Minggu, 28 Januari 2018

[Cerpen] Cinta Kedua Aleda









"Ayah! Aku pulang!"

Suara renyah itu seketika membuatku menoleh. Baru saja memang ada derum mobil berhenti di depan rumah, tapi aku tak perhatian. Sibuk mencuci mobil di carport. Ternyata ia yang muncul dengan menumpang taksi. Aleda, putri tunggalku dan Arin.

Diambilnya tangan basahku, dan diciumnya dengan takzim. Aku balas mengecup keningnya.

"Ibu ada, Yah?" Ia men-dheprok begitu saja di sudut teras. Tas besar yang dibawanya tergeletak di sisi tubuh.

"Lagi arisan di Bu Dirjo," jawabku sambil meneruskan kegiatan yang belum usai. "Kamu ngapain pulang lagi?"

"Idih!" Aleda menyambungnya dengan tawa. "Nggak boleh, gitu, kangen sama ortu?"

Aku ikut tertawa. Baru juga dua minggu yang lalu ia pulang. Tumben akhir minggu ini ia pulang lagi? Ketika hendak kutanyakan hal itu, ia keburu masuk ke dalam rumah.

* * *

Jawabannya kuperoleh kemudian. Ketika Arin sudah pulang arisan, dan kami bertiga menikmati senja yang kian temaram di teras depan. Kuperhatikan, wajah Aleda memang lain daripada biasanya. Kali ini lebih cerah. Sangat cerah. Mengingatkanku pada bulan penuh yang terbit beberapa malam lalu.

"Kamu lagi jatuh cinta, ya?" Arin langsung 'menembak'.

Aleda terkikik geli sambil merebahkan kepalanya di bahuku. Sikap manja yang tak juga berubah walaupun sekarang ia sudah berusia 22 tahun. Sikap yang mulai dilakukannya 11 tahun lalu, sejak aku jadi ayahnya.

Ya, Aleda memang putriku, tapi bukan putri kandungku. Aku menikah dengan Arin ketika Aleda berusia 11 tahun. Arin sendiri usianya 8 tahun di atasku. Ia sudah hampir 40 tahun waktu itu. Bagi Aleda, akulah satu-satunya ayah yang ia kenal dan miliki. Ayah kandungnya sudah meninggal saat Aleda masih dalam kandungan Arin. Ikut jadi korban dalam suatu kecelakaan pesawat terbang.

Setelah kami menikah, Arin sudah tak bisa lagi memberi Aleda adik karena faktor kesehatan. Otomatis anakku hanya Aleda seorang. Tapi tak mengapa. Aku seutuhnya menyayangi Aleda yang manis dan cerdas. Ia pun bisa menerima sepenuhnya kehadiranku sebagai ayah yang belum pernah ia miliki secara fisik. Tak ada lagi istilah anak-ayah tiri, karena kami saling menyayangi tanpa syarat. Aku adalah cinta pertamanya, seperti lazimnya seorang ayah adalah cinta pertama bagi anak gadisnya. Dan selamanya ia adalah  gadis kecil kesayanganku

Enam bulan lalu, beberapa minggu setelah wisuda, Aleda meninggalkan rumah untuk merintis karir di kota sebelah. Bulan pertama, ia pulang seminggu sekali. Bulan kedua, ia menguranginya jadi dua minggu sekali. Mulai bulan ketiga, ia hanya 'setor muka' sebulan sekali.

"Mm... Kelihatannya gimana?"

Suara renyah Aleda mencabutku dari lamunan sekejap. Kepalanya masih tersandar di bahuku.

"Sudah lama pacarannya?" kutoleh ia.

Aleda mengangkat kepalanya dari bahuku. Ia balas menatapku.

"Kelihatannya gimana?" ulangnya, sembari nyengir kuda.

Arin rupanya makin gemas. Dijitaknya lembut kepala Aleda. Gadis kami itu pun tergelak. Tapi akhirnya, ia bersedia juga menjelaskan sedikit.

"Ya, aku sudah kenal lama sama dia. Tapi pacarannya belum lama. Yang jelas, aku nyaman dengannya. Besok dia mau ke sini, mau ketemu Ibu dan Ayah."

Arin dan aku segera membombardirnya dengan pertanyaan siapa pemuda itu, kenal di mana, dan lain sebagainya. Pun menyebutkan sederetan nama pemuda teman-teman Aleda yang selama ini kami kenal dengan baik. Sayangnya, tampaknya Aleda benar-benar berniat menggoda kami dengan bersikukuh tutup mulut.

Aku dan Arin bertukar tatapan. Ada pertanyaan yang sama mengambang dalam mata kami masing-masing. Apakah pemuda itu layak untuk Aleda? Apakah pemuda itu nanti bisa menjaga Aleda dengan baik? Apakah pemuda itu akan selamanya menyayangi Aleda sepenuh hati?

* * *

"Setahuku, dia memang sudah punya pacar, Dy."

Suara berat Dante dari seberang sana membuatku tercenung sejenak. Aku tersentak ketika Arin menyenggol lenganku. Ia menatap dengan sorot mata bertanya. Kuberi ia kode agar sabar sejenak. Ponselku masih menempel di telinga.

"Kamu kenal dia?" tanyaku, kembali pada Dante.

"Kenal, sih. Kamu juga kenal, kok."

"Hah?" Aku terlonjak sedikit. "Siapa?"

"Wah, kalau Leda belum cerita padamu, aku juga nggak berani lancang, Dy," elak Dante.

Kuembuskan napas keras-keras. Kali ini Dante benar-benar sahabat yang tak berguna! Padahal aku sudah menitipkan Aleda padanya. Setidaknya, aku sedikit tenang karena Aleda mondok di rumah indekos yang dimiliki orang tua Dante. Dan, Dante sendiri tinggal di seberang rumah itu.

Segera kuakhiri pembicaraan dengan Dante. Arin masih menatapku dengan jutaan rasa penasaran bermain dalam matanya.

"Iya betul, Leda sudah punya pacar...." Aku mengulang jawaban Dante. "Dante bilang, kita kenal sama anak itu. Aku curiga Leda pacaran sama Fredy."

Arin langsung mengerucutkan bibir. Tampaknya ia sama sepertiku. Tak menyukai sosok Fredy si bad boy sekaligus fans garis keras Aleda sejak jaman masih kuliah. Apalagi dengar-dengar Fredy memang berasal dari kota sebelah.

Arin menarik selimut dengan gerakan sedikit menyentak. Mau tak mau, aku tersenyum tertahan mendengar gumamannya.

"Awas saja kalau Leda sampai jadian sama Fredy!" Suara Arin terdengar gemas. "Tak-kutuk jadi jambu monyet dua-duanya."

"Iya, Leda jambunya, Fredy monyetnya," timpalku.

Arin tak bisa lagi menahan tawa di tengah kejengkelannya.

* * *

Keesokan paginya, sepulang kami dari gereja, kubiarkan Arin menginterogasi Aleda. Kulihat anak gadisku mengulum senyum ketika ibunya mulai menyebut-nyebut Fredy.

"Siapa juga yang mau sama Fredy?" Pada akhirnya Aleda menanggapi dengan begitu kalemnya.

Seketika Arin terdiam. Tak urung kelegaan terpancar dari matanya. Bukan Fredy, lalu?

"Mm...." Aleda mengerjapkan mata. Sepertinya ia tak tega mengerjai kami lebih lanjut dan membuat kami merasa penasaran tak terhingga. "Dia... dokter. Baik, kok. Bukan begajulan kayak Fredy. Bisa jaga aku."

Arin dan aku senyap. Menunggu.

"Rumahnya nggak jauh dari tempat indekosku," lanjut Aleda. "Sudah lama, sih, kenal dia. Jadi aku tahu betul kalau dia masih single. Tapi baru sekitar tiga bulan ini resmi pacaran. Namanya dia..."

Bel pintu berdenting. Kami bertiga bertatapan sejenak sebelum Aleda dan aku berlomba untuk membuka pintu depan. Aku menang! Tanganku lebih dulu menjangkau handel pintu. Tapi aku segera menggerutu ketika tahu siapa yang datang.

"Wah, kamu, Dan! Orang lagi deg-degan tunggu pacar Leda datang, malah kamu yang nongol."

Laki-laki tinggi besar itu tertawa lebar. Seperti biasa, tanpa kusuruh pun Dante melenggang masuk. Sahabatku sejak SD ini memang bukan orang lain lagi bagi kami. Walaupun berdinas dan tinggal di kota sebelah, ia cukup sering datang berkunjung. Sendirian, tentu saja. Karena entah kenapa, ia masih juga betah menjomlo di usianya yang sudah mencapai 43 tahun.

Aleda yang ada di belakangku turut menyambut kedatangan 'pamannya' yang satu ini. Pun Arin yang muncul belakangan. Tak lama kemudian, kami sudah terlibat obrolan yang seru. Termasuk membahas kekasih Aleda yang katanya hendak datang untuk berkenalan.

"Bu, Yah...." Pada suatu detik mendadak Aleda bergantian menatap Arin dan aku. "Tadi aku belum selesai kasih tahu namanya."

"Oh, ya!" seruku antusias. "Siapa? Pasti junior om-mu ini, kan?" Sekilas kutatap Dante yang memang seorang dokter itu.

Aleda meringis tak jelas.

"Mm...." Aleda mengerjapkan mata. "Namanya... Diamante Caldera..."

Perlu waktu sekian detik bagi otakku untuk meletakkan setiap kepingan puzzle pada posisi yang tepat. Dan, ketika semuanya tersambung, aku hampir lupa bernapas.

Diamante Caldera? DIAMANTE CALDERA???

Kutatap Dante. Ia balas menatapku.

"Hai..., Ayah...." Dante meringis.

* * * * *

Catatan :
1. Lagi males cari nama baru. 😁
2. Cerita ini pernah diunggah dalam bentuk cerita bersambung dua episode di wall grup KPKDG, hasil dari obrolan ngaco di salah satu WAG persohiban. 😜
3. Ilustrasi diambil dari situs pixabay, dengan modifikasi.

10 komentar:

  1. Wkkkkkkkkkkkkkkkk ancooooooorr wkkkkkkkkk tapine lauwucuuuuuuu wkkkkkkkkkk
    ������������������

    BalasHapus
  2. Ha ha ha ha .... aku jan kaya wong edan ngguyu dewe. Mbayangke yen tenan ucrit dadi karo mas Frank ha ha ha ha ha
    (ngapunten nggih jeng Nita 🙏)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwkwkwk gaapa bu Tiwi.
      Aq aja cekakaan koq.
      Ini lek Emput tau lak ya isa ketawa gaentek".
      Isa ae lo mb Lis ngledek wkwkwkwkwk

      Hapus
  3. Gokil tenan. Duh Ican mana, ya?
    -Nisa-

    BalasHapus
  4. Ya ampuuun. Setengah umur, setengah umur. Hahaha...
    Udah Aleda buat saya saja bu #eh

    BalasHapus
  5. Dr kisah nyata kah Tan? Kisahnya 11-12 sama cerita Bulikku kemarin hiihihiii..

    http://poetriapriani.blogspot.co.id/2018/01/jodoh-tak-ke-mana-sayang.html

    BalasHapus