Senin, 31 Oktober 2016

[Cerpen] Backstreet








Mak’e dan Pak’e adalah pasangan paling tidak romantis yang pernah kutemui. Setiap hari selalu ada saja kejadian yang diributkan keduanya. Dari yang terkesan sepele macam kopi kurang manis, sampai masalah besar seperti kasbon terpaksa di warung tetangga. Kadang-kadang aku merasa geli. Kadang-kadang juga aku merasa gerah sendiri.

Pak’e, biarpun hanya buruh pabrik, tapi pantang berhutang pada orang lain. Dengan tenaganya sendiri Pak’e berusaha memenuhi kebutuhan kami, keluarganya. Mak’e, biarpun tak bekerja di luaran, tapi tetap selalu putar otak bagaimana caranya mencukupkan gaji Pak’e hingga selamat sampai hari gajian berikutnya tiba.

Kadang-kadang kalau sudah kepepet, Mak’e berhutang juga di warung tetangga. Tak banyak, hanya beberapa puluh ribu rupiah saja, yang langsung dibayar pada saat gajian tiba. Akibatnya, jatah sembako bulan berikutnya terpaksa disunat Mak’e. Kopi Pak’e jadi kurang manis, atau jatah makan daging ayam yang cuma seminggu sekali terpaksa turun derajat hanya jadi makan telurnya saja.

Pak’e bisa ngomel panjang pendek karena itu, tapi selalu disetop Mak’e dengan kalimat tegas, “Kalau nggak puas, ya, sana! Belanja saja sendiri!” Maka Pak’e akan langsung diam.

Konon, dulu waktu masih pengantin baru, belum ada aku dan Mungki (adikku), Mak’e pernah berbuat serupa. Menyerahkan kembali uang belanja dari Pak’e karena Pak’e protes, “Uang belanja itu kamu kemanakan saja?!” Hasilnya, boro-boro cukup, Pak’e malah sempat sejenak terbelit hutang gara-gara tak lihai mengatur uang belanja. Sejak saat itu, kendali keuangan kembali ke tangan Mak’e.

Sering Mungki dan aku berbisik-bisik, menggosip ringan. Topiknya adalah : “apakah orang-orang seperti Pak’e dan Mak’e itu saling mencintai?” Hasil gosipan itu tak pernah memuaskan. Justru membuat kami pusing sendiri.

* * *

“Mak’e dandan cakep lagi, Mbak. Pergi entah ke mana,” laporan Mungki itu masuk ke telingaku begitu aku pulang kerja sore ini. “Ditanyain juga ngeles.”

Ini sudah malam Minggu keempat Mak’e berbuat serupa. Memang sudah beberapa minggu ini Pak’e selalu pamit lembur setiap hari Sabtu. Pak’e masih tetap bersemangat mencari uang walaupun aku sudah bekerja dan Mungki sudah menjalani training di sebuah perusahaan.

Aku menarik napas panjang. Tampaknya aku harus berbuat sesuatu!

Mak’e mulai coba-coba backstreet. Ditanyai Mungki pun, Mak’e tak pernah mau menjawab dengan jelas.

* * *

Sabtu depannya, Pak’e lembur lagi. Aku sendiri menolak ketika salah seorang temanku meminta aku menggantikannya lembur kerja. Tapi aku tetap pergi dari rumah, seolah-olah aku berangkat kerja. Aku sudah kongkalikong dengan Mungki. Kalau Mak’e keluar lagi, maka secepatnya aku akan membuntuti Mak’e. Untuk itulah aku sengaja ngepos di rumah Atik di ujung gang.

Menjelang pukul 3 sore, ponselku berbunyi. Sudah kuduga, itu Mungki. Aku segera bersiap-siap mengintip dari rumah Atik. Atik sendiri sudah siap di atas motornya. Ketika Mak’e lewat, Atik menyapa dengan manis. Mak’e pun menyahut dengan ramah, seolah tak punya dosa apa-apa. Ketika Mak’e berlalu dan naik motor salah satu ojek di ujung gang, aku segera meloncat ke boncengan motor Atik.

Bak detektif partikelir belajaran, Atik dan aku pun membuntuti ke mana Mak’e pergi. Ternyata tidak jauh. Hanya ke sebuah food court di pusat perbelanjaan dekat rumah. Ketika Mak’e turun dari ojek, aku pun segera menelepon Mungki, memintanya datang secepatnya.

Atik segera menyeretku ke pojok food court. Antara tempat kami dan Mak’e duduk, terpisah agak jauh. Terhalang oleh arena bermain anak-anak. Tapi posisi Mak’e terlihat jelas olehku.

“Mana?” tanya Mungki penuh nafsu begitu dia muncul.

“Ssst...”

Melihatku melotot, Mungki pun duduk diam-diam. Atik pun segera pamitan.

Tak berapa lama, yang ditunggu Mak’e muncul juga. Aku sampai menahan napas melihatnya. Laki-laki itu sudah tak asing lagi bagiku dan Mungki. Dan segera saja kami berdua disuguhi adegan mesra luar biasa. Membuat kami ternganga dan tatapan kami tak bisa beralih.

Tapi aku segera tersadar. Cepat-cepat kuseret Mungki pulang. Sudah cukup!

* * *

“Ternyata mereka saling mencintai...”

Aku menoleh dan mendapati Mungki tengah menatapku dengan mata merah. Keharuan tergambar jelas di wajahnya. Aku memeluknya. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Selama ini mereka menyembunyikannya dengan begitu baik dari kami. Mak’e dan Pak’e bertemu dengan kekasih hatinya masing-masing setiap hari Sabtu. Setelah itu, Mak’e akan langsung pulang, dan Pak’e meneruskan lemburannya sampai jam 10 malam. Mereka tak pernah pulang bersama-sama.

Masih terbayang di mataku bagaimana tangan Mak’e tadi mengelus pipi kekasihnya itu dengan begitu lembut. Bagaimana mereka bercakap dengan begitu dekat dan mesra. Dan Pak’e pun melakukan hal yang sama dengan kekasih hatinya.

Aku dan Mungki masih duduk diam di atas kursi. Tak menyadari bahwa Mak’e dan Pak’e sudah pulang. Kali ini bersama-sama.

“Yang ngajarin ngintip-ngintip orang pacaran itu siapa?” Begitu datang, Mak’e langsung melotot menatapku dan Mungki, berlagak garang.

Aku hanya nyengir. Mungki pun tertawa. Pak’e duduk di dekat kami sambil melepas sepatunya. Dia kemudian menatap Mak’e.

“Minggu depan kita cari tempat lain saja buat janjian, Mak,” ujar Pak’e. “Yang jauuuh... Biar nggak dibuntuti anak-anak sok iseng ini.”

Aku terbahak.

Mungkin Pak’e dan Mak’e tak pandai mengucapkan kalimat cinta. Tapi hari ini aku belajar sesuatu.

Ketika sepasang manusia sudah saling memahami, mungkin ucapan cinta tak perlu ada lagi. Yang ada adalah perbuatan dan uluran tangan yang selalu saling bersambut hangat.

Seperti ungkapan cinta Mak’e dan Pak’e. Pada kekasih hatinya masing-masing. Walaupun harus dilakukan dengan cara backstreet dari anak-anaknya sekali pun.

* * * * *


Ilustrasi : www.pixabay.com


Catatan :
Bila ada yang pernah membaca cerita ini di tempat lain, dimohon kerja samanya untuk  tidak berkomentar yang ‘menjurus ke sana’ ataupun woro-woro yang tidak penting. Yang jelas, cerpen ini adalah karya asli saya. Terima kasih.


12 komentar:

  1. Waduuh, tiba'ne pak'e n mak'e pacaran backstreet... kyk papa mamaku juga mbak, naek mobil puter kayun, pulang2 nggawa martabak....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuiiih... ketoke asyiiik ikuuu... 😍😍😍

      Hapus
  2. Balasan
    1. Hehehe... Makasih buanyaaak, Pak Subur 😊😊😊

      Hapus
  3. Eaaaaa manis soro to the max mentok !
    Apik mbaaaa ....
    Aq lope" !

    BalasHapus
  4. Kisah cintanya Bude Lis neh kayake. Hehehe... ;)

    BalasHapus
  5. Ceritane kok marai tersipu ya? 👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Koyok njenengan mbek Mas Al yo, Mbak? 😁😁😁

      Hapus