Senin, 27 Februari 2017

[Cerbung] Affogato #15-1








Sebelumnya  



* * *


Lima Belas


Maxi terjaga ketika didengarnya suara gemercik air dari arah kamar mandi. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum benar-benar menyadari ada di mana ia sekarang. Diregangkannya badannya yang terasa pegal karena semalaman tidur di atas karpet tebal di dalam kamar Olivia. Ia bangun dan duduk ketika kakaknya itu keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbungkus jubah mandi.

“Max, bisa antar aku ngantor?” gumam Olivia.

Maxi mengerutkan kening. Ia menatap arlojinya. Lewat sedikit dari pukul lima pagi. Ia menguap lebar sambil kembali menggeliat. Digelengkannya kepala beberapa kali untuk mengusir rasa kantuknya.

“Mbak Liv nggak mau istirahat dulu?” Maxi mendongak. Menatap Olivia yang sudah berdiri di depan lemari baju.

“Enggak, Max,” Olivia menggeleng sambil tetap sibuk memilih busana yang akan dikenakannya. “Aku sudah mendingan. Makasih banyak soal semalam.”

Maxi mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian berdiri.

“Jadi, bisa antar aku?” tegas Olivia sambil memutar badannya. “Sekalian cari sarapan di luar.”

Maxi kembali mengangguk. “Tapi pakai motor. Mau?”

“Iya, justru aku memang ingin diantar pakai motor saja. Oh, ya, satu lagi,” Olivia melemparkan masing-masing sehelai celana palazzo abu-abu muda dan blus hitam berenda ke atas ranjang. “Tolong, nanti sempatkan browsing iklan city car bekas yang bisa dikredit.”

Maxi menatap Olivia cukup lama sebelum berdiri dan bersiap keluar dari kamar. “Oke. Aku mandi dulu, Mbak.”

Sepeninggal Maxi, Olivia mengunci pintu kamar dan duduk di depan meja rias. Ditatapnya sejenak pantulan wajahnya di cermin. Terlihat sama sekali tidak segar. Tapi ia tak punya alasan untuk absen hari ini.

Baru juga masuk kerja sehari setelah libur panjang, masa bolos?

Ia pun mulai merias wajahnya dengan hati-hati supaya kelesuannya tersamarkan dengan sempurna. Rambutnya hanya diikat ala kadarnya di atas tengkuk. Toh, nanti akan tertutup helm, dan ia masih bisa menata ulangnya di toilet kantor. Setelah selesai, ia mengenakan celana dan blusnya. Sambil merapikan busana, ia mematut diri di cermin. Lalu ia teringat pada seuntai kalung perak yang didapatnya dari Luken kemarin.

Perfect!

Kalung perak panjang itu cukup menyemarakkan penampilan blus hitam lengan panjangnya. Sebelum mengenakan sepatu, ia meraih handbag berwarna hitam yang cukup besar untuk dimasuki sebuah laptop. Tas laptopnya basah cukup parah kemarin, tapi laptopnya sendiri tidak apa-apa. Terakhir, ia menuangkan isi hobo bag yang digunakannya kemarin begitu saja ke dalam handbag itu. Tepat ketika ia hendak mengenakan sepasang pump shoes hitam, ponselnya berbunyi pendek.

‘Mbak, aku sudah selesai. Misscall saja kalau Mbak Liv sudah siap.’

Dibalasnya pesan itu, ‘Aku sudah siap, Max.’

Terdengar pintu di seberang kamarnya terbuka, hingga ia pun menjangkau pegangan pintu kamar. Tapi sebelum ia sempat memutarnya, terdengar sayup-sayup sebuah percakapan antara dua orang laki-laki. Ia pun menajamkan pendengaran.

“Pagi-pagi sudah rapi, mau ke mana, Max?”

“Antar Mbak Liv.”

“Ya, sudah, kamu pakai lagi mobil Papa, biar Papa pakai mobil Mama.”

“Mbak Liv maunya pakai motor.”

Lalu hening. Olivia meneruskan niatnya membuka pintu kamar. Sekilas Maxi dilihatnya masih berdiri menunggu. Dan ia kemudian ngeloyor begitu saja melewati Prima. Tidak ada ucapan selamat pagi dan kecupan hangat di kening. Maxi pun segera mengikuti langkah kakaknya tanpa suara, langsung menuju ke garasi.

* * *

“Ternyata aku kalau ngambek nurun dari Mbak Liv, ya?” gumam Carmela.

Mau tak mau Prima tersenyum tipis karenanya. Walaupun ucapan itu terasa menggores hati.

Ngambek...

Prima menggeleng samar.

Alangkah lucunya bila kata itu dipakai untuk menggambarkan sikap Livi semalam dan tadi pagi, walaupun alasannya sama sekali tak selucu itu.

Selama ini Olivia memang selalu menyatakan kemarahannya dengan berdiam diri. Hening hingga kemarahan itu mereda. Tak pernah lama. Tapi entah sekarang.

“Papa harus bagaimana, ya, Mel?” celetuk Prima. “Papa memahami maksud baik Mama, sekaligus memahami pengorbanan Mbak Livi selama ini.”

Carmela duduk tercenung di jok sebelah kiri depan. Ia kemudian menoleh sekilas ke arah Prima.

“Coba nanti aku pikirkan dulu, Pa,” ucapnya manis. “Kalau sekarang-sekarang ini, jujur, aku nggak berani dekat-dekat dulu dengan Mbak Livi. Ngeri...”

Prima kembali tersenyum. Ia menepikan mobil di depan gerbang sekolah Carmela. Sebelum gadis remaja itu keluar, Prima mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening, seperti biasanya.

* * *

Apakah kemarahanku kemarin memang tepat?

Olivia menyuapkan sesendok bubur ayam ke dalam mulutnya dengan setengah melamun. Maxi mengerti bahwa tampaknya Olivia masih ingin mengasingkan diri dalam keheningan. Maka ia membiarkan saja Olivia berada dalam keadaan itu. Satu hal yang membuat hatinya tergores adalah tatapan menerawang Olivia yang tampak berlumur nelangsa.

Pada akhirnya bubur ayam di mangkuk memang harus habis. Olivia mengalihkan tatapannya pada Maxi.

“Kalau mau nambah, nambah saja, Max.”

Maxi menggeleng. “Cukup, Mbak. Porsinya cukup gede ini.”

Olivia segera membayar semua yang sudah mereka nikmati, dan segera mengajak Maxi meninggalkan tempat itu. Menjelang pukul tujuh, Maxi sudah menghentikan motornya di depan kantor Olivia.

“Nanti kalau hujan, gimana?” Maxi menerima helm dari tangan Olivia. “Aku, sih, nggak apa-apa jemput Mbak Liv. Tapi, kan, aku nggak bisa biarkan Mbak Liv kehujanan lagi.”

Olivia menggeleng sambil tersenyum. “Nggak usah jemput, Max. Aku naik taxi saja. Tolong, nanti kamu bilang Papa.”

“Oke, aku nggak akan ke mana-mana.”

“Ingat pesanku tadi, ya?”

“Soal browsing itu?’

Olivia mengangguk.

“Siap, Mbak. Oke, aku cabut dulu, Mbak.”

Olivia melambaikan tangan ketika Maxi mulai melajukan motornya. Bertepatan dengan mobil Luken berbelok dan memasuki area parkir kantor mereka. Olivia melangkah pelan menuju ke teras lobi agar Luken bisa menyusulnya. Tak perlu waktu lama bagi Luken untuk berhasil menjajari langkah Olivia.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Olivia.

“Pagi, Liv,” balas Luken dengan senyumnya yang hangat. “Hari ini cuma kita berdua kencan di atas.”

“Hah?”  Olivia menoleh cepat. “Maksud Bapak?”

“Bu Sandra absen, Liv. Pak Riza sakit, sementara Angie masih di Solo di rumah kakeknya.”

Langkah mereka sudah mulai menapaki anak tangga.

“Oh... Sakit apa, ya, Pak, Pak Riza?”

“Diare sejak kemarin siang. Kalau pagi ini nggak membaik, mau dibawa ke RS. Oh, ya, Bu Sandra bilang, semalam bolak-balik coba telepon kamu, tapi ponselmu off.”

“Iya, Pak. Kemarin pas pulang, ponsel saya sudah mati.”

“Hm...,” Luken manggut-manggut. “Tadi tumben diantar motor?”

“Iya, Pak. Maxi mau keluar lewat sini, saya nebeng saja.”

Luken manggut-manggut, tanpa mendeteksi nada kebohongan dalam suara Olivia.

“Oh, ya, Pak, kemarin siang itu sebetulnya Bu Sandra mau minta izin Bapak untuk makan siang di luar dengan Pak Riza, tapi nggak jadi.”

“Lho... Kok, nggak bilang?” Luken duduk di kursi Sandra.

“Ya, nggak enaklah, Pak,” Olivia meletakkan tasnya di atas meja.

“Nggak bawa laptop?” Luken menunjuk tas Olivia yang tidak biasanya.

“Bawa, Pak. Tenang saja,” senyum Olivia. “Tas laptop saya basah, makanya saya masukkan sini saja.”

“Kok, bisa basah, sih, Liv?” Luken mengerutkan kening.

Olivia duduk di kursinya sambil mengeluarkan semua piranti kerjanya, sembari menjawab pertanyaan Luken dengan nada datar.

“Iya, saya kehujanan  kemarin, Pak. Turun dari taksi, taksinya sudah pergi, baru tahu kalau pintu pagar digembok. Nggak ada orang di rumah. Ponsel saya juga mati. Nggak lama hujan turun. Ya, sudah,” Olivia mengedikkan sedikit bahunya, “saya kehujanan.”

“Berapa lama?” tatapan Luken tampak serius.

“Ada lah setengah jam,” Olivia tertawa. Terdengar sumbang.

“Astaga...,” sinar prihatin terpancar dari mata Luken. “Nggak demam kamu, Liv?”

“Lumayan, Pak, hehehe...”

“Sekarang sudah nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa, Pak, tenang saja.” Toh, aku sudah puas menangisi nasibku...

“Pantesan kamu agak kuyu pagi ini,” gumam Luken.

“Wah, saya sudah tutupi dengan make up, lho, Pak,” sahut Olivia dengan nada bercanda.

“Tetap kelihatan, Liv,” senyum Luken. “Tapi nggak apa-apa. Tinggal bilang saja kalau badanmu nggak fit hari ini. Kamu boleh langsung pulang.”

Olivia menggumamkan ucapan terima kasih sambil mulai menyalakan laptopnya. Luken ternyata tetap bertahan di kursi Sandra. Tidak ada tanda-tanda hendak beralih ke kantornya sendiri. Tapi tidak jadi masalah buat Olivia. Ada banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Jadi tidak akan kelihatan terlalu menganggur di mata sang boss.

Tengah Olivia menyiapkan beberapa dokumen untuk dipindai, ponselnya berbunyi. Ia meraih benda itu dan menoleh ke arah Luken.

“Bu Sandra, Pak,” lapornya.

“Buka speaker, Liv. Aku ingin tahu gimana kabarnya.”

Olivia mengangguk.

“Ya, Bu?” jawab Olivia. “Aku dengar dari Pak Luken, Pak Riza sakit?”

“Iya, Mbak Liv. Ini masih di IRD, lagi mau cari kamar.”

“Oh? Jadi dibawa ke RS, Bu?” sahut Luken.

“Pak Luken? Selamat pagi, Pak.”

“Selamat pagi, Bu. Gimana Pak Riza?”

“Ini dini hari tadi terpaksa saya bawa ke RS, Pak. Karena nggak membaik. Malah beberapa kali, maaf, muntah.”

“Oh, di RS mana, Bu?”

“RS Tebet, Pak.”

“Ibu butuh bantuan apa? Tinggal bilang, Bu.”

“Wah, terima kasih banyak, Pak. Ini cuma lagi tunggu kamar. Kelas dua penuh. Ada kemungkinan kosong, nanti agak siangan. Ada kosong di kelas 1, VIP, sama kelas 3.”

“Bu, tempatkan Bapak di VIP saja, nanti kelebihan tagihan saya yang bayar.”

“Aduh, jangan, Pak! Nggak apa-apa tunggu dulu.”

Luken bertukar tatapan dengan Olivia.

“Ya, sudah, terserah Ibu,” Luken agaknya menyerah.

Tapi begitu pembicaraan itu berakhir, Luken segera berdiri dan meraih kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. Ia menoleh ke arah Olivia.

“Aku ada jadwal ke mana dan jam berapa saja hari ini?”

“Masih kosong, Pak,” jawab Olivia sigap.

“Ya, sudah. Ayo, kamu ikut aku.”

Olivia ternganga sejenak sebelum menyadari bahwa Luken menunggunya. Ia meraih ponsel dan mengantonginya. Kemudian membuntuti langkah Luken.

* * *

Menjelang pukul sepuluh, keduanya kembali ke kantor. Urusan di RS Tebet sudah beres. Dengan sedikit paksaan dari Luken, Sandra akhirnya menempatkan Riza di salah satu kamar VIP. Berkali-kali perempuan itu mengucapkan terima kasih. Dan sebelum benar-benar meninggalkan rumah sakit itu, Luken mampir ke kasir dan menitipkan sejumlah deposit yang digesek melalui salah satu kartu debitnya.

Nggak tanggung-tanggung...

Olivia menggeleng samar.

“Nanti sore sebelum pulang, aku mau nengok ke sana lagi, Liv,” ucap Luken sambil duduk kembali di kursi Sandra. “Kamu mau ikut? Papamu kalau jemput, langsung ke sana saja.”

“Boleh, Pak,” angguk Olivia. “Kebetulan saya nanti pulang sendiri.”

“Kemarin kamu juga pulang sendiri? Sudah nggak diantar-jemput Pak Prima lagi?”

Olivia hanya menanggapinya dengan senyum. Tetap sibuk dengan dokumen di depannya. Ia kemudian menoleh sekilas.

“Saya nggak ada kemungkinan dipecat dalam waktu dekat ini, kan, Pak?”

“Hah?” Luken seketika terbengong. “Maksudmu?”

Olivia terkekeh sedikit sebelum menjawab, “Saya berniat mau kredit mobil second, Pak. Kalau di tengah jalan tiba-tiba saya dipecat, kan, bisa disita, tuh, mobil saya.”

“Astaga...,” Luken menyambungnya dengan gelak tawa. “Kamu ini, Liv...,” Luken menggelengkan kepala.

Olivia tersenyum lebar. Luken mengerjapkan mata ketika mendapati kabut yang menyelimuti wajah sekretarisnya itu terlihat mulai memudar.

“Memangnya kamu ingin mobil yang seperti apa, Liv?”

“Yang kecil saja, Pak. City car, second, bisa dikredit.”

Tiba-tiba Luken teringat pembicaraan dengan kedua orang tuanya kemarin.

Hm...

“Kenapa nggak beli baru saja, sih?” pancingnya.

“Wah, nggak berani saya, Pak.”

“Coba, ayo, hitung-hitungan dulu.”

“Sebentar, Pak, saya selesaikan dulu pekerjaan saya.”

Luken meringis.

Kok, jadi aku yang lebih antusias?

Ia kemudian berdiri.

“Ya, sudah, aku ke dalam dulu, Liv.”

“Baik, Pak.”

* * *

Langit sudah lama gelap sempurna ketika Prima membelokkan mobilnya dan langsung masuk melintasi carport karena pintu pagar terbuka lebar. Begitu juga dengan pintu garasi. Ia pulang cukup terlambat sore ini. Ada acara makan bersama di sebuah resto cepat saji di dekat kantor. Salah seorang stafnya berulang tahun. 

Hm... Ada tamu, rupanya...

Ia tak sempat lagi melihat bahwa pintu ruang tamu tertutup rapat, dan terus saja melaju hingga ke garasi. Ketika ia keluar dari mobil, Arlena melongokkan kepalanya melalui pintu penghubung.

“Ada tamu?” Prima menatapnya.

Arlena menggeleng.

“Itu?” Prima menunjuk ke arah city car berwarna polished metallic yang terparkir di carport. Segaris lurus dengan mobil Arlena di dalam garasi. “Mobil siapa?”

“Livi.”

Prima terbengong sejenak.

Livi beli mobil? Nggak ada omongan, tahu-tahu begitu saja...

Prima mendekati mobil itu. Dengan teliti ia mengamatinya. Masih sangat mulus. Belum berumur genap setahun jika dilihat dari plat nomornya. Modelnya pun bukan model lama.

“Banyak duit, dia...,” gumam Prima.

Arlena yang sudah ada di belakangnya mengulurkan tangan, mengusap lembut bahu Prima.

“Bukannya Papa seharusnya bangga?” bisik Arlena.

Bangga?

Prima mengerjapkan mata.

Tentu saja!

Ia tercenung. Mobil ini adalah salah satu bukti bahwa karir Livi saat ini sudah cukup baik. Tapi hal yang pertama kali melintas dalam pikirannya bukanlah kebanggaan itu. Melainkan kekhawatiran bahwa gadis sulungnya akan semakin menjauh.

Sepertinya tidak akan ada lagi acara berangkat dan pulang kerja bersama...

Ia menghela napas panjang.

Saat-saat bisa mengobrol santai dengannya, menikmati tawanya...

Sekali lagi ia menghela napas panjang. Mendadak saja ia merasa letih. Tapi tetap dicobanya untuk tersenyum. Beberapa detik kemudian ia merengkuh bahu Arlena dengan tangan kirinya, dan bersama mereka melangkah masuk ke dalam rumah.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



2 komentar: