Senin, 05 Juni 2017

[Cerbung] Caramel Flan for Ronan #13

Tiga Belas


“Ya, Mama sudah tahu...”

Runa mengembuskan napasnya keras-keras. Ditatapnya Yuliani melalui layar ponselnya.

“... karena itu Mama minta kamu tinggal sejenak di Jakarta untuk menemani Sasya. Mas Vin sedang usahakan tiket pesawat agar Mama bisa pulang secepatnya. Sementara Papa masih belum rela tinggalkan Alta. Ini kamu lagi di mana?”

“Aku masih di parkiran bandara, Ma. Sudah mau pulang. Baru saja anterin Brielle. Sekalian tungguin dia berangkat. Tadi sempat kena delay.”

“Sasya sendirian di rumah?” wajah Yuliani sontak terlihat khawatir.

Runa menggeleng. “Ada Olin. Tadi barengan pulang misa. Sekalian saja aku suruh temenin Sasya. Sudah aku pesankan makan siang dari resto.”

“Ya, sudah,” angguk Yuliani. “Mama kabari kamu secepatnya begitu Mas Vin dapat tiket buat Mama. Kamu hati-hati di jalan. Mama titip Sasya, ya?”

Runa mengangguk dan mengakhiri pembicaraan itu. Ia kemudian mulai meluncurkan mobil meninggalkan area parkir bandara. Sesungguhnya, setelah semua yang ia tahu dan dengar dari Brielle maupun Yuliani, ia sungguh-sungguh tak tahu harus berbuat apa.

* * *

Senja sudah mulai gelap ketika Runa membunyikan klakson ringan di depan pintu pagar. Marsih berlari kecil keluar dari garasi dan membuka pintu pagar lebar-lebar. Runa segera meluncurkan mobil Yuliani masuk ke garasi yang pintunya juga sudah terbuka lebar. Ia keluar dari mobil hampir berbarengan dengan Marsih menutup pintu garasi.

“Olin masih di sini, Yu?” tanya Runa sambil menekan tombol alarm.

“Masih, Mas,” angguk Marsih. “Tadi order martabak, baru juga dianterin sama Great-food.”

“Terus, makanan tadi siang, beres?”

“Iya, sudah, Mas. Makasih, saya jadi ikut makan, hehehe...”

“Iya... Memang sengaja aku pesankan tiga porsi. Eh, Yu, sekarang Sasya di mana?”

“Ada di teras belakang, sama Mbak Olin. Mau makan martabaknya sekarang, Mas? Tadi sudah dibagi dua sama Mbak Sasya. Setengah manis, setengah telur.”

“Aku mandi dulu, deh, Yu. Oh, ya, bahan-bahan yang aku Whatsapp-in tadi sudah siap?”

“Sudah, Mas,” angguk Marsih. “Ada di kulkas.”

“Oke, sip!” Runa menepuk lembut bahu Marsih sebelum beranjak. “Makasih, ya.”

Sejenak Runa mampir ke teras belakang. Tapi di ambang pintu ke arah teras, ia berhenti. Menajamkan telinga.

“Gue, sih, menghargai dia karena mau jujur di awal,” ucap Sasya. “Jadi gue nggak kayak beli kucing dalam karung. Cuma kalau masalahnya kayak gitu... aduh! Pusing gue, Lin.”

“Gini, Sya,” suara Olin terdengar lembut, “gue sama sekali nggak maksud ikut campur urusan lu sama Pak Ronan. Cuma... tadi pas lu tidur, gue sempat browsing soal biseksual. Intinya, iya, itu memang orientasi seksual yang bisa dibilang menyimpang kalau dilihat dari sudut pandang kita yang mengaku ‘normal’. Tapi semua tergantung lagi sama orangnya. Kalau mau jatuh ke arah seks bebas atau bahkan prostitusi, itu udah masuk ke arah perilaku seksual, nggak peduli orientasi seksualnya kayak apa. Nggak kudu LGBT juga bisa melakukannya. Orang ‘normal’ juga bejibun yang kayak gitu. Ya, gue nggak ada bayangan Pak Ronan kayak gimana orangnya, tapi... sebaiknya lu ngomong lagi sama dia. Orang ‘normal’ juga bisa doyan seks bebas, selingkuh, dan sejenisnya. Sebaliknya, orang kayak Pak Ronan bisa saja dari jenis yang setia, terlepas dari gimana orientasi seksualnya.”

Hening sejenak.

“Sebaiknya lu jangan sendirian hadapi ini, Sya,” ucap Olin lagi. “Yang jelas, lu tahu gue ada di belakang lu. Gue juga ingin lihat lu nikmatin indahnya cinta. Terus, lu sama Pak Ronan sementara ini gimana?”

“Ya, gue jelas shock-lah dengar dia bikin pengakuan kayak gitu. Kemarin gue langsung minta pulang. Dia nggak mendesak atau gimana. Dia cuma minta maaf berkali-kali. Terus gue bilang, gue butuh waktu. Dia ngerti. Yah, gitu, deh...”

Hening lagi. Dan Runa memutuskan untuk tidak mengusik kedua gadis itu. Ia meneruskan niatnya untuk mandi. Dalam hati ia merasa lega, Olin hadir pada saat yang tepat.

* * *

Sasya merasa beban hatinya lebih ringan sekarang. Hingga ia sudah bisa merespons candaan Olin. Keduanya kembali melanjutkan obrolan sambil menikmati es teh lemon, martabak manis isi nutella-keju, dan martabak telur isi tuna-jamur.

Samar, hidung keduanya membaui aroma sedap dari arah dapur. Sasya dan Olin saling menatap. Tapi sebelum keduanya beranjak, ponsel Sasya berbunyi. Wajahnya terlihat lebih cerah ketika melihat siapa yang menelepon.

“Mama!”

“Halo, cantik!” wajah Yuliani yang terpampang di layar ponsel terlihat segar. “Mas Runa belum pulang?”

“Belum, ‘kali. Kenapa?”

“Oh... Kok, Mama telepon nggak diangkat. Ya, udah, deh, sama aja Mama ngomong sama kamu. Besok Mama pulang. Mas Runa suruh jemput di bandara, ya? Nanti jam sama nomor penerbangannya Mama WA-in.”

“Oke, Ma.”

“Kamu baik-baik saja?”

“Mm... Not really.”

Yuliani mengangguk. “Mama tahu. Kita selesaikan besok, ya?”

Sasya balas mengangguk. Sejenak kemudian obrolan itu berakhir. Olin sudah meninggalkannya, masuk sambil membawa sisa martabak mereka. Ketika Sasya sampai di dapur, dilihatnya Runa tengah sibuk memasak, dibantu Marsih. Olin duduk manis di depan island.

“Wuidiiih... Ada chef dadakan, nih!” senyum Sasya sambil duduk di sebelah Olin.

Dari aromanya, Sasya tahu Runa sedang menyiapkan Mongolian beef. Masakan mudah dengan hasil memuaskan.

“Dicky mau ke sini jam berapa, Lin?” Runa menoleh sekilas. “Kalau nggak langsung dimakan, kurang ajib ini.”

“Aku minta dijemput setengah tujuh,” jawab Olin. Sambil meraih stoples berisi kacang bawang di atas island.

Belum lagi tutup stoples itu dibuka, terdengar bel berbunyi. Olin segera berdiri, mencegah Marsih yang sudah bersiap untuk berlari membuka pintu.

“Biar aku aja, Yu.”

Sejenak kemudian Olin muncul lagi di dapur dengan Dicky mengekor di belakangnya. Pemuda tinggi tegap berusia 26 tahun itu duduk di salah satu kursi di depan island. Penampilannya tampak santai, hanya mengenakan celana bermuda jeans dan kaus oblong warna abu-abu tua bergambar bola lampu besar di bagian dada. Segera saja ia terlibat pembicaraan seru dengan Runa. Olin membuatkan minuman untuknya.

Dengan cekatan Marsih mengambil lima buah mangkuk dan sendok-garpu, lalu menyiapkannya di atas island. Tak lupa lima buah gelas yang diisinya dengan air putih. Tadi Runa sudah mengatakan bahwa mereka akan makan di island saja, biar bisa mengobrol lebih santai. Mongolian beef sudah siap. Runa memindahkannya ke dalam sebuah mangkuk keramik besar yang juga sudah disiapkan Marsih.

Mereka berempat kemudian menikmati makan malam dan berbagai obrolan mengalir yang ringan itu di dapur. Marsih memilih untuk keluar, makan sambil menonton televisi. Seperti Yuliani, Runa suka bila Mongolian beef yang dimasaknya diberi tambahan irisan nanas dan baby buncis. Bahkan kali ini ada tambahan potongan wortel dan putren (baby corn). Hingga lezatnya tumisan daging sapi berbumbu berpadu sempurna dengan renyahnya buncis-wortel-putren, diselingi rasa asam-manis yang berasal dari nanas dan sedikit rasa menggigit dari irisan cabai merah, ditambah dengan aroma gurih wijen sangrai.

* * *

“Menginaplah semalam lagi,” Wanda mengelus lembut bahu Ronan.

Laki-laki itu tercenung sejenak sebelum menggeleng.

“Aku butuh waktu sendiri, Ma,” gumamnya.

“Kamu akan baik-baik saja,” ucap Wanda tegas. Menatap lurus ke arah Ronan. “Kita sudah pernah melewati hal yang jauh lebih berat daripada ini.”

Ronan mengangguk. Sejenak kemudian ia mengangkat ranselnya sambil mencium pipi Wanda.

“Aku pulang dulu, Ma. Aku akan baik-baik saja. Aku janji.”

Sepeninggal anak sulungnya, Wanda duduk dalam diam di ruang tengah. Menonton televisi bersama Omi dan Sanah, tapi pikirannya tidak berada di sana. Pradana dan Gaby belum kembali dari acara father and daughter mereka.

Seutuhnya ia memahami reaksi Sasya seperti yang sudah diceritakan Ronan. Ia pernah mengalaminya. Keterkejutan yang amat sangat. Ketika Pradana bercerita bahwa Ronan mengakui dirinya adalah seorang biseksual. Ditelusuri dari sisi mana pun, tak pernah ketemu dari mana penyimpangan itu berasal.

Pada perjalanannya, awal mula itu tak lagi penting. Ada yang lebih besar daripada itu. Menjaga Ronan agar tetap lurus, tidak lepas kendali, dan menjaga diri baik-baik.

“Abang sudah balik?”

Wanda sedikit tersentak ketika mendengar suara Gaby. Rupanya Pradana dan Gaby sudah pulang.

“Iya, sudah,” angguk Wanda. “Bawa apa itu?”

“Ha! Ini tadi aku belikan macem-macem, nih, Ma,” Gaby kemudian sibuk mengeluarkan belanjaannya dari kantung plastik.

Di atas coffee table kemudian terserak berbagai macam bungkusan dan kotak makanan kecil seperti cilok, tahu petis, jagung bakar aneka rasa, tempe mendoan, dan entah apa lagi.

“Segini banyak, By?” Wanda membelalakkan matanya.

“Lha, dikirain Ronan belum balik ke apartemen,” ujar Pradana yang baru saja menjatuhkan dirinya di sebelah Wanda. “Biasanya, kan, dia tukang sapu bersih.”

Tapi makanan itu lama-lama berkurang juga sedikit demi sedikit. Sebagian dibawa Omi dan Sanah yang menyingkir, hendak menonton televisi di ruang belakang, sebagian lagi jadi sasaran Wanda, Gaby, dan Pradana yang asyik mengobrol bertiga.

* * *

Ronan menjatuhkan badannya ke sofa. Dibiarkannya lampu di dalam apartemennya tetap gelap. Dengan letih ia menyandarkan punggungnya. Kemudian memejamkan mata.

Tentu saja ia ingat bagaimana rasanya ketika menyadari bahwa hatinya telah jatuh pada Yuke. Ada rasa terkejut, ketakutan, kepedihan, dan penolakan bergolak jadi satu di hatinya. Setelah Valina, kenapa sekarang harus Yuke? Berhari-hari ia mencari tahu kenapa, tapi ia tak pernah mendapatkan jawaban. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk berterus terang pada ayahnya.

Laki-laki itu menatapnya. Tercenung lama. Tapi kemudian memutuskan dengan arif.

“Kita akan cari tahu tentang ini, Ron,” ucapnya ketika itu. “Bagaimanapun kamu anak Papa dan Mama. Selamanya akan tetap seperti itu.”

Ia juga melakukan hal yang sama. Mencari tahu. Bahkan mengunjungi sebuah klinik psikologi bersama Pradana dan Wanda, yang akhirnya diberi tahu oleh Pradana. Hasilnya cukup melegakan. Dengan gamblang psikolog senior seusia Pradana itu menjelaskan bahwa kondisi Ronan bukanlah suatu penyakit, tapi memang orientasi yang tidak bisa berubah. Tidak ada obatnya. Yang bisa dilakukan adalah jujur terhadap diri sendiri, dan tetap berusaha menjalankan perilaku yang benar sesuai norma yang berlaku dengan dukungan keluarga.

Lalu Wanda berpesan padanya, “Kamu punya adik perempuan, Ron. Setidaknya perilakumu harus menjadi contoh baik untuknya. Bedakan orientasi dengan perilaku. Kalau kamu mencintai seorang perempuan, jagalah dia, setialah, jangan pernah mencoba untuk merusaknya. Kalau kamu mencintai seorang laki-laki, kamu harus lebih siap menghadapi pandangan masyarakat. Tapi kesetiaan dan perilaku santun itu tetap harus jadi nomor satu. Sama, setialah, jangan merusaknya. Mengerti maksud Mama?”

Hal itu yang kemudian dipegangnya. Ia sungguh bersyukur bahwa kedua orang tuanya sangat terbuka menerima kenyataan itu. Ia tahu, tak pernah mudah bagi Pradana dan Wanda. Tapi keduanya memilih untuk menerima dan tetap berusaha mengarahkan sang putra sulung agar benar-benar memahami dirinya sendiri.

Hubungan Ronan dengan Yuke kemudian berjalan dalam hening. Sedikit tersembunyi. Jauh dari suasana hingar-bingar romantisme yang terumbar. Yuke memahami posisi Ronan. Juga keinginan Ronan agar hubungan emosional mereka tidak terjerumus dalam perilaku menghalalkan seks bebas. Berhubungan dengan Ronan lebih luas lagi membuka cakrawala Yuke. Tapi mereka sampai pada satu titik kesimpulan. Bahwa banyak harapan yang tidak bisa lagi berjalan berdampingan.

Ronan ada kemungkinan bisa jatuh cinta lagi pada seorang perempuan, sedangkan Yuke tidak. Di sini, Ronan masih punya masa depan, sedangkan Yuke 'tidak', kecuali ia mau menipu dunia dan diri sendiri dengan berpura-pura jatuh cinta pada seorang perempuan, dan kemudian membentuk keluarga yang 'normal'. Ia dan Ronan berbeda. Ronan seorang biseksual, sedangkan ia seorang gay. Terlalu banyak benang tersimpul yang terlalu rumit untuk diuraikan.

Maka hubungan mereka tak berlangsung lama. Hanya kurang dari satu tahun. Keduanya memutuskan untuk berpisah. Yuke tidak bisa memenjarakan Ronan dalam hubungan yang ia sendiri tidak tahu akan bermasa depan seperti apa. Mereka tetap berteman baik. Apalagi Ronan adalah sahabat Inna, kakaknya. Karenanya ia tahu tentang Sasya. Ronan dengan jujur mengakui bahwa dirinya tertarik pada Sasya, salah seorang mahasiswi angkatan baru.

Sekilas ia mengamati gadis itu. Seketika ia memahami ‘rasa’ dalam hati Ronan. Entah, ia sendiri tak bisa menjabarkannya. Tapi Sasya memang terlihat ‘lain’ bila dibandingkan dengan gadis-gadis pada umumnya.

Pengamatannya tidak terlalu intensif dan lama, karena Yuke segera lulus dan sibuk mengejar beasiswa tingkat lanjut. Ia berangkat ke Amerika Serikat dan memutuskan bahwa masa depannya ada di negara itu. Jelas, ia dan Ronan berbeda nasib soal masa depan. Ronan sendiri sepertinya tidak mau gegabah dengan menjatuhkan cinta di mana-mana, pada sembarang orang.

Dan Yuke pun tahu, cinta itu adalah masalah rasa. Sesuatu yang tidak bisa dipaksakan kehadirannya. Ronan pun memahami pula itu. Hingga perlu waktu sekian lama untuk mengenali perasaannya sendiri. Tapi tak bisa berhenti hanya sampai di situ. Ia harus jujur di depan. Dan...

Di sinilah aku sekarang...

Hanya bisa menunggu Sasya selesai menenangkan diri. Tanpa menyimpan harapan berlebih. Walaupun sesak rasanya harus terjebak dalam ketidakpastian yang ia ciptakan sendiri seperti ini, tapi ada juga kelegaan yang melingkupi hatinya. Setidaknya ia sudah jujur. Terhadap dirinya sendiri, terutama terhadap Sasya.

Apa yang akan terjadi, terjadilah.

Ronan mengerjapkan mata sambil berdiri. Kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Aku sudah mengusahakan yang terbaik.

Selebihnya...

Aku pasrah.

* * *

Malam sudah menghening, tapi Sasya masih duduk mencangkung di atas sofa, di bawah keremangan lampu teras belakang. Tatapan matanya jatuh pada satu titik di tengah kegelapan taman. Runa ragu-ragu sejenak ketika melongokkan kepala dari balik pintu kaca. Setelah menimbang-nimbang, ia kemudian memutuskan untuk mendekati adik kesayangannya itu.

“Belum tidur?” Runa  mengelus bahu adiknya.

Sasya terlihat sedikit tersentak. Runa kemudian duduk di sebelahnya, merengkuh bahunya dengan tangan kiri. Sasya meringkuk. Memeluk kedua lututnya. Menyandarkan kepala pada dada bidang sang abang. Tangan kanan Runa terulur, mengelus kepalanya.

“Tadi... Brielle cerita sesuatu sama Mas,” bisiknya.

Kepala Sasya segera terangkat dari dada Runa. “Soal?”

“Soal yang kamu lamunkan baru saja.”

Seketika Sasya mengerti, lalu mendesah, “Bingung aku, Mas...”

“Iya, Mas ngerti. Makanya Mas sekarang masih di sini, untuk temani kamu. Awalnya Mas sama sekali nggak ngerti maksud Mama. Tapi sekarang Mas mengerti.”

Sasya kembali merebahkan kepalanya di dada Runa. “Kak Elle bilang gimana? Dia sohib si mantan itu, kan?”

“Iya,” angguk Ronan. “Dia nggak ngerti terlalu banyak. Hanya dari cerita si mantan itu saja. Mm... Menurut yang dia dengar, Ronan itu baik. Oke, orientasi seksualnya menurut kita mungkin bisa dibilang menyimpang. Tapi perilaku seksualnya bersih, Sya. Nggak pernah melakukan macem-macem. Dia dewasa, bisa ngemong. Dan Mas yakin, dia nggak main-main sama kamu.”

Sasya menghela napas panjang.

“Satu hal lagi, Mama sudah tahu soal ini.”

Sasya menegakkan lagi kepalanya. Ditatapnya Runa dengan mata bulat. Runa mengangguk.

“Karenanya Mama pulang lebih cepat. Besok, kamu bicaralah sama Mama. Aku yakin Mama bisa kasih pandangan yang terbaik.”

Sasya mengangguk.

“Kamu besok ada kelas jam berapa?”

“Jam sembilan sama jam sebelas.”

“Besok sebelum jemput Mama, aku ke resto dulu, sekalian pesan makanan buat siang. Biar dikirim ke sini. Kamu dari kampus langsung pulang saja.”

“Mas Runa balik ke Surabaya kapan?”

“Selasa. Kamu bisa antar ke bandara?”

“Bisa,” Sasya mengangguk. “Sekarang aku kosongnya Selasa, nggak Rabu.”

“Ya, sudah. Ini sudah malem, lho, Sas. Bobok, yuk! Besok pagi Mas bikinin nasgor spesial buat kamu.”

“Wuidiiih... Bisa masak, nih, sekarang?”

“Belajar, Sas,” Runa tertawa ringan. “Masa kalah sama kamu? Hehehe... Yuk, masuk!”

Sasya mengangguk. Membiarkan sang abang menarik dan menggandeng tangannya.

* * *


Ilustrasi : pixabay.com (dengan modifikasi)



3 komentar: