Jumat, 20 Januari 2017

[Cerbung] Affogato #4-2








Sebelumnya  



* * *


Di tengah riuh rendah dan dengung-dengung obrolan di sekitarnya, Navita mencoba untuk memisahkan kerja telinga dan mata. Telinganya dipaksa untuk mendengarkan semua gema pembicaraan di sekitarnya, sementara matanya dipaksa untuk mengembara ke tempat lain.

Kantin perusahaan itu selalu penuh sesak saat jam makan siang. Puluhan meja dengan ratusan kursi hampir tak menyisakan tempat kosong. Di setiap meja berkembang pembicaraan dengan topik masing-masing. Pun di meja yang ditempati Navita. Tapi tak seutuhnya ia bisa menangkap gosip yang beredar seru di sekelilingnya, walaupun ia memaksa diri menimpali sesekali. Sekadar untuk kamuflase. Supaya ia tak dipergoki sering mencuri pandang ke satu arah.

Laki-laki itu sama seperti dirinya. Duduk di depan sebuah meja panjang bersama dengan kelompoknya. Sibuk mengobrol sambil menikmati makan siang. Bedanya, laki-laki itu tak sedikit pun menoleh ke arahnya. Sekejap menatapnya pun tidak. Menjadikan Navita cukup leluasa untuk menikmati bayang nyata sosok itu. Sekaligus membebaskan benaknya berimajinasi.

Pak Prima... Kenapa, sih, begitu menariknya dia di mataku?

Navita mengerjapkan mata sambil menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulut. Dan ia tak menemukan jawabannya.

“Vit!”

“Hah?” ia tergeragap sejenak. Menoleh ke sebelah kiri. “Apa, Mbak Kin?”

“Aku bisa nggak, nitip berkas lamaran untuk keponakanku?” lanjut Kinkin.

“Bisa saja, sih,” angguk Navita. “Tapi soal lolos enggaknya, tergantung tes dan boss, ya?”

“Iya, sudah tahu,” senyum Kinkin.

Saat ini memang sedang dibuka lowongan untuk posisi operator di bagian produksi. Akan segera dibuka pabrik baru di daerah Cibitung – Bekasi tahun depan. Dan divisi HRD sedang sibuk menyeleksi ratusan berkas lamaran yang masuk, baik dari sistem online maupun langsung.

“Boss-mu bener-bener nggak bisa disuap, Vit,” gumam Ocha.

Navita hanya tersenyum menanggapinya.

“Besok aku kasih ke kamu berkasnya, ya, Vit,” ucap Kinkin lagi.

“Sip!” Navita mengacungkan jempolnya.

Dengan ekor matanya, Navita menangkap pemandangan bahwa aktivitas di meja tempat Prima dan rekan-rekannya menikmati makan siang mulai bubar, walaupun jam makan siang belum berakhir. Teman-teman di sekitarnya pun sudah banyak yang selesai makan. Navita menyuapkan sesendok makanan terakhir ke dalam mulut, diikuti dengan menghabiskan es teh manis yang masih tersisa setengah gelas. Beberapa saat kemudian, kelompok mereka pun membubarkan diri dan kembali ke tempat kerja masing-masing.

* * *

Luken dan Sandra menikmati makan siang sambil duduk berhadapan di depan meja Sandra. Mereka mengobrol tentang banyak hal, hingga ujungnya mengerucut ke satu nama. Olivia.

“Livi sering menceritakan tentang dirinya pada Ibu?” tanya Luken tiba-tiba, terkesan sambil lalu.

Sandra berpikir sejenak sebelum menjawab, “Nggak juga, sih, Pak.”

“Hm...”

“Dia agak tertutup soal itu,” lanjut Sandra. “Saya sendiri juga segan mau tanya-tanya.”

“Tadi, waktu Bu Sandra ke minimarket, dia sempat bicara sedikit soal mamanya,” ucap Luken dengan wajah serius. “Pertamanya, saya juga, sih, yang ngomong soal adiknya. Rabu kemarin, kan, saya antar dia pulang sampai ke rumah.”

“Oh, ya?” Sandra mengangkat alisnya.

Luken mengangguk. “Terus saya diajak makan. Adiknya sendiri, lho, Bu, yang menyiapkan. Cekatan banget. Anaknya juga ramah. Lucu. Berisik.”

“Carmela?” Sandra memastikan.

Luken kembali mengangguk. “Dan tadi saya sedikit menyinggung soal itu. Saya bilang, ortunya hebat, bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Dia cuma senyum, kayak gimana begitu. Ya, terus bicara sedikit soal mamanya.”

Sandra mendengus sedikit. Bibirnya mencebik sepersekian detik.

“Arlena itu nggak genah, Pak,” gumam Sandra. “Artikelnya kurang sesuai kenyataan. Kalau Pak Prima, setahu saya memang benar-benar dekat dan perhatian sama anak-anaknya.”

“Ck!” Luken mendecak dengan wajah prihatin. “Kayak Pak Prima itu juga kelihatannya bukan orang yang suka macam-macam.”

“Pendiam itu Pak Prima, Pak,” timpal Sandra. “Nurun ke anak sulungnya.”

“Iya, ya...,” Luken manggut-manggut. “Eh, saya kalau punya anak, mungkin sudah seadiknya Carmela itu umurnya, ya, Bu?”

“Hehehe... Belum telat, kok, Pak,” senyum Sandra.

Luken juga tersenyum. Tipis.

“Menikahlah lagi, Pak,” ucap Sandra dengan sangat halus. “Nggak ada kata terlambat.”

Luken mengedikkan bahunya sedikit. “Entahlah, Bu.”

“Maafkan ucapan saya, Pak,” wajah Sandra terlihat menyesal.

“Nggak apa-apa, Bu,” Luken mengulas senyum. “Saya tahu, kok, Ibu bilang begitu karena perhatian sama saya. Ibu sudah kayak kakak saya sendiri.”

“Mohon dimaklumi, ya, Pak,” Sandra meringis. “Mulut ibu-ibu yang satu ini suka nyinyir.”

Luken tergelak seketika. Tepat saat itu Olivia muncul dengan wajah cerahnya. Ia menyapa Luken dan Sandra dengan ceria.

“Waduh... Yang habis kencan tengah hari...,” goda Luken.

Olivia hanya nyengir. Sandra dengan cekatan meringkas dus bekas jatah makan siangnya dan Luken.

“Ish! Lagi enak-enak kencan, datang teman Bapak itu menghampiri,” Olivia mengerucutkan bibirnya sambil duduk di depan mejanya.

“Hah? Temanku yang mana?” Luken mengangkat alis.

“Itu, yang dandannya heboh itu. Yang kita ketemu sama dia pas makan siang di Kemang itu...”

Luken terlihat berpikir sejenak sebelum terbahak. “Hahaha... Hahaha... Anggara, maksudmu? Hahaha...”

Tawa Sandra pun ikut meledak karenanya.

“Tuh, kan... Malah diketawain,” gerutu Olivia.

Sorry... Hahaha... Sorry... Hahaha... Aduh, astaga! Hahaha...,” kelihatannya Luken kesulitan untuk menghentikan tawanya.

Mau tak mau seulas senyum geli terkembang di bibir Olivia.

“Terus, gimana ceritanya, Mbak Liv?” ada tatapan menggoda dalam mata Sandra.

Olivia menggelengkan kepala dengan wajah antara geli dan dongkol.


“Ketemu lagi kita, ya?”

Seolah tanpa ada batasan etika, Anggara menepuk lembut lengan Olivia. Membuat gadis itu bergerak menjauhkan sedikit badannya. Sementara Miko masih terbengong dengan wajah takjub. Baru tersadar ketika Anggara mengulurkan jabat tangan padanya.

“Ini pasti Miko, ya?” ujar Anggara, tetap sok akrab.

Miko menyambut uluran tangan itu dengan ragu-ragu.

“Anggara,” ucap Anggara. “Penggemarnya Bu Arlena.” Wajahnya terlihat puas. “Jadi tahu juga siapa itu Miko.”

Miko hanya tersenyum sedikit. Sementara Olivia memasang wajah dingin.

Untungnya Anggara tak lama mengganggu mereka. Laki-laki itu juga punya kepentingan sendiri di resto itu. Dan Olivia segera menghela napas lega begitu Anggara berlalu.

“Penggemar mamamu, eh?” Miko meringis.

Olivia mendengus jengkel. “Huh! Merusak suasana saja.”

Miko terkekeh ringan. Ditepuknya dengan lembut punggung tangan Olivia.

“Pernah ketemu, memang?” senyum Miko.

“Iya, beberapa hari lalu pas aku keluar sama Pak Luken, ketemu klien. Mampir makan di Kemang. Eh, ketemu dia. Heran, Pak Luken bisa punya kenalan ndesit begitu.”

Miko tergelak.

“Ya, sudah, sih, Liv,” ucapnya kemudian. “Habis lihat yang kayak gitu, terus kamu lihat aku, gantengku lebih moncer, kan, jadinya?”

Olivia jadi tertawa melihat ekspresi Miko yang sungguh genit. Menaik-turunkan alisnya beberapa kali dengan jenaka.


Tawa Luken dan Sandra seketika berderai mendengar cerita Olivia. Gadis itu hanya bisa menggeleng sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Setelah puas tertawa, Luken kemudian menepuk halus meja Sandra.

“Sudah, ah, ngakaknya,” Luken masih tersenyum lebar. Ditatapnya Olivia. “Ayo, Liv, siap-siap.”

“Sudah, Pak,” Olivia menjawab dengan sigap. “Saya sudah siapkan berkasnya sejak sebelum makan siang  tadi.”

“Oke,” Luken berdiri dari duduknya. “Aku ambil kunci mobil dulu.”

Mereka ada jadwal bertemu dengan seorang calon klien dari Norwegia pada pukul dua. Lokasi pertemuannya di sebuah hotel dekat kantor mereka. Tapi Luken selalu mengantisipasi kemacetan dengan berangkat sedini mungkin. Tak lama kemudian laki-laki itu sudah muncul kembali.

“Ayo, Liv!” ucapnya sambil terus melangkah. “Bu Sandra, titip kantor, ya?”

“Siap, Pak!” Sandra mengacungkan jempol.

Olivia kemudian mengimbangi langkah bersemangat Luken. Siap mendampingi Luken bertemu dengan calon klien potensial mereka.

* * *

Ketika ponselnya berdenting pelan, Prima meliriknya sejenak sebelum meraih benda itu. Ada pesan yang masuk.

‘Pa, aku nggak usah dijemput sore nanti, ya. Aku lagi keluar sama boss. Nggak tahu meeting sama klien nanti selesai jam berapa. Nanti aku pulang naik taksi saja.’

Dengan cepat ia kemudian mengetikkan balasan. ‘Oke, Liv. Jaga diri, ya, Nak.’

“Pak, maaf...”

Prima mengangkat wajahnya. “Ya, Mas Mul?”

“Pak Nardi ingin ketemu sama Bapak.”

“Ya, sudah, masuk saja.”

“Baik, Pak.”

Mulyono berbalik, dan kembali beberapa saat kemudian bersama seorang laki-laki berusia 50-an bertubuh sedikit subur dengan tinggi sekitar 160-an cm. Laki-laki itu mengangguk sopan pada Prima.

“Silakan duduk, Pak Nardi,” ucap Prima sopan. Ditatapnya Nardi dengan penuh atensi.

Laki-laki itu adalah sopir Hendrik, wakil boss besar. Dengan wajah ragu-ragu ia kemudian duduk di seberang Prima.

“Maaf, Pak Prima, saya mengganggu Bapak,” ucap Nardi lirih.

“Iya, Pak Nardi, nggak apa-apa,” Prima tersenyum sambil mengangguk sedikit. “Bagaimana, Pak? Ada apa?”

“Ini, Pak, apa benar kontrak Topo nggak diperpanjang?”

“Oh... Iya, benar, Pak Nardi,” Prima mengangguk. Ia langsung paham siapa Topo yang dimaksud Nardi.

“Apa nggak ada kebijakan lain, Pak?” tatapan Nardi tampak memelas. “Anak saya lagi hamil. Kalau Topo nggak kerja lagi, gimana nasib anak-cucu saya, Pak?”

Prima menghela napas panjang. Ditatapnya Nardi dengan prihatin.

“Pak Nardi sudah bilang ke Pak Hendrik soal ini?”

“Sudah, Pak,” Nardi mengangguk.

“Pak Hendrik bilang apa?”

“Perusahaan punya aturan,” jawab Nardi dengan wajah sedih. “Tapi Pak Hendrik menyarankan agar saya menemui Bapak dulu. Siapa tahu ada kebijakan lain.”

“Maaf, ya, Pak Nardi. Mohon maaf sekali,” Prima mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. “Topo sudah dua kali kena SP karena pelanggaran disiplin. Seharusnya begitu SP kedua turun, Topo sudah harus meninggalkan tempat ini karena statusnya masih karyawan dalam masa percobaan tahun pertama. Tapi perusahaan memutuskan untuk memberi kesempatan sampai kontrak selesai. Sayangnya, beberapa hari lalu ada SP ketiga. Berdekatan pula dengan masa kontrak selesai. Jadi mohon maaf, kontrak Topo tidak bisa diperpanjang. Kalau aturan ini dilonggarkan hanya karena Topo adalah menantu Bapak, sopir pribadi Pak Hendrik, maka akan jadi contoh yang buruk untuk karyawan lain. Harus profesional, Pak Nardi, apa pun jenjangnya.”

Nardi tercenung sejenak. Seutuhnya ia memahami aturan itu, sekaligus tahu sepenuhnya perilaku Topo dan juga ketegasan Prima. Hanya saja, kebutuhan sudah membuatnya harus menebalkan muka untuk menemui Prima. Pada akhirnya ia hanya bisa berpamitan sambil mengucapkan terima kasih.

Prima menatap punggung Nardi yang kian menjauh dengan wajah prihatin. Ia juga seorang ayah seperti Nardi. Kalau menghadapi situasi seperti Nardi, kemungkinan besar ia akan melakukan hal yang sama.

Tapi amit-amit... Jangan sampai aku punya menantu seperti Topo...

“Pak, maaf...”

Prima sedikit tersentak. Dialihkannya tatapan pada Navita yang memanggilnya dengan suara halus.

“Ya, Vit?”

“Ada telepon dari Pak Krisno. Bapak diminta untuk ke ruangannya sekarang.”

Prima mengangguk sambil menggumamkan ucapan terima kasih. Kemudian beranjak dari tempat duduknya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

16 komentar: