Senin, 13 Februari 2017

[Cerbung] Affogato #11-1








Sebelumnya  



* * *


Sebelas


“Mbak, saya sudah di depan rumah.”

“Ya, tunggu sebentar.”

Carmela segera memasukkan ponsel ke dalam tasnya begitu selesai menjawab panggilan itu. Biasanya, pada jam yang sama, ia sudah selesai membantu Olivia menyiapkan sarapan, dan duduk dengan manis di depan meja makan. Tapi tidak kali ini. Ojek online yang dipesannya lima menit lalu kini sudah menunggunya di depan rumah. Ia keluar dari kamar bersamaan dengan Prima yang juga keluar dari kamar di seberangnya.

“Pagi, Mel,” senyum Prima, bersiap memberikan kecupan di kening gadis bungsunya seperti biasa.

Tapi sapaan dan senyum hangat itu tak terbalas. Bahkan menoleh pun Carmela tidak. Gadis remaja itu segera ‘terbang’ ke bawah dan langsung keluar dari rumah dengan langkah cepat. Maxi yang sudah duduk di meja makan terlambat mengejarnya. Langkahnya baru sampai di depan pintu garasi ketika Carmela sudah duduk di boncengan sebuah motor, dan melesat pergi.

Maxi meninju tembok garasi dengan gemas. Ia kembali masuk, tapi tidak kembali ke ruang makan. Pemuda itu naik ke kamarnya, dan segera memakai sepatu serta menyambar ranselnya. Sejenak kemudian ia turun dan langsung ke garasi. Olivia yang melihat sekelebat bayangan Maxi segera memburu adiknya itu.

“Max! Nggak sarapan dulu?!” serunya.

Maxi menoleh sejenak sambil memakai helmnya. “Aku susul Mela, Mbak. Langsung ke kampus.”

Olivia terpaksa mengangguk. “Hati-hati di jalan, Max.”

Maxi mengacungkan jempolnya.

Dan pemuda itu menghela napas lega ketika menemukan Carmela tengah duduk di salah satu kursi bakso di dekat gerobak penjual nasi pecel pincuk. Tampak termenung sambil menunggu dilayani. Pelan ia mendekati adiknya itu.

“Mel...,” sapanya halus.

Carmela mengangkat wajahnya. Terlihat sedikit kaget dengan kehadiran Maxi yang sama sekali tak disangkanya. Sang abang kemudian duduk di sebelahnya. Memesan juga seporsi nasi pecel.

“Nggak sarapan di rumah?” gumam Carmela.

“Solider sama adik tersayang,” Maxi tersenyum lebar. Merasa lega karena Carmela masih mau bersuara.

Carmela tersenyum sumbang. Sejenak kemudian Maxi menggamitnya, ketika meja terdekat sudah kosong. Keduanya pun pindah duduk di depan meja itu, berhadapan. Pada saat yang bersamaan, ponsel Maxi berbunyi. Ia tersenyum ketika melihat nama yang terpampang di layar.

“Ya, Mbak?”

“Mela sudah ketemu?”

“Sudah. Nih, lagi sarapan di gerobakan dekat sekolah.”

Terdengar helaan napas lega dari seberang sana.

“Ya, sudah, kamu jangan sampai telat sampai kampus. Tolong, kasih tahu Mela, nanti agak siangan cek pesan dari aku.”

“Oke,” Maxi mengakhiri pembicaraan itu. Ditatapnya Carmela. “Mbak Liv nitip pesen, nanti agak siangan kamu disuruh cek pesan dari dia.”

Carmela mengangguk. Walaupun kemudian keduanya menikmati nasi pecel masing-masing dalam diam, tapi dalam hati Carmela bersyukur ada Maxi yang menemaninya sarapan di luar rumah pagi ini.

“Sekarang mau ngobrol banyak juga sudah mepet waktunya,” Maxi menatap sejenak arlojinya. “Nanti sore keluar, yuk, Mel.”

“Ke mana?”

“Ke mana saja,” Maxi mengedikkan bahu. “Males di rumah. Kita ngobrol di luar saja.”

Carmela mengangguk.

* * *

Prima menyandarkan kepalanya ke headrest mobil. Tatapannya menerawang jauh pada satu titik di luar jendela mobil. Sambil menyetir, Arlena berkali-kali menoleh sekilas. Tapi melihat keheningan Prima, ia memutuskan untuk tak hendak mengganggu.

Ia tahu apa yang ada dalam pikiran Prima. Anak-anak. Ia juga tahu bahwa anak-anak menempati bagian terbesar dalam hati suaminya itu. Setiap susah dan senang yang dirasakan anak-anak, Prima selalu ada di dalamnya. Memberikan sentuhan berupa pelukan dan juga tawa. Sesuatu yang ia sudah lupa kapan terakhir memberikannya pada anak-anak.

Aku memang benar-benar seorang ibu yang tidak berguna ....

Arlena mendesah dalam hati.

“Besok aku bawa mobil sendiri, Ma.”

Suara lembut Prima memecahkan keheningan dalam kabin mobil itu. Arlena menoleh sekilas. Tatapan Prima kini sudah kembali mengarah ke depan.

“Papa yakin?”

Prima mengangguk.

“Aku harus bicara pada Mela dan Livi.”

“Nanti sore saja bicaranya,” tukas Arlena lembut. “Aku menyingkir saja sejenak. Biar aku pulang agak malam. Kebetulan ada janji untuk lihat berlian yang mau dijual.”

“Begitu, ya?” gumam Prima.

“Ya,” angguk Arlena. “Begitu saja.”

“Baiklah.”

Arlena membelokkan mobil memasuki halaman Chemisto. Beberapa mobil jemputan terlihat sudah berjajar rapi di parkiran seberang bangunan kantor. Arlena menghentikan mobil di depan teras lobi. Sebelum membuka pintu, Prima mengecup kening Arlena dengan hangat. Arlena balas mendaratkan kecupan ringan di pipi kanan Prima.

“Hati-hati di jalan,” pesan Prima sebelum keluar.

Arlena mengangguk sambil tersenyum.

* * *

Kesibukan membuat Olivia hampir lupa dengan pesannya sendiri pada Carmela. Menjelang pukul sebelas, saat pekerjaannya sedang senggang, Olivia meraih ponsel dan mengetik dengan cepat.

‘Mel, kalau kamu mau, nanti pulang sekolah kamu ngojek atau naik taksi ke kantorku. Kita pulang bareng nanti sore. Aku sudah dapat izin dari Pak Luken, kamu boleh ke sini.’

Ia segera mendapatkan jawabannya. Singkat saja. ‘Oke.’

“Mbak Liv...”

Ia menoleh. “Ya, Bu?”

Tatapan Sandra terlihat ragu-ragu. “Masih ada kerjaan lagi?”

“Enggak,” Olivia menggeleng. “Sudah selesai semua. Ada apa, Bu?”

“Mm... Coba kamu baca ini,” Sandra menggeser sedikit laptopnya. Memberi isyarat agar Olivia menghampiri mejanya.

Gadis itu paham, dan segera berpindah duduk ke kursi di depan meja Sandra. Sandra memutar arah laptopnya. Dengan kening berkerut, Olivia segera membaca deretan kalimat yang terpampang di layar laptop Sandra.


Mama Ideal Buat Ababil*)

Syusyeh banget emang jadi cewe ababil kek gw. Udah dicap baperan dari sononya. Palagi gw anak bungsu. Udah de....... Tambah lagi cap di jidat gw: anak manja. Padahal sumpe yeeeeee gw kagak manja cuma kolokan dikit. Blon lagi posisi gw sebagai anak seleb medsos dengan bejibun fans yang udah kek rombongan sirkus. Kagak ada yang percaya kalo gw ni aslinya korban perasaan lair batin udah dari kapan hari.

Yah gw selama ini emang udah super tolol gegara ngebiarin gw jadi obyek buat dipamerin ke se-Indonesia Raya. Jadi salah satu bahan artikel yang judulnya nginspiratif, motivatif, en tif-tif yang laen. Parahnya yang ngejembrengin segala macem entu Mama gw ndiri. Coba lu bayangin ada di posisi gw. Kalo lu masi berasa bangga juga, entu artinya lu udah kagak nurmal cuy!

Seorang ababil kek gw butuh Mama yang ada ketika gw butuh tempat buat lari dari apa pun yang bikin gw gak nyaman. Yang bisa ngerti apa yang gw rasain. Yang tau apa yang ada di hati gw bahkan sebelum gw curhat. Yang bisa ngajarin gw soal kata maaf. Yang bisa ngajarin gw soal hal yang baek-baek.

Seorang ababil kek gw KAGAK BUTUH Mama yang bisanya cuma wara-wiri jadi seleb dunia maya. Yang pergaulannya gak jelas sama jin atau kambing. Yang lupa-lupa muluk kalo masih punya keluarga yang kudu diurusin. Yang lebih hobi ngabisin waktu di luaran daripada ngerem di rumah doang bercengkrama sama keluarga. Yang lebih suka umbar kesempurnaan lewat artikel model t*i kucing (sumpe yeeee muna abisssss). Yang sekarang lagi sok jinak cuma buat menangin hati seisi rumah. Telat boooook!

Gw berasa Kakak ama Abang gw yang lebih bisa jadi Mama buat gw. Gak berasa dosa yah udah alihin tanggung jawab kek gitu? Gw jadi cewe baik-baik cuma gegara gue masih mandang hormat ke Papa, Kakak, dan Abang gw yang selama ini udah kerja keras jaga gw dan ngajarin gw hal-hal baek.

Tapi sekarang gw berasa udah lengkap jadi obyek penderita. Karena kliatannya gw juga udah mulai keilangan Papa gw. Lah Papa gw kemenong emangnyah?????? Digondol Mak Lampir cap kadal! Jelas??????

Kalo lu pengen tau siapa gw, ni gw kasi tau. Nama gw Carmela Nerissa. Mungkin lu gak paham siapa gw. Sini gw tambahin nama belakang gw! ARBIANTO. Udah jelas siapa gw kan?

Dah met tidor! Zzzzzzzz.........


Olivia pening seketika. Artikel yang diunggah semalam itu sudah dibaca hampir 3000 orang. Menjadikannya menempati kolom ‘Terlaris’ hari ini. Dengan puluhan penilaian, juga komentar dalam berbagai macam nada. Sebagian besar mendukung, tapi bejibun juga yang meng-counter. Kebanyakan yang melakukan hal terakhir adalah kroni Arlena.

Astaga, Mela...

Gadis itu menutup mulut dengan tangan kirinya. Ia tidak tahu, bahwa sedari tadi Luken berdiri di belakangnya. Ikut membaca artikel emosional itu dari awal hingga akhir. Pelan tangan laki-laki itu terulur, meremas lembut bahu Olivia. Membuat gadis itu tersentak kaget dan mengerjapkan mata beberapa kali. Luken kemudian duduk di kursi sebelah Olivia.

Sandra menghela napas panjang. Merasa bersalah karena telah menunjukkan artikel ‘panas’ itu pada Olivia. Tapi Luken menggeleng samar sambil menatap Sandra. Laki-laki itu memahami maksud Sandra, agar Olivia tahu dengan membaca langsung artikel itu, bukan mendengarnya dari orang lain. Sejenak kemudian laki-laki itu berdiri lagi.

“Liv, kamu ke kantorku sekarang,” ucapnya sambil melangkah.

Olivia tak punya pilihan lain kecuali menuruti perintah Luken.

* * *

Hanna menatap gadis remaja itu dengan aneka rasa bercampur aduk dalam hatinya. Selama hampir 15 tahun menjadi guru BP di sekolah itu, baru kali ini ia merasa kecolongan. Pengalaman membuat ‘radar’-nya selalu berbunyi bila sekilas melihat ada murid yang bermasalah. Dan pengalaman pula yang memberinya ‘ilmu’ bahwa nyaris 100% kasus murid bermasalah yang pernah ditanganinya membawa hal yang salah dari rumah.

Tapi gadis ini?

Gadis remaja itu seolah sudah menjungkirbalikkan pengalaman yang dimiliki Hanna. Perempuan berusia akhir 30-an itu mengerjapkan mata. Carmela duduk di depannya, di seberang meja. Diam. Dengan wajah datar. Cenderung dingin.

Dia sama sekali tak pernah bermasalah.

Carmela adalah gadis remaja yang cukup berprestasi. Ia termasuk lima besar umum selama hampir satu setengah tahun duduk di bangku SMA ini. Aktif dalam ekskul paduan suara. Menjadi salah seorang pengurus OSIS. Disiplin. Selalu bersikap sopan dan baik. Berasal dari keluarga menengah ke atas yang sangat harmonis.

Ralat, Hanna meringis dalam hati, sangat harmonis jika dilihat dari luar.

Dan ternyata...

Benarkah ia yang menulis artikel itu?

Tadi pagi, begitu ia datang, Kepala Sekolah langsung menariknya masuk ke ruang kerja. Di dalam ruang tertutup itu, Kartika langsung menyuruhnya membaca sesuatu yang terpampang di layar laptopnya. Dengan kening berkerut, ia menuruti perintah Kartika. Ketika ia selesai, yang bisa dilakukannya hanyalah membekap mulutnya yang ternganga.

Astaga... Carmela?

“Tolong, tolong sekali, Bu Hanna, tangani dia,” ucap Kartika dengan raut wajah sedih. “Dia salah satu murid terbaik kita. Jangan sampai permata berharga ini hancur.”

Dan di sinilah ia sekarang. Berhadapan dengan ‘permata berharga’ itu. Setelah menunggu selama hampir setengah jam karena Carmela masih sibuk dengan urusan OSIS.

“Mel, boleh Ibu tanya?” Hanna mulai bertutur dengan sangat lembut dan hati-hati.

“Silakan.”

Dari raut wajah Carmela, Hanna tahu bahwa gadis remaja ini sudah tahu untuk apa dipanggil ke ruangan itu.

“Artikel itu... benar kamu yang menulisnya?”

“Artikel yang mana?” Carmela menatap Hanna dengan berani.

“Di BlogSip.”

Carmela hanya menjawabnya dengan mengedikkan bahu sedikit. Hanna mencondongkan sedikit tubuh atasnya, dengan bertumpu pada kedua lengan yang menangkup di atas meja.

“Saya tidak pernah memulai apa-apa, Bu,” tiba-tiba saja Carmela berucap lugas. Tetap menatap Hanna. Tatapan yang membuat Hanna begitu tersentuh karena sinar redupnya terlihat berlumur luka. “Saya hanya membantu menuai apa yang sudah ditaburkan Mama. Sebelum semuanya telanjur busuk.”

Lalu Carmela terdiam. Membuat Hanna seolah mendapat kesempatan untuk bicara.

“Mel, Ibu di sini tidak dalam kapasitas untuk menghakimimu,” ucap Hanna dengan sangat sabar. “Ibu hanya ingin mengajakmu bicara. Dari hati ke hati. Tentang apa saja yang kamu rasakan. Tapi sedikit banyak Ibu sudah memahaminya. Kemarahanmu yang menggelegar begitu saja. Kamu sudah merasa lega sekarang?”

Carmela kembali mengedikkan bahu. “Saya sudah tak mau merasakan apa-apa lagi. Saya tak peduli, Bu.”

Apatis! Ini jauh lebih berbahaya!

Sayangnya, alarm tanda berakhirnya jam sekolah sudah berbunyi. Ia tidak bisa menahan Carmela lebih lama lagi.

“Mel, mungkin Ibu memang tidak sepenuhnya memahami apa yang kamu rasakan. Tapi Ibu ingin berpesan satu hal, tolong, jangan hancurkan dirimu sendiri. Kamu terlalu berharga untuk hancur atas apa yang tak pernah kamu inginkan dan kamu mulai. Kamu mengerti maksud Ibu, kan?”

Carmela mencoba tersenyum. Ia mengangguk sedikit. “Ibu tidak usah khawatir. Saya akan baik-baik saja.”

“Ibu percaya,” Hanna mengangguk. “Satu hal lagi, kamu masih punya satu orang ibu di sini. Yang bersedia mendengarkanmu. Tolong, temui Ibu tiap kali kamu butuh telinga untuk mendengar.”

“Terima kasih, Bu.”

Dan ketika gadis remaja itu berbalik pergi, Hanna mendesah dalam hati. Dirinya saja – yang selama ini diam-diam mengidolakan Arlena dari kejauhan – merasa kecewa ketika mengetahui bahwa Arlena tidaklah secemerlang kulit luarnya.

Apalagi anak-anaknya. Yang bisa melihat tapi tidak bisa menjangkaunya. Duh... Seperti apa rasanya?

* * *


*) Naskah artikel di atas aslinya ditulis oleh Lizz, disadurkan menjadi gaya ‘ababil’ oleh Patrezia Christianto. Makasiiih, Emput honey...



Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

10 komentar:

  1. Wow, genderang perang berbunyi -_-

    BalasHapus
  2. Waks, pantes kek apal gayanya. Mputttttt, miss u dear

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Si Emput lagi program menggemukkan diri 😁😁😁

      Hapus
  3. good post mbak.luar biasa tulisan ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasih banyak, Pak Subur 😊😊😊

      Hapus
  4. Hala ......
    Dadie malah bayangno Emput dadi Mela wakwakwakwak
    Salah fokus aq.
    Kangen soro aq kambek arek iku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Areke nggak wani WA awakmu. Wedi kangen mbek Om, eeeh... mbek arek-arek 😁😁😁

      Hapus