Kamis, 13 Juli 2017

[Cerbung] Infinity #6



Enam


Pagi itu Olivia terjaga dengan perasaan bergairah. Hari Jumat sudah tiba. Sore nanti, ia ada janji untuk bertemu lagi dengan Allen. Entah kebetulan atau tidak, sepanjang minggu ini sepulangnya Luken dari Eropa, kantor mereka dilanda kesibukan yang cukup luar biasa. Banyak kontrak yang harus disiapkan, terutama yang berhubungan dengan beberapa pemasok baru. Tapi kesibukan itu sangat disyukuri Olivia karena bisa membuat perhatiannya teralih dan hari-hari serasa lebih cepat berlalu.

Seusai mandi, pilihannya jatuh pada sehelai gaun terusan bermodel overslag berlengan tiga per empat dan berkerah lebar. Gaun batik Madura dengan panjang selutut dalam paduan warna hijau lembut dan oranye itu tampak begitu manis karena variasi oranye polos mengilap pada bagian kerah, sekeliling pinggang, dan ujung lengan. Agar tetap rapi sepanjang hari, Olivia mengepang tempel rambutnya, dan mengikat ujungnya dengan karet berwarna oranye pula.

Ketika melihat jam dinding di kamar masih menunjukkan pukul 05.23, Olivia memutuskan untuk berdandan sedikit lagi. Tidak menor. Hanya menambahkan sedikit nuansa oranye kecoklatan pada kelopak mata, pipi, dan bibir. Ia juga sempat menjepit bulu matanya dan memakai maskara. Entah bisa bertahan sampai sore ataukah tidak dandanan itu, Olivia hanya ingin merasa lebih cantik saja hari ini.

Sebelum beranjak, ia memindahkan seluruh isi hobo bag hitam yang dipakainya kemarin ke dalam sebuah hobo bag lain berwarna oranye kecoklatan, terbuat dari bahan suede, termasuk perangkat rias wajahnya. Terakhir, sebelum keluar dari kamar, ia meraih sepasang peep toe wedges yang berbahan dan berwarna sama dengan hobo bag-nya. Dengan menenteng tas, sepatu, dan tas laptop, Olivia turun ke lantai bawah. Tatapan Prima menyambarnya begitu gadis itu muncul di ruang makan.

“Waduh... Bidadari nyasar dari mana ini?” celetuknya.

“Ecieee... Yang mau kencan sama Pak Boss...,” ledek Carmela.

“Apa, sih...,” gerutu Olivia sambil duduk di sebelah Prima.

Ia segera mendapatkan kecupan hangat di kening dari laki-laki itu. Arlena menatapnya dari seberang meja. Tersenyum simpul. Membuat Olivia sedikit tersipu.

“Nanti mau pulang jam berapa, Liv?” tanya Arlena.

“Agak malem, Ma,” jawab Olivia seraya mengambil nasi, tumisan sayur dan sepotong ayam goreng.

“Wah, kayaknya pulang kerja nanti, kita kencan saja, Ma,” Prima tersenyum lebar.

“Boleh...,” Arlena tertawa ringan menanggapi canda itu.

“Lha, si Ucrit ini apa nggak nangis ditinggal emak-bapaknya kencan?” Olivia nyengir sambil melirik Carmela.

“Oh... Jangan khawatir...,” wajah Carmela terlihat sok jemawa. “Nanti pulang sekolah aku mau main ke Budhe.”

“Sekalian kencan sama Luzar,” sambar Prima tanpa ampun.

Carmela tekikik geli. Tadi sebelum Olivia bergabung di meja makan, ia sudah mengutarakan maksudnya itu pada Prima dan Arlena. Keduanya menyetujui, dengan syarat Carmela dan Luzar tidak boleh ngeluyur ke mana-mana. Hanya boleh ke rumah Minarti, kemudian langsung pulang pada sore hari.

Menjelang pukul enam, kesibukan sarapan di meja makan itu pun bubar. Muntik sudah datang. Dengan cekatan perempuan itu membersihkan meja, sementara yang lain bersiap-siap untuk berangkat.

“Kamu ikut mobil Mbak Liv atau Papa, Mel?” tanya Olivia sambil meletakkan barang bawaannya di jok depan.

“Boleh nebeng Mbak Liv?” gadis remaja yang baru saja membuka lebar-lebar pintu pagar itu malah balas bertanya.

“Ayo, saja,” Olivia berjalan memutari mobil untuk membuka pintu kanan depan. “Tapi bilang dulu sama Papa-Mama.”

Carmela meneruskan langkahnya ke dalam garasi. Arlena sudah menghidupkan mesin mobilnya. Siap meluncur begitu mobil Olivia keluar. Carmela berpamitan pada Prima dan Arlena. Olivia menurunkan tas dan tas laptopnya ke depan jok. Sejenak kemudian, Carmela sudah duduk manis di sebelah kiri Olivia. Pelan-pelan, Olivia memundurkan mobilnya.

“Boleh ngomong jujur, nggak?” celetuk Carmela begitu mobil Olivia meluncur membelah jalanan kompleks yang sudah ramai.

“Ya?” Olivia menoleh sekilas.

“Mm... Aku senang kita semua sudah mulai pulih,” suara Carmela terdengar lirih. “Aku hanya berharap semua ini bukan cuma mimpi.”

“Semoga tidak, Mel,” ucap Olivia, halus. “Semoga bukan mimpi. Papa juga terlihat lebih santai dan lepas belakangan ini. Mama juga tampaknya bersungguh-sungguh.”

Carmela mengangguk. Semuanya terasa lebih ringan sekarang. Apalagi ia juga mendapat kelonggaran untuk mengenal Luzar lebih dekat, walaupun Prima sudah mengikatnya dengan berbagai syarat ‘tidak boleh ini-itu’ dan ‘jangan begini-begitu’. Tapi ia sungguh memahami bahwa semua itu demi kebaikannya. Begitu juga Luzar.

* * *

Dengan kening sedikit berkerut, Olivia melirik jam digital di dashboard. Masih menunjukkan angka 07:05. Tapi SUV Luken sudah terparkir di tempat biasanya. Sejenak ia membuka visor untuk memeriksa dandanan wajahnya. Masih terlihat sangat rapi. Lima menit kemudian, ia sudah sampai di lantai atas.

Obrolan antara Luken dan Sandra terputus begitu Olivia muncul. Keduanya sempat terbengong melihat penampilan Olivia. Sama sekali tidak berlebihan, tapi sangat cantik.

“Selamat pagi, Pak Luken, Bu Sandra,” ucapnya manis sambil mengangguk dan terus melangkah ke arah mejanya.

“Pagi...,” jawab Luken dan Sandra serempak. Sama-sama setengah bergumam.

Olivia berusaha untuk tidak acuh dengan sikap aneh yang ditunjukkan Luken dan Sandra. Ia tahu sebabnya, yaitu dandanannya yang agak luar biasa. Tapi ia yakin bahwa semua yang ada pada dirinya masih ada di dalam batas kewajaran. Busananya tergolong sopan. Dandanannya juga biasa-biasa saja walaupun sedikit lebih berwarna daripada kemarin-kemarin. Maka ia pun berlaku seperti biasa. Menyiapkan piranti kerja, merapikannya, dan bersiap menunggu jam kerja dimulai.

“Tumben, Liv?”

Olivia menoleh cepat. “Ya, Pak?”

“Tumben...,” ulang Luken. Tersenyum.

“Oh...,” Olivia tersipu sedikit. “Lagi mabuk kecubung, Pak.”

Luken tergelak mendengar candaan Olivia. Begitu pula Sandra. Tapi perempuan itu mencium aroma perubahan Olivia sejak ia dan Luken pulang dari Eropa. Gadis itu terlihat lebih cerah wajahnya, dan ada semangat ‘lebih’ yang terpancar dari gerak-gerik tubuhnya. Bukan sesuatu yang ‘biasa’.

Apakah karena senang bertemu Pak Luken kembali?

Samar, Sandra mengerutkan kening.

Lantas, kiriman yang diantar ojek online Senin lalu itu?

Olivia cukup tertutup soal itu. Tapi Sandra kemudian menyadari, bahwa mereka tak lebih dari rekan sekantor, seprofesi. Kalaupun ada kedekatan yang lebih, seharusnya tidak jadi alasan untuk ia tahu segala hal detail tentang Olivia dan kehidupan pribadi gadis itu. Toh, kalau dipandang perlu, tanpa diminta pun Olivia akan bercerita kepadanya.

Maka yang bisa ia lakukan adalah menunggu, walau tanpa menyimpan harapan berlebih.

* * *

Seusai menerima telepon, Sandra langsung beranjak dan mengetuk pintu ruang kantor Luken. Ia masuk begitu mendengar jawaban laki-laki itu.

“Maaf, Pak, saya mengganggu?”

“Oh, enggak,” Luken menyisihkan sedikit lapop dari depannya. “Duduk, Bu.”

Sandra mengangguk sedikit dan mengambil tempat di depan Luken, di seberang meja.

“Baru saja ada telepon dari Pak Madi,” lapor Sandra. “Beliau minta pertemuan dengan Bapak yang dijadwalkan hari Selasa depan dipercepat jadi besok, karena Pak Madi harus terbang ke Sulawesi. Ibu beliau sakit keras.”

“Wah...,” Luken mengerutkan sedikit keningnya. “Besok, kan, ada undangan nikahnya Mei.”

“Iya, Pak,” angguk Sandra. “Yang pasti saya nggak bisa dampingi Bapak. Kan, saya sama papanya Angie didapuk jadi saksi nikah.”

“Ya, sudah,” Luken berdiri. “Ayo, Bu. Sekalian kita bicarakan sama Livi sembari siap-siap makan siang.”

Sandra pun mengikuti langkah Luken. Laki-laki itu kemudian duduk di depan meja Sandra, sedangkan perempuan itu berjalan memutari meja dan duduk di kursinya sendiri. Olivia terlihat sedang sibuk mencetak dan menggandakan beberapa dokumen.

“Masih lama, Liv?” celetuk Luken.

“Sebentar, Pak, maaf,” gadis itu hanya menoleh sekilas.

Luken mengangguk maklum. Olivia ‘tidak boleh diganggu’ pada saat seperti ini, agar pekerjaannya tidak salah dan mubazir kertas.

“Sebentar lagi saya siapkan dokumen Pak Madi, Pak,” ucap Sandra lirih. “Seandainya harus Bapak sendirian bertemu Pak Madi kalau dia--,” Sandra melirik Olivia sekilas, “—tidak bisa mendampingi Bapak, tidak ada dokumen yang tercecer.”

Luken mengangguk. Keduanya kemudian membicarakan waktu yang memungkinkan untuk bertemu Madi. Setelah waktunya disetujui Luken, Sandra menelepon balik Madi. Laki-laki itu sepakat pertemuan akan diadakan pada pukul setengah dua belas siang di sini, kantor Coffee Storage. Sekalian setelah itu ia akan meluncur ke bandara.

Pekerjaan Olivia mencetak dan menggandakan dokumen selesai bersamaan dengan diantarnya makan siang mereka oleh seorang OB. Tiga kotak nasi, dan tiga gelas es teh tawar. Karena mejanya sedang penuh, maka Sandra meminta OB itu meletakkan nampan di coffee table di seberang mejanya.

“Ayo, Liv, makan dulu,” ucap Luken sambil berdiri untuk menghampiri perangkat sofa tamu di lantai dua itu.

Olivia masih sibuk memisahkan dokumen ke dalam beberapa map berbeda.

“Silakan Bapak dan Bu Sandra makan dulu,” Olivia menoleh, tersenyum manis. “Ini tanggung, tinggal merapikan saja.”

Luken mengangguk dan beranjak bersama Sandra. Olivia menyusul sekitar lima menit kemudian. Sambil menikmati makan siang, ketiganya kemudian bicara soal meeting dengan Madi besok. Ternyata Olivia menyanggupi untuk mendampingi Luken.

“Sekalian saja berangkat kondangan bareng, Liv,” celetuk Luken. “Jam dua belas mulainya, kan? Paling Pak Madi nggak lama, cuma tinggal baca dokumen dan tanda tangan saja. Aku jemput kamu, ya? Jam berapa?”

Olivia terdiam sejenak. Berpikir.

“Jam setengah sebelas gimana, Pak?” putusnya kemudian. “Atau langsung saja saya ke sini?”

“Oh, jangan...,” geleng Luken. “Aku jemput saja. Sekalian kalau sudah selesai, aku antar pulang.”

“Wah, Bapak jadi repot.”

“Enggaklah,” Luken kembali menggeleng. “Justru kamu yang jadi repot karena harus ke sini segala sebelum kondangan. Hari libur lagi.”

“Nggak apa-apa, Pak,” senyum Olivia. “Namanya juga darurat.”

Seusai istirahat makan siang, Sandra segera sibuk menyiapkan dokumen untuk esok hari. Olivia lanjut menyelesaikan pekerjaannya yang lain. Sedangkan Luken masuk ke ruangan kantornya, sebelum keluar lagi pada pukul dua dan berpamitan hendak keluar karena ada keperluan.

“Aku nanti langsung pulang,” ucap Luken. “Nggak balik lagi. Kalian jangan telat pulangnya.”

Olivia dan Sandra mengangguk serempak.

* * *

Ketika Prima keluar dari area kantor Chemisto, dijumpainya Arlena dan Navita tengah asyik mengobrol di teras lobi. Dihampirinya kedua perempuan itu. Dengan gerakan biasa, ia menyapukan bibirnya pada rambut Arlena. Mereka sempat mengobrol sejenak sebelum meninggalkan Navita yang masih menunggu jemputan Gandhi.

Kening Prima sedikit berkerut ketika mendapati penampilan Arlena lain daripada biasanya. Saat menjemput Prima, tak jarang Arlena hanya bercelana pendek dan kaus oblong saja, atau memakai celana bermuda yang panjangnya di atas lutut dan kaus tanpa lengan. Oleh karenanya perempuan itu hampir tak pernah keluar dari dalam mobil. Tapi kali ini ia memakai celana jeans berwarna biru gelap dan sehelai blus berwarna merah hati dengan aksen ruffles pada kerah dan kedua ujung lengannya. Penampilan itu dipermanis dengan seuntai kalung mutiara panjang berwarna putih, sewarna dengan sandal wedges-nya. Terlihat sangat senada dengan Prima yang mengenakan kemeja batik katun lengan pendek berwarna dasar merah hati dan pantalon hitam.

“Tumben...,” gumam Prima sambil duduk dan menutup pintu kanan depan mobil. Sudah seminggu ini ia yang mengemudikan mobil saat pulang.

“Aku baru saja tutup transaksi,” Arlena tersenyum simpul. “Ingin ajak Papa makan di luar. Mau?”

“Lho, ya, mau!” jawab Prima seketika. “Tapi kalau cuma fried chicken di situ--,” Prima menggerakkan dagunya ke satu arah, “—kayaknya, kok, kurang nendang.”

Arlena tertawa. “Nggak di situ lah...”

“Mela gimana? Jadi ke rumah Mbak Min?” Prima mulai menekan pedal gas.

“Jadi,” angguk Arlena. “Tadi pagi habis sarapan aku kasih uang ekstra, untuk beli oleh-oleh buat Mbak Min. Tadi sebelum aku berangkat ke sini, Mbak Min juga sudah telepon aku. Bilang kalau Mela sudah sampai. Sekalian aku bilang titip Mela sama Luzar. Minta tolong diawasi.”

“Oh,” Prima mengangguk singkat. “Terus, ini kita mau ke mana, nih?”

Arlena menyebutkan suatu tempat. Dan Prima pun menurutinya dengan senang hati.

* * *

Mereka berjanji untuk bertemu di sebuah restoran Jepang di Kota Kasablanka. Tidak terlalu jauh dari kantor Olivia, dan juga mudah dicapai dari kantor Allen. Laki-laki itu sudah duduk menunggu ketika Olivia muncul, karena Olivia memang menunda sejenak jam pulangnya. Wajahnya terlihat bertambah cerah ketika melihat kehadiran Olivia. Ia melambaikan tangan, dan ke arah itulah Olivia menuju.

“Maaf, aku terlambat,” ucap Olivia sambil menempatkan diri di seberang Allen.

“Tidak apa-apa,” senyum Allen. “Aku juga belum lama.”

Keduanya kemudian sibuk memilih makanan. Olivia tertawa ketika Allen dengan terus terang menyatakan suka dengan Olivia yang tidak terlalu repot dengan urusan makanan.

“Tidak seperti kebanyakan gadis yang pernah aku kenal,” ujarnya.

“Aku makan banyak, semuanya keluar jadi tenaga dan pikiran,” jawab Olivia. “Hidup di Jakarta itu melelahkan, Allen. Terutama kemacetannya.”

“Hm... Ya,” angguk Allen. “Oleh karena itu aku bersyukur punya banyak waktu di field. Selama ini aku memanfaatkan waktu liburku dengan mengunjungi tempat-tempat wisata menarik di sini.”

“Sudah ke mana saja?” Olivia tampak antusias.

“Raja Ampat, Bunaken, Toba, Derawan, Bali, Lombok, Jogja, Jawa Timur, Komodo, and... so many places.”

“Wow!” mata Olivia seketika berkelip.

“Kesempatan, Olivia,” senyum Allen. “Selagi aku bisa dan ada waktu. Tapi untuk yang akan datang, sepertinya aku akan mempersingkat waktu liburku. Aku akan pulang hari Kamis, supaya Jumat bisa bertemu denganmu.”

Olivia kehilangan kata untuk menanggapinya.

* * *

Prima mematikan mesin mobilnya. Bersamaan dengan itu Arlena membuka visor untuk bercermin dan memeriksa dandanannya. Ia hanya perlu sedikit menambah bedak dan merapikan rambut. Prima menunggu dengan sabar.

“Papa perlu kemeja batik baru, nggak?” Arlena menoleh sekilas.

“Kayaknya perlu nambah beberapa untuk hari Jumat gini, ya?” gumam Prima. “Yang katun-katun saja.”

“Ayo, sekalian aku belikan,” Arlena memasukkan sisir ke dalam sling bag putihnya. Bersiap membuka pintu mobil.

Prima tersenyum senang. “Boleh...”

Keduanya kemudian keluar dari mobil. Otomatis tangan kiri Prima menggenggam tangan kanan Arlena. Dengan halus, Arlena melepaskan genggaman itu. Sebagai gantinya, ia melingkarkan tangan kanannya pada lengan kiri Prima. Dalam jarak serapat itu, samar hidungnya masih bisa mencium aroma harum maskulin Prima. Terasa begitu hangat dan menggetarkan hati.

“Ke Keris, ya, Pa?” ujar Arlena.

Prima mengangguk.

Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk sibuk melihat-lihat beberapa kemeja berbahan katun yang diinginkan Prima. Akhirnya terpilih lima helai kemeja aneka warna. Dua lengan pendek, tiga lengan panjang. Masih belum cukup, Arlena mampir ke bagian gaun perempuan.

“Pa, coba pilihkan yang bagus buat Livi,” gumam Arlena. “Dia cantik sekali ngantor pakai gaun batik seperti pagi tadi.”

“Hm...,” Prima pun ikut terseret kesibukan Arlena memilih-milih gaun batik.

Tangan laki-laki itu kemudian mengangkat sebuah gaun berwarna dasar merah hati seperti kemejanya. Mata Arlena membulat menatap gaun itu.

“Bagus!” desisnya.

“Ukurannya?”

“Dia sama denganku, hanya lebih tinggi. Sini, kucoba dulu.”

Prima menyerahkan gaun itu pada Arlena. Dalam bayangannya, Olivia pasti cantik sekali mengenakan gaun itu. Sehelai gaun yang bermodel sederhana tapi terlihat sangat elegan. Sambil menunggu Arlena selesai mencoba gaun itu, Prima iseng memilih gaun lain. Didapatnya dua helai lagi. Satu bermotif parang berwarna putih dan coklat gelap yang terlihat klasik dan sangat elegan, satu lagi berwarna merah-putih-biru yang terkesan cerah dan ceria.

“Enak banget dipakai,” ujar Arlena begitu muncul. “Pas ini ukurannya. Di aku sedikit di bawah lutut. Pas kalau untuk Livi.”

“Ini lagi, bagus,” Prima mengacungkan pilihannya.

Dengan cepat Arlena memeriksa ukuran kedua gaun itu. Sama. Begitu pula panjangnya. Ia tak perlu berpikir panjang untuk membayar semua pilihan Prima itu di kasir bersama kemeja-kemeja yang sudah dipilih lebih dulu.

Tanpa ragu Arlena menyerahkan kartu debitnya. Prima menghargai upaya Arlena untuk menyenangkan hati keluarga. Hari Minggu lalu, Carmela sudah mendapat giliran untuk diajak Arlena berbelanja. Kali ini giliran ia dan Olivia yang ketiban rejeki. Mungkin besok-besok tiba giliran Maxi. Dengan wajah cerah, Prima meraih tas berisi semua baju yang sudah dibayar Arlena.

“Papa mau makan di mana?” tanya Arlena sambil mereka melenggang keluar dari toko batik itu.

“Mm... Sushi Tei?”

“Ayo!” angguk Arlena. “Oh, ya, nanti sambil pulang, ingatkan aku untuk mampir beli roti untuk anak-anak, ya? Bisa buat sarapan besok.”

“Oke.”

* * *

Pada satu detik, sambil tertawa ketika obrolannya dan Allen menyentuh hal yang jenaka, tatapan Olivia secara tidak sengaja jatuh ke arah pintu masuk restoran. Dan dua sosok yang baru saja melenggang masuk membuatnya ternganga. Terlupa akan tawanya.

Allen seketika menyadari perubahan ekspresi Olivia. Ia mengikuti arah pandang Olivia. Menemukan ada sepasang laki-laki dan perempuan berusia pertengahan 40-an menjelang 50 yang rupanya hendak makan juga di tempat itu.

Do you know them?” celetuk Allen.

Olivia tersadar mendengar suara laki-laki itu. Ia menoleh, menatap Allen.

Yes, of course,” Olivia mengangguk lemah. “My mom and dad.”

Really?” wajah Allen terlihat antusias. “Kenapa tidak diajak duduk bersama di sini?”

Mata Olivia melebar. “Kamu bercanda,” desahnya.

Of course I’m not,” bantah Allen. Wajahnya terlihat bersemangat. “Come on, Liv...”

Olivia terdiam. Melihat itu, Allen segera berdiri dan menghampiri kedua orang itu, yang sudah duduk saling berhadapan di depan sebuah meja. Olivia tak bisa mencegahnya. Pun ketika Arlena dan Prima menuruti permintaan Allen.

Laki-laki itu segera pindah duduk di sebelah Olivia, sekaligus menarik makanan dan minumannya mendekat. Dengan jelas Prima melihat betapa pasrahnya wajah sang putri. Tapi sungguh, baik ia maupun Arlena tidak bisa menolak ajakan Allen untuk duduk menghadapi meja yang sama.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

2 komentar:

  1. Aq koq kayake kenal kambek baju batik madurae Livi se mb Lis?
    Deskripsie jelasssss wakwakwakwak

    BalasHapus