Senin, 16 Oktober 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #13










* * *


Tiga Belas


Hari-hari cepat berlalu bagi Sisi karena kesibukannya menyelesaikan pesanan bersama para kru. Ketika hingga hari Jumat menjelang sore belum juga ada informasi dari Sander tentang pertemuan lanjutan mereka, Sisi tidak terlalu memikirkannya. Sejak awal ia memang tidak terlalu tinggi meletakkan harapan. Sander laki-laki yang sangat menarik, cukup mempesona. Tentunya gadis yang bergerombol di belakang laki-laki itu, mengantre untuk diajak berkencan, bukan hanya ia seorang.

Ketika ketiga pegawainya berpamitan lebih awal karena pekerjaan mereka selesai, setelah berangkatnya mobil box berisi pesanan seribu lima ratus terrarium mini dalam stoples serupa bola lampu, Sisi mengangguk dengan ringan. Ia meregangkan punggung dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil tetap duduk di kursinya. Jam dinding digital besar di seberangnya menunjukkan angka 15:39. Ia kemudian beranjak untuk mengunci pintu pagar dan pintu pavilyun itu dari dalam.

Saat melangkah kembali ke dalam setelah mengunci pintu pagar, ponsel di saku celana bermudanya berbunyi. Ia tersenyum ketika melihat nama yang terpampang di layar ponsel itu.

“Ya, Yah?” sapanya halus.

“Kamu selesai kerja, langsung mandi, ya. Ini Ayah mau tengbur. Kita jalan ke mana, gitu.”

“Wihi...,” Sisi terkikik. “Aku diajak kencan sama Ayah. Kesepian, ya, gara-gara Bunda lagi halan-halan?”

Terdengar tawa lirih dari seberang sana. Sisi tersenyum lebar. Saat ini memang Lauren sedang ada acara dengan kumpulan ibu-ibu segereja. Menginap tiga malam di Cipanas, di sebuah rumah retreat, berangkat kemarin siang.

“Dandan yang cantik, ya? Biar Ayah dikira punya istri muda.”

Tawa Sisi meledak. Di balik sosok ayahnya yang terkesan pendiam dan serius, sebenarnya terselip perilaku tak terduga yang terkadang terkesan konyol.

“Hahaha... Oke... Oke... Aku mandi sekarang.”

“Lho, memangnya sudah bubar kantormu?”

“Sudah... Sudah tutup pesanan dan transaksi untuk minggu ini. Waktunya siap-siap untuk santai. Latihan jadi istri muda...”

“Hehehe... Ya, sudah, Ayah mau bersih-bersih meja dulu.”

“Sip!”

Sisi mengakhiri pembicaraan itu dengan bibir masih mengulum senyum.

* * *

Sander menepuk keningnya. Besok Sabtu, dan ia sudah telanjur janjian dengan Sisi, tanpa ingat sama sekali bahwa besok ada diskusi dan responsi di kampus. Hal itu sangat penting bagi kelangsungan nasib kuliahnya. Dan, mau tak mau, ia harus mengorbankan salah satunya. Itu berarti, dengan sangat terpaksa, adalah...

Sisi...

Bahu Sander turun seketika. Menyadari bahwa ada kemungkinan usaha pendekatannya pada Sisi terancam sedemikian rupa. Tapi bagaimana pun ia harus menghadapi kenyataan itu. Diraihnya ponsel sambil meringkas meja kerja. Sudah beberapa menit menjelang berakhirnya jam kantor.

Tapi hingga empat kali ia mencoba menghubungi Sisi, sama sekali tak ada respons dari gadis itu. Teleponnya tersambung, tapi Sisi tidak menjawabnya. Akhirnya, dengan setengah hati, ia mengirim pesan melalui aplikasi WhatsApp. Sungguh, sebenarnya ia lebih suka menyampaikannya secara lisan pada Sisi, tidak melalui tulisan. Tapi tampaknya saat ini tidak ada cara lain.

Setelah selesai mengirimkan pesan itu, Sander memasukkan laptop dan peralatan kerjanya ke dalam ransel, kemudian meninggalkan ruang kerjanya. Bersama dengan beberapa rekan kerjanya, Sander menuju ke lift untuk turun ke area parkir di basement.

Ketika hendak menghidupkan mesin mobil, ponsel di saku kemejanya berbunyi. Sander buru-buru mengambil benda itu. Pesannya dibalas oleh Sisi. Tapi... Sander mendesah.

Gagal...

Sambil menghela napas panjang, Sander melanjutkan niat untuk menghidupkan mesin mobilnya setelah membalas pesan Sisi. Beberapa detik kemudian, city car itu sudah meluncur perlahan, masuk ke barisan antrean untuk meninggalkan basement.

* * *

Tepat ketika Sisi keluar dari kamar mandi, ponselnya yang tergeletak di atas meja berbunyi pendek. Dengan tubuh masih terbalut jubah mandi, Sisi menyeberangi kamar untuk meraih ponselnya. Ia mengerutkan kening ketika mendapati ada beberapa notifikasi panggilan tak terjawab dari Sander. Ditambah ada pesan melalui WhatsApp dari laki-laki itu. Sambil duduk di depan meja, Sisi membaca pesan itu.

‘Si, met sore...
Aku minta maaf banget, besok kita nggak bisa keluar. Sungguh, aku ingin bertemu lagi denganmu, tapi besok ada diskusi dan responsi di kampus. Aku memang ikut kuliah lagi, Si, program S2 ekstensi.
Kemarin itu, saking senangnya bertemu denganmu, aku sampai lupa punya tanggungan kuliah tiap hari Sabtu-Minggu siang sampai menjelang malam. Sekali lagi, maaf ya, Si.
Gimana kalau kita ganti ketemuannya sore ini saja? Rumahmu di mana? Aku jemput. Sekalian bertemu teman-temanku.
Oh, ya, aku tadi telepon kamu. Tapi nggak kamu angkat. Lagi sibuk, ya? Maaf, sudah ganggu.
Aku tunggu jawabanmu ya, Si...’

Sisi mengerucutkan bibirnya. Dihelanya napas panjang.

Ya... mau gimana lagi?

Dibalasnya pesan itu.

‘Met sore juga, Mas Sander... Maaf, baru saja aku lagi mandi.
Oh, kalau memang Mas nggak bisa ketemuan besok sore, ya, nggak apa-apa, jangan memaksa diri. Tapi kalau sore ini, maaf, aku sudah telanjur ada janji. Besok-besok coba kita jadwalkan lagi, ya?
Selamat menjelang weekend...’

Balasannya ia terima tak lama kemudian.

‘Makasih atas pengertianmu, Si. Sekali lagi, mohon maaf, ya... Iya, coba nanti kita jadwalkan lagi dengan baik dan benar. Selamat menjelang weekend juga.’

Sisi mengangkat bahu.

* * *

Sander seolah menghilang di tengah dengung ketiga sahabatnya. Ia masih merenungi rencana kencannya yang gagal. Berkali-kali ia menghela napas panjang. Dan segera saja ketiga sahabatnya menangkap keresahan itu.

Napa, lu, San?” usik Yodya.

“Gagal kencan gue, besok,” desah Sander.

“Lha? Napa?” Helmi mengerutkan kening.

“Gue sudah telanjur ajak dia ketemuan besok, eh... tadi gue baru ingat kalau harus datang diskusi. Ada responsi pula,” Sander menggelengkan kepala dengan wajah muram.

“Itu cewek yang lu gebet di IG itu?” Yodya memastikan.

“Yang lu kejar di Kemang kapan hari itu?” timpal Alfons.

Sander mengangguk.

“Marah, dia?” Alfons melanjutkan interogasinya.

“Enggak,” Sander menggeleng. “Gue aja yang berasa nggak enak. Udah sok-sokan ajak dia, malah batalin sendiri.”

“Jelasin ajalah, lu mau ngapain besok itu,” saran Helmi.

“Udah... Udah gue jelasin,” Sander menghela napas panjang. “Dia ngerti, sih. Gue tawarin ketemuan sekarang, mau gue jemput, sekalian kenalan sama kalian, dianya nolak. Udah telanjur ada janji, katanya, sama entah siapa.”

“Wah, jealous nih bujang,” gumam Yodya.

“Ganti aja minggu depan,” celetuk Alfons.

“Ya, sama aja, Fons,” tukas Helmi. “Minggu depan acaranya Victor.”

“Nah, itu, udah gue belain terpaksa bolos,” gumam Sander.

“Malem Sabtunya lah...,” sambar Yodya.

“Pikun lu, ya?” Helmi menatap Yodya. “Bisa bubar pesta bujangan kita!”

“Waaa... iya, gue lupa,” Yodya meringis. “Sorry, sorry...”

“Ya, nantilah, gue pikirin lagi,” senyum Sander.

“Atau...,” Alfons menyipitkan mata. “Lu ajak aja dia ke pemberkatan sama resepsinya Victor.”

Seketika Sander menatap Alfons, seolah sang sahabat yang satu itu adalah dewa yang baru turun dari kahyangan.

“Cakep banget usul lu, Fons!” sambut Sander dengan antusias. Semangatnya seolah terpompa kembali, melejit ke titik tertinggi.

Tapi mendadak saja siku Yodya menyenggol siku Sander. Sander menoleh ke arah Yodya. Tatapan sang sahabat terpaku ke arah lain. Ke arah pintu masuk.

“Itu bukannya gebetan lu yang baru aja kita omongin, ya?” gumam Yodya.

Sander mengikuti arah tatapan Yodya. Seketika ia tertegun. Sosok yang baru saja melenggang masuk itu serta-merta menyedot seluruh perhatiannya, bahkan jiwanya.

Itu adalah Sisi. Sisi-nya! Melangkah di samping seorang laki-laki yang terlihat masih tampan dan gagah walaupun tampaknya sudah berusia enam puluhan. Lengan kanan Sisi melingkar erat di lengan kiri laki-laki itu. Terlihat begitu mesra.

“Busset! Itu, sih, boss gue,” gumam Alfons. “Halah, Saaan... Jadi lu ngegebet putrinya Pak Himawan, rupanya?”

“Itu babeh-nya?” Helmi memastikan.

“Iya, itu Pak Himawan. Baru ngeh gue kalau cewek lu itu Sisi.”

“Minggu lalu, bisa lu nggak ngeh, ya?” nada suara Sander seolah memprotes.

“Ya, kan, lu tahu sendiri kapan hari kacamata gue pecah, belum sempat ganti,” Alfons membela diri.

“Kenalan... Kenalan...,” Helmi mengompori.

“Belum siap, gue,” bola semangat Sander mengempis kembali.

“Daripada dia lebih dulu tahu lu lagi kongkow di sini, mendingan lu samperin dia duluan,” Yodya mendadak terlihat bijak.

“Wah, berarti gue keseret, nih!” gumam Alfons. “Sumpah, gue segan sama Pak Himawan.”

“Galak orangnya?” tanya Helmi.

“Justru karena beliau orangnya super baik dan sabar. Eh, tapi kalau sudah marah lumayan mengerikan juga, hehehe...,” Alfons terkekeh sendiri.

Tapi Sander sudah berdiri.

Benar kata Yodya. Daripada Sisi tahu lebih dulu...

Ia sudah melangkah mendekati meja Sisi dan ayahnya. Kedua orang itu terlihat berbincang sambil  melihat-lihat buku menu.

“Eh, kampret!” gerutu Alfons. “Main nyelonong aja lu, San!”

Tapi Sander tak peduli. Alfons terpaksa terbirit-birit mengekor di belakang Sander. Bagaimanapun, lebih baik anak buah yang menyalami Pak Boss lebih dulu daripada sebaliknya.

* * *

Sisi selalu suka bila Himawan mengajaknya makan di Restoran Godhong Gedhang. Atmosfer restoran yang sejuk dan santai dengan alunan gendhing Jawa ataupun musik keroncong itu mampu melepaskannya dari rutinitas pekerjaannya sehari-hari. Kelihatannya saja ia hanya ‘bermain-main’ dengan hobinya, padahal memerlukan pemikiran yang lebih juga dalam menjalankan usaha secara serius. Dan Himawan seutuhnya menangkap cahaya yang seolah memancar keluar dari wajah cantik putri tunggalnya itu.

“Mau makan apa, Si?” tanya Himawan lembut.

“Mm... Nyemil dulu aja ‘kali,  Yah...,” gumam Sisi.

“Iya... Kamu pilih, deh.”

“Kayaknya enak banget makan serabi-pethulo (=putu mayang), ya, Yah?” Sisi sekilas mengangkat wajah. “Ayah mau apa?”

“Lumpia Semarang sama wedang jahe hangat.”

“Oke!” Sisi kemudian mendongak, menatap ke arah pramusaji yang berdiri menunggu dengan sabar untuk  mencatat pesanan. “Lumpia Semarang satu, serabi-pethulo satu, wedang jahe hangat satu, teh tawar satu.”

“Tehnya mau yang jasmine, atau teh 'warungan wangi', Mbak?” senyum pramusaji itu.

“Yang ‘warungan wangi’ saja, Mas,” Sisi membalas senyum itu dengan tulus. “Eh, boleh tanya, nggak?”

“Silakan, Mbak...”

“Teh yang ‘warungan wangi’ itu sebenarnya teh apa, sih, Mas? Kok, enak banget aromanya.”

“Oh...,” pramusaji itu melebarkan senyumnya. “Itu teh khusus didatangkan dari Malang, Jawa Timur, Mbak. Teh khas warung-warung di sana.”

“Oh...,” Sisi manggut-manggut.

Pramusaji itu kemudian membaca ulang pesanan Sisi. Sisi mengangguk ketika pesanan itu sudah tercatat dengan benar.

“Nanti kami pesan makanan lagi, Mas,” ucap Sisi sebelum pramusaji itu meninggalkan  mereka.

“Dari Malang tehnya...,” bisik Sisi. “Pantesan, kok, kayaknya familiar.”

Himawan tertawa.

“Kan, dulu sering dikirimi bulik-mu sebelum pindah ke Tomohon.”

“Masa, sih?” Sisi mengerutkan keningnya. “Aku lupa...”

Bulik Dicta, adik bungsu bundanya sudah lebih dari lima belas tahun pindah ke Tomohon. Ikut sang suami yang menjadi dokter dan memilih untuk berkarya di kampung halamannya.

“Iya... Waktu itu, kan, kamu tinggal menyeruput saja, nggak pernah buat sendiri. Hehehe...,” Himawan terkekeh geli.

Sisi nyengir. Tersipu malu.

“Selamat sore, Pak...”

Mendengar sapaan bernada ragu-ragu itu, keduanya menoleh. Himawan segera mengembangkan senyumnya begitu melihat siapa yang menyapanya. Sementara itu, Sisi tertegun melihat siapa yang berdiri di belakang penyapa ayahnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

8 komentar:

  1. Ktm godong gedang meneh hehe.. Mbek teh nogo iku lak an mesti haha..
    Lanjut nyah. Iki ndi mba Nita kok gurung mecungul?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hadir pa Chris ! #driji ngatung
      Sehat terus pa Chris y ......

      Hapus
  2. Good post mbak,jadi kepingin minum teh dari malang

    BalasHapus
  3. teh warungan... he he he. eternalnya besok baru bisa baca....

    BalasHapus
  4. Penasaraaaann terussss.....

    Good post,mbak liz

    BalasHapus
  5. Ciee sander ketemu bapaknya gebetan😂

    Baca sambil ngeteh juga☕️

    BalasHapus
  6. Kl halan2 ke Malang kudu bawa oleh2 teh warungan wangi deh

    BalasHapus