Kamis, 19 Oktober 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #14







Sebelumnya



* * *



Empat Belas


Sesungguhnya Himawan tidak begitu suka bila acara berduanya dengan sang putri kesayangan terganggu. Tapi ia berusaha memaklumi maksud baik anak muda bernama Alfons ini. Menyapa orang yang lebih tua. Terlebih Alfons adalah salah satu bawahannya di tempat kerja.

“Fons,” senyumnya. Disambutnya uluran tangan pemuda itu. “Langsung dari kantor tadi?”

“Iya, Pak,” angguk Alfons. “Sudah janjian mau ketemu sama para sahabat. Oh, ya, salah satunya ini, Pak, Sander.”

Ada bel yang berdenting dalam kepala Himawan. Sekilas diliriknya sang putri. Wajahnya tampak biasa saja ketika menyalami Alfons. Pemuda yang disebutkan Alfons bernama Sander itu kini mengulurkan jabat tangan. Ketika Himawan menyambutnya, telapak tangan Sander terasa dingin. Himawan tersenyum.

“Himawan,” ucapnya dengan suara rendah, seraya menganggukkan kepala sedikit.

“Sander, Pak,” Sander juga mengangguk.

“Si...,” Alfons menyapa dan menyalami Sisi. “Apa kabar?”

“Baik,” senyum Sisi.

Sekarang ganti Sander yang menyalami gadis itu. Saling sapa di antara keduanya terdengar sedikit kaku. Ada Himawan dan Alfons, itu masalahnya. Untunglah basa-basi itu tidak lama. Alfons segera menyeret Sander kembali ke ‘habitat’ mereka setelah berpamitan.

“Hm... Jadi itu yang namanya Sander?” gumam Himawan.

“Ya,” jawab Sisi, pendek.

“Ganteng...,” gumam Himawan lagi. “Persis seperti...”

Sisi menatap ayahnya dengan mata bulat ketika mendapati bahwa kalimat itu tidak tuntas.

“Ya?” dicobanya menegaskan. “Gimana, Yah? Seperti siapa?”

“Nggak...,” Himawan menggeleng sambil tersenyum. “Nggak... Nggak kenapa-napa. Eh, itu cemilan kita datang.”

Segera saja semangkuk serabi-pethulo, seporsi lumpia Semarang, secangkir wedang jahe, dan segelas besar teh wangi tawar mengalihkan fokus keduanya. Atmosfer kehangatan yang kental menyelimuti sekitar meja itu. Himawan dan putri kesayangannya berbagi banyak cerita yang selama ini belum sempat terungkapkan karena kesibukan masing-masing. Ada taburan senyum dan tawa.

Diam-diam, sebersit rasa hangat merayap masuk ke dalam hati Sander ketika sekilas-sekilas melihat pemandangan itu.

* * *

Di antara sekian banyak album foto koleksi keluarga Lauren yang pernah diintip Himawan, ada terselip beberapa raut wajah seorang Erlanda. Ia tak ingin mengingatnya, tapi tetap saja garis wajah itu menancap cukup kuat dalam benaknya.

Dan, pertemuan tak sengajanya sore tadi dengan seorang pemuda bernama Sander mau tak mau membuat ingatannya tergali. Wajah pemuda itu serupa Erlanda yang bisa diingatnya. Menimbulkan sedikit rasa sesak di dada. Entah kenapa. Mungkin karena akan ada saatnya nanti Lauren berjumpa lagi dengan Erlanda.

Lantas? Akankah Lauren goyah?

Himawan menghela napas panjang.

Mungkin iya. Sesedikit apa pun, mungkin iya.

Tapi sesaat kemudian Himawan menggelengkan kepalanya.

Ah! Aku berpikir terlalu jauh. Belum tentu juga pemuda itu yang nantinya akan jadi jodoh Sisi. Tapi seandainya benar...

Himawan untuk kesekian kalinya menghela napas panjang. Pelan-pelan memutuskan bahwa ia harus menyiapkan diri sejak detik ini. Agar hatinya tenang. Agar ia bisa mendampingi Lauren menghadapi hal itu. Agar pernikahannya dan Lauren tetap berhasil melampaui badai.

* * *

Hm... Jadi dia juga punya geng...

Saat malam sudah menghening seperti ini, barulah pikiran Sisi melayang pada sosok Sander.

... dan lagi kuliah S2...

Dari obrolan yang pernah bergulir antara ia dan laki-laki itu, ia tahu bahwa karir Sander sudah cukup mapan. Tapi kemauan Sander untuk tetap berusaha menambah ilmu secara formal di sela-sela kesibukannya, itu adalah suatu nilai tambah di mata Sisi.

Isi benaknya kemudian bergulir pada obrolan ringannya dengan sang ayah sore tadi di resto. Setelah Sander menampakkan diri, memang fokus pembicaraan mereka sedikit menggelincir ke arah pemuda itu.



“Hm... Jadi itu yang namanya Sander?” gumam Himawan.

Sisi mengerjapkan mata. Menjawab pendek, “Ya.’

“Ganteng...,” gumam Himawan lagi. “Persis seperti...”

Sisi melengak. Kalimat Himawan tidak tuntas. Ditatapnya sang ayah dengan mata bulat.

“Ya?” dicobanya menegaskan. “Gimana, Yah? Seperti siapa?”

“Nggak...,” Himawan menggeleng sambil tersenyum. “Nggak... Nggak kenapa-napa. Eh, itu cemilan kita datang.”

Kemudian, sambil menikmati makanan dan minuman yang terhidang di meja, keduanya melanjutkan obrolan. Masih tentang Sander. Yang dijawab Sisi dengan setengah hati.

“Jadi anak Ayah benar-benar tertarik pada pemuda itu?” gumam Himawan. Tersenyum.

“Apa, sih...,” raut wajah Sisi jelas menunjukkan ekspresi tersipu. “Belum apa-apa, Ayah...”

“Lho, tertarik juga nggak apa-apa. Wajar.”

Sisi mengerucutkan bibirnya. Himawan menatapnya. Melebarkan senyum.

“Tapi kenapa tadi kaku sekali, ya?” usiknya dengan nada menggoda. “Apa karena ada Ayah?”

“Tuh, kan, aku di-bully melulu,” gerutu Sisi.

Himawan tertawa ringan.

“Sebenarnya Ayah senang kamu sudah mulai mau membuka diri,” ucap laki-laki itu kemudian. “Kelihatannya dia baik.”

“Mm...,” Sisi menyeruput teh wangi tawarnya. “Dia sudah kerja. Karirnya bagus. Sekarang lagi lanjut S2. Anak tunggal, sama kayak aku. Tapi sudah tinggal terpisah dari ortunya. Dia punya apartemen sendiri.”

“Oh...,” Himawan manggut-manggut.

“Waktu ketemu tempo hari itu,” lanjut Sisi, “sebenarnya dia mengajak untuk ketemuan lagi. Besok sore. Tapi tadi dia batalin. Dia lupa kalau harus ke kampus. Ngakunya, sih, saking senangnya ketemu aku, jadi lupa kalau punya tanggungan kuliah tiap weekend.”

“Terus?” Himawan menanggapi dengan wajah penuh perhatian.

“Ya, terus sebetulnya dia mau jemput aku sore ini tadi. Dia ketemuan sama teman-temannya. Sekalian aku mau dikenalin ke mereka.”

“Lha, nggak jadi?” Himawan mengerutkan kening.

“Ya, aku tolak lah, Yah... Kan, Ayah ajak aku ke sini.”

“Hm... Semestinya kencan kita, kan, bisa ditunda, Si...,” ucap Himawan, sabar. “Kamu keluar dulu sama dia.”

“Enggaklah... Enak aja. Dia batal-batalin sendiri, gampang banget dapat gantinya. Enak bener! Mendingan aku jalan sama Ayah aja...”

“Hm... Gitu, ya?” senyum Himawan kembali melebar.



Ada yang tidak Sisi ketahui, bahwa serasa ada ratusan lonceng bergemerincing indah dan merdu dalam hati ayahnya saat itu. Sang anak gadis lebih memilih untuk ‘kencan’ dengan sang ayah daripada dengan pemuda yang sedang berusaha melakukan pendekatan. Walaupun sang anak gadis sepertinya juga menyambut ketertarikan itu dengan rasa yang sama.

* * *

Jadi itu ayahnya... Mata Sander menatap lekat langit-langit apartemennya.

Walaupun hanya sedikit, ia sudah berhasil mengorek keterangan dari Alfons tentang ayah Sisi. Himawan Adiatma. Seorang laki-laki berusia 60 tahun yang masih aktif bekerja. Istrinya seorang editor sebuah penerbitan ternama. Putrinya hanya Sisi seorang. Dan betapa sayangnya ia pada sang putri semata wayang, semua orang juga tahu.



“Pokoknya,” ucap Alfons, “pesen gue, San, lu jangan main-main sama Sisi. Gue tahu lu emang bukan player, tapi seenggaknya, gue minta lu kalau emang serius sama Sisi, lu serius. Pak Himawan itu orangnya baik bener. Istrinya juga baik. Anaknya juga jomlowati berkualitas tinggi. Sepadan lah sama lu.”

“Iya, gue serius,” angguk Sander, mantap. “Ngomong-ngomong, lu tahu rumahnya di mana?”

Seketika Alfons menatapnya dengan curiga.

“Lu mau ngapain?” pemuda itu menyipitkan mata.

“Hari Minggu, kuliah gue cuma sampai jam enam sore. Coba gue datengin dia. Sekalian gue mau ajak dia ke nikahannya Victor. Jam segitu, kan, belum kemaleman.”

“Oh...”

Alfons kemudian menyebutkan sederet alamat yang dicatat Sander baik-baik di notepad ponselnya. Ia tersenyum. Alamat itu tak begitu jauh dari kampusnya.



Dan ia siap untuk memberi sedikit kejutan pada gadis boneka porselen-nya.


* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



5 komentar:

  1. horraak... isuk usuk wes nyarap rahasia dua hati... suwun mbak, keren apik tenan

    BalasHapus
  2. Iku lek mamae Sisi ketemu Sander lak jeng jeng !
    Gasabar ngenteni.

    BalasHapus
  3. Lanjuuut mbak Lizz.. ga sabar nunggu perjumpaan sander dan mamanya sisi...

    BalasHapus