Senin, 09 Oktober 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #11









Sebelumnya



* * *


Sebelas


Lauren bukan seorang perempuan yang bawel dan ceriwis. Tapi tidak juga sependiam belakangan ini. Setidaknya itu yang tertangkap oleh radar Himawan. Ia melihat perempuan tercintanya itu sedang duduk mencangkung di depan belasan pot berisi aneka bebungaan warna-warni di teras samping.

Rasa-rasanya jadi seperti itu sejak ada berita Sisi ditaksir seorang cowok, batin Himawan.

Pelan, laki-laki itu melangkah mendekat. Dengan gerakan halus dijangkaunya bahu kiri Lauren. Lembut, ditepuknya bahu itu. Lauren sedikit terjingkat karenanya. Refleks, ia memutar leher dan mendapati Himawan sudah berjongkok di belakangnya.

“Ada apa, Bun?” tanya Himawan lembut. “Aku perhatikan sudah beberapa waktu belakangan ini Bunda sering melamun. Soal Sisi?”

Lauren mendesah begitu nama putri tunggal kesayangan mereka disebut. Sejenak kemudian ia memutar arah duduknya, menghadap ke Himawan.

“Kelihatan banget, memangnya?” gumamnya.

“Ya, iyalah,” senyum Himawan. Diulurkannya tangan. Menyibakkan secuil poni yang jatuh di kening Lauren. Ulangnya, “Soal Sisi?”

Lauren tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk. Cepat atau lambat, keresahannya memang akan dapat ditangkap Himawan. Ia kemudian tertunduk.

“Laki-laki itu...,” desahnya, “... aku khawatir dia bukan laki-laki yang tepat untuk Sisi...”

“Kenapa memangnya?” Himawan menatap Lauren lekat-lekat.

Perempuan itu mengengadah sejenak, menggeleng, kemudian tertunduk lagi.

“Entahlah,” bisiknya, terdengar patah. “Aku cuma nggak mau dia nanti bisanya hanya menyakiti Sisi, seperti...,” Lauren menghela napas panjang. ... ayahnya! Aku yakin dia anak Erlanda!

Tentu saja Himawan paham arah bicara Lauren. Seutuhnya. Apa yang terjadi pada Lauren sebelum ia menikahi perempuan itu puluhan tahun yang lalu tentunya meninggalkan bekas rasa sakit yang susah lekang oleh waktu. Pelan, ia menggeser posisinya, duduk di sebelah Lauren. Dengan penuh kehangatan direngkuhnya bahu Lauren.

“Kenapa mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi?” senyum Himawan.

“Entahlah,” Lauren mengedikkan bahu. “Hanya perasaanku saja, sepertinya.”

“Sisi sudah dewasa, Bun,” tukas Himawan lembut. “Dia juga berhak  memperoleh pengalaman yang bisa memperkaya hidupnya. Pengalaman pahit sekalipun. Kalau memang hal itu terjadi, setidaknya kita harus bersiap diri untuk menopang dan mendukungnya agar dia bisa kembali tegak berdiri.”

Lauren menyandarkan kepalanya ke bahu Himawan.

“Aku yakin Sisi bisa,” lanjut Himawan. “Dia, kan, anakmu. Tapi aku juga sangat berharap, laki-laki itu, atau laki-laki mana pun, tidak akan membuatnya menangis.”

Lauren kembali tercenung.

Apakah perlu mengungkapkan kekhawatiranku yang sesungguhnya?

Tapi kalau dia bukan anak Erlanda, sementara aku telanjur mengungkapkannya pada Himawan? Ah...

Aku nyaris yakin kalau dia anak Erlanda! Nama itu...

“Ayo, masuk, Bun. Aku sudah lapar. Oh, ya, Sisi ke mana?”

Lauren tersentak. Ia menoleh dan menatap Himawan.

“Bertemu laki-laki itu,” jawab Lauren dengan nada mengambang.

“Oh...”

Lalu Himawan menarik lembut tangan Lauren. Lauren memutuskan untuk menyudahi keresahannya. Walaupun susah, tapi ia berusaha. Tinggal menunggu bagaimana nanti cerita Sisi saat gadisnya itu pulang.

* * *

Dengan berani, beberapa hari lalu melalui direct message Instagram, laki-laki itu mengajaknya bertemu. Pukul enam sore ini, di Kedai Kopi Om James. Sisi menyambutnya dengan senang hati. Sedikit banyak, ia memang merasa tertarik pada Sander. Apalagi laki-laki itu menawarinya untuk menjemput di rumah. Tapi untuk saat ini, Sisi merasa itu belum perlu. Jadi, ia memutuskan untuk menolak dengan halus tawaran Sander, dan memilih untuk langsung bertemu saja di Kedai Kopi Om James. Baru setelah membuat keputusan itu, ia mengabarkannya pada geng.

Sisi melangkah ringan ke arah pintu masuk kedai setelah memarkir dan mengunci mobil mungilnya baik-baik. Sedetik ia mengangkat tangan kiri untuk melihat waktu yang ditunjukkan oleh arloji bundar mungil berwarna rose gold yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul enam kurang empat menit. Sisi langsung menapakkan langkahnya pada anak-anak tangga menuju ke lantai dua.

Lantai dua kedai kopi itu cukup penuh. Sisi sempat mengedarkan tatapannya sebelum menemukan laki-laki itu sudah duduk menghadapi meja untuk berdua di sudut dekat jendela kaca. Ke arah itulah ia melanjutkan langkah.

Seolah ada magnet yang menarik perhatian, Sander pun mengalihkan tatapan dari layar ponselnya. Senyumnya terkembang begitu melihat kehadiran Sisi. Ia melambaikan tangan dengan ringan sambil berdiri. Sisi pun mendekat, menyambut senyum itu.

“Hai!”

“Hai!”

Keduanya tertawa ringan ketika mengucap salam berbarengan.

“Sudah lama?” sambung Sisi, menyambut jabat tangan hangat dari Sander.

“Belum...,” Sander menggeleng. “Pesanan  minumku saja belum diantar. Duduk, Si.”

“Ya, terima kasih,” Sisi duduk di seberang Sander. “Langsung dari kantor?”

“Yup! Sisi dari rumah?”

“Iya,” Sisi mengangguk sambil tertawa ringan. “Kantorku, kan, memang di rumah.”

Sander menyambut tawa itu dengan rasa gembira yang susah untuk diungkapkan skalanya. Saat itu, pesanannya diantarkan. Secangkir kopi hitam Mandailing dan sepiring aneka kue basah.

“Mau minum apa, Si?” tawarnya halus. “Sekalian makannya.”

“Mm...,” Sisi sekilas menatap buku menu. “Kayaknya enak ngobrol sambil menyedot jus alpukat-moka.” Ia menengadah, menatap pramusaji yang sudah siap dengan sebundel kertas catatan. “Jus alpukat-moka, esnya dikit aja. Mm...,” dialihkannya tatapan ke arah Sander. “Makannya nanti dulu, ya?”

“Oke,” Sander mengangguk. “Ini sudah kupesankan cemilan. Nanti bisa pesan lagi. Yang jelas, jangan sampai meninggalkan kedai ini tanpa makan nasi uduknya. Rugi!”

Sisi tertawa melihat betapa jenakanya ekspresi wajah Sander. Pramusaji itu kemudian minta diri. Sisi mengikuti kepergian pramusaji itu hingga menghilang ke arah dapur. Tepat saat hendak mengembalikan tatapan pada Sander, matanya menangkap kehadiran sosok-sosok yang sudah tak asing lagi baginya. Sosok-sosok di meja sebelah yang ia tak sempat perhatikan karena sibuk menatap Sander. Sedetik, tatapannya bersirobok dengan salah satu di antaranya. Segera saja sebuah cengiran sekilas ‘menghajarnya’ tanpa ampun.

* * *

Gambaran laki-laki itu persis dengan deskripsi dan foto yang diungkapkan dan diperlihatkan oleh para cowok. Sejak laki-laki itu muncul di lantai dua kedai, langkahnya sudah terlihat mantap dan yakin.

“Semoga dia duduk di meja sebelah ini,” bisik Arnetta.

Ketiga teman yang ada bersamanya serempak mengamini. Dan harapan Arnetta terkabul. Laki-laki itu, Sander, duduk di  meja untuk berdua tepat di sebelah mereka. Tanpa sadar, keempatnya menarik napas lega. Tampaknya rencana mereka memata-matai Sander dan Sisi akan sukses.

Semua bermula dari kebingungan para cowok setelah mendengar betapa mantapnya Sisi membuat janji untuk bertemu laki-laki itu. Sander. Terlalu menyolok kalau tiba-tiba saja mereka menyerbu ke Kedai Kopi Om James, untuk memata-matai Sisi dan Sander. Hingga akhirnya Masha mempunyai usul brilyan.

“Kenapa nggak cewek-cewek saja yang ikutan ngumpul di kedai?” ujarnya pada Dion waktu itu. “Kan, cowok itu nggak tahu soal kami. Belum kenal.”

Jadilah Dion mengabarkan usul itu pada geng, yang segera menyambut dengan girang, kemudian meneruskannya pada pacar masing-masing. Dan di sinilah keempat ‘pacar’ itu sekarang. Masha, Ginia, Arnetta, dan Noni. Sekaligus  menambah keakraban di antara mereka.

Dan, ketika tanpa sengaja tatapan Sisi jatuh ke arah mereka, Noni memberikan cengiran dahsyatnya. Membuat Sisi sempat terbengong sekejap sebelum perhatiannya teralih kembali pada Sander.

* * *

Obrolan mereka mengalir cukup lancar. Saling bertukar cerita tentang pekerjaan, keluarga, dan banyak hal lain lagi. Keduanya tertawa bersama ketika mendapati bahwa mereka sama-sama anak tunggal.

“Mas Sander pasti anak mami,” goda Sisi.

“Dan Sisi anak papi,” balas Sander.

“Asal jangan anak sapi,” Sisi tertawa lebar.

“Hahaha...,” Sander terbahak.

Obrolan mereka kembali menggelinding. Begitu asyik sambil menikmati nasi uduk yang ditemani aneka lauk. Sejujurnya, rasa senang Sander makin bertumpuk ketika melihat Sisi sangat menikmati makanan dan minuman. Tanpa ada malu-malu atau hal sejenisnya. Sisi terlihat sangat nyaman dengan menjadi diri sendiri. Membuat harapannya makin membumbung.

“Kapan kita bisa bertemu lagi, Si?” ucapnya begitu senja kian menggelincir menuju malam.

“Mm... kapan ya?” Sisi terlihat berpikir-pikir. “Mas Sander kabarin aku aja, deh. Nanti coba aku luangkan waktu.”

“Malam Minggu ini? Bisa?”

“Coba aku lihat jadwalku dulu, ya?” senyum Sisi, manis. Jadwal? Macam selebriti aja... Sisi menyambungnya dengan tawa panjang dalam hati.

“Oke!” sahut Sander ringan.

Mereka pun mengakhiri pertemuan itu menjelang pukul setengah sembilan malam. Sebelum mengikuti langkah Sander meninggalkan tempat itu, Sisi melemparkan tatapannya pada meja di sebelah. Serentak keempat cewek di meja sebelah mengacungkan jempol. Sisi memutar kedua bola matanya sambil mengulum senyum.

Hadeeeh...

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

1 komentar: