Senin, 21 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #6-1








Sebelumnya



* * *


Enam
Perawan Sunti
dari Bawono Kinayung


Kresna merasa badannya segar sekali seusai mandi pagi ini. Ketika ia masuk melalui dapur, hanya dijumpainya Paitun di sana. Sedang menyiangi dedaunan untuk dimasak nanti.

“Ni?” sapanya halus. “Sendirian?”

Paitun mengangkat wajahnya sekilas. Memberikan seulas senyum. Kresna kemudian duduk di dekat perempuan itu.

“Ibumu sedang menemani adikmu belajar,” ujar Paitun.

“Belajar?” Kresna mengerutkan kening. “Di mana?”

“Ya, belajar,” jawab Paitun. “Tadi pagi buku-buku pesanan ibumu baru saja diantar Bibi Kriswo. Kemarin dia dan suaminya baru kembali dari ‘atas’.”

Kresna terbengong sejenak. Belajar? Jadi...

“Dia ada di kamar ibumu,” ujar Paitun lagi. “Tengoklah. Biliknya yang arah seberang bilikmu.”

Kresna ragu-ragu sejenak. Tapi diturutinya juga ucapan Paitun. Ia kemudian berdiri, berpamitan, dan meninggalkan ruangan itu. Ternyata, pintu bilik Wilujeng terbuka lebar ketika ia mendekat. Perempuan itu mendongak ketika Kresna berdiri di depan ambang pintu.

“Masuklah,” senyum Wilujeng.

Dan, Kresna ternganga begitu melangkah masuk ke bilik itu. Ada dua sisi dinding yang penuh dengan buku. Tertata rapi pada rak-rak nyaris setinggi langit-langit. Wilujeng tertawa melihat Kresna terbengong.

“Kenapa?” usik Wilujeng. “Hiburan Ibu dan Pinasti hanya buku-buku ini, Kres.”

Kresna mengerjapkan mata, kemudian duduk bersila di sebelah Wilujeng. Pinasti sendiri duduk di seberangnya. Tatapan mereka bertemu. Sekilas. Tapi entah kenapa mendadak saja ada yang berubah dengan ritme detak jantungnya. Kresna buru-buru mengalihkan tatapan. Begitu juga dengan Pinasti. Gadis muda itu kembali menunduk. Menekuni sebuah novel teenlit yang tengah dibacanya. Kresna menatap Wilujeng.

“Dari mana Ibu dapat semua buku-buku ini?” tanyanya dengan kening sedikit berkerut.

“Mm... Ada kalanya Bibi Kriswo dan Paman Randu, atau Nini, keluar ke ‘atas’. Menjual hasil kebun dan membeli  berbagai kebutuhan kami. Termasuk buku-buku ini. Kami punya kebun berisi berisi berbagai tanaman obat yang langka dan berharga mahal. Ada toko khusus yang menampung hasil panen kami. Pemiliknya dulu pernah diselamatkan Nini.”

Mata Kresna mengerjap setelah mendengar penuturan ibunya. Lagi-lagi, ia harus menerima hal yang cukup absurd itu di benaknya. Dihelanya napas panjang.

“Bu, kenapa kita tidak kembali saja ke atas?” tanya Kresna.

Wilujeng pun ikut menghela napas panjang sebelum menjawab, “Belum saatnya, Kres. Nanti kalau sudah tiba saat yang tepat, Nini akan memberitahu kita, dan kita akan kembali.”

“Aku mengkhawatirkan Ayah, Bu,” desah Kresna. “Aku menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan Ayah mengatasi kesedihannya atas kehilangan Ibu. Bagaimanapun Ibu tak pernah tergantikan di hati Ayah. Dan sekarang aku...”

Tangan Wilujeng terulur. Menjangkau bahu Kresna. Meremasnya lembut. Tapi ia tak berkata apa-apa. Hanya saja matanya sedikit mengaca. Sejenak kemudian ia berhasil menguasai diri dan mengembangkan seulas senyum.

“Sekarang, ceritakan tentang jagoan Ibu yang satunya,” bisik Wilujeng.

Kresna tersenyum.

“Sejak peristiwa itu, Seta jadi anak manis, Bu.  Kelihatannya ia sadar perbuatannya sudah membuat kita terpisah. Ayah pernah mendatangkan temannya untuk mengatasi masalah ini. Belakangan aku tahu teman Ayah itu psikolog. Pelan-pelan kami semua dipulihkan. Dan Seta nggak lagi senakal dulu.”

“Tapi kenapa dia mencelakakanmu?” tatapan Wilujeng menajam.

Kresna tersentak dibuatnya. Ia balas menatap Wilujeng. Matanya sedikit melebar.

“Jadi Ibu mengira Seta yang mendorongku sampai aku jatuh ke jurang?” suaranya terdengar sedikit bergetar.

“Bukan dia?” tatapan Wilujeng terlihat waspada, sekaligus berlumur kelegaan. “Lantas siapa?”

Tatapan Kresna meredup. Pemuda itu terdiam. Tapi beberapa detik kemudian ia menggeleng.

“Sudahlah, Bu,” gumamnya. “Yang penting aku selamat.”

“Dan kalau kamu kembali lagi ke atas, dia akan mencoba lagi melakukan hal yang sama padamu!” geram Wilujeng.

Kresna kembali menggeleng. “Aku pikir dia nggak akan berani melakukannya lagi. Atau aku akan buka kedoknya.”

Wilujeng mendengus. Terlihat tak puas. Tanpa keduanya sadar, Pinasti menatap Kresna lekat-lekat. Tatapannya tajam. Menembus isi benak Kresna. Lalu, didapatinya sesuatu. Tapi ia tetap diam, dan kembali berlagak menekuni novel yang dibacanya. Wilujeng menghela napas panjang. Bertepatan dengan itu, Paitun muncul di ambang pintu. Baik Wilujeng maupun Kresna menatap ke arahnya.

“Selagi masih di sini, sebaiknya kamu melihat-lihat tempat ini, Kres,” ucap Paitun. “Supaya kelak kamu tak lupa pada Nini.”

Entah kenapa, ucapan dengan nada biasa itu menimbulkan keharuan tersendiri di hati Kresna.

“Pin, temanilah masmu. Tunjukkan tempat-tempat yang kamu suka. Beri tahu semua yang masmu ingin ketahui.”

“Baik, Ni,” dengan patuh dan manisnya Pinasti menanggapi ‘perintah’ Paitun.

Sebelum berdiri, gadis muda itu meraih sebuah tas kain, dan memasukkan beberapa buku ke dalamnya. Ia kemudian menatap Kresna.

“Ayo, Mas.”

Kresna tak punya alasan untuk menolaknya. Ia pun ikut berdiri. Saat mengikuti langkah Pinasti melewati ambang pintu, Paitun mengulurkan sebuah keranjang rotan kecil padanya. Dengan wajah bertanya, Kresna menerima keranjang itu.

“Ini bekal kalian. Siapa tahu kalian lapar atau haus,” Paitun menjawab keheranan Kresna.

“Oh...,” Kresna mengangguk. “Terima kasih, Ni.”

Sesampainya di luar, Pinasti berhenti sejenak. Ditatapnya Kresna.

“Mas mau ke mana?”

Kresna balas menatap. “Terserah kamu, Pin. Kamu lebih paham tempat ini.”

“Mm...,” Pinasti berpikir sejenak. “Ke padang rumput saja, ya? Tempatnya bagus.”

Kresna pun mengangguk.

* * *

Pelan-pelan Paitun menutup pintu depan pondok setelah melepas kepergian Pinasti dan Kresna. Ia melangkah ke belakang, ke dapur. Kosong. Rupanya Wilujeng sudah ke sungai untuk mencuci pakaian. Benar saja, perempuan ayu itu ditemuinya di sana. Sudah siap untuk merendam pakaian-pakaian kotor mereka. Paitun kemudian duduk di sebuah batu besar di dekat Wilujeng.

“Jeng, kebersamaan kita tak akan lama lagi,” gumam Paitun.

Seketika Wilujeng menghentikan gerakan tangannya. Ia mendongak. Menatap Paitun. Mata perempuan setengah tua itu terlihat menerawang.

“Makin dekat waktunya bagimu untuk kembali ke ‘atas’,” Paitun meneruskan gumamannya. “Tapi sebelum itu, ada yang harus kamu ketahui. Tentang Pinasti.”

Wilujeng makin tak bisa berpaling. Ditatapnya Paitun lekat-lekat.

“Anakmu itu sudah tumbuh jadi perawan sunti[1],” Paitun kini balas menatap Wilujeng. “Dan... tugasmu sudah selesai.”

“Maksud Emak?” kening Wilujeng berkerut dalam.

Paitun menghela napas panjang sebelum melanjutkan bicaranya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :

[1] Perawan sunti = anak perempuan yang mulai jadi gadis; perawan kecil.

6 komentar: