Jumat, 13 Januari 2017

[Cerbung] Affogato #2-2








Sebelumnya  



* * *


“Kalau aku jadi kamu, sudah lama aku cari yang lain, Prim,” gumam Nando sambil mencocolkan sepotong calamari ke dalam mangkuk mini berisi mayonaise, kemudian memasukkannya ke dalam mulut.

Mereka ber-27 duduk mengelilingi sebuah meja besar dalam resto itu. Staf dalam level supervisor ke atas diundang boss besar untuk merayakan ulang tahun ke-56-nya, yang sebenarnya sudah jatuh tiga hari lalu. Prima duduk bersebelahan dengan Nando, salah seorang asisten manajer produksi, teman seangkatannya yang masih bertahan di perusahaan kimia industri itu. Mereka sudah lebih dari 25 tahun saling mengenal. Bahkan sejak masih berstatus bujangan.

“Aku masih mikir anak-anakku, Ndo...,” suara rendah Prima terdengar berat.

“Anak-anakmu sudah besar,” tukas Nando lirih. “Sudah mengerti.”

Prima tercenung. Wajah Olivia, Maxi, dan Carmela seolah menari-nari di depan matanya.

“Kamu jangan terlalu polos dengan menganggap meriahnya berbalas komentar antara istrimu dengan George Clooney KW itu adalah hal yang biasa,” usik Nando lagi.

Prima kembali tercenung. Ia masih mencintai Arlena. Sangat mencintai perempuan yang sudah seperempat abad ini menjadi teman hidupnya. Dan ia masih tetap ingin berusaha menerima Arlena apa adanya. Kendati Arlena sudah sangat berubah perangainya. Apalagi ia ingat betul bahwa Arlena adalah pilihannya sendiri. Tepatnya, mereka sudah saling memilih untuk menjalani pernikahan itu bersama.

Keriuhan di sekitarnya membuat Prima berusaha menyingkirkan pikiran tentang keluarganya itu dari dalam benak. Tapi tak urung sel-sel otaknya seperti tetap ingin bekerja pada jalurnya sendiri tanpa mau dikendalikan.

Lalu di mana letak salahnya?

Prima ikut tertawa ketika rekan-rekan di sekitarnya tertawa. Tapi pikirannya terus mengembara tanpa batas.

Apakah salah mempertahankan perkawinan ini?

Prima ikut arus tertawa lagi. Seolah sembari menertawakan dirinya sendiri.

Berpisah? Lalu apa? Bagaimana anak-anak?

Prima menggeleng samar. Ia kemudian berusaha menikmati aneka makanan yang terhampar di atas meja, seperti rekan-rekannya yang lain. Sejenak menyisihkan sosok Arlena dari dalam benaknya.

* * *

Mobil Arlena meluncur masuk ke dalam garasi tepat ketika Prima menutup pintu mobilnya. Sejenak ditunggunya hingga Arlena keluar pula.

“Baru pulang?” Arlena mendaratkan kecupan di pipi kanan Prima.

Laki-laki itu hendak membalasnya dengan kecupan di kening, tapi Arlena sudah keburu melangkah masuk ke dalam rumah. Prima tak punya pilihan lain kecuali mengikutinya.

“Iya, habis diundang makan sama Pak Krisno.”

“Hm... Ada lemburan, nggak, malam ini?”

“Nggak ada,” Prima menggeleng.

“Ya, sudah, aku pinjam ruang kerjamu, Pa.”

Kalau saja ia tidak lelah, mungkin akan ‘dipaksa’-nya Arlena untuk melupakan sejenak kesibukannya di depan laptop. Menulis artikel yang entah bertopik apa malam ini. Tapi perasaan itu tengah menderanya kini. Jadi ia memilih untuk tidak menjawab.

Ruang tengah sudah sepi dan gelap ketika mereka melintas untuk naik ke lantai dua. Pintu kamar anak-anak sudah tertutup rapat. Tapi sayup-sayup terdengar suara musik dari dalam kamar Maxi. Tanda bahwa pemuda itu ada di rumah. Tidak ngeluyur keluar dengan berbagai alasan. Apalagi motornya tadi ada juga di garasi.

Bergantian mereka menggunakan kamar mandi. Selalu Prima dulu. Karena laki-laki itu bisa telantar, bahkan ketiduran, kalau harus menunggu Arlena selesai mandi. Dan ketika Arlena keluar dari kamar mandi dalam keadaan segar, nyaris setengah jam setelah ia masuk sesudah Prima, laki-laki itu sudah terkapar di atas ranjang dengan dengkur lembutnya.

* * *

Baru kali ini Olivia punya keinginan untuk membaca artikel Arlena. Dan ia merasa ditelanjangi habis-habisan setelah membaca dengan tuntas artikel Arlena. Sang mama mengeksposnya sedemikian rupa. Bahkan memoles dengan ‘menor’ hal ‘tidak ada’ yang ‘diada-adakan’.

Bodoh! Bodoh! Bodoh!

Mendadak ia gusar. Tangan terkepalnya lemah menghantam meja.

Ini yang terakhir! Sudah cukup!

“Seandainya benar kita seperti apa yang ditulis Mama, alangkah senangnya, ya, Mbak?”

Ucapan Carmela sore tadi terngiang jelas di telinganya. Ia dan Maxi sempat bertatapan sejenak sebelum Maxi memilih untuk menyingkir dan masuk ke kamar. Tanpa kata.

Olivia menghela napas panjang. Dimatikannya laptop sebelum meringkasnya. Sekilas, ia melihat waktu di sudut kanan bawah laptop menunjukkan angka 10:23 PM. Sudah cukup larut baginya, karena besok pagi ia harus bangun sebelum pukul lima pagi untuk menyiapkan sarapan.

Tanpa suara, ia beranjak dari ruang kerja Prima itu. Tapi di depan pintu ia hampir menjerit karena kaget. Begitu juga Arlena yang membuka pintu dari arah luar.

“Aduh! Kamu bikin Mama kaget saja, Liv!” gerutu Arlena dengan bibir mengerucut.

Olivia tak menjawab. Hanya berlalu begitu saja sambil memeluk laptop dan meneruskan langkah ke kamarnya.

* * *

Arlena memeriksa sekali lagi semua tirai di ruangan itu, untuk memastikan apakah sudah tertutup rapat tanpa celah. Ia tak ingin siapa pun yang ada di rumah itu mengganggu keasyikannya.

Sedang ada topik panas tentang pemilihan kepala daerah. Saat yang tepat untuk menggoreng kembali popularitasnya agar lebih renyah dan makin banyak yang menikmati. Dengan mencomot berbagai pemikiran dan kalimat dari banyak orang, lalu meramunya kembali dengan keahliannya mengolah dan merangkai abjad, jadilah sesuatu yang baru dan ditunggu para penggemarnya di BlogSip.

Tengah asyik bekerja, ponselnya bergetar. Ia melirik sekilas ke arah benda itu. Tampaknya ada sebuah pesan yang masuk. Pekerjaannya sedang tanggung. Ia memilih untuk mengabaikan pesan itu.

Saat menunggu BlogSip loading, ponselnya bergetar lagi. Dengan malas-malasan, ia mengangkat punggungnya dari sandaran kursi. Diraihnya ponsel itu.

‘Sedang sibukkah, Cantik? Menyiapkan hal panas untuk malam ini dan besok pagi?’

Arlena tertawa dalam hati setelah membaca BBM dari Harmono

Dia masih juga berusaha merayu. Hm...

Tapi dibalasnya juga BBM itu.

‘Tahu saja kamu ini, Ganteng... Kamu sendiri, tidak mengeloni istrimu yang paling cantik sedunia itu?’

‘Hohoho... Jam segini dia sudah kubikin klenger. Nggak dengar suara dengkurnya? Krrr... krrr... krrr...’

‘Istrimu itu perempuan cantik atau kucing?’

‘Hahaha... Kamu makin lama makin menggemaskan!’

Loading berhasil. Setelah log in, Arlena mulai mengunggah artikel yang baru saja ditulisnya. Dilupakannya sejenak chatting isengnya dengan laki-laki ber-profile picture George Clooney bernama Harmono itu. Tapi setelah semuanya selesai terunggah, Arlena meraih lagi ponselnya dan mengetikkan sesuatu sebelum menyentuh kotak Send.

‘Ada artikel baru malam ini. Goreng sampai renyah, ya?’

‘Hooo... Smart woman!’

Sejenak kemudian ponselnya nyaris tak berhenti bergetar. Notifikasi email bertubi-tubi masuk ke ponselnya. Tanda bahwa napas artikelnya sudah mulai hidup.

Ia pun segera tenggelam dalam dunianya itu. Berlayar dalam dunia maya yang nyaris tak terbatas. Tak lagi tahu ia tengah berhadapan dengan siapa atau apa di seberang sana. Benar-benar manusia, iblis sejati, perwujudan malaikat yang menyamar, ataukah tikus-tikus lapar dan segerombolan anjing gila.

* * *

“Bapak bisa bercerita apa saja pada saya,” Navita menatap Prima dengan bahasa tubuh penuh atensi.

Prima sedikit nanar menatap senyum manis Navita. Sejenak kemudian ia sudah merasa terbuai.

“Entah apa yang terjadi denganku dan istriku,” desah Prima. “Semuanya tak lagi sama seperti dulu.”

“Bapak pria yang baik,” Navita mengulurkan tangan, membelai pelipis Prima. “Sangat baik. Tidak pantas diperlakukan seperti itu.”

Prima hanya bisa terdiam. Entah kapan ia terakhir menerima belaian lembut dari Arlena. Ia sudah lupa.

“Bapak tinggal memilih,” jemari halus Navita menyentuh pipi Prima. “Semudah itu. Saya, atau istri Bapak.”

Prima terperangah. Ditatapnya Navita lekat-lekat. Senyum masih terulas di bibir merah muda segar gadis itu.

“Vit...,” desahnya dengan suara bergetar.

“Saya, atau istri Bapak...,” ulang Navita tanpa ampun.

“Vit...”

Saya, atau istri Bapak...”

“Vit...”

Navita menghilang dalam kepungan asap putih yang entah datang dari mana.

“Vita!”


“Navita!”

Dan Prima terjaga. Dengan peluh membasahi nyaris seluruh tubuhnya. Dengan panik ia menoleh ke samping. Kosong. Seketika ia menghela napas berkali-kali. Berusaha meredakan dan mengendalikan detak jantungnya yang seolah dipaksa untuk berpacu kencang.

Pelan-pelan sebuah kelegaan mengalir masuk ke dalam hatinya. Arlena entah berada di mana. Mungkin masih tenggelam di ruang kerja. Yang jelas tidak sedang berada di ranjang yang sama. Prima tahu, ia sempat menyebut sejelas-jelasnya nama Navita.

Prima memejamkan mata. Detak jantungnya mulai teratur walaupun napasnya masih sedikit terengah. Ia memejamkan mata beberapa kali.

Navita... Kenapa harus dia?

Sentuhan lembut Navita seolah masih tertinggal di pelipis dan pipinya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



6 komentar: