Kamis, 10 Agustus 2017

[Cerbung] Infinity #14



Empat Belas


Senin pagi buta, Olivia sudah sibuk di dapur untuk membuat sarapan. Carmela membantunya mengocok dan mendadar telur. Maxi muncul saat Olivia asyik mengaduk nasi goreng di atas penggorengan. Pemuda itu membuat tiga cangkir kopi, semug teh hijau hangat, dan segelas susu coklat. Setelah semuanya selesai, Olivia dan Carmela segera naik untuk mandi, sementara Maxi menata meja makan.

Hari ini adalah hari yang penting. Prima akan melakukan serah terima jabatan dari Manager HRD menjadi Wakil Direktur PT. Chemisto. Laki-laki itu tampak gagah dalam balutan kemeja batik tulis sogan lengan panjang dan celana panjang hitam. Warna gelap kemeja itu membuat Prima tampak begitu agung dan berwibawa.

Arlena duduk di depan meja rias, merapikan rambut dan rias tipis wajahnya. Meskipun ia tidak ikut acara sertijab itu, paling tidak ia ingin mengantarkan Prima dalam kondisi lebih rapi daripada biasanya. Dari pantulan cermin, ia melihat Prima sedang duduk di tepi ranjang untuk memakai kaus kaki. Pada satu detik, tatapan mereka bertemu. Arlena buru-buru mengalihkan pandangannya. Entahlah, bertemu tatapan dengan Prima masih juga menimbulkan perasaan tersipu.

Prima mengulum senyum. Pada saat-saat seperti ini, ia makin yakin bahwa keputusannya memberikan pilihan pada Arlena tempo hari tidak salah. Perempuan itu berubah. Jadi jauh lebih baik, sekaligus terlihat lebih menikmati hidup. Kualitas hidup Prima pun meningkat drastis. Tidak lagi serasa menanggung beban berat.

“Nanti aku pulang naik taksi saja, Ma,” celetuk Prima sambil memasukkan kaki ke dalam sepatu. “Nggak usah dijemput. Ada acara syukuran di luar. Pak Krisno yang mengadakan.”

“Oh, oke,” Arlena mengangguk. “Tapi kalau kira-kira masih memungkinkan, tinggal telepon aku saja, Pa. Nanti kujemput.”

“Ya, coba nanti kita lihat, ya?” Prima berdiri.

Laki-laki itu kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja. Dirabanya bagian belakang celana. Dompetnya tidak terlupa. Arlena kemudian menyodorkan sehelai saputangan yang sudah terlipat rapi dan berbau harum. Prima menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.

Arlena berlalu untuk keluar dan turun ke dapur. Saat melewati Prima, laki-laki itu dengan lembut menyapukan bibirnya ke rambut Arlena. Perempuan itu tiba-tiba saja menjadi beku. Dengan halus Prima menjangkau bahu Arlena. Dengan halus pula ia menarik bahu itu hingga Arlena berbalik dan menghadap ke arahnya. Sebelum Arlena tersadar dari rasa tertegunnya, Prima sudah memeluknya dengan hangat.

“Terima kasih, kamu sudah memilih untuk tetap berada di sini, Ma,“ bisik Prima. “Di sampingku. Mendampingi anak-anak.”

Ada yang terasa hangat di pelupuk mata Arlena. Tanpa ragu, ia membalas pelukan Prima. Laki-laki itu mengelus rambutnya.

“Semua ini,” bisik Prima lagi, “yang ada padaku, adalah untukmu dan anak-anak.”

Arlena mengangguk tanpa suara. Seutuhnya ia percaya. Selama ini, toh, Prima sudah membuktikannya. tanpa pernah terlalu muluk mengumbar janji. Pelan-pelan mereka saling melepaskan pelukan.

“Sudah waktunya sarapan,” ujar Arlena dengan suara sedikit serak. “Jangan terlambat sampai di kantor.”

Prima mengangguk dan menggandeng tangan Arlena, keluar dari kamar.

* * *

Seperti biasa, menjelang pukul enam pagi, bersamaan dengan datangnya Muntik, acara sarapan bersama mereka selesai. Olivia meraih tas laptop dan hobo bag-nya.

“Mel, kamu nebeng Mbak Liv, ya, biar Mama nyetirnya lebih santai ke kantor Papa,” ujar Olivia sambil membungkuk untuk meraih pump shoes-nya di dekat sofa.

“Aku diantar Mas Maxi, Mbak,” jawab Carmela sambil, memakai sepatunya.

Hari ini, gadis itu siap berangkat ke sekolah dengan memakai seragam training suit karena kelasnya masuk final bola voli pada class meeting seusai UAS.

“Oh, oke,” angguk Olivia.

Ia kemudian bergegas menuju ke mobilnya. Arlena sudah siap di belakang kemudi mobil Prima. Prima sempat mencium kening Olivia sebelum masuk ke dalam mobil. Setelah kedua mobil itu meluncur keluar dari garasi, barulah Carmela nemplok di boncengan motor sang abang.

* * *

Seperti biasa pula, Sandra sudah duduk manis di belakang mejanya ketika Olivia datang. Gadis itu menyapa dengan ringan sambil melangkah ke area kerjanya. Sandra sekilas mengamati.

Olivia berdandan seperti biasa. Minimalis walaupun tetap terlihat cantik. Busananya juga tidak istimewa. Hanya setelan blus putih bersimpul pita di depan dada dan rok span berwarna khaki selutut. Blazer lengan panjang yang menutupi blusnya berbahan dan berwarna sama dengan rok. Rambutnya diikat tinggi. Menambah segar penampilannya yang tampak begitu bersih.

“Gimana kabar Mas Bule, Mbak Liv?” celetuk Sandra.

Olivia menoleh. Tersenyum tipis.

“Baik,” jawabnya pendek.

Sebuah sinyal kuat yang menandakan bahwa Olivia sedang tidak ingin membicarakan itu. Sandra mengingat pertemuannya dengan Olivia pada resepsi pernikahan.



“Itu Livi, bukan, Ma?” Riza mencolek lengan Sandra.

Perempuan itu menoleh ke arah Riza menatap. Seketika ia ternganga. Gadis bergaun biru itu tampak benar-benar lain daripada biasanya. Terkesan lebih ‘terbuka’, tapi tetap terlihat elegan dan tidak berlebihan. Penampilan laki-laki tinggi tegap yang menggandengnya terlihat padu, juga bernuansa biru.

Seharusnya Sandra tidak perlu terlalu terkejut kalau melihat Olivia sudah menggandeng laki-laki lain selepas hubungannya dengan Miko beberapa waktu lalu. Olivia cantik, menarik, sikapnya juga menyenangkan. Tak sulit menarik laki-laki mana pun untuk mendekat padanya.

Tapi... Yang ini sungguh-sungguh di luar dugaanku! Hm...

Secara tersamar, diamatinya pasangan itu ketika memberi selamat pada mempelai. Tampak lebih akrab berbicara dengan Edo. Sandra maklum. Edo bekerja di sebuah perusahaan asing. Sepertinya laki-laki itu rekan kerjanya. Ketika pasangan itu bergabung dengan sebuah kelompok di sudut, Sandra masih mengamatinya.

Ekspresi wajah Olivia tampak begitu lepas. Berseri-seri. Ketika kelompok itu bubar dan satu per satu orangnya mendekati meja prasmanan, Sandra tak tahan lagi untuk tak menghampiri gadis itu. Pelan ia mendekat dan mencolek Olivia. Mengulas senyum ketika gadis itu menoleh.

“Dunia sempit, ya?” Sandra nyengir.

“Oh, hai, Bu!” Olivia tersenyum. Terlihat berusaha menutupi kegugupannya.

Keduanya kemudian saling berpelukan dan bertukar sentuhan di pipi.

“Cantik bangeeet!” puji Sandra, setulusnya.

“Hehehe... Nggak sangka ketemu di sini sama Ibu.”

“Iya, istrinya Edo itu keponakanku, anak kakakku.”

“Oh...”

“Ke sini sama siapa?”

“Itu,” Olivia menunjuk pasangannya, “teman sekantor pengantin cowok.”

“Oh...,” Sandra manggut-manggut.

Olivia kemudian memanggil laki-laki itu dan memperkenalkannya pada Sandra.

“Ah! Rupanya Anda sedang ke Eropa ketika saya berkunjung ke Coffee Storage bersama ayah saya,” Allen menjabat tangan Sandra dengan hangat.

“Oh?” Sandra menatap Olivia, tampak menuntut penjelasan.

“Allen ini putra Mr. Victor Byrne,” jawab Olivia. “Teman lama Pak James. Klien kita juga.”

Kemudian keduanya berpisah karena Olivia dan Allen memang sudah waktunya menikmati hidangan. Tapi dari kejauhan Sandra sesekali masih mengamati. Kedua muda-mudi itu sesekali bercakap dengan wajah serius, sesekali saling mengulas senyum, sesekali sama-sama tertawa pula.

Keesokan harinya, Minggu kemarin, ketika menjenguk Nessa yang sudah pulang ke rumah, ia mendapat gosip tentang kencan Olivia dan bule itu. Nessa dan Oyas bertemu keduanya di sebuah resto Jepang di Kokas. Bahkan ada kedua orang tua Olivia juga. Duduk bersama di sekeliling satu meja.

Mendadak saja pikiran Sandra melayang kepada sosok Luken.



Dan sosok yang dipikirkannya tiba-tiba saja muncul dalam gegas langkah yang terlihat bersemangat. Menyapanya dan Olivia dengan senyum secerah mentari pagi. Seperti biasa, Luken duduk di depan Sandra.

“Liv, berkas untuk meeting jam satu nanti tolong kamu siapkan sekarang,” Luken menoleh sekilas ke arah Olivia. “Sekalian siap-siap berangkat sekarang.”

Olivia terbengong sejenak. Luken rupanya menangkap ekspresi itu. Ia tesenyum.

“Kamu ikut aku antar Om James ke bandara, setelah itu kita langsung ke tempat meeting. Daripada aku bolak-balik cuma untuk jemput kamu.”

“Oh...,” seketika Olivia paham. “Pesawat Pak James jam berapa, Pak?”

“Setengah sebelas. Takutnya kena macet, Liv.”

Gadis itu mengangguk. Dengan cekatan dan teliti ia menyiapkan semua kebutuhan untuk meeting dengan salah seorang pemasok. Luken juga mengarahkan beberapa hal yang harus dicatat dan dikerjakan Sandra. Beberapa menit sebelum pukul delapan, Olivia dan Luken turun. James ternyata sedari tadi duduk menunggu di sofa lobi bawah.

Olivia yang hendak duduk di jok tengah SUV Luken terpaksa mengalah karena James sudah mendahuluinya. Gadis itu kemudian duduk manis di jok kiri depan. Benar perkiraan Luken. Mereka sempat terhadang beberapa kemacetan, sehingga baru pukul 09.23 mereka masuk ke area bandara.

“Drop aku di depan saja, Luk. Kamu nggak usah parkir,” ujar James.

“Nggak apa-apa, Om?” Luken menatap James dari spion tengah.

“Nggak apa-apa...”

Luken menuruti permintaan pamannya. Setelah menurunkan James, ia kemudian melajukan mobilnya meninggalkan area bandara, kembali ke Jakarta, mengarah ke Cipete.

“Kita kepagian, Liv,” gumam Luken.

“Tapi takutnya kalau tadi saya nggak sekalian ikut, kita bisa telat ke Cipete, Pak.”

“Iya, benar,” angguk Luken.“

“Bu Lyra dan Pak Yus sehat, Pak?”

“Sehat,” senyum Luken. “Titip salam buat kamu.”

“Oh, terima kasih.”

“Oh, ya, tadi kayaknya Om James lupa bilang sama kamu. Minggu depan Om James mau ‘pinjam’ kamu agak sering. Jadi, kira-kira bisa, nggak, kalau minggu ini kamu agak banyak kerjaan karena sekalian mencicil pekerjaanmu minggu depan?”

“Bisa diatur, Pak,” angguk Olivia. “Kebetulan sebagian pekerjaan saya minggu ini sudah selesai sejak minggu lalu.”

“Oke,” wajah Luken terlihat puas. “Sekarang kita cari makan dulu ya, Liv. Sambil tunggu waktu meeting kita. Mampir ke mall atau...”

“Gimana kalau langsung ke Cipete saja, Pak? Banyak banget tempat makan di sana.”

Luken pun menyetujui ucapan Olivia.

Menjelang pukul sebelas siang, Luken membelokkan mobilnya ke halaman sebuah resto yang menyajikan makanan rumahan. Sambil makan, keduanya banyak membahas soal pekerjaan dan juga proyek James.

“Oh, ya, aku dengar dari Dino, hari ini Pak Prima sertijab,” celetuk Luken pada satu titik waktu.

“Oh...,” Olivia terlihat sedikit tersipu, tapi tidak mengurangi rona bahagia dalam wajahnya. "Iya, Pak."

“Selamat, ya, Liv,” senyum Luken. “Pak Prima sangat pantas mendapatkannya. Dino cerita banyak soal Pak Prima. Makanya dulu waktu Dino dipromosikan jadi GM, dia sempat keder karena dia merasa belum pantas. Merasa Pak Prima jauh lebih layak. Justru Pak Prima yang selalu meyakinkan Dino bahwa pasti bisa. Dan sekarang Pak Prima benar-benar berada pada posisi yang tepat.”

“Semua hal memang ada waktunya sendiri, Pak,” ucap Olivia halus.

“Iya, aku percaya itu...”

Apakah termasuk waktu untuk menjabarkan isi pesanmu beberapa minggu lalu?

Sekilas Olivia menatap Luken.

... Walau aku sendiri tidak yakin apakah aku masih punya waktu yang tepat untuk bisa memilikimu, Liv... 

Luken menatap ke arah lain. Ingatannya melayang pada kejadian Jumat sore lalu saat ia melihat Olivia dijemput oleh seorang laki-laki asing.

* * *

Olivia sampai di rumah beberapa belas menit lewat dari pukul lima sore. Tadi ia pulang pukul empat bersamaan dengan Luken dan Sandra. Ketika memasuki garasi setelah memarkir mobilnya di carport, dilihatnya dua buah mobil berada lengkap di sana. Hanya motor Maxi yang tidak ada. Sambil sedikit mengerutkan kening, ia pun melanjutkan langkahnya. Dua kepala sama-sama menoleh ketika ia masuk ke ruang tengah melalui pintu tembusan.

“Nah, kebetulan Mbak Liv sudah pulang!” seru Carmela.

“Biar istirahat dululah mbakmu, Mel,” sergah Arlena lembut.

“Ada apa, sih?” Olivia meletakkan barang bawaannya di sofa.

Carmela segera ngacir ke dapur untuk mengambil segelas air dingin untuk Olivia.

“Ini... lagi ngomongin syukurannya Papa,” jawab Arlena. “Tapi dilanjut nanti saja, setelah kamu mandi.”

“Oh...,” Olivia menerima uluran gelas berisi air dingin dari Carmela sambil mengucapkan terima kasih. “Eh, itu Papa nggak dijemput?”

Arlena menggeleng. “Papa bilang mau pulang naik taksi saja. Pulang kantor ada acara makan-makan sama Pak Krisno.”

Olivia manggut-manggut. Setelah menghabiskan isi gelasnya, gadis itu kemudian beranjak seraya meraih barang-barangnya.

“Aku mandi dulu,” ujarnya. “Setelah itu kita ngobrol soal syukuran.”

Arlena mengangguk.

* * *

Tengah ketiga perempuan itu asyik membicarakan syukuran yang direncanakan akan diadakan pada akhir minggu ini, bel pagar berbunyi. Carmela segera beranjak keluar. Beberapa saat kemudian ia masuk lagi sambil membawa sebuah tas kertas. Diulurkannya tas itu pada Arlena.

“Buat Mama, nih!”

Arlena sempat mengerutkan kening. Tapi senyum lebarnya segera tersungging ketika membuka bungkusan yang ada di dalam tas kertas itu. Dua helai kaus oblong berwarna merah hati dan biru donker. Yang berwarna biru berukuran lebih besar. Carmela iseng menyambar kaus biru dari pangkuan Arlena.

“Apaan, sih?” gumamnya penasaran.

Ketika ia membentangkan kaus oblong itu, tawa Carmela dan Olivia sama-sama meledak. Kalimat berwarna putih dengan bentuk font menarik itu bertuliskan ‘Mr. Right’. Terletak di bagian dada dan punggung. Ketika Arlena membentangkan kaus merah, tawa keduanya meledak lagi. Warna dan font tulisannya sama, hanya saja kalimatnya berbunyi ‘Mrs. Always Right’.

“Beli di mana, sih, Ma?” Carmela terlihat penasaran. “Kok, dianternya pakai Great-jek?”

“Ini usaha anak Om Nando,” jawab Arlena.

“Oh... Sama kayak kaus-kaus kocaknya Papa, ya?” Olivia tertawa lagi.

“Iya...,” Arlena mengangguk sambil ikut tertawa. “Ini juga Papa yang pilih. Biar kayak ABG, katanya.”

Tawa Olivia dan Carmela meledak lagi. Olivia mengamati lagi kaus di tangannya. Bahannya bagus. Katun. Cukup tebal. Membuatnya tertarik. Ditatapnya Arlena.

“Mama ada katalognya?”

“Ada IG-nya,” Arlena meraih ponselnya di atas coffee table. Sejenak kemudian ia sibuk membuka layar ponselnya. Diulurkannya ponsel itu pada Olivia. “Coba, deh, kamu lihat.”

Gambar-gambar kaus yang dipajang di laman IG milik Mutiara Pelangi Hasibuan itu terlihat sangat menarik. Ada bermacam warna, gambar, tulisan, dan mutu kaus. Harganya cukup terjangkau, disesuaikan dengan kualitas kaus. Bahkan bisa pesan sesuai tulisan dan gambar yang diinginkan. Olivia mengembalikan ponsel Arlena.

“Jadi kesimpulannya, gimana itu acara syukuran?” tanya Olivia.

Arlena membaca catatannya. “Diadakan hari Sabtu, jamnya belum deal, kita minta Budhe Min yang masak. Nah, kita mau undang siapa saja, nih? Orang-orang terdekat saja.”

“Kak Luzar,” celetuk Carmela sambil nyengir.

“Wooo...,” Arlena dan Olivia serempak menanggapi sambil tertawa.

“Catat...,” sambung Arlena.

“Keke, Ma,” Olivia mengingatkan. “Mas Gandhi, pasti. Mbak Vita pasti bantuin Budhe.”

“Iya, nanti hari Jumat biar Mama minta Bunde dan Mbak Vita menginap di sini,” ujar Arlena sambil terus mencatat. “Allen?” Arlena mengangkat wajahnya, menatap Olivia.

Gadis itu mengangguk. “Sabtu kayaknya dia bisa. Minggu besok ini harus berangkat ke field, soalnya.”

“Oke,” Arlena mencatat lagi.

“Bapakku, Ma,” celetuk Carmela. “Harus diundang juga.”

“Mas Luken?” Arlena mengangkat kembali wajahnya.

Carmela mengangguk mantap. Sekilas Arlena menatap Olivia. Tapi yang ditatap pura-pura sibuk mengamati kaus couple Arlena dan Prima.

Hm... Aku harus bicara dulu padanya, putusnya kemudian.

 * * *


WORO-WORO... Novel "Eternal Forseti" sudah resmi meluncur dari ruang penerbitan Jentera Pustaka pada hari Selasa, 8 Agustus 2017 kemarin. Bagi yang berminat memilikinya, bisa klik DI SINI untuk memperoleh informasi selengkapnya. Terima kasih... 😘


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


2 komentar: