Kamis, 16 Februari 2017

[Cerbung] Affogato #12-1








Sebelumnya  



* * *


Dua Belas


Artikel ini...

Setelah beberapa hari berlalu, barulah Arlena berani membuka artikel Carmela. Berbagai rasa bercampur aduk jadi satu gumpalan besar dalam hati setelah selesai membacanya. Tertohok, tertusuk, malu, sedih, marah, kecewa, menyesal, hancur, dan entah apa lagi. Hingga ia sulit untuk merasakan apa-apa lagi.

Diingatnya pembicaraan dengan Prima semalam.


“Mama boleh marah,” ucap Prima halus. “Tapi jangan pada Carmela. Marahlah padaku. Selama ini aku nggak bisa kasih apa yang Mama mau. Itu bukan salah anak-anak.”

Ia termenung. Marah pada Prima? Samar, ia menggeleng. Ia tidak bisa. Ia tidak mampu. Ketidakmampuan yang membuatnya melampiaskan kemarahan pada hal-hal lain. Yang kini sudah mulai menghancurkannya sendiri.

“Bicaralah pada anak-anak,” bisik Prima lagi. “Minta maaflah pada mereka. Lakukan lebih dulu pada Mela. Livi dan Maxi bisa menunggu. Mereka jauh lebih dewasa daripada Mela. Kalau Mama nggak sanggup melakukannya sendiri, ada aku. Aku ada untuk mendampingimu, Ma.”


Apa yang kurang sebenarnya?

Arlena menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi. Mengalihkan tatapan pada pohon belimbing di luar jendela ruang baca. Sejenak kemudian ia beranjak, mendekati salah satu rak, dan mengambil sebuah album foto besar berwarna keemasan. Semua di dalamnya adalah tentang Carmela, putri bungsunya.

Ia tercenung menatap satu demi satu semua foto Carmela yang terkumpul di sana. Foto-foto terbaik sejak Carmela bayi hingga seumuran sekarang. Semuanya berada pada level sangat lucu dan imut, hingga ke cantik sekali. Terakhir adalah wefie berempat bersama Prima, Olivia, dan Maxi di sebuah kafe. Kelihatannya belum lama.

Ke mana aku?

Ia mendegut ludah.

Sibuk dengan duniaku sendiri.

Ia mengerjapkan mata yang terasa hangat

Dan siapa yang tetap menggenggam tanganku ketika aku dimusuhi anak-anakku sendiri?

Ditatapnya seraut wajah teduh dalam foto terakhir itu. Dengan senyumnya yang selalu terlihat menenangkan hati.

Papa...

Dihelanya napas panjang.

Ia tak lagi merasa bisa membebani Prima untuk menyelesaikan masalahnya dengan anak-anak. Sejujurnya ia mengkhawatirkan kondisi Prima. Betapa beberapa hari belakangan ini matanya begitu terbuka sehingga bisa melihat kerusakan yang sudah ia timbulkan, yang berimbas pada menurunnya kesehatan Prima.

Diraihnya sebuah surat edaran yang tergeletak di atas meja. Undangan untuk mengambil raport semester ganjil Carmela besok, hari Sabtu. Dibacanya kembali surat undangan itu.

“Aku sudah bicara pada Mela, supaya Mama saja yang ambil. Cuma dia belum jawab. Coba besok Mama nego lagi dengannya.”

Ucapan Prima semalam terngiang lagi di telinganya.

“Kalau mentok dia nggak mau, ya, terpaksa nanti Sabtu aku yang ambil raportnya sebelum kontrol. Sementara kita harus mengalah dulu.”

Dilipatnya kembali lembaran kertas itu. Ia melirik ke sudut kanan bawah layar laptopnya. Hampir pukul sebelas siang. Rasanya belum terlambat untuk mencoba menjemput si bungsu itu di sekolah.

* * *

Carmela tercenung membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Semuanya terasa begitu tiba-tiba. Ia merasa tidak siap. Sama sekali tidak siap. Dan tahu-tahu ia sudah melangkah menuju ke kantor Hanna. Masih ada sekitar dua puluh menit lagi sebelum bel pulang. Perempuan itu dilihatnya tengah mengobrol dengan beberapa murid kelas 10. Seketika Carmela dilanda bimbang. Ia tak ingin mengganggu. Tapi...

“Mel?”

Panggilan itu membuatnya batal membalikkan badan. Ditatapnya Hanna. Masih dengan tatapan berlumur keraguan. Hanna rupanya paham. Ia menyudahi acara mengobrolnya dan mengalihkan perhatian pada Carmela. Dilambaikannya tangan kanan. Carmela pun memutuskan untuk mendekat.

“Ada apa, Mel?” senyum Hanna.

Dijangkaunya bahu Carmela, dan digiringnya dengan lembut gadis itu ke ruangannya. Tidak ke arah meja, melainkan ke arah sofa, supaya lebih santai. Entah kenapa, ia merasa bahwa hadirnya Carmela kali ini berhubungan dengan apa yang mereka bicarakan beberapa hari yang lalu.

Begitu duduk, Carmela menyodorkan ponselnya. Hanna menerimanya dengan kening sedikit berkerut.

“Menurut Ibu, saya harus bagaimana?” gumam Carmela.

Hanna mengangguk sedikit. Dibacanya apa yang tertera di layar ponsel Carmela.

‘Mel, Mama sudah di luar, tunggu kamu pulang. Nggak usah pesan ojek atau taksi, ya?’

Hanna berpikir sejenak sebelum mengangkat wajah dan mengembalikan ponsel itu pada Carmela. Ditatapnya Carmela dengan lembut.

“Sekarang, kamu maunya bagaimana?” tanya Hanna dengan nada sangat sabar.

Carmela tercenung. Ia teringat pembicaraannya dengan Prima kemarin seusai makan malam, di dalam ruang baca yang hening dan menenangkan.


“Pa, ada undangan untuk ambil raport,” Carmela menyerahkan kertas yang terlipat rapi dan masih ter-stapler, sambil duduk di sebelah Prima di sofa.

“Kira-kira raportmu bagus, nggak?” senyum Prima sambil menerima undangan itu.

“Nggak tahu,” Carmela mengangkat bahu. “Yang jelas aku sudah berusaha sebaik-baiknya.”

Prima membuka dan membaca sejenak undangan itu. Hari Sabtu, mulai pukul delapan sampai dua belas, di kelas masing-masing. Ia kemudian menarik napas panjang.

“Sabtu besok Papa harus kontrol ke dokter,” ujarnya kemudian, selembut mungkin. “Yang ambil raport Mama saja, ya? Biar Papa ke dokter sama Mbak Liv.”

Carmela tertunduk. Kehilangan kata. Benar-benar bukan seperti ini yang ia inginkan. Melihat Carmela terdiam sedemikian rupa, pelan-pelan Prima melingkarkan sebelah lengannya di sekeliling bahu gadis remaja itu.

“Mel, Papa tahu semua hal memang butuh proses,” ucap Prima dengan nada halus. “Termasuk soal memaafkan Mama bagi kalian, dan berada dekat dengan kalian lagi bagi Mama. Kalau proses itu nggak dimulai, gimana bisa berjalan? Mama sudah memulainya, hanya bingung gimana caranya. Tinggal kalian yang sebaiknya membuka hati dan pintu maaf. Tapi Papa juga nggak bisa memaksa. Semua yang kalian rasakan, Papa juga rasakan, kok. Kamu pikirkan lagi, ya?”


Carmela mendesah sambil mengedikkan sedikit bahunya. “Saya nggak tahu, Bu. Makanya saya tanya Ibu.”

Hanna tersenyum samar. Seutuhnya ia bisa menangkap isyarat itu. Bahwa sesungguhnya Carmela hanya butuh dukungan untuk menerima kehadiran mamanya.

“Mm... Kalau menurut Ibu, sih, sebaiknya kamu nanti pulang dengan mamamu, Mel. Menurut Ibu, lho, ya?”

Carmela tersenyum sedikit.

“Ibu percaya, sesungguhnya kemarahanmu sudah surut,” lanjut Hanna. “Hanya perlu rekonsiliasi saja. Dan kelihatannya... mamamu sudah menyediakan diri.”

Carmela terdiam.

“Terimalah, Mel,” tangan Hanna terulur, menepuk lembut bahu Carmela. “Nggak ada satu pun manusia yang sempurna di dunia ini, kan? Begitu pula mamamu. Begitu pula dirimu.”

Carmela menarik napas panjang. Ditatapnya Hanna.

“Selama ini kamu sudah banyak mengalah untuk menang,” senyum Hanna. “Dan mungkin sekaranglah saatnya kemenanganmu itu tiba. Berkat kesabaranmu.”

Carmela mengerjapkan mata. Sedetik kemudian ia mengangguk.

“Baiklah,” gumamnya. “Semoga yang saya lakukan kali ini benar. Terima kasih, Bu.”

Hanna bernapas lega setelah Carmela berpamitan. Ia hanya bisa berharap bahwa semuanya tentang Carmela akan berjalan dengan baik.

Sementara itu Carmela berhenti di sebuah sudut. Mengetikkan sesuatu melalui layar ponselnya. Kemudian berlalu setelah menyentuh kotak Send.

* * *

Seperti biasa, ada banyak laporan yang diminta Luken menjelang akhir tahun. Untungnya sebagian besar sudah berhasil diselesaikan Olivia dan Sandra secara efektif dan efisien, sehingga keduanya tidak perlu melakukan lembur. Bahkan cenderung cukup santai sebelum libur akhir tahun. Hanya tinggal menyelesaikan hal-hal kecil saja.

Sambil melakukan pencetakan dokumen, Olivia meraih ponselnya yang berbunyi  pendek. Ada pesan yang masuk. Ia tercenung sejenak setelah selesai membacanya. Semua itu tak luput dari perhatian Sandra yang baru saja selesai merapikan berbagai salinan dokumen dalam berbagai map terpisah, dan menempatkannya di rak dokumen.

“Ada apa, Mbak Liv?” tanyanya dengan nada penuh perhatian, tetapi tidak terdengar memaksa.

Olivia membaca sekali lagi pesan melalui Whatsapp itu.

‘Mbak Liv, siang ini aku nggak ke kantor Mbak, ya? Mama tadi WA aku, sudah ada di luar, jemput aku. Nggak usah dibales, Mbak. Sudah mau bel ini.’

“Ini, Bu,” jawabnya, “Mela kasih tahu. Siang ini nggak ke sini. Dia dijemput sama Mama.”

“Dia mau?” senyum Sandra.

“Kelihatannya,” angguk Olivia, membalas senyum Sandra.

“Syukurlah...,” gumam Sandra sambil menumpuk map-map di mejanya sesuai kategori.

Pada saat yang bersamaan Luken muncul dari dalam kantornya. Ia duduk di depan Sandra. Ditatapnya Olivia yang sibuk merapikan dokumen yang sudah selesai dicetaknya. Gadis itu kini melangkah ke arah mesin fotokopi di dekat rak dokumen.

“Mela masih pulang jam dua belas hari ini, kan, Liv?” tanyanya.

“Masih, Pak,” Olivia menoleh sekilas “Tapi Mela nggak ke sini hari ini. Tadi bilangnya dijemput Mama.”

“Oh?” Luken terbengong sejenak.

Olivia tersenyum. “Biar damai dululah sama Mama.”

Luken juga tersenyum. Terlihat lega dengan perkembangan tentang Carmela dan Arlena yang baru saja didengarnya.

* * *

Arlena berusaha untuk tidak merasa hilang harapan ketika pesannya tidak dibalas Carmela. Ia dengan sabar duduk menunggu di dalam mobil. Cukup dekat dari gerbang sekolah sehingga ia akan bisa melihat siapa saja yang keluar dari sana.

Dan jantungnya berdebar keras ketika melihat rombongan-rombongan anak yang berbondong keluar dari gerbang. Carmela ada di dalamnya. Terlihat seolah mencari sesuatu sebelum melangkahkan kaki dengan ragu ke arahnya. Gerakan yang hampir saja membuat Arlena bersorak gembira. Ia buru-buru keluar dari mobil.

Diulasnya senyum manis untuk menyambut Carmela. Tapi gadis remaja itu tak membalasnya. Hanya memasang wajah datar dengan mulut terkatup rapat.

Tidak apa-apa, Arlena berusaha menghibur diri. Dia mau pulang bersamaku saja sudah bagus untuk saat ini.

Ia makin lega ketika Carmela menuju ke pintu kiri depan, duduk manis di sana, dan menutupnya kembali dari dalam. Buru-buru Arlena kembali ke belakang setir. Ia menoleh sekilas sebelum meluncurkan mobil itu.

“Terima kasih,” ucapnya lirih.

Carmela diam. Entah memikirkan apa. Tapi beberapa saat kemudian, sebuah kalimat meluncur nyaris tanpa suara dari sela-sela bibirnya, “Soal artikel itu..., aku minta maaf.”

Terasa ada yang meleleh di hati Arlena. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk mengusir kabut basah yang tiba-tiba saja seperti menghalangi pandangannya.

“Dimaafkan,” jawabnya. “Soal semua yang sudah terjadi, Mama juga minta maaf. Yang sebesar-besarnya.”

“Ya,” bisik Carmela. “Dimaafkan.”

Semudah itu?

Carmela melemparkan tatapannya ke luar jendela.

Karena sesungguhnya aku masih merindukan Mama. Sangat merindukannya...

* * *

Prima bersandar sejenak setelah selesai menandatangani beberapa berkas. Navita menatapnya dengan khawatir. Wajah Prima tampak lelah. Padahal masih ada banyak berkas yang harus ditandatangani.

“Pak,” ucapnya halus, “kalau Bapak capek banget, ini tanda tangan berkasnya bisa ditunda sampai Selasa, kok.”

“Nggak apa-apa, Vit,” Prima menegakkan kembali punggungnya. “Cuma tanda tangan ini.”

Sejujurnya Navita ingin sekali menanyakan bagaimana sebetulnya kondisi Prima. Sepenglihatannya, sejak jatuh sakit sepanjang minggu lalu, Prima belum pulih benar hingga saat ini. Tapi laki-laki itu sepertinya tidak terlalu menghiraukan keadaan dirinya sendiri.

Ia dan Prima sama-sama sedikit tersentak ketika ponsel Prima berbunyi lirih. Laki-laki itu kemudian meletakkan bolpen dan meraih ponselnya. Navita sendiri berusaha menyibukkan diri dengan merapikan berkas yang sudah selesai ditandatangani Prima. Sekilas ia melihat Prima tersenyum.

Prima sendiri merasa semangatnya terpompa naik ke titik tertinggi seusai membuka pesan yang masuk melalui aplikasi Whatsapp. Pesan itu dari Carmela. Menyertai sebuah foto yang dikirimkan si bungsu itu. Foto selfie-nya bersama Arlena yang baru saja diambil di sebuah kafe. Senyum Carmela tampak cerah murni. Begitu juga wajah Arlena.

‘Just try to enjoy this moment. Forgiving doesn’t erase the bitter past, but we wanna try to forgive each other. Thank you for everything, Pa. Love you...’

Prima meletakkan kembali ponsel dan melanjutkan pekerjaannya. Sejenak kemudian ia menyeletuk, “Kamu dan pacarmu itu, apa kabar, Vit?”

Navita terbengong sejenak sebelum wajahnya berubah menjadi tersipu. Ia tertunduk sedikit.

“Ah, belum apa-apa, kok, Pak,” gumamnya.

“Kerja di mana, memangnya?” mata Prima tetap tak lepas dari pekerjaannya.

“Itu, di Blue Flag, Pak.”

“Yang di dekat sini? Bukan yang di Pulogadung?”

“Iya, Pak.”

“Kenal di mana?”

“Mm... Dia teman suami sahabat saya.”

“Oh...”

“Pak, saya boleh tanya?” suara Navita penuh keraguan.

“Ya?” sekilas Prima mengangkat wajahnya.

“Bapak sebenarnya sakit apa? Kok, tahu-tahu parah begitu?”

Prima menghentikan gerakannya. Ia benar-benar mengangkat wajah dan menatap Navita. Gadis itu jadi sedikit salah tingkah ditatap Prima sedemikian rupa.

“Pak, maaf kalau saya kepo,” Navita buru-buru meralat. “Bapak nggak jawab juga nggak apa-apa, kok. Bukan hak saya untuk tahu.”

Prima tersenyum sambil kembali menekuni pekerjaannya. Tinggal beberapa lembar lagi.

“Nggak apa-apa,” gumamnya. “Kemarin kena serangan jantung ringan.”

Astaga...

Navita ternganga.

“Aku kira cuma masuk angin dan gangguan lambung biasa karena nyerinya di sekitar ulu hati,” sambung Prima. “Untung dokterku waspada. Walaupun gejalanya mirip, tapi tetap ada yang spesifik.” Prima mengedikkan sedikit bahunya. “Ya, begitulah.”

“Bapak kerja terlalu keras,” ujar Navita.

“Entahlah, Vit,” Prima menggeleng. “Yang jelas ayahku dulu meninggal di usia awal 40an karena serangan jantung. Adikku jauh lebh muda lagi. Baru umur dua tujuh waktu dia nggak ada.”

“Wah...,” Navita seketika kehilangan kata.

Mungkin ditambah juga dengan soal Bu Arlena...

Tentu saja ia mendengar selentingan tentang seorang Arlena Arbianto. Tapi untuk menanyakannya langsung kepada Prima, ia sama sekali tidak berani. Walaupun Prima tampaknya cukup bisa membuka diri, rasanya masih terlalu jauh untuk dijangkau.

Navita sedikit tersentak ketika Prima bergerak membereskan berkas-berkas dan mengulurkan padanya. Ia cepat-cepat menerima dan menyatukannya dengan berkas yang lain. Sejenak kemudian ia mengundurkan diri. Tanpa tahu bahwa Prima menatap punggungnya hingga lenyap di balik kubikel.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



12 komentar:

  1. Wanyik! Racikane cen maut arek iki! Aku male penasaran moco terusane hara. Sampek takpruput sakdurungane visite wkwkwkwkwk
    Blaen rek!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aq kedisikan wakwakwakwak.
      Saingane namba aq saiki mb Lis.

      Hapus
    2. Sek aku tak'ngakak sek : huahahahahahahahahaaa... 😆😆😆
      Lwucu arek-arek iki...

      Hapus
  2. Perkembangan yg baik bagi carmela...

    Good job, prima...

    Penisirin kelanjutane, mbak Lizz

    Piye yo ekspresi Olivia, Maxi n Carmela begitu tau papanya kena serangan jantung.....

    BalasHapus
  3. yang baca juga bisa kena serangan jantung..niih klo ceritanya mendebarkan gini.....good...Mbak Lis....:) :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Makasiiih, Mbak Bekti 😘😘😘

      Hapus
  4. Balasan
    1. Makasih banyak, Pak Subur... 😊😊😊

      Hapus