siap2 buka bookmark. Rapelan dr 1-1 sampai tamat bsk 😄 Bubar meeting rak njur nggetu 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Matur nuwun rawuhipun, Mbak Tiwi... 😊😊😊

      Hapus