Senin, 14 September 2015

[Cerbung] CUBICLE #9





Kisah sebelumnya : CUBICLE #8



* * *



Sembilan


Malam harinya, begitu sampai di apartemen, aku menelepon Driya. Tapi setelah usaha keempat sia-sia, aku pun meletakkan ponselku di pantry. Baru saja aku membuka kulkas, ponselku berbunyi. Ketika kulihat, panggilan itu dari Driya.
                                                        
“Halo, Men,” sapaku.

“Lu barusan nelpon gue,” terdengar sahutan dari seberang sana, “ada apa, Yik?”

“Oh... ini, soal job yang kami dapet dari lu. Boss nyuruh gue ngomongin langsung sama lu konsepnya. Kira-kira kapan ya, lu ada waktu?”

“Hm... Kebeneran gue masih di jalan ini. Masih deket-deket apartemen lu. Lu lagi di mana?”

“Gue udah di apartemen.”

“Ya udah, gue ke apartemen lu aja sekarang. Lu punya makanan apa?”

“Astagaaa... Yang ditanyain langsung makanan...”

“Hahaha... Laper gila, Yik!”

“Di kulkas gue cuma ada es batu, telur, roti tawar, sama selai doang. Gampanglah, tar kita ke chinese food di bawah aja.”

“Oke deh, kalo gitu. Eh, gue boleh numpang mandi nggak? Gerah banget. Lengket semua badan gue.”

“Boleeeh... Ya udah, lu langsung ke sini aja.”

“Sip! Setengah jam lagilah gue nyampe tempat lu.”

“Oke!”

Kututup pintu kulkas dan pembicaraan itu sekaligus. Baru saja mau masuk ke kamar mandi, bel pintu berbunyi. Sempat kaget juga. Bukannya Driya bilang setengah jam lagi baru nyampe? Tapi kubuka juga pintu.

“Hai!”

Aku terbengong sejenak. Orang yang memamerkan senyumnya di depan pintu apartemenku kali ini benar-benar orang yang tak kusangka kedatangannya.

Bara?

“Boleh masuk?”

Tanpa kata, aku pun melebarkan pintu.

“Lu baru nyampe?”

Aku mengangguk. “Tumben lu main ke sini?”

“Kangen aja sama elu,” dia meringis. “Seharian tadi kita nggak ketemu.”

“Iya, lu ke mana aja?”

“Biasa..., kelilingan. Menggelandang.”

“Haish!” aku mengibaskan tangan.

Dia terkekeh.

“Eh, gue mandi dulu ya, Bar. Lu kalo mo minum ambil sendiri di kulkas. Atau kalo mau kopi, teh, sirup, susu, coklat, ada semuanya di pantry.”

Dia mengangguk.

“Oh iya, tar kali ada yang ngebel, suruh masuk aja. Driya mau ke sini.”

Sempat kulihat wajah berseri Bara sedikit berubah. Tapi aku harus segera mandi karena kurasa badanku mulai lengket dan tidak nyaman.

* * *

Ternyata Driya sudah datang ketika aku keluar dari kamar dalam kondisi sudah rapi dan wangi. Kukenakan celana panjang batik dan T-shirt kuning muda berlengan pendek. Driya kutemukan sedang asyik mengobrol dengan Bara. Entah tentang apa. Mungkin juga pembicaraan antar laki-laki. Dengan ringan kujatuhkan tubuhku di sebelah Driya, di seberang Bara.

“Sono gih, kalo mo mandi,” lenganku kusenggolkan ke lengan Driya.

“Masiiih aja hobi pake kaos kuning,” Driya tergelak menatapku.

Ketika kulihat ke arah T-shirt yang kupakai, aku terpaksa nyengir karena menyadari apa warnanya.

“Lu udah pesen makanan?” Driya berdiri.

“Belum.”

“Pesen gih! Tar gue yang bayar. Yang banyak, biar nggak kurang. Sumpah, laper banget gue,” ucap Driya sambil meraih tasnya dan berlalu.

Aku meraih ponsel dan mulai menghubungi depot chinese food di bawah. Sambil menunggu telepon di seberang sana diangkat, aku menunjuk sepiring lapis talas di atas meja.

“Lu yang bawa?” kutatap Bara.

Dia mengangguk sambil menyeruput tehnya. Tepat saat itu hubungan dengan depot chinese food tersambung. Segera saja kusebutkan segala macam nama makanan favoritku yang bisa kuingat.

“Oke, sejam lagi ya, Mbak? Banyak macemnya ini soalnya...”

“Siap! Tenang aja...,” aku pun menutup pembicaraan.

Sambil menunggu Driya keluar dari kamar mandi, aku pun mengobrol dengan Bara. Ternyata dia tadi seharian ke Bogor. Meninjau lokasi setting iklan yang diminta kliennya. Pantas dia bawakan lapis talas untukku.

“Masih ada satu utuh di kulkas,” ucap Bara sambil mencomot sepotong lapis talas.

“Ya udah, besok gue bawa aja buat geng.”

“Besok?” Bara melebarkan matanya. “Nggak salah? Ini hari apa, Neng?”

Astaga... Kutepuk keningku. Iya, sekarang sudah Jumat sore. Besok libur.

“Hehehe...,” Bara terkekeh. “Eh, tar gue boleh numpang mandi sekalian?”

Aku mengangguk. Bara pun pamitan untuk ambil perlengkapannya di mobil. Driya mengerutkan kening ketika mendapati aku sendirian seusai dia mandi. Mandi bebek. Kilat banget!

“Lho, Bara ke mana?” dia menjatuhkan badan di sofa panjang.

“Lagi ambil perabotnya di mobil, mau numpang mandi juga,” kutatap dia sejenak.

Driya tampak nyaman dalam celana pendek kotak-kotak hitam-merah dan T-shirt merahnya. Rambutnya kelihatan segar dan basah dengan wangi maskulin samar-samar mengelus hidungku. Hm... Tapi aku segera ngakak ketika menyadari ada gambar apa di T-shirt Driya. Kening Driya berkerut ketika menatapku.

“Kenapa?”

“Hahaha... Kaos lu masih gambar lambang Batman aja? Hahaha...”

“Hehehe...,” Driya ikut terkekeh. “Iya, ya... Eh, lu udah pesen makanannya, Yik?”

Aku mengangguk.

“Gue rebahan bentar di sini ya? Capek banget gue.”

Aku mengangguk lagi. Kusodorkan piring berisi lapis talas padanya. Sambil menggumamkan terima kasih singkat, dia langsung mencomot tiga potong sekaligus.

“Lu mau minum apa, Men?”

“Air putih aja. Tar gue ambil sendirilah. Lu nggak usah repot-repot.”

Aku mengangkat bahu. Kunyalakan televisi untuk memberi suasana lebih ramai. Aku pun duduk santai sambil menyelonjorkan kakiku pada ottoman.

“Lu dari mana aja tadi?”

“Wuh! Ngelayap sampai Tangerang segala gue, Yik. Tadi pagi gue langsung ke Cikarang dari rumah. Terus mampir kantor bentaran doang. Terus jalan lagi ke Tangerang.”

“Oh...”

Dalam suasana santai seperti itu, aku dan Driya mulai membicarakan konsep iklan yang dia mau. Keinginannya tak aneh-aneh. Hanya menghendaki sesuatu yang unik. Kalau masalah unik, tampaknya Fajar lebih tepat untuk menanganinya. Kutawarkan pada Driya untuk sekalian saja mengundang Fajar karena blok apartemen Fajar cuma sepelemparan apem dari blok apartemenku, alias bersebelahan. Dia segera menyetujuinya.

“Oke, gue ke situ. Kebeneran lagi nganggur,” ucap Fajar antusias dari seberang sana.

“Lu udah makan?”

“Lagi jalan mau beli nasgor di depot chinese food di blok lu.”

“Udah, lu langsung naik ke apartemen gue. Gue pesenin nasgor dari sini. Seafood kan?”

“Yup! Trims!”

Aku menutup teleponku pada Fajar tepat ketika Bara datang kembali. Ditentengnya sebuah travel bag kecil berwarna biru muda. Aku menunjuk ke kamar mandi dan dia mengangguk sambil terus melangkah ke sana. Kulanjutkan menelepon depot untuk menambah pesanan.

“Lu pesen banyak kan?” Driya bangun dan melangkah ke pantry.

“Iyaaa... Jangan khawatir... Kalo sisa kan bisa lu bawa pulang buat sarapan besok.”

Driya terkekeh. “Udah... buat lu ajalah...”

* * *

Bara tampak surprised ketika keluar dari kamar mandi dan mendapati Fajar sudah ada bersamaku dan Driya. Fajar menyapa Bara dengan meriah. Rada lebay juga sih, hehehe... Baru juga nggak ketemu sehari.

“Wah, sayang kostnya Yussi jauh ya?” celetuk Fajar. “Kalo nggak kan bisa sekalian kita tarik ke sini. Weekend-an para jomblo.”

Kami ngakak bersama. Hampir bersamaan dengan itu, pesanan makanan  kami datang. Fajar langsung melongo melihat banyaknya kotak makanan yang akhirnya tersebar di atas meja.

“Busseeet...,” gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Hehehe... Lu belum tau gimana kalapnya Driya sama Bara kalo udah makan bareng di sini.”

“Udah pernah?”

Aku mengangguk.

Sambil menikmati traktiran Driya yang sudah lunas dibayarnya, kami pun kembali berdiskusi tentang konsep iklan yang diinginkan Driya.

Benar saja! Fajar punya beberapa ide yang memenuhi syarat unik seperti yang diinginkan Driya. Hingga pada akhirnya kami sepakat bahwa iklan itu akan ditangani Fajar dan Bara. Mungkin akan melibatkan Yussi juga, yang saat ini job-nya tinggal menunggu finishing. Sedangkan Gerdy, Nina, dan aku masing-masing masih memiliki beberapa job yang masih jauh dari proses finishing.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #10

3 komentar: