Senin, 03 Juli 2017

[Cerbung] Infinity #3



Tiga


Menjelang pukul tiga siang Jumat itu, satu demi satu staf Coffee Storage meninggalkan ruang meeting dengan diliputi aura sedikit kelabu. Hari ini adalah hari terakhir James mengendalikan kantor itu. Senin depan, boss ‘asli’ akan kembali lagi menduduki kursinya di lantai atas.

James adalah pemimpin yang sangat baik. Atmosfer menyenangkan di Coffee Storage tetap dipertahankannya. Sehingga ketika laki-laki itu berpamitan, ada rasa haru yang terasa mendesak di tenggorokan. Ketika tinggal berdua di ruangan itu, Olivia menatap James dengan mata mengaca.

“Saya akan sangat kehilangan Bapak,” gumamnya.

James tersenyum lebar. “Mungkin aku akan lebih sering berada di sini.”

“Oh, ya?” ada binar di mata Olivia.

“Ya, Liv,” angguk James. “Ketika kita menerima Victor Senin lalu, kemudian kamu ada ide menyuguhkan aneka kue basah sebagai snack, yang kamu tahu sendiri mereka nyaris nggak berhenti cemal-cemil, aku jadi kepikiran untuk buka coffee shop dengan menu utama kopi nusantara dan aneka jajanan khas Indonesia. Gimana menurutmu?”

“Wow...,” raut wajah Olivia terlihat takjub. “Jadi kita semacam punya etalase untuk koleksi kopi kita, sehingga klien yang berkunjung ke sini tinggal kita giring ke sana untuk mencicipinya?”

James mengacungkan jempolnya. “Tepat sekali!”

“Keren, Pak!” mata Olivia terlihat bersinar-sinar. “Keren banget!”

“Nah, aku juga kepikiran menggandeng budhe-mu untuk mengisi menu jajanannya. Gimana? Soalnya kue-kue buatan budhe-mu rasanya benar-benar enak, Liv.”

“Wah, Budhe kira-kira mau nggak, ya?” gumam Olivia.

“Coba, kapan kamu punya waktu luang, aku minta tolong diantar menemui budhe-mu. Bisa, Liv?”

“Bisa, Pak,” Olivia mengangguk cepat. “Bisa. Dengan senang hati.”

Keduanya kemudian pindah dari ruang meeting, kembali ke lantai atas. Pekerjaan mereka sedang tidak banyak hari ini. Laporan pertanggungjawaban James selama dua minggu mengendalikan Coffee Storage sudah selesai dikerjakan Olivia sebelum jam makan siang tadi, dan sudah ditandatangani James. Maka keduanya mulai mendiskusikan apa saja yang kira-kira perlu dilakukan sebagai langkah awal pendirian coffee shop dalam suasana santai. Dengan senang hati, Olivia mencatat dengan rapi semua garis besar ide dan rencana James.

Aneka usaha pemberdayaan masyarakat di sekitar tempat tinggal James sekarang sudah mulai menghasilkan. Sudah bisa dilepaskan sedikit demi sedikit agar mereka lebih mandiri. Hal itu membuat ia memiliki lebih banyak waktu luang. Dan laki-laki yang tak bisa dan biasa berdiam diri tanpa beraktivitas itu mulai melirik hal baru untuk dikerjakan. Olivia suka sekali melihat semangat yang seolah melompat-lompat keluar dari dalam diri James. Membuatnya jadi ikut bersemangat juga.

Tak terasa, waktu terus merambat hingga pukul empat sore. Sebelum meninggalkan kantor, James menatap Olivia.

“Sampai ketemu hari Senin, Liv,” senyumnya. “Aku masih akan datang lagi. Masih harus sertijab dengan boss-mu.”

Olivia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. “Iya, Pak. Catatan soal coffee shop akan saya simpan baik-baik. Bapak tak perlu khawatir.”

Dengan wajah puas, James mengacungkan jempolnya.

* * *

Langit senja masih terang ketika Olivia sampai di rumah. Ketika meluncurkan mobilnya melintasi carport melalui pintu pagar yang sudah dibuka lebar oleh Carmela, Olivia melihat ada sebuah motor yang parkir di pinggir carport, dan ada seorang pemuda duduk di teras.

“Mbak, ada temenku,” ucap Carmela begitu Olivia keluar dari mobilnya.

“Oh,” senyum Olivia.

Setelah mengunci pintu mobil, Olivia melangkah ke teras. Dengan ramah ia menerima jabat tangan dari pemuda seusia Carmela itu.

“Saya Luzar, Mbak,” ucap pemuda itu dengan nada sopan.

“Livi, kakak Mela. Temen sekolah Mela?” senyum Olivia.

“Mm...,” Luzar tampak ragu sejenak. “Iya, sebelum saya lulus kemarin.”

“Oh? Sudah lulus? Mau lanjut ke mana?”

“Sudah dapat tempat di UI, Mbak,” jawab Luzar, sama sekali tanpa nada sombong.

“Wah, hebat!” Olivia melebarkan matanya. “Ya, sudah, lanjutin ngobrolnya, deh. Mbak ke dalam, ya.”

“Iya, Mbak. Silakan, makasih.”

Olivia pun meninggalkan keduanya di teras, masuk ke dalam rumah melalui garasi. Di ruang tengah, dijumpainya Maxi tengah duduk berselonjor di sofa sambil memeluk stoples plastik berukuran jumbo berisi keripik singkong balado.

“Wuih! Beli di mana?”

“Dari Budhe Min,” Maxi menurunkan kakinya dari sofa.

“Mama tadi ke sana lagi?” Olivia duduk di sebelah Maxi, mencomot segenggam keripik yang pernampilannya terlihat sangat menggoda itu.

“Enggak,” Maxi menggeleng. “Dibawain yang lagi PDKT itu,” ia mengarahkan dagunya ke teras depan.

“Hah?” wajah Olivia terlihat sangat tertarik. “Kok, bisa?”

“Kan, dia tetangganya Budhe.”

“Lho, tadi katanya temen sekolah?” Olivia mengerutkan kening.

“Iya,” Maxi menjelaskan dengan nada sabar. “Dia mantan kakak kelas Mela. Rumahnya dekat Budhe. Tadi sebelum ke sini, dia ke rumah Budhe dulu, tanya alamat sini. Sama Budhe sekalian dititipin ini,” Maxi ia menggoyangkan sedikit stoples di pangkuannya.

“Oh...,” Olivia memahaminya.

“Dia juga tiap hari langganan catering sama Budhe. Sudah nggak punya ibu.”

Olivia membundarkan bibirnya tanpa suara. Sejenak kemudian ia tersadar.

“Kok, kamu bisa tahu banyak?” selidiknya, mengerutkan kening.

“Ya, iyalah,” Maxi tergelak. “Kan, aku tadi telepon Budhe, ngucapin terima kasih. Terus diajak ngerumpi sebentar sama Budhe.”

“Oh... Hahaha... Pantesan! Ya, deh, aku mandi dulu.”

Olivia beranjak dan segera menapaki anak tangga. Ia mengulum senyum.

Hm... Mela sudah mulai gede...

* * *

Dengan malu-malu, Luzar mengikuti langkah Prima dan Carmela masuk ke ruang makan. Pada awalnya pemuda itu menolak ketika Carmela mengajaknya ikut makan malam atas bisikan Arlena. Tapi ketika Prima turun tangan, Luzar tak bisa lagi mengelak.

Keluarga itu menyambutnya dengan sangat ramah. Suasana makan malam itu sungguh menyenangkan. Mereka melibatkannya dalam obrolan umum yang bisa diikutinya dengan baik. Sesekali mereka menyeretnya dalam tawa yang terasa sungguh menggelitik hati.

Pada satu titik ia tertegun sejenak. Ia sudah lupa kapan berada dalam keadaan serupa. Sudah hampir delapan tahun ia hanya hidup berdua saja dengan ayahnya, sejak ibu dan adik tunggalnya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, ketika mengawal sang putri bungsu berwisata ke Taman Mekarsari saat perpisahan TK. Ketika pulang, si putri bungsu tidak mau ikut bus. Lebih memilih untuk naik mobil bersama sang ibu.

Nahas, mobil itu terlibat dalam kecelakaan beruntun di jalur padat Cibubur. Diseruduk oleh sebuah truk trailer yang mengalami rem blong hingga tergencet sebuah MPV di depannya. Mobil mungil itu remuk, nyaris tak berbentuk. Mengakibatkan rasa duka dan kehilangan yang mendalam bagi Luzar dan ayahnya. Laki-laki itu kemudian bertekad untuk membesarkan sendiri putranya yang masih tertinggal.

Dan Luzar tahu tekad ayahnya. Ia membalasnya dengan belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Berusaha mandiri dan berkonsentrasi pada tugas dan kewajibannya sebagai seorang pelajar. Ia berhasil mengamankan sebuah kursi di Fakultas Kedokteran UI melalui jalur SNMPTN.

“Sering-seringlah main ke sini,” ujar Prima. “Tapi jangan sampai mengganggu waktu kuliahmu nanti.”

“Terima kasih, Om,” senyum Luzar.

Menjelang pukul sembilan, Luzar berpamitan. Carmela mengantarnya hingga ke pintu pagar.

“Besok pagi aku jemput, ya, Mel,” ucap Luzar sebelum menghidupkan mesin motornya.

Carmela mengangguk dengan wajah cerah. Besok adalah ekskul terakhirnya sebelum Sabtu depan libur menjelang ujian kenaikan kelas Senin depannya lagi. Ditunggunya hingga Luzar menghilang dari pandangan sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

“Wah, Max, kita kalah set, nih!” seru Olivia ketika Carmela masuk melalui pintu tembusan garasi. “Dibalap sama si bungsu soal memecahkan kejomloan.”

Maxi menyambutnya dengan tawa terbahak. Prima tergelak, sementara Arlena tersenyum lebar. Carmela dengan bibir mengerucut duduk di sebelah Prima di sofa panjang. Tangan kanan laki-laki itu segera menghangatkan sekeliling bahunya.

“Biarpun sudah nggak jomlo lagi, tapi jangan sampai lupa belajar,” ucap Prima lembut. “Ingat, beberapa bulan lagi kamu sudah naik ke kelas 12. Nggak sampai setahun lagi harus menghadapi ujian kelulusan. Jangan mau kalah sama Luzar yang bisa masuk UI tanpa tes.”

“Memangnya boleh, aku pacaran sama dia?” gumam Carmela.

“Hm... Boleh, nggak, Ma?” Prima menatap Arlena.

“Kalau Mama, sih, membolehkan,” senyum Arlena. “Soalnya Mama lihat Luzar anaknya baik, sopan, pandai pula. Harapan Mama, Mela ketularan prestasi Luzar.”

“Papa setuju sama Mama,” Prima menepuk lembut lengan kanan Carmela. “Hanya saja syaratnya satu, jangan sampai semangat belajarmu kendur. Janji?”

“Ya... Sebenernya, sih, aku mau-mau saja janji,” Carmela menghela napas panjang. “Tapi masalahnya... yang pacaran sama dia itu siapa? Dia saja belum ngomong apa-apa,” gadis itu nyengir.

Hening sejenak sebelum tawa mereka pecah. Tapi Carmela senang dengan tanggapan keluarganya. Tampaknya Luzar benar-benar sudah diterima oleh orang tua, kakak, dan abangnya. Mungkin butuh waktu sebelum Luzar benar-benar menjadi pacarnya. Ia tahu, cowok itu saat ini pun sedang mempersiapkan diri untuk memulai hidup baru sebagai seorang mahasiswa. Luzar tadi sudah mengatakan bahwa kemungkinan besar ia akan kost di Depok. Sebetulnya berat meninggalkan sang ayah sendirian. Tapi demi masa depan, terkadang ada pilihan terbaik yang harus diutamakan.

“Mm... Ngomong-ngomong, Pak Luken Senin besok sudah balik, ya?” tiba-tiba saja Carmela mengubah topik pembicaraan.

“Besok juga dia sudah sampai sini, “ jawab Olivia, terkesan acuh tak acuh.

“Wah, kira-kira dapat oleh-oleh apa, ya...,” Carmela menengadah, berlagak berpikir.

“Hadeeeh...,” gerutu Olivia. “Nggak usah ngarep macem-macem, deh.”

Carmela terkikik geli.

“Nanti malah kecewa kalau beneran nggak dapat oleh-oleh,” celetuk Prima.

“Enggaklah,” Carmela nyengir. “Bercanda doang ini...”

Menjelang pukul setengah sebelas malam, obrolan meriah di ruang keluarga itu bubar. Prima menunggu Maxi selesai menggembok pintu pagar dan mengunci pintu garasi sambil mematikan semua lampu di dalam rumah. Keduanya kemudian beriringan menapaki anak tangga.

“Kata Mama, tadi pagi kamu nyeri di bekas jahitan di pinggangmu, Max?” celetuk Prima. “Mau ke dokter besok? Papa temani.”

“Nggak usah, Pa,” Maxi menggeleng. “Sudah nggak apa-apa, kok. Tadi aku pakai rebahan, terus dikasih kompres dingin sama Mama. Minum anti nyeri juga. Kayaknya aku terlalu banyak gerak. Dari mulai persiapan lamarannya Mbak Vita tempo hari. Sampai mondar-mandir ke kampus beberapa hari belakangan ini. Minggu depan aku lebih banyak di rumah, mau lanjutin bab terakhir skripsiku. Yang depan-depan sudah beres, sudah dapat ACC.”

“Iya,” angguk Prima. “Jangan terlalu ngoyo. Ingat kesehatanmu. Perlu waktu agar dirimu pulih 100%. Besok sebaiknya kamu istirahat total. Biar Papa yang antar Mela ekskul.”

“Papa juga. Kami masih butuh Papa.”

Prima tersenyum sambil mengelus kepala Maxi yang tingginya beberapa sentimeter di atasnya. Keduanya kemudian berpisah di depan pintu kamar Prima. Dan rumah itu segera diliputi keheningan yang menulikan telinga.

* * *

Di dalam kamarnya, Olivia merenung sambil berbaring di ranjang. Senin besok, suasana kantornya akan kembali seperti semula. Ia tak akan kesepian lagi karena ada Sandra yang bisa diajaknya bicara di sela-sela keharusan menyelesaikan pekerjaan.

Dan Pak Boss...

Ia menyadari bahwa diam-diam kerinduan itu ada di sudut hatinya. Betapa teduh rasa hatinya saat melihat sosok Luken. Walaupun hubungan profesional itu cukup ketat membelit mereka, tapi ia tak bisa menafikan bahwa ada kehangatan dalam interaksi mereka sehari-hari.

Kepalanya menggeleng pelan ketika menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh berpikir. Selama belum ada omongan ‘lebih’ dari Luken, hubungan mereka tetaplah berada di bawah koridor profesionalisme. Tidak akan bisa lebih. Dan ia harus bisa menerima hal itu.

Lalu tiba-tiba saja, ia seolah bermain di tengah samudera bening berwarna abu-abu kehijauan. Seketika ia tersentak.

Allen Byrne... Bagaimana kabarnya?

Sejenak ia menghela napas panjang. Rasanya memang ia sudah terlalu jauh berharap. Tampaknya juga tak ada alasan bagi mereka untuk bertemu lagi. Dan rasa tertarik itu hanya akan tertinggal sebagai rasa tertarik biasa. Rasa yang akan segera terlupakan oleh waktu dan tiadanya pertemuan.

Realistislah, Liv!

Ia memilih untuk mematuhi peringatan hatinya. Keruwetan hidupnya yang sudah mulai terurai rasanya belum patut dituangi keruwetan lagi. Keruwetan yang timbul hanya karena ia menggantung harapan terlalu tinggi.

“... Supaya nanti kalau hasilnya tidak sesuai harapan, kamu tidak terlalu sakit karena harus terbanting dari ketinggian. ...”

Suara lembut sang ayah seolah terngiang lagi di telinganya. Sekali lagi dihelanya napas panjang.

Welcome back, Pak Luken... Goodbye, Allen Byrne...

Kemudian ia mengatupkan kelopak mata. Mulai menjemput mimpi.

* * *

Arlena tengah membersihkan wajahnya ketika Prima masuk ke dalam kamar dan menuju ke kamar mandi. Ada deretan ucapan syukur yang menggema dalam hatinya. Ketika Maxi mulai pulih dan kembali ke kamarnya sendiri, begitu juga Prima. Kembali ke kamar mereka yang pelan-pelan menghangat kembali.

Ia tak perlu berteriak mengabarkan pada seluruh dunia bahwa ia sudah benar-benar bertobat dan ingin memperbaiki hidup. Bisnisnya masih berjalan. Hasilnya juga masih lebih dari lumayan. Tapi kini hal itu bukanlah menjadi fokus utama. Ia lebih memilih menikmati hidupnya sebagai seorang istri dari Prima Arbianto, dan seorang ibu dari tiga putra-putri yang sudah beranjak dewasa. Menebus waktu yang melayang sia-sia ketika ia ‘menghilang’. Lalu kabut kebekuan itu pelan-pelan tersingkap. Belum seluruhnya. Dan ia sangat menyadari bahwa semuanya itu membutuhkan waktu. Tapi ia ikhlas. Sebuah sikap yang menebarkan aura positif di dalam rumah itu.

Ia beranjak dari ottoman di depan meja rias bersamaan dengan Prima keluar dari kamar mandi. Nyaris berbarengan keduanya membaringkan diri di ranjang.

“Mela sudah besar...,” gumam Prima tiba-tiba. “Sudah bisa naksir cowok.”

Arlena tersenyum. “Tapi nggak apa-apa, kan, dia dengan cowok itu?”

“Nggak apa-apa,” geleng Prima. “Biar dia menikmati prosesnya menjadi dewasa.”

Laki-laki itu menguap. Arlena memperbaiki posisi berbaringnya. Miring ke kanan menghadap ke arah Prima. Mulai memejamkan mata sambil memeluk guling.

“Selamat tidur, Pa,” gumamnya.

Prima tidak menjawab. Hanya mengulurkan tangan. Menarik Arlena dengan lembut ke dalam pelukannya yang hangat.

* * *

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

3 komentar: