Kamis, 11 Januari 2018

[Cerbung] Jarik Truntum Garuda #1-2







Sebelumnya


* * *


Jati mengalihkan tatapan dari layar laptop begitu mendengar suara pintu terbuka dan tertutup. Diulasnya senyum ketika melihat siapa yang muncul.

“Sudah mandi?” tanyanya.

Yang ditanya menggeleng sambil melangkah mendekat.

“Nggak ada acara keluar sama teman-temanmu?” Jati bertanya lagi.

Kencana menggeleng lagi, kemudian duduk di seberang Jati. Tatapan Jati kembali ke layar laptop.

“Hujan-hujan begini enaknya makan roti bakar, Can,” gumam Jati sambil tangannya sibuk mengetikkan sesuatu.

Tawa ringan Kencana pecah.

“Ngomong saja kalau ingin dibikinkan roti bakar, Yah,” gerutu Kencana sambil beranjak.

Jati terkekeh. Sekilas ditatapnya punggung putri bungsunya yang bergerak menjauh. Kencana yang makin pendiam. Kencana yang tak berhasil menutupi ekspresi muram di wajah. Jati menghela napas panjang. Samar-samar, hidungnya membaui wangi khas jarik basah.

Sudah tiga Sabtu berturut-turut Ndari mencuci koleksi jarik-nya secara bergiliran. Tak lupa jarik yang itu. Sepasang jarik truntum garuda berprada, koleksi Ndari yang paling berharga.

Sebagai seorang ayah, ia tahu seberapa besar guncangan yang dirasakan Kencana ketika hubungan dengan Denta harus berakhir. Ia tahu seberapa besar harapan Kencana pada hubungan itu. Ia tahu pula sebesar apa upaya Kencana untuk memulihkan hati.

Mendung di wajah Kencana pelan-pelan memudar. Tapi masih sering menaungi, terutama ketika matanya menangkap lembar-lembar jarik truntum garuda itu terbentang di bawah kanopi teras belakang. Jarik-jarik itu, dan harapan Ndari yang ada di baliknya.

Lamunan Jati terhenti ketika aroma sedap lelehan mentega mengelus hidungnya. Tak lama kemudian putri bungsunya muncul lagi dengan membawa nampan berisi piring dengan gunungan roti bakar aneka isi di atasnya dan tiga cangkir teh lemon hangat. Ndari mengiringi di belakang.

Sekeliling meja makan empat kursi itu kemudian dipenuhi kehangatan walaupun hujan kembali menderas di luar sana. Apalagi disertai cemilan dan minuman yang sungguh-sungguh memuaskan lidah. Mereka asyik mengobrol. Dengan jelas Jati melihat bahwa senyum dan tawa Kencana kali ini mulai datang dari hati.

Diam-diam kelegaan memenuhi hatinya. Ia dan Ndari memang sudah bertekad akan mendampingi Kencana keluar dari naungan mendungnya. Caranya adalah dengan berusaha untuk tidak bicara soal Denta. Membiarkan Kencana memulihkan diri dengan cara yang disukainya, tidak bicara lagi soal hal-hal yang menyakitkan itu. Toh, ia dan Ndari sudah tahu sesakit apa rasa hati Kencana. Tak perlu menambahinya dengan mengungkit-ungkit lagi hal itu.

Tapi, keasyikan itu seolah pecah ketika bel pintu berbunyi. Refleks, Kencana berdiri untuk melihat siapa yang datang mengganggu. Ia sempat ternganga ketika melihat siapa yang berdiri di depannya begitu pintu terbuka. Seulas senyum terpampang di depannya. Pun bentangan lengan kukuh yang bersiap untuk memeluknya.

“Mas Nanan!” pekiknya sebelum tenggelam dalam pelukan hangat laki-laki bertubuh tinggi besar itu.

* * *

“Kamu ini, bikin orang kaget saja,” gerutu Ndari sambil menyodorkan secangkir teh hangat. “Pulang, kok, nggak bilang-bilang?”

Empat kursi di sekeliling meja makan itu penuhlah sudah. Jati menyingkirkan laptopnya jauh-jauh. Nanan, laki-laki muda bertubuh tinggi besar itu, terkekeh. Ditatapnya sang ibu.

“Wooo... Kalau begitu aku balik lagi saja,” sahutnya dengan nada merajuk, sambil tangannya mencomot setangkup roti bakar.

Tawa Ndari pecah. Dicubitnya lembut lengan kiri putra sulungnya. Terasa kenyal seperti biasa. Kehidupan di seminari[1] tak pernah membuat tubuh Nanan menyusut sedikit pun. Mungkin karena memang sudah panggilan dan niatnya sejak awal sudah berasal dari hati. Sehingga semua hal yang mungkin terasa berat dihadapinya tanpa dipandang sebagai beban.

“Kamu menginap?” tanya Jati sambil menyesap teh lemonnya.

“Ya,” Nanan mengangguk. “Mau manja-manja sebentar sama Ibu. Besok malam aku kembali.”

“Huuu...,” seketika Kencana mengerucutkan bibirnya, disambut tawa yang lain.

“Kamu sudah mandi belum?” Nanan menatap adiknya.

Kencana menggeleng.

“Mandi, ‘gi! Habis itu kita kencan ke mana gitu,” Nanan mengedipkan sebelah mata. “Kencan berempat sama Ayah dan Ibu, kalau mau.”

“Wah, Ayah nanti ada rapat RT jam tujuh,” Jati menggeleng.

“Ibu mau latihan kor,” timpal Ndari. “Minggu depan WK[2] tugas misa.”

“Halah!” Kencana mengibaskan sebelah tangannya sembari mencibir. “Gayanya Mas Nanan, ngajak kencan. Paling yang keluar duit nanti aku juga.”

Nanan terbahak. Senang sekali rasanya ia bisa menggoda adiknya lagi. Tapi sebetulnya, maksudnya lebih besar daripada sekadar menggoda sang adik.

“Lho, pastiii... Kan, kamu tahu sendiri, aku nggak punya duit, sedangkan duitmu bejibun,” Nanan nyengir.

Mau tak mau Kencana tertawa. Tapi ia beranjak juga dari duduknya. Sepeninggal Kencana, Ndari menatap Nanan.

“Kamu mau mengajaknya bicara soal itu?”

“Ya, Bu,” Nanan mengangguk. “Seandainya dia nggak bisa terbuka sama Ayah dan Ibu, setidaknya dia bisa curhat padaku. Waktu setahun ini pasti berat buat Denta, terutama buat Ican. Itu yang harus dibicarakan, supaya dia juga segera pulih dan kembali membuka diri.”

Ndari dan Jati manggut-manggut.

* * *

Diam-diam Nanan mengamati Kencana yang sedang sibuk melihat-lihat buku menu. Adiknya yang manis itu terlihat lebih kurus daripada ketika terakhir mereka bertemu beberapa bulan lalu. Ada yang terasa ngilu dalam hati Nanan. Lalu, tatapan mereka bertemu begitu saja ketika Kencana mengangkat wajahnya.

“Jadinya mau pesan ap...,” ucapan itu menggantung begitu saja. Kencana mengerjapkan mata mendapat tatapan yang sukar untuk diartikan dari abangnya. “Kenapa, sih, Mas?”

Nanan mengalihkan tatapannya. Kali ini kembali ke buku menu yang dipegangnya.

“Mm... Kayaknya aku ingin makan nasi-capcay,” gumam Nanan. “Minumnya es teh saja.”

Setelah urusan memesan makanan dan minuman selesai, Kencana memberanikan diri untuk menatap abangnya.

“Mas mau ngomongin soal aku dan Denta?” tembaknya langsung.

“Ya,” Nanan mengangguk tegas.

Kencana tersenyum kecut. “Apalagi yang mau dibicarakan?”

“Hatimu, Ican sayang,” Nanan menatap adiknya, tepat di manik mata.

Kencana menghela napas panjang, dan mengakhirinya dengan senyum lebar. “Hatiku retak, hancur, pecah berantakan, berkeping-keping. Dan aku sedang berusaha untuk merangkai dan merekatkan debu-debu itu jadi satu kesatuan yang utuh. Sudah terdengar dramatiskah?”

Nanan menarik napas panjang mendengar uraian adiknya. Tak pelak, telinganya menangkap ada kesedihan dan kesakitan yang sangat dalam suara Kencana.

“Mas,” ucap Kencana lirih, “aku nggak seketika itu bisa menerima apa yang terjadi padaku dan Mas Denta. Tapi jangan khawatir. Aku mulai bisa menerima, kok. Sedikit-sedikit, pelan-pelan. Belum seratus persen, tapi aku berusaha. Dan sekarang, aku sedang menata hidupku lagi. Sementara ini fokusku ke pekerjaan. Aku yakin, Mas memahami itu. Tapi jujur, aku masih merasa terintimidasi saat melihat jarik truntum garuda itu di-jembreng Ibu di teras belakang. Bukan salah Ibu. Aku nggak pernah menyalahkan Ibu.”

Nanan mengerjapkan mata mendengar seluruh penuturan adiknya. Suatu hal yang ia yakin baru dilakukan sekarang oleh Kencana sejak setahun terakhir ini. Bicara panjang lebar soal perasaan.

“Coba nanti aku akan bicara pada Ibu soal jarik truntum garuda itu,” putus Nanan kemudian.

“Jangan!” Kencana buru-buru menyergah. “Biarkan saja, Mas. Aku tahu, bukan aku saja yang terbanting ketika Mas Denta dan aku harus mengakhiri hubungan. Ibu juga. Ada doa dalam setiap sentuhan Ibu pada jarik-jarik itu. Doa buatku, buat Mas, buat kita. Aku berharap, Tuhan benar-benar berkenan mendengar doa-doa Ibu.”

Nanan tercenung. Hatinya sungguh-sungguh tersentuh melihat betapa dewasanya Kencana kini.

Kadang-kadang aku lupa bahwa kamu bukan adik kecilku lagi...

Nanan mengerjapkan mata.

Kamu harus dapatkan yang terbaik, Ican. Yang terbaik!

“Mas...”

Suara halus itu membuat Nanan tersentak. Ditatapnya Kencana. “Ya?”

“Gimana kalau aku isi waktuku dengan lanjut ke S2?”

Seketika Nanan ternganga. Kencana meringis.

“Ambil kelas weekend,” lanjut Kencana. “Jadi, pekerjaanku nggak terganggu.”

Nanan kembali tercenung sejenak sebelum deheman Kencana menyadarkannya. Ditatapnya sang adik.

“Lalu, gimana kehidupan sosialmu?”

Kencana mengangkat bahu. Terkesan acuh tak acuh. Nanan menghela napas panjang. Ternyata adiknya belum sepulih kelihatannya.

* * *


Catatan :

[1] Seminari = sekolah (berasrama) untuk pendidikan calon pastor Katolik. Ada seminari menengah (setingkat SMA) dan seminari tinggi (lanjutan setelah tamat seminari menengah).

[2] WK = singkatan dari Wanita Katolik, organisasi perempuan Katolik dengan berbagai kegiatan positif (arisan, koperasi simpan-pinjam, kor, sosial, pendukung kegiatan yang diadakan gereja, dll.).

3 komentar:

  1. jariknya ibu dijembreng, abis dicuci pake lerak.... jadi sinau maning iki. tp, batik kuwi memang selalu dihati..

    BalasHapus
  2. Baca episod ini serasa kayak nostalgia di rumah :)
    Tapi saya bukan seminaris yaa

    BalasHapus