Jumat, 25 November 2016

[Fantasy] Empat Purnama Di Atas Catana








“Aku harus menyembunyikanmu,” ucap Laarsen tegas.

Franceo terdiam.

“Mora makin tak terkendali, dan aku harus menyembunyikanmu,” tegas Laarsen sekali lagi. “Ini perintah Raja, Franceo. Hingga detik ini aku masih rajamu, hingga nanti kau menggantikanku.”


Franceo tak punya pilihan lain, kecuali mengangguk. Berusaha patuh terhadap perintah Sang Raja. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, Laarsen segera menyeret Franceo masuk ke dalam salah satu ruangan di istana itu.

* * *

Catana tengah bergolak. Dalam kurun waktu ribuan tahun sejarah planet kecil itu, baru kali ini Mitessaron ada tanda-tanda hendak dikacaukan oleh pemberontak dari kaum Maleus.

Ada beberapa kaum hidup berdampingan dengan damai di Catana. Kaum Manola yang merupakan manusia asli Catana, kaum Maleus yang bersosok setengah raksasa, kaum Pixer yang berperawakan kerdil, dan kaum Exoma yang merupakan hibrida dari kaum-kaum yang ada di Catana. Semuanya membentuk satu kesatuan koloni Catanora, penduduk Catana.

Mitessaron adalah hal yang paling ditunggu seluruh koloni Catanora. Satu malam istimewa yang berlangsung hanya sekali dalam 28 tahun. Malam terindah di mana ada empat purnama penuh berpendar sekaligus di langit Catana. Chantrea, Kamaria, Mahsa, dan Neoma akan menunjukkan keagungannya dengan memantulkan cahaya sepasang mentari kembar Ciro dan Solana.

Pada malam Mitessaron, akan diadakan penobatan raja baru yang akan memimpin Catana dalam 28 tahun ke depan. Raja baru yang sudah disiapkan lima tahun sebelumnya. Dipilih oleh koloni Catanora berdasarkan banyak pertanda yang diturunkan oleh Sang Maha Bijaksana. Dan seluruh koloni Catanora akan merayakannya dengan berpesta pora semalam suntuk.
           
Dalam Mitessaron yang akan datang beberapa minggu lagi, Franceo-lah yang akan dinobatkan menjadi raja baru. Seorang pemuda dari kaum Manola dengan cahaya kebaikan, keagungan, dan kebijaksanaan memancar dari wajahnya yang teduh. Dan kebetulan, Franceo adalah tunangan Migea, putri tunggal Raja Laarsen dan Ratu Murin.
           
Sayangnya, ada yang tidak terima dengan bintang terang yang menaungi Franceo. Mora, pemimpim kaum Maleus, berambisi menjadi raja di Catana.
           
Usaha Mora untuk mempengaruhi koloni Catanora tak ada hasilnya. Sihir Wiluta terlalu kuat melindungi pikiran kaum Manola, Pixer, dan Exoma. Sayangnya, sihir Wiluta tidak berlaku bagi kaum Maleus. Hanya saja, sebagian besar kaum Maleus pun tak mendukung Mora. Selama ini, mereka sudah terbukti bisa hidup berdampingan dengan damai di bawah kepemimpinan raja-raja yang selalu berasal dari kaum Manola. Tak ada alasan untuk memberontak.
           
Tapi tidak, bagi Mora dan beberapa pengikutnya.

* * *
           
Laarsen membawa Franceo menelusuri lorong-lorong katakomba yang berawal dari ruang perpustakaan istana. Hingga akhirnya lorong itu sampai di sebuah ujung buntu. Franceo mengangkat alis ketika Laarsen mendorongnya terus hingga menabrak tembok batu di depan mereka.
           
Dan mereka menembusnya! Masuk ke dalam sebuah ruangan besar penuh berlapis batu granit dengan segala perabot penunjang kehidupan. Ruangan itu terang benderang oleh beberapa pecahan batu bintang Irconid yang bersinar abadi terpasang di dinding. Franceo terbelalak melihatnya.
           
“Sampai aku bisa membereskan semuanya, kau harus tinggal di sini. Masa depan Catana ada di tanganmu. Kau harus tetap hidup.”
           
“Tapi...”
           
Laarsen tak mau mendengarkan bantahan Franceo. Ia segera meninggalkan tempat itu. Menembus begitu saja permukaan tembok.

* * *
           
Begitu keluar dari ruang perpustakaan, sebuah laporan sudah menunggu Laarsen. Gudang penyimpanan makanan untuk pesta Mitessaron ditemukan dalam kondisi setengah kosong, padahal terkunci dari luar.
           
Lumbricoid,” gumam Laarsen ketika melihat seisi gudang.
           
Ada beberapa lubang besar di lantai gudang. Jelas lumbricoid pelakunya. Cacing raksasa berkulit keras yang mampu membobol dari dalam tanah, tidak dari luar gudang. Dan satu-satunya Catanora yang bisa mengendalikan lumbricoid hanyalah kaum Maleus.
           
“Kumpulkan Pasukan Enam Belas,” gumam Laarsen pendek sambil meninggalkan gudang.

* * *

Pare sudah bersiap membawa Pasukan Enam Belas untuk menyerbu Maleus!”
           
Franceo tergeragap ketika Migea menerobos masuk begitu saja ke dalam ruang persembunyian itu.
           
“Apa yang terjadi?” Franceo terbelalak.
           
“Sepertinya Mora menyuruh lumbricoid untuk mengambil persediaan makanan untuk pesta Mitessaron di gudang. Yang kudengar dari Rauder, gudang kita sudah setengah kosong.”
           
“Sudah pasti pencurinya lumbricoid?”
           
“Ya!” angguk Migea. “Pare sudah memeriksanya. Ada lubang-lubang besar di lantai gudang. Apa lagi kalau bukan lumbricoid?”
           
Franceo tercenung sejenak sebelum kembali menatap Migea.
           
“Migea, keadaan mulai tidak aman,” Franceo memegang kedua bahu kekasihnya itu. “Seharusnya kau dan Ratu Murin-lah yang bersembunyi di sini, bukan aku.”
           
“Tidak, Franceo,” Migea menggeleng tegas. “Takdirmu adalah menjadi pemimpin Catana hingga Mitessaron berikutnya. Jadi...”
           
“Migea,” potong Franceo, “kalau memang itu takdirku, maka tak akan terjadi apa-apa padaku walaupun aku berada di luar sana.”
           
Migea menatap Franceo dengan putus asa.
           
“Ajak Ratu ke sini. Aku akan membantu Raja,” ucap Franceo tegas.
           
“Masalahnya...,” Migea mengerjapkan mata. “Kau tak bisa keluar dari sini.”
           
“Tapi Raja tadi bisa,” bantah Franceo. “Kau pun bisa keluar-masuk begitu saja.”
           
“Ya,” angguk Migea, “karena kami bukan tahanan seperti kau.”
           
“Aaah...,” Franceo mendesah panjang.

“Franceo,” Migea memegang kedua tangan Franceo, “aku berjanji, kalau keadaan memburuk, aku akan membawa Mare ke sini.”
           
“Ya, berjanjilah, Migea...”
           
Migea mengangguk dan buru-buru beranjak pergi dari tempat itu. Franceo kembali terduduk dengan wajah kusut.
           
Bagaimana bisa keluar dari tempat ini?
           
Ia menatap berkeliling. Keseluruhan dinding dan lantai ruangan itu dilapisi granit hitam yang dijamin tak bisa ditembus oleh apa pun. Lumbricoid sekali pun. Ia menyipitkan mata ketika tatapannya jatuh pada bidang dinding hitam kosong, tempat keluar-masuk tadi.
           
Pelan ia mendekati dinding itu. Mencoba merabanya. Terasa masif di telapak tangan. Ketika ia mencoba mendorongnya, tak terjadi apa pun. Juga ketika ia berusaha mendorong bidang itu dengan bahunya. Tak ada perubahan.
           
Migea benar! Aku belum bisa keluar karena statusku masih tahanan.
           
Franceo menghela napas panjang. Ia kemudian berbalik dan berjalan kembali ke tempat duduknya semula. Dengan resah, ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Dan mendadak saja ia seolah membeku ketika tangan kanannya meraba sesuatu di dalam saku. Pelan, ia menggenggam benda kecil itu, kemudian menariknya keluar.
           
Syrinx!
           
Franceo hampir saja bersorak gembira. Syrinx yang kini ada di dalam genggamannya adalah pemberian Wiluta, Sang Dukun Sakti Catana. Sebuah benda mungil terbuat dari kulit kerang. Bisa ditiup untuk memanggil Wiluta kapan saja, saat kondisi Franceo terdesak. Aslinya benda itu cukup besar, tapi Wiluta mengubahnya jadi berukuran mini, agar Franceo dengan mudah membawanya ke mana pun ia pergi.
           
Dengan ragu-ragu, Franceo meniup syrinx itu pada ujung yang paling kecil. Tak terdengar apa-apa. Ia kemudian mengulanginya lagi, dengan embusan napas yang lebih keras.
           
“Franceo! Aku tidak tuli!”
           
Franceo hampir saja terjengkang karena kaget mendengar gelegar suara itu. Ia menatap berkeliling, tapi si pemilik suara tetap tak tampak.
           
“Wiluta?” bisiknya ragu-ragu.

“Ya! Aku! Siapa lagi? Kau mau keluar dari situ?”
           
Franceo menghela napas lega. Wiluta benar-benar berhak mengukuhkan dirinya sebagai dukun paling sakti sejagat Catana.
           
Dan, Wiluta tiba-tiba saja melompat keluar dari kepulan asap tebal yang muncul tanpa pemberitahuan tepat di depan Franceo. Membuat Franceo kembali hampir terjengkang karena terkejut.
           
“Dengar, anak muda,” sosok kerdil berjubah panjang menyentuh lantai itu menatap Franceo. “Kau hanya perlu meniup syrinx sekali saja dengan embusan napas secukupnya. Tidak perlu berisik seperti tadi. Kamu memang tidak bisa mendengar suaranya, tapi aku bisa. Paham?”
           
“Ya, Wiluta,” Franceo mengangguk takzim. “Maafkan aku.”
           
“Hm... Kau mau berbuat apa di luar?”
           
“Aku harus membantu Raja Laarsen untuk menghadapi segala kekacauan yang ada,” jawab Franceo tegas. “Aku tidak bisa berdiam diri, berpangku tangan seperti ini, Wiluta. Kau harus membantu aku.”
           
Wiluta menyipitkan mata. Menatap Franceo tajam. Tapi sejenak kemudian ia menganggukkan kepala.
           
“Baiklah,” Wiluta memutuskan.
           
Ia kemudian mengulurkan tangan kiri, menjangkau tangan Franceo. Tangan kanannya mengibaskan jubah berwarna ungu yang dikenakannya. Seketika asap tebal berwarna putih menyelimuti mereka. Franceo tak bisa melihat apa-apa. Tapi ia pasrah dengan perbuatan Wiluta. Bukankah ia sendiri yang memintanya?

* * *

Tujuh belas casuarius bergerak meninggalkan istana beberapa saat kemudian. Mereka adalah pasukan pilihan dengan Laarsen sebagai pemimpinnya, dan berangkat ke sektor Maleus dengan mengendarai casuarius. Burung-burung besar dengan bulu berwarna hitam kehijauan berkilat-kilat itu memang tidak bisa terbang. Tapi mereka sangat tangkas dan terlatih. Tampak berbahaya dengan cakar kuat dan tajam yang mereka miliki.
           
Kali ini, Mora sudah tidak lagi bisa dibiarkan.
           
Dan Franceo menyaksikan semua citra itu dari permadani besar berwarna abu-abu muda yang terbentang di salah satu dinding pondok Wiluta. Dukun sakti itu menyuruhnya duduk dan menyaksikan dulu kejadian yang saat ini tengah berlangsung jauh di luar pondok.
           
Tak butuh waktu lama bagi Laarsen dan pasukan khususnya untuk sampai di sektor Maleus. Mora sendiri tampaknya sudah menduga bahwa akan ada pasukan yang datang. Ia sudah siap. Menghadang pasukan kecil Laarsen tepat di tengah pintu gerbang sektornya.
           
“Selamat datang, Raja Laarsen,” ucap Mora dengan keramahan yang dibuat-buat.
           
“Terima kasih, Mora,” balas Laarsen dengan tenang. “Kelihatannya kau sudah tahu bahwa aku akan datang.”
           
“Ada masalah apa, Raja?” Mora terlihat mulai pongah.
           
“Mora, kalau kau memang tak mau lagi menjadi Catanora, kau tinggal bilang padaku,” jawab Laarsen dengan nada datar tapi tegas. “Kalian bebas keluar dari koloni Catanora. Berhak untuk menjalani kehidupan kalian sendiri sebagai kaum Maleus tanpa campur tangan kaum lain. Karena kalian, toh, bukan jajahan. Bukan budak. Tapi tak perlu mengganggu kehidupan koloni!”
           
“Memangnya apa yang sudah kulakukan?” Mora mendengus dengan nada mengejek.
           
Raut wajah Laarsen berubah menjadi gelap.
           
“Banyak!” tandasnya. “Aku tahu, semua kekacauan yang terjadi belakangan ini adalah karena ulahmu. Termasuk ulahmu baru saja. Mengerahkan lumbricoid untuk membobol gudang kita. Berhentilah, Mora. Koloni Catanora sudah menentukan pilihannya. Sudah menetapkan penggantiku. Tinggal menunggu Mitessaron untuk menobatkannya. Aku juga tahu, sebagian besar kaummu setuju dengan pilihan itu.”
           
“Lalu kau mau apa?”
           
“Aku tidak mau berbuat lebih,” Laarsen menggeleng. Berusaha tetap bersabar walaupun raut wajahnya terlihat semakin gelap. “Aku hanya ingin memperingatkan kau. Bahwa aku bisa saja habis kesabaran.”
           
Mora mengangkat bahu. Kemudian berbalik. Berlagak masuk kembali ke sektornya. Merasa bahwa peringatannya sudah cukup dimengerti Mora, Laarsen kemudian memerintahkan pasukan kecilnya untuk berbalik dan pergi.
           
“Tidaaak!” tiba-tiba saja Franceo berteriak ketika melihat adegan tak terduga di layar Wiluta.
           
Mora ternyata menyerang tiba-tiba dengan melemparkan godam apinya begitu Laarsen dan pasukannya berbalik. Godam api besar itu langsung menghantam dua casuarius beserta muatannya yang berada paling belakang. Dua anggota pasukan khusus seketika terjatuh ketika casuarius yang mereka naiki tersungkur.
           
Dan serbuan puluhan godam berapi dengan ukuran lebih kecil menghujani pasukan Laarsen. Dengan kekuatannya, Laarsen berusaha melindungi pasukannya dengan kubah perisai yang tak terlihat.
           
“Selamatkan Yura dan Kinox!” serunya sambil terus menahan gempuran dari Mora dan pengikutnya.
           
Di bawah kubah perisai itu, beberapa anggota pasukan elit Laarsen segera bergerak menyelamatkan anggota pasukan dan casuarius yang terluka.

* * *

Franceo setengah gelagapan ketika tiba-tiba saja Wiluta menyiramnya dengan sekuali besar cairan encer tak berbau.
           
“Ini perisaimu,” ujar Wiluta tanpa ditanya.
           
Masih belum hilang rasa kaget Franceo, Wiluta sudah menaburinya dengan seember bubuk berkilau.
           
“Dan ini tambahan kekuatanmu,” ujar Wiluta lagi. “Sekarang kau berangkat ke sana. Alcander sudah menunggumu di luar.”
           
Tanpa menunggu Wiluta mengulang perintahnya, Franceo segera berlari keluar dari pondok. Dragquila bernama Alcander – makhluk berkepala naga, berbadan elang raksasa berbulu keemasan, dengan ekor panjang berujung trisula – peliharaan Wiluta itu, benar-benar sudah siap di luar pondok. Sebelum Alcander mengembangkan sayapnya, Wiluta melemparkan segulungan permadani yang segera ditangkap dengan tangkas oleh Franceo.
           
“Itu untuk mengangkut casuarius dan anggota pasukan yang terluka!” seru Wiluta ketika Alcander mulai mengepakkan sayap.
           
“Yaaa!” Franceo balas berseru.
           
Dalam hitungan detik, Alcander sudah melesat membelah langit. Franceo memeluk leher Alcander kuat-kuat.
           
“Pelajaran pertama, jangan cekik aku!”
           
Franceo hampir saja terjatuh karena kaget mendengar suara itu. Ternyata Alcander bisa bicara! Franceo pun buru-buru merenggangkan pelukannya.
           
“Pelajaran kedua, jangan bunuh Mora dan pengikutnya. Kalau bisa.”
           
“Ya,” Franceo menjawab dengan nada patuh.
           
“Pelajaran ketiga, bentangkan permadani yang ada di belakangmu itu, dan taruh semua yang tidak bisa naik casuarius kalau semuanya nanti berakhir.”
           
“Siap!”

* * *

Laarsen mulai kehabisan tenaga. Ia terengah-engah mempertahankan kubah perisainya. Serangan dari Mora dan pengikutnya seperti tak ada habisnya. Sementara persediaan cakra anggota pasukannya mulai menipis.
           
“Zambe!” teriak Laarsen. “Kembali ke istana, minta bala bantuan!”
           
Tapi sebelum Zambe sempat naik ke atas casuarius-nya, terdengar serangkaian pekikan keras yang seolah membelah langit. Laarsen mendongak dan melihat seekor dragquila terbang berputar-putar di atas mereka, sebelum akhirnya menukik ke arah Mora dan pengikutnya.
           
“Alcander!” seru Laarsen penuh kelegaan. “Untunglah Wiluta membantu kita.”
           
Tapi, ia terbengong ketika melihat siapa yang meloncat dari atas punggung Alcander.
           
“Franceo?” gumamnya.
           
Konsentrasinya seketika terpecah. Kuda-kudanya goyah. Yang berujung pada berantakannya kubah perisai yang melindungi ia bersama pasukannya. Pada detik yang sama, sebuah godam berapi menghantam dada Laarsen. Telak. Membuatnya terpental ke belakang tanpa bisa bersuara, menabrak sebatang pohon besar, dan terkulai hilang kesadaran.
           
Franceo yang terlambat melindungi Laarsen seketika dipenuhi kemarahan yang luar biasa. Dengan hanya mengandalkan tubuh dan tenaga, ia merangsek maju ke arah Mora dan pengikutnya. Di tengah kemarahan itu, ia menangkis semua godam berapi yang menghujaninya. Dengan dibantu Alcander, Franceo mengobrak-abrik pertahanan Mora.
           
Satu per satu, pengikut Mora mulai rontok. Dan terakhir, Mora masih tegak berdiri. Menatap Franceo dengan pandangan ganas. Seolah ingin menelannya hidup-hidup.
           
“Ini yang kumau!” geram Mora sambil memantapkan kuda-kuda dan menyiapkan godam berapi terbesarnya.
           
Franceo menatap Mora dengan dingin. Sedikit pun tak gentar dengan desau godam berapi terikat rantai yang berputar-putar di atas kepala Mora. Ia kemudian memejamkan mata, dan membuka mata hatinya.
           
“Jadikan dirimu cermin.”
           
Franceo sempat mengerutkan kening dengan mata masih terpejam. Suara Alcander jelas-jelas menembus telinganya. Dan ia sudah siap ketika didengarnya teriakan penuh nafsu Mora, “MATILAH KAU, FRANCEO!!!”
           
Cermin! Cermin! Cermin!
           
BLAARRR!!!
           
“AAARGH!!!”
           
Bruk!
           
Suara ledakan terdengar mencabik udara di sekitar mereka. Diikuti dengan teriakan yang membahana, dan suara benda berat jatuh. Franceo masih memejamkan mata dan diam tak bergerak.
           
Franceo baru membuka matanya pelan-pelan ketika keheningan melingkupinya. Ada asap yang mengepul di depannya. Mora terkapar tak bergerak. Godamnya pecah berantakan. Serpihan godam itu menghitam bagai arang. Tak lagi berapi. Franceo berhasil menjadikan dirinya seperti cermin. Memantulkan serangan Mora hingga berbalik mengenai diri Mora sendiri.
           
Keheningan itu pecah oleh sorakan pasukan Laarsen. Mereka segera menyerbu Franceo dan mengangkatnya dengan wajah gembira. Saat itu tatapan Franceo jatuh pada Laarsen yang duduk bersandar pada pohon yang tadi ditabraknya. Sudah siuman, tapi terlihat sangat lemah.
           
“Ayo, kita bereskan kekacauan ini!” ujar Franceo, menyadarkan para anggota pasukan khusus itu.
           
Franceo kemudian membentangkan permadani yang dibawanya. Bahu membahu, mereka menaikkan casuarius, anggota pasukan, dan pengikut Mora yang terluka. Mora sendiri masih terkapar tak sadarkan diri. Pasukan Laarsen melemparkannya ke atas permadani. Satu per satu, kaum Maleus keluar dari pondok mereka. Dorpa, tetua kaum Maleus mendekati Franceo.
           
“Kami minta maaf, Franceo,” ucap Dorpa dengan wajah menyesal. “Kami tidak bisa membantumu. Kami harus melindungi anak-anak.”
           
“Ya, kami mengerti.” Franceo mengangguk sambil tersenyum. “Toh, semuanya sudah berlalu. Kami akan membawa Mora dan pengikutnya ke istana. Tolong, kalian bereskan saja kekacauan ini.”
           
Dorpa mengangguk.
           
Setelah permadani dengan segala muatannya terbang ke arah istana, Laarsen sudah aman di atas punggung Alcander, dan anggota pasukan Laarsen yang tidak terluka naik ke atas casuarius-nya masing-masing, barulah Franceo berpamitan kepada Dorpa. Dengan tangkas ia kemudian naik ke atas punggung Alcander. Menempatkan diri di belakang Laarsen.
           
“Franceo,” ujar Dorpa sebelum Alcander mengepakkan sayapnya, “kami tetap Catanora. Siap untuk menyambut Mitessaron dan penobatanmu menjadi raja.”
           
Franceo mengangguk, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu, Alcander pun mengudara dengan gagahnya.

* * *

Ciro dan Solana pelan-pelan menggelincir ke langit Utara. Cahayanya yang kian redup membuat ribuan bintang di langit ungu Catana mulai terlihat gemerlapnya. Ketika Ciro dan Solana sudah sempurna tenggelam dalam peraduannya, semua kepala Catanora beralih menengok ke arah Selatan dalam hening.
           
Pelan, Chantrea yang berwarna putih mulai muncul dari balik cakrawala. Ketika Chantrea sudah mengudara dengan sempurna, Kamaria yang berwarna kemerahan menyusul. Kemudian Mahsa yang berwarna biru muda, dan terakhir adalah Neoma yang berwarna jingga. Ketika keempatnya sudah tampil sempurna, tepuk tangan pun riuh rendah memecah keheningan.
           
Mitessaron telah mencapai puncaknya. Salah seorang prajurit Catana meniup sebuah syrinx besar. Segera saja gaungnya memenuhi udara. Tanda bahwa penobatan raja baru segera dimulai. Ketika gaung itu sudah menghilang dari udara, Raja Laarsen didampingi oleh Ratu Murin dan Putri Migea muncul di atas balkon utama istana. Gemuruh tepuk tangan menyambut kemunculan raja yang sudah pulih dari luka-lukanya berkat airmata Alcander.
           
“Empat purnama sudah sempurna bersinar di langit Catana!” ucap Laarsen dengan lantang. “Saatnya aku undur diri seperti Ciro dan Solana. Digantikan oleh raja baru dengan sinar indah seperti Chantrea, Kamaria, Mahsa, dan Neoma. Franceo, kaulah raja baru Catana. Dengan ini, kutitipkan Catana padamu. Rawat dan lindungilah dengan semua cintamu.”
           
Pelan, Laarsen melepaskan mahkota dari atas kepalanya, kemudian memindahkannya ke atas kepala Franceo. Ketika semuanya sudah sempurna, tepuk tangan dan sorak-sorai Catanora kembali bergemuruh.
           
Dengan diterangi oleh cahaya terang empat purnama di atas Catana, koloni Catanora berpesta sepanjang malam. Bergembira menikmati malam indah yang hanya datang sekali dalam 28 tahun itu. Malam indah yang terpaksa dihabiskan Mora dan pengikutnya dengan patuh untuk melayani semua kebutuhan pesta koloni Catanora.

* * * * *


Catatan :
- Fiksi fantasi ini diikutsertakan dalam Event #BelajarBarengFC #Fantasy.
- Lanjutan cerbung Déjà Vécu akan ditayangkan pukul 10.00.


Ilustrasi : www.pixabay.com


10 komentar:

  1. Wow, mbak'e pancen oye iki. Leander AMA Letta sing tak enteni, mak bedhunduk lha kok Areo sing mecungul. Apik tenan mbak..... Nuwus nggih 😄😍😘

    BalasHapus
  2. Masiyo ka lanjutane cerbung belum terbit tapie ada cerpen ini.
    Lope" soro to the max mb Liiiissss .....

    BalasHapus
  3. Aku kok jadi pingin maem biskuit coklat yang biasa di celupin susu itu, namanya apa ya...hmmm... :p

    BalasHapus
  4. Menurutku, ini JEMPOL!
    Very good job 👍

    BalasHapus
  5. Setting dan perangnya keren *jempol
    Benar-benar melambungkan fantasi

    BalasHapus
  6. Kereeeen banget banget, pake bangeet!

    BalasHapus