Selasa, 28 Maret 2017

[Cerbung] Affogato #23-2










* * *


“Mbak Mimin ke mana saja?” bisik Prima.

“Aku... aku...,” Minarti mendegut ludah.

Kejadian itu sudah berlalu hampir 27 tahun lamanya, tapi masih tetap terasa segar dalam ingatan Minarti.


“Mas... Sepertinya aku hamil...,” bisik Minarti muda. Menatap laki-laki berusia 26 tahun itu dengan berjuta rasa khawatir. “Sudah telat sebulan lebih.”

Tapi laki-laki tampan itu menatapnya dengan tenang. Bahkan ada lompatan-lompatan sinar bahagia keluar dari dalam matanya

“Kalau benar, berarti kita tak perlu terlalu lama menunggu untuk punya buah hati setelah menikah!” laki-laki bernama Drastya itu merangkum kedua belah pipi Minarti dengan kedua telapak tangannya yang hangat.

Minarti dan Drastya sudah hampir enam bulan lamanya mempersiapkan pernikahan mereka, sejak Minarti dilamar secara resmi oleh keluarga Drastya. Kegembiraan itu sempat membuat keduanya ‘kebablasan’ beberapa minggu lalu. Hanya sekali. Walaupun diliputi perasaan bersalah, tapi keduanya berusaha menebus kesalahan itu dengan bersabar menunggu pernikahan yang akan berlangsung sepuluh hari lagi. Dan hari itu adalah kesempatan terakhir mereka bisa bertemu sebelum Minarti dipingit.

“Kalau laki-laki, kamu yang harus memberinya nama, Min. Kalau perempuan, biar aku yang menamainya,” tatapan Drastya tampak menerawang. “Navita Maheswari. Bagus, tidak?”

“Bagus,” Minarti merebahkan kepalanya di bahu Drastya.

Kemudian Drastya berpamitan. Dan mereka berpisah. Selamanya. Karena ketika pulang dari rumah Minarti, Drastya yang di tengah perjalanan turun dari motor untuk ikut membantu menepikan seorang korban kecelakaan, justru disambar sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Ia terpental seketika dan jatuh dengan kepala terlebih dulu membentur aspal. Terluka berat, hingga mengembuskan napas terakhir di tempat kejadian.

Minarti yang mendengar kabar itu keesokan harinya, merasa dunianya runtuh seketika. Kehamilannya merupakan aib walaupun ayah bayinya jelas-jelas adalah Drastya. Perlu waktu beberapa saat untuk mengurangi rasa limbungnya dan memikirkan jalan keluar.

Tepat pada tanggal ia seharusnya menikah, ia lari dari rumah dengan membawa seluruh uang yang ia punya dan dua perangkat perhiasan peningset yang diberikan keluarga Drastya padanya. Ia memutuskan untuk memulai hidup baru di Jakarta. Jauh dari Madiun. Dan ia tak pernah kembali lagi ke sana. Ia sungguh-sungguh ketakutan bila tetap berada di Madiun, ia justru akan dipaksa untuk kehilangan kenang-kenangan terakhir dari Drastya, yang sedang bertumbuh dalam rahimnya.

Ia pernah mencoba mengabari ibunya. Menceritakan kondisinya. Tapi perempuan itu justru kalap dan mengatakan bahwa ia tak usah kembali ke rumah. Selamanya. Dan ia mematuhi hal itu.

Pada awalnya ia terdampar di sebuah kontrakan sempit di tengah perkampungan padat. Hidup seirit mungkin dan mulai mencari kerja serabutan. Nasib membawanya bertemu dengan seorang istri diplomat yang sedang mencari ART, atas perantara seorang tetangga kontrakannya.

Pada perempuan baik hati itu, ia berterus terang tentang keadaannya. Perempuan itu tak mempermasalahkannya. Berkata dengan bijak, “Seseorang bisa saja melakukan dosa dan kesalahan. Min. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana memperbaiki hidup dan menebus kesalahan itu.”

Hanya satu tahun tiga bulan ia menjadi ART perempuan itu, karena suami perempuan itu kembali ditugaskan ke luar negeri. Sebelum berangkat, perempuan itu mencarikan hunian yang lebih layak untuk ia dan bayinya, sekaligus memberinya modal untuk berdagang nasi uduk. Tak hanya itu, perempuan itu juga menitipkannya pada warga setempat dengan pesan, “Tolong, dia dibantu, dijaga, diawasi. Suaminya meninggal karena kecelakaan pada hari yang sama saat dia melahirkan.”

Bayinya terlahir perempuan, dan dinamainya sesuai keinginan Drastya. Navita Maheswari.


“Jadi Navita putri Mas Drastya?” Prima memastikan sekali lagi.

Minarti mengangguk. Dengan lembut ia meraih tangan Navita dan membawanya pada Prima. Laki-laki itu menggenggam tangan Navita. Mengamati wajah linglung gadis itu dengan mata mengaca.

“Jadi... kamu keponakanku,” gumam Prima. “Mendiang ayahmu adalah satu-satunya abang yang kumiliki. Sini, Nak...”

Dan Prima menenggelamkan gadis itu dalam pelukan hangatnya. Berkali-kali tangannya mengelus kepala Navita. Seutuhnya gadis itu menikmatinya. Elusan penuh kasih seorang ayah yang tidak pernah dirasakannya.

Akhirnya aku menemukan jawabannya...

Prima mengerjapkan matanya yang basah. Akhirnya ia mendapatkan jawaban itu, kenapa ia pernah begitu tertarik pada Navita. Walaupun ia sempat salah menerjemahkan perasaan itu. Hingga tanpa sadar dan bisa dicegah terbawa hingga ke alam mimpi.

Jadi dia putri mendiang Mas Drastya. Pantas saja aku seperti melihat Livi dalam dirinya. Ternyata dia keponakanku sendiri.

“Kamu anakku juga,” bisik Prima, membuat Navita tergugu.

Sejenak kemudian laki-laki itu melepaskan pelukannya.

“Livi, Maxi, Mela, sini,” Prima menggapaikan tangan.

Ketiga anak itu mendekat ke arah ranjang, sementara Gandhi dengan halus merengkuh bahu Minarti dan membimbingnya menjauh ke arah sofa. Satu-satu, Prima meraih tangan ketiga putra-putrinya. Disatukannya dengan tangan Navita.

“Vita, Livi, Maxi, Mela, kalian ini sepupu,” ucap Prima dengan suara bergetar. “Bersaudara sangat dekat. Papa mengerti sekarang kenapa Papa pernah beberapa kali memimpikan Mbak Vita. Mungkin itu endapan bawah sadar Papa, yang memberi isyarat bahwa Mbak Vita istimewa juga buat Papa. Ternyata benar, Mbak Vita keponakan Papa. Anak Papa juga. Papa harap kalian tidak keberatan berbagi Papa dengan satu lagi kakak kalian. Bagaimana?”

Carmela menjawabnya dengan langsung memeluk Navita. Diikuti oleh Olivia dan Maxi. Prima menatap kehangatan itu dengan mata mengaca.

Mas  Drastya, aku sudah menemukan putrimu dan perempuan yang sangat kamu cintai. Aku akan menjaga mereka untukmu...

* * *

Ada begitu banyak mata rantai yang selama ini tersembunyi tanpa sengaja. Mereka berusaha merangkainya satu demi satu. Membiarkan Navita bercakap berdua dengan Prima.

“Ternyata Ibu tak pernah menikah dengan mendiang Bapak,” gumam Navita dengan nada sendu.

“Belum sempat, Vit,” ralat Prima. “Sudah dalam proses. Tinggal menunggu hari. Tapi Tuhan berkehendak lain.”

Benar Bapak meninggal karena kecelakaan, tapi bukan saat aku dilahirkan. Jauh sebelum itu,  saat aku diketahui ada.

Navita terduduk diam. Sungguh-sungguh tak tahu harus mengatakan apa.

Pantas Ibu tak pernah membawaku ke makam Bapak dengan alasan sangat jauh di Madiun.

Dan bila ia mulai bertanya tentang makam ayahnya, selalu wajah sedih dan menahan tangis yang dilihatnya dari Minarti. Juga frasa ‘sangat jauh’ itu. Membuatnya merasa bersalah, dan pada akhirnya hanya diam.

Diakui atau tidak, ia sangat terguncang. Lebih-lebih pada akhirnya mengetahui bahwa Prima yang selama ini dipandangnya sangat istimewa, ternyata memang benar-benar istimewa baginya. Karena laki-laki itu adalah pamannya.

“Sebetulnya kamu punya satu om lagi,” tangan Prima terulur, menyibakkan helai-helai rambut yang jatuh di kening Navita. “Namanya Radyan. Tapi dia sudah meninggal. Kena serangan jantung. Waktu itu usianya baru dua tujuh. Kakekmu, bapakku, bapak ayahmu, sudah meninggal jauh sebelumnya. Karena serangan jantung juga. Nenekmu, menyusul om-mu, menjelang setahun kepergian om-mu. Jadi keluarga dari pihak ayahmu sekarang tinggal aku.”

Navita menghela napas panjang. Berusaha menghilangkan rasa sesak di dadanya.

“Jujur, semua ini mengejutkan buat saya,” Navita menggumam lagi. Ditatapnya Prima dengan khawatir. “Bapak, eh... Om... nggak apa-apa? Maksud saya...”

“Tetap panggil ‘bapak’ saja,” senyum Prima. “Aku, kan, memang pamanmu, bapakmu. Aku nggak akan kenapa-napa.”

Navita tersenyum, menghapus sebutir air mata yang menggelincir di pipinya.

* * *

Tangan Minarti terulur. Membelai pipi Olivia. Keduanya duduk di sofa.

“Kamu cantik sekali, Nak...,” bisiknya. Kemudian beralih pada Carmela. “Yang bungsu ini juga nggak kalah cantik...” Dan ia menatap Maxi yang mendekat dengan membawa minuman. “Maxi... Mirip sekali dengan Dik Radyan.” Ia kembali menatap Olivia. “Dik Radyan, di mana sekarang? Anaknya sudah seberapa besar?”

Olivia mendegut ludah sebelum menjawab, “Om Radyan... sudah meninggal, Budhe. Kena serangan jantung. Waktu itu usianya baru dua tujuh.”

Minarti menutup mulut dengan sebelah tangannya. Terlihat sangat terkejut. Ketika hendak menikah dengan Drastya dulu, usia Prima masih sekitar 21 tahun dan Radyan masih 15 tahun. Prima sudah merantau ke Ibu Kota untuk kuliah. Radyan masih SMP, tetap di Madiun. Sedangkan Drastya sudah bekerja sebagai staf teknik sebuah kontraktor besar di Surabaya.

“Nenekmu?” Minarti menatap Olivia dengan khawatir.

“Oma meninggal nggak lama setelah Om Radyan, Budhe,” jawab Olivia dengan wajah dan suara sedih.

Minarti tak tahan untuk tidak memeluk Olivia. Ia sengaja tidak bertanya tentang ibu anak-anak itu, istri Prima. Tadi dalam perjalanan ke sini, Navita sudah bercerita sedikit padanya bahwa ‘Pak Prima shock dan jatuh sakit karena istrinya terkena kasus foto setengah telanjang’. Melihat anak-anak manis ini, rasanya ia tak bisa percaya bahwa ibu mereka bisa berbuat seperti itu. Tapi ketidakhadiran istri Prima sedikit banyak ‘membenarkan’ kejadian itu.

“Sebelum ini, aku sudah pernah mendengar Vita menyebut atasannya dengan ‘Pak Prima’, tanpa aku pernah punya bayangan bahwa itu adik ayahnya sendiri,” gumam Minarti sambil melepaskan pelukannya.

Perempuan itu kemudian beralih memeluk Carmela. “Kamu kelas berapa, Nak?”

“Kelas 11, Budhe,” jawab Carmela dengan manis.

“Oh... Sekolah di mana?”

Carmela menyebutkan nama sebuah SMA favorit. Minarti mengangkat alisnya.

“Lho! Itu, kan, dekat sekali dengan rumah Budhe.”

“Iyakah?” mata Carmela tampak berbinar. “Di mananya?”

“Di daerah belakang sekolahmu,” jelas Minarti. “Kamu keluar dari sekolah, ikuti jalan ke kiri, nanti di ujung bangunan sekolahmu, kamu belok lagi ke kiri. Lurus saja. Kira-kira 100 meter, ada toko buah Era Baru, terus minimarket, nah, di sebelah minimarket itu ada gang kecil. Rumah kami nomor tiga dari ujung belakang minimarket, sebelah kiri, warna biru muda. Mainlah ke sana.”

“Iya, Budhe, besok-besok aku pasti main,” ujar Carmela dengan antusias.

“Tapi...,” tatapan Minarti meredup. “Budhe cuma penjual nasi uduk, kamu nggak malu?”

“Hah? Kenapa harus malu?” sahut Carmela cepat. “Aku saja doyan makan, kok.” Gadis remaja itu nyengir.

Minarti tergelak mendengar jawaban yang ‘nggak nyambung’ itu. Lucu sekali anak ini! Sungguh menggemaskan!

* * *

Olivia tercenung menatap sosok ayahnya yang tengah diperiksa dokter pada sisa siang itu. Sepeninggal Minarti, Navita, dan Gandhi, kondisi Prima pelan-pelan menurun. Wajah laki-laki itu memucat. Mengeluh lemas, pusing, dan sedikit sesak napas. Membuat Olivia memutuskan untuk menekan bel dan meminta perawat memanggil dokter jaga. Tak lama kemudian ia mendapatkan jawabannya.

“Pak Prima hanya terlalu lelah,” ujar dokter itu. “Banyak tamu rupanya, ya?”

Olivia mengangguk.

“Mungkin dua hari ini tamunya bisa dibatasi dulu, ya?” senyum dokter itu. “Nanti hari Senin kita evaluasi lagi.”

“Kalau keluarga, Dok?” tanya Olivia

“Keluarga jauh? Keluarga dekat?” dokter itu balik bertanya dengan nada bercanda.

Olivia tersenyum lebar. “Keluarga dekat, Dok. Anak, keponakan.”

“Boleeeh...,” angguk dokter itu. “Calon menantu juga tetap boleh,” laki-laki itu melirik sekilas ke arah Luken yang duduk sambil sibuk memainkan gadget-nya di sofa. “Nanti saya kasih catatan ke perawat jaga. Oke, saya tinggal dulu, ya?” Dokter itu menatap Prima sejenak. “Istirahat total, ya, Pak. Supaya cepat pulih.”

“Terima kasih, Dok,” ucap Prima lemah.

Laki-laki itu kemudian menatap Olivia dengan sorot mata menggoda begitu dokter keluar.

“Calon menantu, eh?” bisiknya.

“Ish! Apaan, sih?” Olivia mengerutkan kening.

Prima tersenyum. Olivia masih berdiri di sisi ranjang. Tangannya terulur, mengelus pipi Prima.

“Papa terlalu excited,” gumam Prima. “Sampai lupa kondisi.”

“Nah, sekarang waktunya Papa istirahat lagi,” Olivia duduk di kursi sebelah ranjang. Digenggamnya tangan kanan Prima. “Mungkin secara fisik Papa terlalu lelah, tapi Livi percaya, batin Papa jauh lebih tenang sekarang, karena sudah menemukan jawaban kegelisahan Papa.”

Prima mengangguk. Ia kemudian mengatupkan kelopak mata. Olivia menungguinya dengan sabar. Setelah sang ayah terlelap, ia  berdiri dan pelan-pelan menaikkan side rail, kemudian melangkah ke sofa. Luken mengalihkan tatapannya.

“Dokter bilang apa?” bisiknya.

“Cuma terlalu lelah, Pak,” Olivia duduk di sofa tunggal dekat Luken. “Agak terlalu banyak tamu sejak Kamis kemarin. Ditambah dengan kejadian tadi. Saya agak khawatir Papa kolaps lagi. Untungnya tidak.”

Luken mengangguk.

“Maxi dan Mela ke mana, Pak?”

“Lagi keluar beli makanan. Sudah jam segini, kalian belum makan siang.”

Sekilas Olivia menatap jam dinding di atas pintu kamar mandi. Sudah hampir pukul dua. Tanpa sadar ia menguap. Luken tersenyum samar.

“Setelah makan nanti, kamu juga istirahatlah, Liv,” ujarnya. “Aku akan pulang juga. Supaya kamu nggak terganggu.”

Olivia menatap Luken selama beberapa detik.

“Harus bagaimana saya berterima kasih pada Bapak?” gumamnya dengan tatapan berubah menerawang.

“Kenapa harus membebani diri dengan berpikir soal itu, sih, Liv?” tukas Luken dengan halus. “Yang penting sekarang fokusmu adalah pulihnya Pak Prima. Selain itu, kamu juga harus fokus pada kesehatanmu sendiri. Jaga diri baik-baik. Jangan lupa makan. Minum multivitamin. Yang tempo hari aku belikan itu, sudah habis?”

Olivia menggeleng. “Tinggal sedikit, tapi masih ada, Pak.”

“Besok aku belikan lagi. Oh, ya, nanti sore aku nggak kembali ke sini, ya? Supaya kamu dan adik-adikmu punya waktu pribadi dengan Pak Prima.”

Olivia menangguk sambil sekali lagi mengucapkan terima kasih.

* * *

Gandhi dengan suka rela membatalkan rencananya hendak belanja di mall. Ia hanya membelokkan mobilnya ke sebuah kafe untuk menikmati makan siang yang agak terlambat bersama Navita dan Minarti. Jujur, ia juga agak terguncang mendapati bahwa Navita ternyata keponakan Prima sendiri.

Navita menatap punggung Minarti yang kian menjauh untuk menuju ke toilet kafe. Sorot matanya terlihat nelangsa.

“Kenapa lagi, Vit?” usik  Gandhi, halus.

Navita menggeleng samar sambil menghela napas panjang. Beberapa saat kemudian ditatapnya Gandhi. Lalu melepaskan tanya yang sejak tadi ditahannya.

“Setelah tahu sejarahku ternyata seperti ini, aku anak di luar nikah, apakah Mas Gandhi akan tetap menerimaku?”

Gandhi tersenyum tipis. “Kamu terlalu dangkal menilaiku, Vit,” ia menanggapi dengan sabar, tanpa sedikit pun nada tersinggung. “Nggak ada manusia yang sempurna. Kalaupun status anak di luar nikah itu kamu peroleh, apakah kamu sengaja menginginkannya? Enggak, kan?” Gandhi menggelengkan kepala. “Aku mohon, kamu jangan menyalahkan Ibu. Ya, Ibu dan mendiang Bapak memang bersalah di masa lalu. Tapi Ibu sudah menebusnya dengan mempertahankanmu, mencintaimu, melahirkanmu, merawatmu hingga besar, mendidikmu hingga jadi Navita yang sekarang ini duduk di depanku. Navita yang mendapatkan nama dari seorang ayah yang sudah mencintainya sejak ia diduga telah terbentuk dalam kandungan Ibu. Navita yang patut mendapatkan kehidupan yang terbaik. Navita yang sangat layak untuk dicintai. Tolong, jangan meragukanku, Vit. Aku mencintaimu apa adanya.”

Navita tergugu. Ia masih terdiam ketika Minarti kembali. Perempuan itu  mengerutkan keningnya ketika mendapati aura hening di sekeliling meja kecil itu.

“Ada apa?” tanyanya.

Gandhi menggeleng sambil tersenyum. Begitu pula Navita. Tapi gadis itu ternganga ketika mendengar ucapan Gandhi kemudian.

“Bu, saya sudah merasa mantap untuk meminang Vita jadi istri saya. Kakak saya juga sudah sangat setuju. Kapan sekiranya Ibu ada waktu agar kami bisa melamar secara resmi?”

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

7 komentar:

  1. Ouch !
    So sweet ......
    Lope" beneran mb Lissss.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gek jeding sauwiiii maeng tibae singitan moco iki ta wakwakwakwak hadooooo

      Hapus
    2. Wakakak... Sempel arek iki! 😆😆😆

      Hapus
  2. Misek misek sambil cengar cengir....

    Terharu aku...

    Lanjut mbak lizz

    BalasHapus
  3. 😭😭😭sangat baper


    Nunggu lanjutanya 😀😀😀

    BalasHapus
  4. Wah, ngos-ngosan baca sekian episod sekaligus. Keren... keren...
    Banyak kisah yg tak terduga tersingkap satu-satu

    BalasHapus