Senin, 18 September 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #4










* * *


Empat


Himawan yang tengah mencuci mobilnya sepulang dari bermain tenis menyambut kedatangan tiga orang gadis cantik yang keluar dari dalam sebuah city car. Ketiga gadis itu menyapanya dengan santun tapi tetap terlihat akrab. Ada berbagai tentengan yang mereka bawa.

“Sisi ada, kan, Om?” tanya Ginia.

“Ada, tapi masih di bengkel kerja,” Himawan mengarahkan dagunya ke arah sebelah kiri rumah. “Masuk saja. Ada Tante di dalam.”

Setelah mengucapkan terima kasih, ketiga gadis itu kemudian masuk melalui garasi. Hanya ada Miatun di dalam, yang segera menggiring ketiganya ke dapur yang luas. Lauren masih sibuk di ruang kerja, tapi sudah berpesan agar Miatun melayani kebutuhan ketiga gadis itu.

“Mau saya panggilkan Mbak Sisi, Mbak?” tanya Miatun.

“Eh, jangan!” cegah Arnetta. “Biar aja kalau Sisi masih sibuk.”

“Cuma menyelesaikan pesanan saja, sih,” ujar Miatun. “Setengah hari doang hari ini.”

“Iya, biarin aja, Mbak Tun,” timpal Noni. “Asal kita boleh ngerecokin dapurnya.”

Miatun tertawa sambil meneruskan pekerjaannya. Sesekali ia dilibatkan dalam obrolan ketiga gadis itu.

Ginia, Arnetta, dan Noni memang sudah tidak asing lagi bagi keluarga itu, terutama Ginia. Dari semua cowok sahabat Sisi, Marco-lah yang pertama punya kekasih. Ginia dipacarinya sejak semester awal kuliah dulu. Awet sampai sekarang. Kemudian menyusul Reza. Arnetta adalah adik salah seorang kawan kuliahnya. Belakangan ia dan si kawan bekerja sama mengembangkan usaha, yang ia jalankan secara aktif bersama Arnetta. Dan yang terakhir adalah Noni. Masuk ke lingkaran besar kelompok itu kurang lebih setahun lalu sebagai kekasih Jonggi. Gadis itu adalah rekan sekantor Jonggi, tapi keduanya berbeda bagian.

Sejak awal berhubungan dengan kekasih masing-masing, ketiganya memang langsung diperkenalkan pada geng itu, terutama Sisi. Supaya tidak ada kesalahpahaman yang menyangkut hubungan dekat para cowok itu dengan seorang gadis bernama Sisi. Dan begitu mengenal Sisi, ketiganya seketika merasa aman. Tak pernah melihat ada sesuatu yang mengancam hubungan mereka dengan pacar masing-masing. Sisi adalah teman yang sangat baik. Alih-alih mengganggu hubungan pacaran para sahabatnya, ia justru membantu mengawasi hubungan-hubungan itu, sehingga tidak ada salah jalur.

Ketiga gadis itu pun bisa berteman dengan baik pula. Membuat lingkaran persahabatan itu makin besar. Sesekali mereka ‘keluar’ bersembilan. Dan itu adalah hal yang sangat mengasyikkan. Membuat ketiganya lebih dekat lagi dengan Sisi.

* * *

Lauren mengangkat alisnya begitu mendengar dengungan-dengungan dari arah dapur, yang tak jauh dari ruang kerja. Sejenak setelah menyadari ‘kicauan’ milik siapa suara-suara itu, ia tersenyum.

Dulu, selama beberapa tahun menikah dengan Himawan tanpa ia kunjung ‘berisi’, kekhawatiran sempat menghinggapinya. Akankah ia akan menghabiskan masa tua berdua saja dengan Himawan, atau...? Tapi kekhawatiran itu terjawab pada awal tahun keenam pernikahan mereka, walaupun selama itu pula Himawan bersikap santai walaupun tetap peduli.

Pada akhirnya yang mereka tunggu-tunggu terjadi juga. Gejala masuk angin berkepanjangan yang dialami Lauren ternyata berakhir dengan tanda dua garis merah pada alat uji kehamilan. Membuat Lauren dan Himawan berpelukan dan dilanda euforia berhari-hari. Sisi lahir sekitar tujuh bulan setelah ia diketahui ada. Membuat kehidupan Lauren dan Himawan terasa makin sempurna.

Tapi lalu muncul kekhawatiran lain. Saat ‘gejala masuk angin’ itu tak juga dialami lagi oleh Lauren. Akankan Sisi akan selamanya sendirian tanpa saudara, atau...? Dan kekhawatiran itu pun segera terjawab ketika Sisi masuk TK, menemukan beberapa teman yang cocok dengannya, dan mereka makin dekat sehingga bisa bersahabat baik. Lauren merasa bahwa selera humor Tuhan sangat ‘indah’ baginya. Ia kini tak hanya menjadi ibu dari seorang anak perempuan, tapi juga lima anak laki-laki.

... dan ada tambahan lagi tiga anak perempuan...

Lauren melebarkan senyumnya sambil menyimpan pekerjaannya dan mematikan laptop. Ia pun beranjak dari ruangan sejuk itu. Sambil menjangkau pegangan pintu, ia mematikan AC.

* * *

Ketiga gadis itu menyambut kehadiran Lauren dengan salam dan ciuman hangat di pipi. Di atas salah satu tungku standing stove, bertengger sebuah panci besar yang menguarkan aroma sedap. Ayam sedang dibumbui dan diungkep. Arnetta melanjutkan pekerjaannya menghaluskan bahan sambal, sebelum diambil alih oleh Noni yang sudah menyiapkan wajan untuk mematangkan bahan sambal itu jadi sambal bajak yang lezat.

“Ini mana para cowok?” Lauren duduk di depan island.

“Ha... Mereka maunya terima beres, Tante,” gerutu Ginia sambil mengaduk segelas es teh yang sengaja dibuatnya untuk Lauren.

“Jangan mau...,” Lauren tertawa mendengar gerutuan itu.

“Apa yang terima beres?” mendadak saja suara berat milik Marco menyeruak di tengah mereka.

Kelima perempuan itu menoleh. Mendapati bahwa rombongan laki-laki penikmat berat ayam bakar itu sudah tiba. Kelimanya tertawa. Bergiliran Dion, Reza, Marco, dan Jonggi menyalami Lauren.

“Kami nggak ganggu, kan, Bun?” tanya Marco dengan nada manis.

“Halah, retoris!” Lauren tergelak.

Marco meringis lucu.

“Danny mana?” tiba-tiba saja Lauren menyadari bahwa ada yang kurang dari kelompok itu.

“Ada, Bun,” jawab Dion. “Lagi ngobrol sama Ayah di carport.”

“Oh...,” Lauren manggut-manggut.

Ia kemudian beranjak, untuk memberi keleluasaan bagi anak-anaknya itu untuk bersenang-senang. Saat hendak mencari Himawan di carport, ia berpapasan dengan Sisi dan Danny yang masuk dari arah bengkel kerja Sisi. Danny langsung menyapa dan menyalami Lauren.

“Sudah pada pulang?” Lauren mengangkat alisnya, mempertanyakan para karyawan Sisi.

“Belum, Bun,” gadis itu menggeleng. “Masih kurang seratus sekian lagi. Biar aku suruh Mbak Miatun siapkan makanan dulu.”

Lauren mengangguk, kemudian meneruskan langkahnya.

* * *

Himawan sudah selesai mengelap mobilnya sampai kinclong ketika Lauren muncul. Dihadiahinya perempuan tercinta itu seulas senyum yang masih mampu menggetarkan hati Lauren.

“Ayo, siap-siap!” Himawan mengedipkan sebelah matanya.

“Hah? Mau ke mana?” Lauren mengerutkan kening.

“Lho, ayo, kita kencan siang ini.”

Lauren ternganga sejenak.

Himawan bukan sekali – dua kali mengajaknya kencan secara dadakan seperti ini. Tapi entah kenapa, kelakuan Himawan itu masih juga sanggup menimbulkan letupan-letupan menyenangkan di hati.

“Sudah, sana dandan...,” dengan lembut Himawan menjangkau dan mendorong bahu Lauren.

* * *

Binar dalam mata Lauren adalah sesuatu yang membuat Himawan merasa jatuh cinta lagi dan lagi. Lauren memang sudah tak lagi semuda dulu. Keseluruhan tubuh Lauren sudah lama sedikit melebar. Tapi daya tarik Lauren justru bertambah di mata Himawan. Ia mau memberikan apa saja demi melihat binar di mata dan senyum di bibir Lauren. Dan sesuatu yang sederhana seperti mengajak Lauren kencan dadakan selalu bisa meletupkan binar yang diinginkannya itu.

“Ayah mau ajak aku ke mana lagi siang ini?”

Nada penasaran yang kental dalam suara Lauren membuat laki-laki itu tersenyum simpul.

“Ada, deeeh...,” jawabnya dengan nada menggoda.

Lauren cemberut. Tapi ada senyum tersembunyi di balik kerut bibirnya. Himawan menoleh sekilas. Kerucut di wajah Lauren terlihat sangat menarik. Seandainya tidak sedang menyetir, ia pasti sudah melumat bibir merah muda itu dengan gemas.

“Tadi Ayah ngobrol apa saja sama Danny?” tiba-tiba saja Lauren mengalihkan topik pembicaraan.

“Ah, cuma ngobrol biasa,” Himawan mengedikkan sedikit bahunya. “Kenapa memangnya?”

“Enggak... Cuma tanya,” Lauren menghela napas panjang. “Ayah merasa nggak, sih, kalau Danny suka sama Sisi?”

“Iya, merasa,” Himawan mengangguk. “Tapi sepertinya dia banyak pertimbangan. Mungkin dia menganggap persahabatan itu jauh lebih berharga, Bun.”

“Hm... Ya,” Lauren juga mengangguk. “Tapi kasihan juga, sih, Yah.”

“Biar anak-anak menikmati dan menyelesaikan masalah mereka sendiri, Bun,” ujar Himawan halus. “Kita tinggal mengawasi dari jauh saja. Mereka sudah dewasa.”

Lauren terdiam.

Kelihatannya Sisi juga menikmati persahabatan itu. Tanpa diganggu oleh hal-hal yang ‘lebih’. Dan selama ini sepertinya Danny juga bisa mengelola perasaannya dengan baik.

Apa pun, asal terbaik buat Sisi...

Lauren kembali menghela napas panjang.

“Nah, kita sampai, Bun.”

Lauren sedikit tersentak. Himawan membelokkan mobil masuk ke tempat parkir sebuah kompleks ruko. Lauren sedikit mendongak. “Kedai Kopi Om James”. Terlihat masih baru dan cukup ramai.

“Semalam anak-anak ke sini,” ucap Himawan sambil menarik tuas rem tangan. “Dan Sisi mengiming-imingiku ketika pulang.”

Lauren tersenyum lebar. Suami semanis Himawan...

... bagaimana aku tak jatuh cinta padanya?

Sejenak kemudian, laki-laki yang masih terlihat gagah itu menggandeng tangannya, masuk ke Kedai Kopi Om James.

* * *

Suasana di halaman belakang rumah Sisi sangat meriah siang itu. Aroma sedap potongan-potongan ayam ungkep yang dipanggang beradu dengan aroma arang terbakar, mengambang di udara. Menimbulkan rasa lapar yang semakin sulit untuk ditahan.

Mereka sibuk memanggang sambil mengobrol. Ada saja bahan obrolan dan canda tawa yang bisa dihamburkan. Meskipun sudah berkali-kali mengadakan acara yang sama di tempat yang sama, tapi mereka masih juga tak pernah bosan. Ada atmosfer lain yang selalu memberi energi positif di rumah itu. Mungkin karena pemiliknya adalah pribadi-pribadi yang hangat dan penuh cinta.

“Tadi pagi Abang nanyain lu,” ucap Danny dalam suara rendah ketika ia dan Sisi duduk berdampingan di bawah pohon belimbing.

“Hah?” Sisi menoleh seketika. “Bang Andez? Ngapain?”

“Ada yang tanya soal lu,” Danny menggigit sebuah belimbing besar matang menguning yang baru saja dipetiknya dengan galah.

“Siapa?”

“Temen kakak ceweknya Abang.”

Sisi mengerutkan keningnya.

“Temen kakak ceweknya Abang?” gumamnya, berusaha menemukan mata rantai.

“Iya...,” jawab Danny sabar. “Temen kakaknya Kak Mia. Katanya semalem lihat lu di kedai.”

“Oh...,” sedikit-sedikit Sisi mulai memahami. “Terus?”

“Ya, gue jawab sepanjang yang gue tahu, bahwa lu masih jomlo.”

“Ck!” Sisi mendecak. “Jujur, ya, gue masih seneng begini-begini,” sekilas ditolehnya Danny. “Gue masih punya banyak hal yang lebih menarik untuk diurusi, Dan.”

“Tapi kenalan sama orang baru, kan, nggak ada salahnya, Si. Siapa tahu kalian memang cocok.”

“Lu sendiri tahu gimana orangnya?”

“Belum, sih,” Danny menggeleng. “Tapi gue sudah bilang sama Abang. Gue, kami semua, para bodyguard lu, nggak akan biarin lu disakiti oleh siapa pun. Oleh laki-laki mana pun.”

“Heeeh...,” Sisi mengembuskan napas panjang. “Ada-ada aja...”

“Kalau lu mau menanggapi, nanti gue bilang sama Abang.”

“Nantilah, Dan.”

“Atau lu masih terperangkap cinta monyet lu sama ketua OSIS SMA lu itu?” senyum Danny melebar.

“Apa, sih...,” Sisi memukul ringan bahu Danny.

Laki-laki itu terkekeh.

“Lha, lu sendiri juga masih jomlo, pakai ngurusin gue segala,” Sisi mengerucutkan bibirnya.

“Ha... gue, sih...,” Danny mengangkat bahu.

... rumit, Si..., sambungnya dalam hati.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com


Catatan :

1. Berhubung ada pekerjaan lain yang tidak bisa disela maupun ditunda, maka cerbung episode #4 ini yang seharusnya tayang hari Kamis lalu, terpaksa baru tayang hari ini (Senin). Untuk itu, maka khusus minggu ini akan ada tiga kali penayangan cerbung (Senin, Rabu, Jumat) untuk ‘membayar hutang’ penayangan minggu lalu. Minggu depan, jadwal penayangan akan kembali seperti biasa (Senin dan Kamis).

2. PO novel “Eternal Forseti untuk sementara belum dibuka lagi. Menunggu hingga urusan PO periode sebelumnya beres dulu.

3. Terima kasih banyak...

1 komentar:

  1. Curi-curi baca di tengah kesibukan bikin dokumen, cerbungnya keren, gaya bertutur mbak Liz makin matang.

    BalasHapus