Senin, 29 Januari 2018

[Cerbung] Jarik Truntum Garuda #5-1








Sebelumnya



* * *


Catatan :

Sepanjang akhir minggu kemarin, cerbung “Jarik Truntum Garuda” yang sudah terunggah di blog ini saya perbaiki. Tidak ada perubahan isi, hanya pembagian bab dan tanggal unggahnya saja yang berubah sebagai berikut :

Lama ---› baru :

Bab 1 ---› Bab 1-1
Bab 2 ---› Bab 1-2
Bab 3 ---› Bab 2
Bab 4 ---› Bab 3-1
Bab 5 ---› Bab 3-2
Bab 6 ---› Bab 4
Episode hari ini ---› Bab 5-1.

Tanggal unggah berubah menjadi tanggal tayang seharusnya sesuai jadwal Senin-Kamisan

Terima kasih.


* * *


Lima


Entah kenapa, kali ini datangnya akhir minggu disambut dengan riang oleh Kencana. Ketika teringat pada anak-anak manis dan lucu yang sudah menunggu dongengnya seusai misa kedua Minggu pagi, semangatnya menggelembung. Penuh terpompa kembali. Pagi-pagi, ia sudah bangun, mandi, berdandan, dan keluar dari kamar menjelang pukul enam. Jati dan Ndari sudah siap untuk menikmati sarapan. Sapaan manis Kencana mereka sambut dengan hati hangat.

Sejenak Jati dan Ndari bertatapan. Ada cahaya syukur dan kebahagiaan meletup dari mata keduanya. Hati Kencana makin pulih. Semoga memang demikian adanya.

“Nanti habis misa, Ayah sama Ibu pulang saja,” celetuk Kencana setelah menelan suapan pertama sarapannya. “Biar aku naik ojek. Sukur-sukur bisa nebeng Nina.”

“Kamu mau aktif di BIA lagi?” tanya Ndari.

“Ya,” Kencana mengangguk. “Aku sudah janji mau dongengin mereka Minggu ini. Nanti setelah itu ada kumpul-kumpul OMK, bahas pesta nama[1] paroki.”

“Ya, sudah, pulangnya bareng saja,” timpal Jati. “Ibu sama Ayah juga ada rapat sosial ini nanti.”

“Oh... Baiklah...”

Mereka bersiap untuk berangkat ke gereja seusai sarapan. Kurang beberapa menit menjelang pukul 6.30, Kencana meluncurkan MPV Jati keluar dari garasi. Lalu lintas Minggu pagi yang cukup lengang membebaskan kaki Kencana untuk menekan pedal gas sedikit lebih dalam. Tak sampai sepuluh menit, mereka sampai di tujuan. Kencana memarkir mobil baik-baik di sebelah sebuah sedan berwarna hitam yang juga baru saja parkir. Sedan yang dikenalnya betul. Sedan milik Paul.

Kencana sempat ternganga ketika melihat Paul tidak sendirian keluar dari mobil. Laki-laki berusia pertengahan enam puluhan itu diikuti oleh sepasang anak kecil cantik dan tampan berusia sekitar empat atau lima tahun. Paul menjabat tangan Jati dan Ndari dengan hangat.

Setelah memastikan semua pintu dan jendela tertutup, barulah Kencana keluar dari mobil. Nyaris bersamaan dengan...

Oh my gosh...

Mendadak saja Kencana kesulitan untuk menutup mulutnya. Laki-laki yang keluar dari sisi pengemudi sedan Paul itu benar-benar membuatnya nyaris tak bisa bernapas.

Itu... Itu...

Tentu saja Kencana tak pernah bisa melupakan wajah ramah nan tampan milik laki-laki itu. Sopir taksi online yang ditumpanginya Senin lalu!

“Ican!”

Seruan bernada hangat itu menyentakkan kesadaran Kencana.

“Apa kabar?” Paul mengulurkan tangan dan menghadiahi Kencana seulas senyum riang yang begitu lebar.

“Baik, Yah,” jawab Kencana sembari menyambut uluran tangan dan senyum Paul. “Ayah gimana?”

“Luar biasa!” Paul menyahut penuh nada antusias. “Oh, ya, kenalkan, ini keponakanku, Daru.”

Laki-laki yang ternyata bertubuh tinggi tegap itu menyalami Jati, Ndari, dan Kencana dengan sopan dan penuh atensi. Paul kemudian menggamit dan merengkuh bahu sepasang anak itu dengan telapak tangan kukuhnya.

“Dan ini, si kembar Neri dan Rika. Putra-putri Daru.”

Kedua anak itu pun mengulurkan tangan mereka dengan malu-malu.

“Kalau sama Eyang, sudah kenal, ya?” Jati mengelus kepala kedua anak itu dengan lembut. “Sama Tante Ican, belum kenal, kan?”

Weleh... Anaknya???

Kencana meringis dalam hati. Tapi disambutnya juga uluran tangan itu. Bahkan ia membungkuk untuk memberi atensi lebih. Keramahannya tak berubah ketika menyapa keduanya.

“Selamat pagiii...”

Mendadak suara bernada meriah menyeruak di tengah mereka. Ketika menoleh, mereka mendapati Nina sudah berada di dekat mereka dengan memamerkan senyum lebarnya. Setelah acara sapa-menyapa itu usai, barulah mereka melangkah bersama ke gedung gereja. Nina sengaja menggamit dan mencengkeram lengan Kencana, menyeretnya hingga melangkah agak jauh di depan.

“Ha! Sudah bertemu Mas Daru lo rupanya!” desis Nina.

Kencana menoleh sekilas. “Kenapa mendadak saja kayak penting banget kejadian gue ketemuan sama dia?”

Nina tergelak ringan. Lalu ucapnya, “Om Paul pengen jodohin lo sama dia.”

“Sembarangan lo ngomong,” gerutu Kencana.

“Eh, bener!” tukas Nina lirih. “Dia pengganti Mas Denta di perusahaan mereka. Sukur-sukur bisa gantiin Mas Denta di hati lo.”

“Ngarang...,” Kencana menggeleng gemas. “Buntutnya dua gitu!”

“Ha... Soal itu, ‘tar juga lo bakalan tahu story-nya.”

Kencana terdiam sambil terus melangkah. Mereka sudah masuk ke dalam keheningan suasana ruangan gereja. Kencana sungguh-sungguh bersyukur karenanya. Jadi, ia tak lagi mendengar cerocosan Nina. Sengaja ia memilih bangku yang hanya menyisakan tempat untuk berdua. Tapi tepat di depan mereka, bangku panjang yang masih kosong itu segera penuh oleh Jati, Ndari, Paul, Handaru, Neri, dan Rika.

Sepuluh menit sebelum misa dimulai, gereja sudah mulai penuh. Saat itu ada pengumuman bahwa petugas kor membutuhkan organis[2] pengganti karena organis mereka tidak dapat hadir pagi ini. Sekian menit berlalu dalam hening tanpa ada yang maju, sebelum Kencana mendengar laki-laki tampan yang duduk tepat di depannya itu berbisik lembut kepada kedua putra-putrinya.

“Papa ke depan dulu, ya. Itu kornya butuh organis. Rika dan Neri sama Opa, ya?”

Kedua anak itu mengangguk dengan patuh. Laki-laki itu menepuk lembut puncak kepala kedua anaknya sebelum berdiri dan melangkah ke depan.

Oh... Kencana membundarkan bibirnya tanpa suara. Apa lagi yang akan diketahuinya segera tentang laki-laki itu? Hm... Istrinya?

Kencana segera menyekat pikirannya agar tidak melantur ke mana-mana karena misa akan segera dimulai. Sejenak ia menunduk dalam diam. Mengheningkan hati.

* * *

Dari tempat duduknya di balik organ, Handaru masih bisa melihat kedua anaknya. Tampak duduk manis diapit Jati dan Paul. Secara otomatis pula, tatapannya bisa menyapu wajah manis yang tadi duduk di belakangnya.

Ican...

Di tengah-tengah misa, di antara kegiatannya mengiringi kor, angan Handaru melayang tak tentu arah. Sama sekali bukan sikap yang baik dalam mengikuti misa. Tapi ia tak mampu melawan ‘setan penggoda’ itu. Hingga pada satu detik, saat homili[3] pastor, ingatannya berhenti pada percakapannya dengan Denta semalam melalui pesan WhatsApp.



Denta : Kata Ayah, Mas Daru sudah ketemu sama Ican?

Daru : Oh... Hehehe... Nggak sengaja itu, sih. Pas lagi aktifin akun Great-car sambil berangkat ke kantor, ada order dari dia.

Denta : Sempat ngobrol apa saja?

Daru : Nggak ada, Den. Aku segan. Dia pendiam begitu. Aku tawarin permen dan biskuit, dia menolak.

Denta : Wah, padahal Ican maniak permen.

Daru : Oh, ya? Takut kubius kayaknya. Hahaha...

Denta : Hahaha... Bisa... Bisa...
Eh, Mas, aku titip Ican, ya? Aku khawatir Ican jatuh ke tangan orang yang kurang tepat.

Daru : Halah, Deeen... Kamu dan Om sama saja. Aku ini laki-laki kayak gimana, sih, Den? Sudahlah, relakan saja dia buat yang lain. Kudengar desas-desus, ada dua anak OMK yang naksir dia.

Denta : Pasti Owen dan Tinus. Tolonglah, Mas....

Daru : Kita lihat lagi nanti ya, Den. Fokusku saat ini masih ke anak-anak.


Dan, pada titik itu, Denta mengatakan bahwa ia memahami posisi Handaru. Seutuhnya.

Seandainya dulu...

Handaru mengerjapkan mata. Mulai bermain dengan kata ‘seandainya’.



Gerakan serentak di sekitarnya membuat Handaru tersadar. Semua orang telah berdiri untuk masuk ke bagian berikutnya setelah homili. Maka, ia pun bangkit berdiri. Sekuat tenaga berusaha memusatkan pikiran dan hati pada lanjutan jalannya misa.

* * *



Catatan :

[1] Pesta nama = peringatan hari orang kudus pelindung sebuah paroki.

[2] Organis = pemain organ.

[3] Homili = khotbah /  ceramah pastor setelah pembacaan Injil saat misa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar