Senin, 25 September 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #7










* * *


Tujuh


Sander masih termenung-menung di dalam apartemennya. Rasanya sulit sekali percaya bahwa ‘hal itu’ telah terjadi. Begitu saja! Sander mengerjapkan mata. Perkenalannya dengan Xixi – atau Sisi – Adiatma. Senyum manis dan suara lembut gadis boneka porselen itu masih juga melingkar-lingkar di depan mata dan di dalam benaknya.

Gadis itu tak hanya cantik, tapi juga cerdas dan ramah. Walaupun Sander cuma seorang penggemar ‘tak bernama’, tapi Sisi menanggapi perkenalan itu dengan baik. Obrolan singkat mereka cukup nyambung.

Sebuah suara yang merupakan notifikasi WhatsApp membuyarkan lamunan Sander. Dengan malas ia mengambil ponsel dari saku kemejanya. Ternyata pesan dari Anindya.

‘Wuuuh... Temanmu yang ini benar-benar membosankan!’

Begitu tulis Anindya. Tanpa sadar Sander tertawa keras. Sudah dua orang temannya terdepak dengan sukses setelah menjalani pertemuan pertama dengan Anindya lewat kencan buta yang diaturnya. Saat ini sudah mencapai orang ketiga. Padahal di matanya, teman-temannya itu – Damar, Radit, dan Revan – adalah kandidat terbaik, walaupun harus ia akui bahwa ketiganya adalah yang terbaik di antara yang teburuk.

‘Kenapa memangnya?’ Sander membalas.

‘Entah dia gugup atau memang menyebalkan, dia nggak berhenti cerita tentang dirinya sendiri dan keluarganya.’

‘Kamu di mana sekarang?’

‘Lagi di toilet. Setelah ini aku mau cabut.’

“Oh, hehehe... Sorry, yak.’

‘Gpp, nyantai aja. Atau mungkin aku masih juga membandingkan semuanya dengan seseorang yang pernah aku jatuhi cinta.’

‘Wohooo... Kamu nggak pernah cerita, Nin. Seandainya kamu cerita soal itu, setidaknya aku punya gambaran jelas tentang laki-laki yang kamu butuhkan.’

‘Nggak penting, ah, San. He’s too perfect.’

‘Kenapa nggak memperjuangkan dia?’

‘Dan bertarung sama Tuhan? Dia calon pastor, San.’

Sander terdiam. Oh, jadi...

‘Oh, ya, baru saja aku dapat kabar dari Mia dan Andez. Besok Danny (adik Andez) ada waktu untuk ketemuan setelah jam 7 malem. Bisa?’

Sander mengerutkan kening sejenak sebelum membalas, ‘Bisa.’

‘Besok aku temani.’

‘Tentukan saja tempatnya.’

‘Oke, besok siang aku kabari kamu lagi. Aku cabut dulu ya.’

‘Makasih, Nin.’

Sander menghela napas panjang sambil meletakkan ponselnya di atas coffee table. Pembicaraannya dengan Sisi Adiatma beberapa puluh menit lalu tidaklah panjang. Selain masih canggung, ia juga sadar bahwa malam terus merambat. Tapi secara keseluruhan...

Menyenangkan. Sangat menyenangkan!

* * *

Setelah mengucapkan salam, Sisi meletakkan tas kertas berisi tiga kotak makanan yang dibawanya. Ayah dan bundanya masih duduk di depan meja makan. Masih menikmati masing-masing semangkuk kecil bubur mutiara hangat. Seingat Sisi, mereka memang tidak pernah memiliki ‘jam malam’ soal makanan. Pantas saja bila ayah-bundanya ‘melebar’ sedikit demi sedikit.

“Gimana? Cantik pacarnya Dion?” Lauren menarik kursi di sebelahnya.

Sisi mengangguk sambil duduk di kursi itu. Detail soal usia kekasih Dion memang sengaja belum dipaparkannya.

“Mau tahu, nggak, siapa pacar Dion?” Sisi menatap Lauren.

Lauren balas menatap putrinya dengan antusias.

“Vi-o-let Sha,” Sisi sengaja mengejanya lambat-lambat.

Seketika Lauren ternganga.

“Siapa?” Himawan menaikkan alisnya. “Siapa itu?”

“Penulis yang novelnya lagi dipegang Bunda, Yah,” senyum Sisi.

“Serius?” Lauren masih memasang wajah takjub.

“Serius, Bun,” Sisi menegaskan. “Nggak kelihatan kalau sudah emak-emak.”

“Emak-emak?” kali ini Himawan mengerutkan kening. “Memangnya umur berapa?”

“Tiga-tiga,” Sisi meringis.

Kali ini ganti Himawan yang ternganga. Diam-diam Lauren menepuk lembut punggung tangan Himawan.

“Kalau sudah jodoh, apa pun bisa terjadi,” ucap Lauren halus. “Siapa pun bisa mengalami hal menakjubkan.”

Seketika Himawan mengangguk. Seperti kita... Himawan menatap Lauren. Dalam.

* * *

“Pacar Lauren itu benar-benar bajingan,” ucap Desta dengan wajah keruh.

Himawan menatap sahabatnya itu. Ia tahu siapa itu Lauren yang disebut Desta. Gadis itu – yang sama sekali belum pernah ditemuinya – adalah sepupu Desta yang paling akrab.

“Kenapa memangnya?” Himawan menanggapi sambil menyuap sesendok bakso ke dalam mulutnya.

“Masa, pacaran sudah lebih dari sepuluh tahun, boro-boro dinikahin. Diminta ketegasannya saja malah Lauren diputusin,” jawab Desta, sedikit berapi-api.

Himawan terbengong. Semudah itu?

Desta seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran Himawan. Ia berdecak kesal.

“Ck! Kampret banget, kan, cowok kayak gitu?!”

“Gue cari cewek yang cocok aja setengah mampus, lha... ini pacaran segitu lama, kok, bubarnya enak banget,” gumam Himawan.

“Lu mau gue kenalin sama dia?” ucapan Desta terdengar sambil lalu.

“Hah?”

“Akhir tahun ini kita ambil cuti, lu ikut gue ke Malang. Gue kenalin lu sama Lauren.”

Kali ini Himawan menangkap nada serius dalam suara Desta. Dan, ia tak punya alasan untuk menolak. Pada akhirnya ia mengangguk. Gerakan yang disambut senyum senang Desta. Gerakan yang membuat hidupnya di masa depan berubah.

* * *

Laurentia namanya. Sepupu Desta itu di mata Himawan cantiknya luar biasa. Rambutnya yang bermodel bob rata – lengkap dengan poni, wajahnya yang terlihat jauh lebih muda daripada usia sebenarnya – hanya setahun lebih muda daripada Himawan yang saat itu berusia tiga puluh tahun, keseluruhan penampilan sederhana yang sungguh menggemaskan bagai boneka porselen, seketika membuat Himawan jatuh cinta dan tak lagi bisa berpaling.

Ada rasa yang ia tak bisa menerjemahkan dengan baik. Hanya saja, ia merasa bahwa ia telah menemukan belahan jiwa dalam diri Lauren. Ia tak pernah menjanjikan apa-apa untuk Lauren. Hanya sebuah pernikahan yang ‘akan bahagia bila kita mau bersama-sama mewujudkannya’.

Lauren sendiri, setelah didepak sedemikian rupa oleh Erlanda dengan menggoreskan rasa sakit yang luar biasa, seolah menemukan kembali mataharinya. Ia tak tahu apakah bisa mencintai Himawan atau tidak, yang jelas ia ingin Himawan secepatnya membawa ia pergi jauh dari kota itu. Ia ingin lepas dari semua bayang-bayang Erlanda. Sehingga ia bisa belajar untuk mencintai Himawan secara utuh. Laki-laki itu berhak menerima cintanya.

Pelan-pelan kehidupan itu terbangun kembali. Di Jakarta. Bersama Himawan. Laki-laki yang mencintainya tanpa syarat. Tak sulit untuk mencintai Himawan sepenuhnya. Dalam setiap detik yang mereka lewati bersama, ia makin mengenal Himawan. Kedewasaan, kesabaran, dan kasih laki-laki itu sudah memenjarakan hatinya bulat-bulat. Tapi ia tak pernah merasa rugi. Himawan adalah mataharinya. Cahaya kehidupannya. Sehingga tidak ada lagi tersisa lembar bertuliskan nama Erlanda dalam hatinya.

Hingga saat ini...

* * *

“Aku tadi ketemu seseorang.”

Suara Sisi seketika menyentakkan Lauren dan Himawan dari satu di antara sekian banyak episode indah dalam kehidupan mereka. Keduanya sama-sama menjatuhkan tatapan pada sang putri tercinta.

“Cowok?” tanya Lauren.

“Ya, iyalah...,” Sisi tertawa. “Aku, kan, masih normal, Bun.”

“Seperti apa orangnya?” Himawan melipat kedua tangan di depan dada, menumpukannya pada tepi meja. Sikap yang selalu ditunjukkannya saat beratensi secara penuh.

“Hm... Ganteng, sih. Bersih, lumayan wangi. Kira-kira segede Ayah gitu badannya. Pokoknya menarik lah. Cukup sopan juga. Nggak celangapan. Selama ini dia tahu aku dari IG. Follower baruku. Sering komen. Cuma, nggak sempat ngobrol lama karena keburu malem. Coba nanti aku ulik lagi IG-nya.”

Himawan manggut-manggut. Putri kesayangannya itu jarang bercerita tentang cowok. Dulu pernah, saat SMA. Sisi naksir seorang kakak kelasnya bernama Gerry. Tapi Sisi-nya jelas patah hati, karena cowok ketua OSIS itu menoleh sedikit pun tidak. Bahkan belakangan Gerry melanjutkan kuliah ke luar negeri. Setelah itu, tak ada lagi Sisi menyebut-nyebut soal cowok, kecuali nama-nama segerombolan ‘bandit’ para sahabatnya itu.

Sampai sekarang...

Himawan tersenyum, ujarnya, “Jangan lupa kenalin sama Bunda, sama Ayah.”

“Ih... Apa, sih?” Sisi kentara sekali tersipu. “Baru kenalan doang.”

“Lho, ini, kan, pesan sponsor,” Himawan melepaskan tawanya. “Ya, nggak, Bun?” dikedipkannya sebelah mata.

Lauren terkekeh geli. Diulurkannya tangan, mengelus lembut bahu gadis tunggalnya itu.

“Minimal tahu namanya dululah...,” gumam Lauren.

“Mm... Sander. Namanya Michael Sander.”

Seketika senyum lenyap dari bibir Lauren.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com


Catatan :

1. Seluruh order novel “Eternal Forseti” sudah meluncur/dikirim ke masing-masing pemesan. Nomor resi pengiriman akan saya informasikan secara pribadi dan bertahap. Agak terkendala karena tablet saya lagi ngambek. Diharap maklum.

2. PO IV novel “Eternal Forseti” sudah dibuka kembali mulai hari ini hingga tanggal 10 Oktober 2017 pukul 23.59 (konfirmasi masuknya pembayaran). Silakan bagi para pengunjung FiksiLizz yang masih berkenan untuk memesannya. Caranya masih sama, silakan intip di SINI.

3. Terima kasih banyak...


1 komentar: