Senin, 04 Desember 2017

[Cerbung] Rahasia Enam Hati #27








Sebelumnya



* * *


Dua Puluh Tujuh


Sejak melangkah bersisian meninggalkan area parkir, Erlanda sudah menggenggam telapak tangan kanan Prisca. Sebuah genggaman yang terasa dingin, lembap, dan sedikit bergetar bagi Prisca. Membuat perempuan itu meremasnya dengan lembut. Erlanda menoleh sekilas.

“Aku... deg-degan...,” diakuinya perasaan itu dengan suara nyaris tak terdengar.

“Ingat niatnya,” Prisca memperingatkan dengan sangat halus. “Demi Sander, anak kesayanganmu.”

Ada yang terasa menohok dada Erlanda. Tapi ketika secercah kesadaran menghampirinya, bahwa selama ini ia sudah begitu melukai hati Prisca karena pencariannya terhadap sesosok Lauren, maka ia pun berusaha memantapkan hati. Dengan sekali tarikan napas, ingin ia mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya agar dadanya terasa longgar.

Dalam diam, keduanya menapaki tangga menuju ke lantai atas Kedai Kopi Om James. Erlanda kembali menghela napas panjang ketika ayunan kakinya terasa sedikit goyah. Anak tangga terakhir sudah terlampaui. Prisca terus berada di sampingnya ketika mereka menuju ke sebuah meja untuk berempat di sudut dekat jendela kaca.

Setelah sekian lama, akhirnya dahaga itu terpuaskan. Lauren terlihat baik-baik saja. Laki-laki tampan berkharisma yang ada bersamanya itu juga terlihat sebagai laki-laki bertanggung jawab yang selama ini sudah menjaga sang istri dengan tanpa cela. Kebahagiaan keduanya banyak tersirat dalam foto-foto yang terunggah di akun Sisi. Foto-foto yang pernah berkali-kali diintipnya untuk memuaskan rasa rindu. Foto-foto yang tiap kali membuatnya merasa kecil ketika membandingkan diri dengan laki-laki bernama Himawan Adiatma itu.

Dan, tatapan keduanya bertemu. Erlanda dan Lauren. Menjebak mereka dalam waktu yang bergerak sangat lambat. Ketika Erlanda dan Prisca hampir sampai ke meja itu, Lauren dan Himawan serempak berdiri untuk menyambut. Himawan berpindah posisi ke sebelah Lauren.

Prisca menjabat tangan Himawan dengan hangat. Senyumnya mengembang ramah ketika sedikit berbasa-basi saling menanyakan kabar. Begitu pula Himawan. Beberapa detik kemudian tangan laki-laki itu menjangkau bahu Lauren. Merengkuhnya hangat.

“Perkenalkan, Bu Prisca, ini istri saya, Laurentia,” senyum Himawan.

Tangan kanan Lauren terulur, menjabat tangan Prisca. Ada senyum di bibirnya. Tapi sorot mata waspadanya tetap tak bisa disembunyikan.

“Laurentia Adiatma,” dengan artikulasi jelas, Lauren menyebutkan namanya, sekaligus nama belakang Himawan.

“Priscalia Prabandaru,” senyum Prisca. “Dan... ini suami saya, Pak Himawan, Erlanda.”

Dengan genggaman hangat dan mantap, Himawan menjabat tangan Erlanda. Senyum masih menghiasi wajahnya. Seketika, Erlanda merasa kalah sekian set dari Himawan.

“Himawan Adiatma,” ujar Himawan dengan nada bersahabat.

“Erlanda Prabandaru,” Erlanda tersenyum sedikit.

Dan, mau tak mau, fokus itu kemudian beralih. Erlanda yang pertama mengulurkan tangan. Lauren menjabatnya dengan wajah datar, dan melepaskannya kembali tanpa menunggu lama.

“Apa kabar, Ren?” Erlanda tetap mencoba untuk tersenyum. Sekadar menutupi perasaan kikuk karena harus berhadapan langsung dengan Lauren dan suaminya.

“Baik,” Lauren mengangguk, tanpa balik bertanya tentang kabar Erlanda.

“Mari, silakan duduk,” Himawan mengambil alih kendali suasana dengan melakukan hal yang seharusnya. Ia kemudian aktif mengobrol dengan Prisca sembari menunggu pesanan minuman untuk Prisca dan Erlanda datang.

“Bagaimana kabar Sander, Bu?” Himawan menatap Prisca. “Sudah pulih betul kondisinya?”

“Ya, saya harap begitu, Pak,” angguk Prisca. “Sekarang dia sedang ikut training berkala di California, di kantor pusat perusahaan. Sudah sekitar tiga minggu ini. Rencananya akhir minggu depan baru pulang. Kalau Sisi? Setahu saya tempo hari keliling Eropa?”

“Iya,” ada kebanggaan dalam suara dan sorot mata Himawan. “Hampir setahun sekali Sisi ikut misi kesenian sanggarnya ke luar negeri. Dia senang sekali menari, sama seperti bundanya,” Himawan menoleh sekilas ke arah Lauren. “Hanya saja bundanya berhenti selepas SMA, sedangkan Sisi terus menari.”

Prisca tersenyum sambil mengangguk-angguk. Beberapa detik kemudian ia menatap Himawan, seolah mengkodekan sesuatu. Laki-laki itu mengangguk samar.

“Hmm... Bagaimana kalau kita berdua pindah tempat saja, Bu Prisca?” senyum Himawan. “Biar Pak Erlanda dan bundanya Sisi bisa lebih enak mengobrol.”

“Oh, saya setuju!” Prisca tertawa ringan. Ia langsung menanggapi ucapan Himawan dengan berdiri. Ditatapnya Lauren dan Erlanda bergantian. “Monggo, Bu, Pa, ngobrollah yang enak,” ucapnya dengan nada suara dan senyum manis.

Lauren tak bereaksi apa-apa. Wajahnya juga terlihat tetap datar. Sejenak, ditatapnya Himawan dan Prisca yang bergerak menjauh, dan akhirnya menempati meja untuk berdua di sudut lain.

Selama beberapa belas detik, keheningan yang beku menyelimuti keduanya. Hingga suara lirih Erlanda memecahkan kebekuan itu.

“Aku senang kamu baik-baik saja...”

Lauren melirik sekilas.

“Jadi selama ini kamu mengira aku tidak baik-baik saja hanya karena kamu depak aku sedemikian rupa dari kehidupanmu?” suara rendah Lauren tidak meninggalkan nada tajamnya.

Tatapan Erlanda terlihat berlumur penyesalan dan serba salah. Dihelanya napas panjang. Suara Lauren kembali menerpa telinganya. Terdengar begitu datar.

“Satu hal yang belum aku ucapkan padamu. Terima kasih karena kamu sudah mendepakku. Jadi, aku bisa mendapatkan belahan jiwa dan jodoh yang paling tepat untukku.”

Erlanda nyaris mengucek matanya. Benar-benar tak percaya ada segaris senyum yang sangat tipis terukir di wajah Lauren. Tapi bayang senyum itu segera menghilang. Erlanda menghela napas panjang.

“Aku sungguh-sungguh minta maaf, Ren,” ucap Erlanda, dengan suara terdengar berat dan patah. “Setelahnya aku benar-benar limbung. Aku menyesal. Sungguh-sungguh menyesal, ... sampai sekarang.”

“Kamu masih menyesal dengan kehidupan terbaik yang selama ini sudah kamu jalani?” walaupun lirih, suara Lauren terdengar menajam. “Dengan istri berhati seluas samudera? Yang sudah memberi kesempatan pada suaminya untuk menyelesaikan apa yang dirasa belum selesai di masa lalu? Kamu benar-benar...,” Lauren menggelengkan kepala dengan wajah gemas. “Kamu memang laki-laki menyebalkan, Er! Sangat menyebalkan! Aku benar-benar nggak paham bagaimana Prisca bisa sedemikian sabar dan tahan berada di dekatmu!”

Erlanda hanya mampu berdiam diri menerima kemurkaan Lauren. Tapi secercah kesadaran merasuki hatinya. Tentang Prisca.

Ya, Tuhan... Apa yang sudah kulakukan?

Sekilas, ditatapnya Prisca yang terlihat begitu asyik bertukar cerita dengan Himawan. Kemudian tatapannya beralih pada Himawan. Tak lama, tapi ia sudah cukup mendapatkan gambaran tentang seorang Himawan. Sekilas, ia melihat tatapan Himawan mengarah pada Lauren. Hanya sekejap. Tapi ia bisa menangkap bahwa sorot mata laki-laki itu menebarkan aura cinta yang manis dan mendalam.

Oke, aku sudah kalah.

Erlanda menggeleng samar.

Sudah lama kalah. Kalah telak!

“Dia... Mas Himawan, maksudku, memperlakukanmu dengan baik?” pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja dari sela bibir Erlanda.

Seketika Lauren melengak. Menyipitkan mata.

“Adakah yang lebih baik daripada seorang pasangan memberi kesempatan untuk bertemu dengan mantan dari masa lalu, Er? Berapa orang di dunia ini yang mampu melakukannya?” Lauren mengembuskan napas keras-keras. Kini, ditatapnya Erlanda, tepat di manik mata. “Ya,” tegasnya. “Mas Himawan memperlakukan aku dengan sangat baik, mencintaiku apa adanya, dan sangat menghormati pernikahan kami. Aku pun demikian. Memang agak terlambat bagi kami untuk mendapatkan Sisi. Tapi... semua hal selalu indah pada waktunya. Kamu sendiri? Bagaimana?”

“Oh...,” Erlanda menegakkan punggungnya. “Ya... Aku dijodohkan dengan Prisca. Ada pada posisi yang sama. Sama-sama patah hati. Tapi kami bertekad akan mempertahankan pernikahan ini sampai kapan pun. Sampai maut memisahkan. Dan, pelan-pelan menemukan cinta itu. Apalagi setelah ada Sander. Kamu sendiri... apakah kamu mencintainya, Ren?”

“Sangat,” Lauren menjawab dengan sangat lugas. “Sama sekali tidak sulit mencintai laki-laki seperti Mas Himawan, dan mempertahankan cinta itu. Dia...,” Lauren mengalihkan tatapannya pada Himawan nun jauh di sudut seberang, tersenyum, “... memang yang terbaik untukku.”

Tanpa bisa dicegah, ada sebuah tusukan yang menimbulkan rasa nyeri di dada Erlanda. Bagaimanapun, sisa rasa cintanya pada Lauren memang masih ada.

Dan, kalimat Lauren berikutnya adalah sebuah pukulan pamungkas dari serangkaian serangan yang bertubi-tubi menerpa hatinya.

“Dengan pernikahanku bersama Mas Himawan, aku menganggap semua hal yang pernah terjadi pada kita sudah selesai, Er. Benar-benar selesai. Aku menghilang dari kehidupanmu agar kamu bisa menemukan hidup baru yang jauh lebih baik. Kenyataannya, kamu memang menemukannya, kan?” Lauren makin tajam menatap Erlanda tepat di manik mata. “Prisca... perlu kebesaran hati untuk mempertemukan suaminya dengan mantan kekasih. Dan dia bersedia melakukannya agar ada masa depan yang lebih baik untuk putranya, putra kalian. Aku harap, kamu nggak akan pernah melupakan itu. Prisca sudah sekian lama membaktikan hidup dan hatinya untuk pernikahan kalian. Tolong, Er, hargai itu. Jangan pernah terpaku lagi pada masa lalu yang sudah lama selesai. Jangan menyakiti Prisca lagi.”

Erlanda tercenung. Perlahan, tatapannya beralih ke arah Prisca. Perempuan itu tampak nyaman mengobrol dengan Himawan.

Dua orang dengan hati yang sangat luas...

Erlanda mengerjapkan mata. Sekali lagi, perasaan kecil hati itu muncul lagi.

Apa selama ini aku memang pantas untuk Prisca? Sudah telanjur berjalan tiga puluh tahun lamanya. Semoga belum terlambat untuk memberi kebahagiaan lebih pada Prisca.

Tatapannya kembali beralih pada Lauren. Dihelanya napas panjang.

“Sander...,” ucapnya setelah mendegut ludah, “..., wajah dan fisiknya memang fotokopiku. Tapi sifatnya banyak menurun dari Prisca. Dia anak yang sabar, serius, teguh, dewasa, tahu menempatkan prioritas dalam hidupnya. Jauh jauh jauh lebih baik daripada aku. Bukan anak yang sempurna, memang. Kadang-kadang manja juga pada mamanya. Tapi Prisca selama ini cukup tegas, jadi Sander tahu batas. Aku tidak tahu apakah Sander cukup baik untuk putrimu. Yang jelas, aku percaya dia tak akan mengulangi kesalahan papanya. Dan yang kutahu, dia sangat mencintai Sisi. Tak pernah seperti ini sebelumnya.”

Lauren terdiam. Menatap vas berisi setangkai bunga lili segar di tengah meja.

“Ren...,” nada suara Erlanda terdengar sangat hati-hati. “Nama Sisi, Proxima Centauri, kamu rupanya masih mengingat nama itu.”

“Itu ayahnya yang memberi nama,” jawab Lauren tanpa mengalihkan tatapannya. “Aku sendiri sudah lupa. Baru ingat ketika Mas Himawan menyebut nama itu. Dia tahu aku menyukai nama indah bintang-bintang. Dia selalu tahu apa yang kusuka dan kumau.”

Cukup sudah! Erlanda mendegut ludah.

Kemudian keheningan menyelimuti mereka. Erlanda tahu, semuanya memang benar-benar sudah tamat.

Beberapa detik kemudian Lauren mengalihkan tatapannya pada Himawan. Seolah tatapan itu mengandung magnet, Himawan balas menatapnya. Lauren mengangguk samar. Himawan seolah mengerti. Ia kembali menatap Prisca.

“Bu, kelihatannya mereka sudah selesai,” ucapnya halus. “Mari, kembali ke meja sana.”

Prisca pun mengangguk dan berdiri.

* * *

“Kelihatannya pembicaraan kalian lancar,” Himawan menoleh sekilas, sebelum kakinya mulai menekan pedal gas.

“Jujur, ya, aku tetap malas bertemu dengannya,” Lauren mengedikkan bahu. “Tapi penting juga pertemuan tadi. Untuk menegaskan bahwa kami tetap dua orang lain dengan jalan yang sudah berbeda, dengan keluarga masing-masing. Dia harus bisa bersyukur punya istri sebaik Prisca. Dan tak perlu menoleh ke mana-mana. Apalagi terlalu sering menengok ke belakang. Mm... Ngomong-ngomong, kalian tadi mengobrolkan apa? Kelihatannya asyik benar.”

Himawan tertawa ringan.



“Jujur, Pak, benar-benar tak ada rasa khawatir dengan pertemuan mereka?”

Seutuhnya Himawan menemukan sorot khawatir dalam tatapan mata perempuan berusia lima puluh enam tahun itu. Ia pun tersenyum menenangkan.

“Sungguh, Bu, jangan takut,” jawabnya halus. “Saya sudah tiga puluh tahun mengenal bunda Sisi. Sudah tak ada lagi yang tersembunyi. Bila sudah selesai untuknya, maka sudah selesai pula hal itu. Saya harap, Ibu jangan hilang kepercayaan pada Pak Erlanda.”

Prisca manggut-manggut. Perlahan, kekhawatiran itu pun memudar dari matanya. Masih ditatapnya Himawan.

“Pertama kali melihat Sisi, saya merasa gemas sekali, Pak,” senyumnya merekah. “Anak ini, kok, cantik sekali. Mirip benar dengan boneka. Pada detik itulah, saya memahami mengapa Sander bisa sampai jatuh hati pada Sisi.”

“Tapi setelah Ibu tahu Sisi anak siapa, lantas...?” ada nada menggoda dalam suara Erlanda.

Tawa Prisca pecah. Dikibaskannya sebelah tangan dengan wajah tersipu.

“Ah, saya memang benar-benar ketakutan saat itu,” digelengkannya kepala. “Saya tahu apa yang dilakukan papa Sander selama ini. Saya juga tahu, buat dia, apa yang pernah terjadi di antara dia dengan Bu Lauren belum berakhir. Dia tidak mau berbagi hal itu dengan saya. Jadi..., saya harap, Bu Lauren berhasil menyadarkannya.”

Himawan mengangguk.

“Oh, ya, Sisi benar-benar baik-baik sajakah, Pak?”

Himawan tercenung sejenak sebelum menjawab, “Dia berusaha tegar. Berusaha mengatasi kesedihan dengan caranya sendiri. Ada sahabat-sahabatnya yang mendampingi. Saya hanya berharap, dia mendapatkan yang terbaik.”

“Ya, saya juga, Pak, berharap hal yang sama bagi Sander,” Prisca manggut-manggut. “Bila yang terbaik itu adalah Sisi, saya akan menerimanya dengan senang hati.”



“Dia,” ujar Himawan, “aku pikir kita juga, kita semua, hanya ingin yang terbaik untuk anak-anak. Buat Sander, buat Sisi.”

Lauren menghela napas panjang.

Bertemu kembali dengan Erlanda tak mudah baginya. Tak pernah mudah. Masih ada sisa rasa marah pada laki-laki itu. Juga sepotong cinta, sebenarnya. Bagaimanapun, ia pernah melewatkan sebelas tahun kehidupannya dalam aroma cinta yang sangat pekat dengan Erlanda. Tapi ia merasa harus memilih untuk mengabaikan perasaan itu. Lebih tak mudah lagi karena ia masih bisa melihat kharisma seorang Erlanda dalam usia yang jauh lebih senior daripada Erlanda yang pernah menjerat hatinya. Kharisma yang cukup mengguncang dunianya.

Dan, ia harus mulai menata dunia dan hatinya kembali. Dari awal. Dari nol. Membayangkannya saja sudah membuatnya merasa letih.

Tapi aku bisa apa?

Lauren menggeleng samar dengan wajah pasrah.

Demi Sisi kesayanganku...

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

2 komentar:

  1. Sumpa aq deg"an moco cerbung iq mb Lis.
    Gasabar kambek episode berikute.
    Cen authore super sip soro to the max !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nek nggak deg-degan lak Wes ketam awakmu, Niiit... 😁😁😁

      Hapus