Senin, 20 Februari 2017

[Cerbung] Affogato #13








Sebelumnya  



* * *


Tiga Belas


“Mata Mbak Liv bengkak,” usik Maxi tiba-tiba, dengan suara rendah. “Kenapa? Nangis?”

Keduanya duduk berdampingan dalam hening di ruang tunggu seusai Maxi diperiksa tekanan darahnya oleh seorang paramedis di meja pendaftaran poli umum. Prima berhasil memaksa Maxi untuk sekalian ikut memeriksakan diri. Walaupun semalam sudah minum obat flu yang mengandung penurun panas, tapi suhu tubuh Maxi saat ini tetap tinggi. Dan Prima juga berhasil meminta Olivia untuk menemani Maxi, tidak menemaninya.

“Papa tidak apa-apa, Liv,” begitu ujar Prima. “Maxi lebih membutuhkanmu.”

Olivia diam. Duduk meluruskan kaki sambil tertunduk. Menatap bersihnya lantai putih rumah sakit itu.

“Mbak, ada apa?” kejar Maxi lagi.

Olivia menghela napas panjang.

“Aku takut kehilangan Papa, Max,” akhirnya gumaman itu meluncur juga dari sela-sela bibirnya.

Maxi menoleh cepat. Gerakan yang membuat rasa pusingnya bertambah. Pemuda itu mengerutkan kening.

“Ngomong apa, sih, Mbak?” gerutunya kemudian. Pelan.

“Kita semua berpikir Papa kena maag, kan, kemarin itu,” Olivia menolehkan kepalanya sedikit. “Bukan, Max,” gelengnya lemah. “Papa kena serangan jantung. Walaupun ringan, itu tetap serangan jantung.”

Maxi ternganga.

“Kita tahu sejarahnya, kan?” lanjut Olivia. “Karena apa dan pada usia berapa mendiang Opa meninggal. Belum lagi Om Radyan. Aku...”

Maxi mengulurkan tangan. Menjangkau tangan Olivia dan menggenggamnya.

“Aku takut kehilangan Papa, Max,” suara Olivia makin menghilang.

Maxi tercenung.

“Saudara Maximilian Magenta...”

Keduanya tersentak. Sudah tiba giliran Maxi untuk masuk ke ruang periksa. Kelanjutan pembicaraan itu terpaksa harus ditunda. Entah kapan akan dilanjutkan.

* * *

Prima tercenung menatap layar ponselnya yang sudah beberapa menit menggelap. Ia duduk sendirian di sebuah sudut ruangan apotek rumah sakit besar itu. Memikirkan Olivia.

Betapa heningnya Olivia sepanjang pagi ini. Dan ia tahu kenapa, begitu dilihatnya bengkak di kedua mata Olivia ketika baru muncul saat acara sarapan mereka hampir berakhir. Ia sempat bertukar tatapan dengan Arlena. Keduanya saling menemukan hal yang sama.

Perasaan bersalah.

Ia mengangkat tatapan dari layar ponsel ketika Maxi muncul dan duduk di sebelahnya.

“Mbak Liv mana?” tangan Prima terulur. Mengusap bagian belakang kepala Maxi.

“Itu, lagi antre masukin resep obat.”

“Kata dokter gimana?”

“Ya, sementara ini diagnosanya flu berat sama radang tenggorokan, Pa. Tapi kalau sampai Senin panasku nggak turun, aku harus cek darah. Takutnya DB.”

Prima menepuk lembut punggung tangan Maxi. “Semoga enggak, ya?”

“Amin...,” Maxi mengangguk.

Prima mengalihkan tatapannya ke arah Olivia yang kini duduk di depan loket kasir apotek. Menunggu penghitungan biaya obat dan pengembalian kartu asuransi kesehatan Maxi. Gadis itu duduk bersandar dengan tatapan jatuh melampaui ujung jari kakinya. Sejenak kemudian ia seperti tersentak dan mengambil ponsel dari dalam tas. Segera saja ia sibuk dengan benda itu.

“Papa gimana?” suara rendah Maxi itu membuat Prima sedikit tersentak. “Kata dokter gimana?”

Prima menoleh sekilas. Tersenyum. “Sudah nggak apa-apa. Belum boleh terlalu capek, tapi nggak apa-apa.”

“Jadi benar, masalahnya di jantung?”

Prima terdiam sejenak. Sepertinya Maxi pun sudah tahu. Tak ada gunanya mengelak. Ia kemudian mengangguk.

“Ya,” jawabnya lirih. “Mbak Liv yang kasih tahu?”

“Iya.”

“Cukup kita berempat yang tahu, Max. Mela jangan.”

Maxi mengerjapkan mata. Sebenarnya ia tidak setuju ada hal yang masih harus disembunyikan dari Mela. Hanya saja ia sedang tak punya alasan untuk menolak. Lebih tepatnya, sedang tidak ingin memikirkannya. Kepalanya sedang tidak bisa diajak bersahabat. Maka ia memilih untuk diam. Untuk sementara waktu.

Seutuhnya ia memahami ketakutan Olivia. Selama ini mereka begitu dekat dengan sang papa. Dan sejujurnya, setelah mendengar ucapan Olivia tentang kondisi Prima tadi, ia pun merasakan ketakutan yang sama. Pada saat seperti inilah rasa marah dan tidak puas yang sudah mengendap sekian lama seolah berubah menjadi bara yang panasnya membakar hati.

Ia tidak bisa tidak menyalahkan Arlena. Walaupun saat ini mamanya itu sudah mulai berubah dan ‘kembali’, entah kenapa masih juga ada perasaan tidak puas bermukim dalam hatinya. Ia tidak bisa mengusir perasaan itu. Lebih tepatnya, ia merasa tidak mampu dan tidak tahu caranya. Pelan ia mendesah.

“Kenapa, Max? Pusing banget?” Prima menatapnya dengan khawatir. “Kamu mau ke mobil duluan dengan Mbak Liv? Biar Papa yang tunggu obatnya.”

Maxi menggeleng. Ia bersandar sambil memejamkan mata. Kepalanya terasa berdenyut lagi.

* * *

‘Sudah merasa lebih baik?’

Olivia membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Ia segera membalasnya.

‘Ya, Pak. Terima kasih banyak.’

Tak butuh waktu lama untuk memperoleh balasannya.

‘Sama-sama, Liv. Oh, ya, tawaranku semalam masih berlaku. Seandainya kamu butuh teman untuk bicara hari ini.’

Olivia mengerjapkan mata. Ia memang butuh teman untuk bicara. Tapi beberapa saat lalu, ia menemukan bahwa ia tak bisa lagi melibatkan Luken. Sudah terlalu jauh, walaupun laki-laki itu memposisikan dirinya sendiri sebagai seorang abang.

‘Sekali lagi terima kasih, Pak. Tapi saya hanya ingin sedikit dan sejenak menikmati keheningan saya. Saya akan baik-baik saja.’

‘Oke, kalau begitu. Oh, ya, kamu lagi di mana?’

‘Lagi antre tebus resep, Pak.’

‘Pak Prima bagaimana? Sudah pulih, kan?’

‘Saya belum tahu. Ini tadi saya antar Maxi ke poli umum. Jadi nggak sama Papa. Papa ke poli penyakit dalam sendirian.’

‘Lho, Maxi kenapa?’

‘Kemarin sore demam tinggi. Ini tadi dipaksa sama Papa untuk sekalian ikut periksa.’

‘Tapi Maxi nggak apa-apa, kan?’

‘Flu berat sama radang tenggorokan, Pak.’

‘Oh... Ya, sudah. Semoga cepat pulih semuanya, ya? Kamu juga jaga diri, Liv. Sampai ketemu hari Senin. Salam untuk mama-papamu dan adik-adikmu, terutama Mela.’

‘Baik, Pak. Nanti salam Bapak akan saya sampaikan. Terima kasih banyak.’

‘Sama-sama, Liv.’

“Saudara Maximilian Magenta...”

Olivia buru-berdiri sambil memasukkan ponsel ke dalam tas sekaligus mengambil dompetnya. Ia melangkah cepat ke arah kasir apotek dan menyelesaikan urusannya. Kemudian, sambil menerima kuitansi, struk nomor pengambilan obat, dan kartu asuransi Maxi, ia mengucapkan terima kasih dan berlalu.

Ia tak punya pilihan lain kecuali pindah duduk ke kursi kosong di sebelah Prima. Tempat yang lebih dekat dengan loket pengambilan obat. Prima mendongak sedikit ketika Olivia mendekat dan duduk di sebelah kanannya.

“Di-cover 100% asuransinya?” tanyanya.

Olivia mengangguk.

“Kamu ada acara sama Miko weekend ini?”

Olivia menggeleng.

“Mas Miko lagi ada training di Puncak,” jawabnya, menoleh sekilas. “Sejak Kamis kemarin. Pulang besok.”

Hening sejenak.

“Liv...”

Suara rendah itu membuat Olivia sedikit tersentak.

“Ya?” gadis kembali menoleh. Seketika tercekat ketika Prima menatapnya begitu dalam.

“Papa nggak apa-apa,” gumam Prima. Tersenyum “Jangan terlalu khawatirkan Papa, oke?”

Olivia tercenung sejenak. Dan ia tak menemukan jawaban lain kecuali mengangguk. Prima tersenyum sambil menepuk lembut punggung tangannya.

* * *

Seutuhnya Arlena menikmati keseluruhan celoteh bernada riang yang menggema di seantero kabin mobil itu. Tak sempat lagi menyesali banyaknya waktu yang hilang di belakang.

“Jadi, hari Senin besok Mama antar kamu, ya?” timpal Arlena pada satu titik. “Sekalian Mama pastikan berasnya diantar tepat waktu ke panti.”

“Boleh, deh!” Carmela menyahut ringan.

“Mama tunggu sampai kamu selesai,” senyum Arlena. “Oh, ya, soal raportmu... Mama bangga sekali!”

Carmela mengulum senyum. “Is there any reward for me?

“Memang kamu maunya gimana?”

“Mm... I just... All I want is... you, Ma. Only you.”

Hampir saja mobil yang dikemudikan Arlena berhenti mendadak di tengah jalan.

* * *

“Gimana kalau kita lburan akhir tahun ke Bali?”

Ucapan Arlena berhasil menghentikan sejenak acara makan siang itu. Hanya ada mereka bertiga. Prima, Arlena, dan Carmela. Olivia lebih memilih menemani Maxi makan di kamar pemuda itu di lantai atas. Sepertinya memang sengaja menghindar.

Peak season begini,” gumam Prima. “Apa nggak susah cari akomodasi?”

“Coba dulu.”

Sesungguhnya Prima ingin melewatkan libur akhir tahun ini di rumah saja. Ia ingin istirahat yang sesungguhnya. Bermalasan di rumah. Bukan liburan yang aktif seperti ke Bali. Tapi melihat binar dalam mata Arlena...

“Maxi gimana?” Prima menatap Arlena. “Anak lagi sakit begitu.”

Binar dalam mata Arlena meredup. Ia bukannya melupakan kenyataan bahwa Maxi sedang tumbang.

“Ya, tunggu Maxi sembuh dulu,” ucapnya kemudian.

“Kalau Mama sama anak-anak saja, gimana?” tawar Prima. “Aku di rumah saja.”

“Papa nggak asyik, ah!” gerutu Carmela. Cemberut.

Prima tertawa ringan. Arlena mengerucutkan bibirnya sedikit.

“Coba Mama ngomong dulu sama Livi dan Maxi,” usul Prima.

“Kalau mereka nggak mau juga?” Arlena meringis.

“Lho, belum tanya, kok, sudah pesimis begitu?” Prima mengerutkan kening.

Arlena terdiam. Sekilas ia bertukar tatapan dengan Carmela. Sepertinya, tatapan Carmela juga mengandung rasa pesimis yang sama.

Seutuhnya, Carmela memahami bila kakak dan abangnya terkesan masih belum ingin mendekat pada sang mama. Mereka bertiga pernah merasakan kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang sama. Ia pun mengerti bahwa kakak dan abangnya memiliki beban yang lebih besar daripada yang ia punya. Terutama Olivia, yang selama ini sebagai anak sulung sudah dengan sepenuh hati berusaha memikul tanggung jawab yang pernah diabaikan Arlena. Entah karena terpaksa atau tidak.

“Coba, nanti aku saja yang ngomong duluan ke Mbak Liv dan Mas Maxi,” ujar Carmela kemudian, dengan suara rendah.

Prima mengangguk. Tersenyum. Sementara Arlena menyimpan sinar was-was dalam matanya.

* * *

“Kamu saja berangkat berdua sama Mama,” jawab Olivia lembut, ketika Carmela bertanya.

Ada kekecewaan melompat keluar dari mata Carmela. Menyebabkan sebersit rasa tidak tega muncul dalam hati Olivia. Tapi gadis itu menegarkan diri.

“Atau bertiga sama Mas Maxi,” senyum Olivia.

“Ogah,” gumam Maxi sambil membalikkan badan. Meringkuk, menenggelamkan dirinya di bawah selimut, membelakangi Olivia dan Carmela yang duduk di tepi ranjangnya.

Tatapan Carmela seketika meredup.

“Mel,” Olivia mengulurkan tangan. Menyisihkan sedikit helai-helai rambut yang jatuh di kening Carmela. “Just take your time with Mama. Bukannya Mas Maxi dan Mbak Liv nggak mau. Tapi memang lagi nggak ingin liburan ke Bali. Mbak Liv mau pakai cuti akhir tahun untuk istirahat di rumah saja, nggak ingin ke mana-mana. Mas Maxi mungkin juga sudah punya rencana sendiri. Kalau kamu mau pergi sama Mama, pergilah.”

Carmela menghela napas panjang. Tanpa kata, ia kemudian meninggalkan kamar Maxi. Samar Olivia menggelengkan kepala sambil meringkas piring dan gelas bekas makan siang Maxi. Sang adik kemudian berbalik lagi. Tahu bahwa Carmela sudah tidak ada lagi di sana.

“Mbak...”

“Ya?”

“Mbak Liv kalau mau ikut, ikut saja. Biar aku yang jaga Papa.”

Olivia menggeleng sambil tersenyum. Ia beranjak.

“Kalau kamu ogah, so do I,” ucapnya sebelum meninggalkan kamar itu.

Maxi mengulum senyum.

* * *

“Dua-duanya nggak mau,” lapor Carmela sambil menghempaskan tubuhnya di antara Prima dan Arlena yang tengah duduk di sofa teras belakang.

“Kenapa?” Prima mengelus kepala Carmela.

“Mas Maxi ogah. Mbak Liv mau habisin cuti di rumah saja,” bibir Carmela mengerucut.

“Coba, kamu panggil Mbak Liv ke sini,” ujar Prima lembut.

Carmela segera beranjak.

“Aku sudah mengira akan sesulit ini,” gumam Arlena dengan nada mengeluh. Tapi ia segera menimpali gumamannya sendiri dengan nada membantah, “Ya, aku tahu, seutuhnya memang salahku. Ah, sudahlah!”

“Belum dicoba,” tukas Prima halus.

Tapi  Carmela muncul hanya beberapa saat kemudian dengan tangan kosong.

“Mbak Liv lagi makan,” lapornya. “Aku nggak berani ganggu.”

“Ya, sudah,” Prima berdiri. “Biar Papa saja yang ke sana.”

Arlena dan Carmela saling menatap.

“Berarti nggak jadi, dong?” binar dalam mata Carmela makin luruh.

Arlena menggeleng, tersenyum. “Siapa bilang? Kita pergi berdua saja juga bisa, kan?”

Carmela tercenung.

* * *

“Segitu pentingnya liburan mendadak ke Bali, sampai harus ada alasan kalau nggak mau ikut?” sorot mata Olivia menajam.

Prima mengerjapkan mata. “Bukan begitu maksud Papa...”

Olivia mengalihkan tatapan, kembali ke piringnya. Menyadari bahwa ia mungkin sudah bicara terlalu keras pada Prima.

“Maaf, Pa,” Olivia kembali mengangkat wajahnya. “Aku lagi nggak ingin berdebat dengan siapa pun, terutama Papa. Pada prisipnya, aku nggak pernah sedikit pun mempermasalahkan keinginan Mela untuk pergi sama Mama berlibur ke Bali. Silakan. Aku hargai dan hormati keinginan itu. Tapi aku juga sudah punya rencana sendiri. Bisa, kan, kita nggak saling mengusik soal itu?”

Prima tercenung menatap satu titik meja makan.

“Papa hanya berharap semua kehangatan itu kembali,” Prima kemudian berujar dengan nada mengambang.

“Semua hal butuh waktu, Pa,” tandas Olivia tanpa ampun. “Terutama untuk mengubah semua tata letak yang telanjur terbangun rapi selama ini, setelah sebelumnya ditinggalkan begitu saja dan menjadi berantakan tak keruan. Lebih baik membiarkan semuanya mengalir tanpa saling mengusik. Nggak perlu terlalu ngotot.”

Prima terdiam. Cukup lama menatap Olivia yang kembali berusaha menghabiskan makan siangnya, yang makin terlihat tidak berselera.

“Liv, sebenarnya sebesar apa kemarahan dan sakit hatimu pada Mama?” gumamnya.

Olivia tertegun.

Sebesar apa?

Ia menggeleng pelan. “Aku nggak tahu, Pa. Sejujurnya, aku nggak mau tahu. Karena banyak hal lain yang jauh lebih penting untuk dipikirkan dan dilakukan daripada itu.”

“Jadi kamu belum bisa memaafkan Mama?”

“Oh, jangan khawatir,” Olivia tersenyum sumbang. “Aku selalu memaafkan Mama. Forgive, but not forget.”

Dan Prima hanya bisa terdiam sambil menatap Olivia yang berdiri sambil meringkas piringnya. Gadis itu kemudian meninggalkan ruang makan, menuju ke dapur. Setelahnya langsung naik ke lantai atas.

Prima tercenung lama.

Tampaknya aku terlalu menggampangkan penyelesaian masalah ini...

* * *

Selanjutnya

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

4 komentar: