Kamis, 22 Oktober 2015

[Cerbung] Ruang Ketiga #2








Episode sebelumnya :  Ruang Ketiga  #1


* * *


Dua


Dahlia menatap kosong pemandangan yang seolah berlari di luar jendela mobil. Yang terpantul di kaca jendela hanya satu wajah. Yang bergema di telinganya hanya satu nama. Dan yang memenuhi benaknya hanya satu sosok.

Rengga.

Dan seolah dunianya kini berguncang hebat karenanya. Dengan sedikit demi sedikit lembar-lembar yang membungkus masa lalu itu mulai terkelupas. Menimbulkan nyeri yang perlahan terasa makin menggigit.

Kenapa?

Dahlia mengerjapkan mata.

Kenapa aku ndak pernah seberani Seruni?

Dahlia menghela napas panjang. Berusaha melepaskan rasa sesak yang menghimpit dadanya.

Aku berusaha untuk ndak menyesal, tapi kenapa sekarang rasa itu muncul begitu saja?

Airmata menggenang di pelupuk mata Dahlia. Tanpa bisa dicegah.

Kenapa?

Kembali kalimat itu menggulungnya dari nol. Membuatnya tak berdaya. Seolah terkunci begitu saja dalam peti mati. Tak bisa beringsut. Tak bisa lagi berpikir jernih.

“Bu...”

Dahlia tersentak. Karsiman menatapnya melalui kaca spion tengah.

“Sudah sampai.”

“Oh ya, ya...,” Dahlia tergagap sejenak.

Dengan cepat ia meraih tas yang tergeletak di samping tubuhnya. Tanpa kentara ia menyapu genangan airmatanya.

“Pak Siman pulang saja,” ucap Dahlia sebelum beranjak keluar dari mobil. “Nanti aku pulang sama Bapak.”

Nggih, Bu,” Karsiman mengangguk.

* * *

Hening itu tak pelak membungkus Dahlia begitu ia terduduk di depan jendela kamar semasa gadisnya. Tatapannya jauh menembus hamparan kebun penuh pohon buah-buahan. Pelan, dihirupnya aroma khas kamarnya. Harum sprei batik bercampur aroma rempah dalam potpourri yang selalu diletakkan ibunya dalam setiap kamar kosong putra-putrinya. Dikuncinya aroma itu dalam dadanya, untuk mengurangi rasa sesak yang masih ada sejak ia bertemu Rengga tadi.

Kenapa harus bertemu lagi?

Dahlia menggelengkan kepalanya.

Setelah aku bisa menata lagi hidupku dan mulai menikmatinya?

Mata Dahlia menerawang jauh tanpa berkedip.

“Lia...”

Suara lembut itu tak mampu mengusik lamunan Dahlia, sehingga si empunya suara mengeluskan tangan halusnya di bahu Dahlia.

Ndhuk1)...,” panggilnya lagi.

Sentuhan yang bersamaaan dengan panggilan itu seketika mencabut Dahlia dari angan kosongnya. Ia menoleh dan mendapati Eyang Murti tengah menatapnya. Bibirnya tersenyum, tapi matanya tetap tajam, seolah menuntut.

“Ada apa?”

Kepala Dahlia menggeleng, dan ia langsung berusaha mengalihkan perhatian Eyang Murti.

“Eyang kapan datang?” Dahlia mengambil tangan kanan Eyang Murti dan mencium punggung tangan itu dengan segenap rasa hormat yang ia miliki.

“Aku sudah di sini dari semalam.”

“Mbok Karti kok tadi ndak bilang kalau Eyang ada di sini?” sesal Dahlia. “Jadinya dalem2) tadi langsung nyelonong saja ke sini.”

Ndak apa-apa. Aku tadi juga ketiduran. Mungkin Karti ndak berani ganggu,” Eyang Murti duduk di tepi ranjang, di dekat Dahlia. “Jadi, ada apa?”

Dahlia menggeleng. “Ndak ada apa-apa kok, Eyang...”

Ndak takut kualat, bohong padaku?”

Mau tak mau Dahlia tersenyum mendengar nada canda dalam suara Eyang Murti. Tapi tatapan tajam perempuan sepuh3) yang masih terlihat agung dan tegas itu mengunci Dahlia. Membuatnya tak bisa mengelak lagi.

“Saya...,” suara Dahlia penuh keraguan. Sejurus kemudian dihelanya napas panjang. Ia tertunduk. Tak berani menatap Eyang Murti. “Saya... bertemu... Mas... Rengga...”

Hening sesaat. Tatapan Dahlia masih menekuri corak acak lantai marmer di bawah telapak kakinya.

“Rengga... pacarmu dulu?” suara Eyang Murti terdengar halus dan lirih, menembus telinga Dahlia.

“Iya, Eyang,” Dahlia mengangkat wajahnya sesaat.

“Bagaimana kabarnya?”

“Mm... Baik. Dia kembali ke sini. Anaknya satu. Perempuan. Istrinya... sudah meninggal. Dan kami... bertemu... tadi pagi. Di... salon...”

Eyang Murti menutup mulutnya dengan tangan. Ditatapnya Dahlia yang masih tertunduk. Seketika rasa itu muncul lagi dalam dadanya. Rasa sakit yang timbul karena gulungan rasa bersalah.

Pelan diremasnya bahu Dahlia. “Maafkan aku, Lia. Maafkan aku...”

Dahlia mengangkat wajahnya. Ditatapnya Eyang Murti. “Saya sudah lama memaafkan Eyang. Saya anggap semuanya memang sudah jadi garis hidup yang harus saya jalani. Ndak apa-apa, Eyang, sungguh...”

Eyang Murti meraih badan mungil Dahlia dan menenggelamkannya ke dalam pelukan. “Seandainya kau berani berontak seperti Seruni, Ndhuk... Seandainya...”

Dahlia membalas pelukan Eyang Murti.

“Sudah, Eyang, ndak apa-apa,” bisik Dahlia. “Jangan jadi beban pikiran Eyang. Dalem ndak mau rangkaian acara pernikahan Seruni terganggu sakitnya Eyang karena terlalu banyak pikiran. Sudah ya, Eyang? Saya ndak apa-apa. Selalu ada jalan untuk mengatasi masalah. Selalu ada solusi yang disediakan Gusti4) untuk saya pilih nantinya. Yang penting sekarang Seruni, bukan saya.”

Dan Dahlia seketika tercekat ketika merasa ada sesuatu yang dingin terasa menembus blus batiknya, tepat di bagian punggung.

Airmata Eyang Murti.

* * *

“Aku kangeeen...,” Seruni memeluk erat Dahlia.

“Haish... lebay!” Dahlia seketika tertawa.

Kalimat Seruni memang terdengar berlebihan karena baru saja dua minggu lalu mereka bertemu. Saat Dahlia dan Swandito terbang ke Jakarta untuk membujuk Seruni agar mau menjalani pingitan5).

Sudah banyak tradisi yang dilonggarkan. Bila pingitan sejatinya bisa berlangsung satu hingga dua bulan lamanya, Seruni hanya mau menjalaninya selama dua minggu saja. Itu pun dengan catatan masih boleh berhubungan dengan Hazel melalui pesan tertulis. Tapi ia masih tetap mau menghormati tradisi untuk tidak bertatap muka secara fisik, walau hanya melalui layar maya sekalipun.

Dan selanjutnya Dahlia seolah hanya jadi penonton saja di luar lingkaran keluarga besar itu. Entahlah, tapi kali ini ia hanya ingin jadi penikmat keriuhan ketika seluruh keluarga besarnya berkumpul seperti ini.

Mau tak mau ingatannya melayang kembali pada suatu titik waktu sekitar sembilan tahun yang lalu. Ketika ia ada di posisi yang sama dengan Seruni. Harus mempersiapkan diri untuk menghadapi hari pernikahannya. Hanya saja jauh berbeda dengan Seruni sekarang, Dahlia harus menikah dengan seseorang yang tak pernah dicintainya. Seseorang yang sama sekali salah. Membawa lara yang masih juga terasa sisanya hingga detik ini.

Dan pernikahan keduanya tak kalah menghebohkan. Suatu keputusan yang dipilihnya sendiri agar Seruni tak terjeblos seperti dirinya dulu.

Menyesal?

Dahlia menggeleng samar. Sudah tak ada tempat lagi untuk meletakkan sebuah ukiran penyesalan. Pada kenyataannya kehidupan terus berlanjut. Bersama orang yang mungkin salah, tapi mungkin juga benar.

Mas Swan...

Tanpa sadar Dahlia mengarahkan tatapannya pada Swandito. Laki-laki itu tengah bercakap dengan Haryo. Pada detik berikutnya tatapan mereka bertemu. Hanya sekejap. Tapi segera saja Dahlia merasa seolah ditelanjangi. Bukan tubuhnya, tapi hatinya.

* * *

Dahlia memang cenderung pendiam. Selalu pendiam. Walau banyak sekali kehangatan yang dipancarkannya setiap saat. Hanya saja hari ini diamnya Dahlia terasa lain bagi Swandito. Ia tak bisa menjabarkannya. Hanya terasa ‘lain’.

“Jeng...,” suara lembutnya menyebar ke seantero kabin mobil itu.

Mata Dahlia langsung mengerjap.

“Ada apa?”

Dahlia kehilangan kata. Kalaupun kepalanya menyimpan ribuan kalimat, semuanya hanya bermuara pada satu nama. Rengga. Haruskah bicara?

“Entahlah,” desah Dahlia kemudian. Akhirnya.

Satu hal yang selalu Swandito lakukan hanyalah bersabar sejenak. Hingga Dahlia sendiri akan mulai bicara. Biasanya tak akan lama. Seperti biasanya. Tapi kenapa kali ini rasanya lain?

Ada sesuatu yang menjalari hatinya. Sesuatu yang tidak biasa. Sepertinya akan ada sesuatu yang bisa mengubah hidupnya. Mengubah tata ruangnya. Ruang ketiga yang dimilikinya bersama Dahlia.

Tapi ia tak mendesak lebih lanjut. Hanya menunggu. Hingga waktu yang tepat itu datang. Seperti biasanya. Selalu datang.

* * *

Rumah joglo itu sudah kembali sunyi dengan pulangnya Haryo dan Dahlia ke kediaman mereka bersama keluarga masing-masing. Helaan napas panjang itu terdengar berat. Membuat Seruni menoleh dan mendapati mendung seolah menaungi wajah Eyang Murti. Pelan diraihnya tangan keriput itu, dan dibawanya ke depan dada.

“Ada apa, Eyang?”

Eyang Murti menatap Seruni. Murung. Walau tak kehilangan sorot menyelidik.

“Selama ini, apa yang kau ketahui soal pernikahan mbakyumu, Ndhuk?”

Seketika Seruni mengerutkan kening.

Pernikahan Mbak Dahlia? Bukankah...

“Selain yang sudah kita ketahui.”

Seruni tersentak mendengar ucapan Eyang Murti, yang begitu tepat membidik apa yang ada dalam benaknya.

“Barangkali dia bercerita padamu,” tegas Eyang Murti.

“Dia baik-baik saja,” suara Seruni terdengar mengambang dalam keraguan. “Maksud saya, yang saya tangkap selama ini adalah dia hanya ingin menjalani dan menikmati hidupnya sekarang sesuai alurnya. Tak lagi ingin terpaku pada masa lalu. Yang sudah ya sudah. Tak mau terlalu menyesali apa yang sudah pernah terjadi.”

“Hm...,” mata Eyang Murti terlihat menerawang jauh menembus gelapnya malam di luar rumah joglo itu. “Pernah dia bercerita soal... Rengga?”

“Mas Rengga...,” gumam Seruni. “Saya pernah bertemu beberapa kali dengan Mas Rengga di Jakarta.”

“Oh ya?” Eyang Murti sedikit terperanjat mengetahui kenyataan itu.

“Ya, Eyang,” Seruni mengangguk. “Istrinya pelanggan butik saya. Tapi setelah Mbakyu Rana meninggal, saya ndak pernah lagi bertemu dengan Mas Rengga.”

“Dahlia tahu?”

Seruni menggeleng. “Saya ndak pernah cerita ke Mbak Lia. Saya ndak tega.”

“Dia kembali ke sini...”

“Maksud Eyang?”

“Rengga,” tatapan Eyang Murti jatuh pada Seruni. “Kembali ke sini. Dan tadi pagi mereka bertemu. Di salon Dahlia.”

Seruni ternganga. “Lalu?” bisiknya, nyaris tanpa suara.

Eyang Murti menggeleng. “Cuma itu yang aku tahu. Cuma itu yang dia ceritakan.”

Seruni menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi. Bayangan gelap itu mau tak mau seolah kembali mengikuti Seruni kemana pun ia mencoba untuk berkelit.

Seandainya tak pernah ada penikahan antara Mbak Lia dan Mas Swan... Tapi... Lalu aku?

Seruni memejamkan mata.

Gusti, tak bisakah sedikit saja memberi Mbak Lia ketenangan hidup? Setelah semua hal buruk yang pernah dialaminya...

“Bu...”

Suara berat itu menyentakkan Eyang Murti dan Seruni.

“Sudah malam,” ucap Priyo halus. “Istirahat dulu...”

Eyang Murti menarik tangan Seruni. “Ayo, Ndhuk... Aku sudah kangen pijatanmu.”

Seruni mengulas senyum tipis, tanpa ingin menolak keinginan eyangnya.

* * *

Seruni berbaring diam di atas ranjangnya. Meringkuk memeluk guling. Dengan pikiran hanya terpusat pada satu hal.

Pernikahan Dahlia dengan Swandito.

Seperti apapun sempurnanya pernikahan itu terlihat dari luar, banyak hal tak lazim terjadi di antara Dahlia dan Swandito. Sesuatu yang tak biasa. Berjarak. Bahkan sangat berjarak walaupun keduanya kelihatannya dekat. Terlihat dari suatu ‘hal kecil’ saja, bagaimana Swandito menyebut Dahlia dengan kata ganti panjenengan. Hal yang sangat di luar kebiasaan.

Meskipun usianya tiga tahun lebih muda daripada Dahlia, tapi kedudukan Swandito secara adat adalah lebih tinggi karena statusnya sebagai suami Dahlia. Ia berhak menerima penyebutan panjenengan dari Dahlia. Dan kata ganti yang lazim digunakan seorang suami terhadap istri, atau seseorang terhadap orang lain yang lebih muda, adalah sliramu. Dirimu. Itu saja sebetulnya sudah menunjukkan sikap hormat. Tapi Swandito tetap kukuh bertahan menggunakan kata panjenengan. Sesuatu yang diawali dengan penghormatan yang begitu tinggi dan luar biasa pada sosok Dahlia.

Belum lagi hal-hal ‘yang lain’...

Seruni menghela napas panjang. Ia berguling. Telentang. Matanya seakan meneliti ukiran yang ada di langit-langit kamarnya.

Sebahagia apa sebenarnya kehidupan Mbak Lia? Dengan pernikahan luar biasanya itu? Yang tanpa cinta? Dengan salah satu pihak tak akan bisa mencintai pihak yang lain?

Seruni mengatupkan mata. Membiarkan tanya itu tak terjawab hingga kantuk menghampirinya.

* * *

“Apa kabar..., Mas Rengga?” kata-kata itu terasa seret di leher Dahlia.

“Baik,” Rengga menjabat tangan Dahlia dengan hangat.

Lalu hening. Dan Dahlia segera mengalihkan perhatiannya pada rambut Dahlia kecil. Hingga bermenit-menit berikutnya ia mencoba untuk mengarahkan pikiran hanya pada pekerjaannya.

Tapi semuanya yang sudah dimulai pada akhirnya memang harus berujung pada kata selesai. Begitu pula urusan rambut Dahlia kecil. Kini gadis kecil itu tampak makin segar dengan rambut pendek bermodel bob yang terlihat berayun sempurna pada setiap helaian rambut lebatnya. Pipi chubby-nya terlihat makin menggemaskan.

“Sudah,” Dahlia mengangkat kain selubung dari bahu Dahlia kecil, setelah selesai mengeringkan dan menatanya. Dengan gerakan halus ia membersihkan sisa potongan-potongan rambut di leher Dahlia kecil.

“Aku suka,” desah Dahlia kecil. Ditatapnya Dahlia melalui cermin sambil berucap, “Terima kasih, Tante.”

“Sama-sama,” senyum Dahlia. “Tambah cantik kan sekarang?”

Dahlia kecil mengangguk-angguk. Terlihat senang dengan ayunan helai-helai rambutnya.

Lalu tatapan itu tertangkap lagi oleh mata Dahlia. Kelam. Membuatnya ingin bumi terbelah saat itu juga dan menelannya bulat-bulat. Hanya agar tak lagi terbelit kerinduan yang sinyalnya memantul jelas melalui cermin. Kerinduan yang dikirimkan dengan begitu jelas oleh mata Rengga.

* * *

Dan Dahlia tak mampu lagi untuk menyimpan beban itu sendirian. Satu-satunya teman yang saat ini dimilikinya untuk mencurahkan isi hati hanya Swandito. Dan ke sanalah ia berlari.

Sepulang dari rumah ayah mertuanya, Swandito menenggelamkan diri dalam pekerjaannya di ruang baca. Sebetulnya ia tak terlalu sibuk. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menerima segala sesuatu yang pasti akan disampaikan juga oleh Dahlia.

“Mas...”

“Hm...?” Swandito mengangkat wajahnya dari layar laptop. Tersenyum ketika mendapati di tangan Dahlia sudah ada dua cangkir minuman. “Apa itu?”

“Gula asem,” Dahlia meletakkan salah satu cangkir di depan Swandito.

Senyum Swandito melebar. Gula asem adalah minuman kesukaannya. Dan gula asem racikan Dahlia rasanya selalu seribu kali lebih enak daripada buatan almarhum ibunya.

“Sibuk?”

Swandito menggeleng sambil menutup laptopnya. Sambil perlahan meneguk kesegaran yang terkandung dalam setiap tetes gula asem itu, ditatapnya Dahlia.

“Ada apa, Jeng?”

Tatapan Dahlia terlihat ragu-ragu.

“Bicaralah...”

Mata Dahlia mengerjap.

“Aku...,” Dahlia menelan ludah. “Aku ingin bertanya...”

“Ya?” tatapan Swandito mengunci Dahlia.

“Bahagiakah hidup panjenengan bersamaku?”

“Kenapa tiba-tiba membahas itu?” Swandito mengerutkan kening.

“Jawab saja.”

Pelan Swandito menyandarkan punggungnya. Kini, tatapan Dahlialah yang menguncinya.

“Aku... merasa damai,” Swandito kembali menegakkan punggungnya. “Tenteram. Tenang. Merasa semuanya sudah pas buatku. Hanya saja...”

“Apa?” Dahlia seolah tak sabar menunggu kalimat menggantung itu selesai.

“Aku ndak tahu apakah panjenengan juga merasakan hal yang sama.”

Dahlia tertunduk kini. Terpekur menatap cangkir yang masih berisi setengah bagian yang digenggamnya dia atas pangkuan.

“Sebetulnya...,” suara Dahlia seolah datang dari tempat yang jauh. “Aku selalu merasakan hal yang sama. Membiarkan semuanya mengalir. Menikmatinya. Karena bagaimanapun kehidupanku saat ini jauh lebih baik daripada dulu. Tapi...,” tatapan Dahlia terangkat. “Aku bertemu dengannya tadi pagi.”

Swandito seakan merasakan dirinya terseret masuk dalam luka dan kesedihan yang tergurat jelas dalam kelam mata Dahlia. Pelan ia bangkit dari duduknya, memutari meja, dan meraih kepala Dahlia.

“Siapa?”

“Mas Rengga.”

Seketika seluruh jiwa Swandito seolah kosong separuh.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya :  Ruang Ketiga #3


Silakan juga mampir ke sini : Jatuh-Bangun Pengerjaan Cerbung RUANG KETIGA. Terima kasiiih...


Catatan :

1. Ndhuk = panggilan dari orang yang lebih tua kepada (anak) perempuan.
2. Dalem = saya (penyebutan diri sendiri di hadapan orang yang lebih tua / dihormati).
3. Sepuh = tua.
4. Gusti = Tuhan.                           
5. Pingitan = tradisi yang tidak membolehkan calon mempelai perempuan bertemu dengan calon mempelai laki-laki sebelum pernikahan dilaksanakan, dan hanya boleh berada di rumah saja. Tujuannya adalah untuk menjauhkan calon mempelai dari segala bahaya dan supaya mempelai dapat mempersiapkan diri secara fisik dan mental menjelang acara pernikahan.

18 komentar:

  1. aku pengen pingitaaaaaannnn... #eh..
    biar bisa bikin tulisaaaaaaannn... #eh #eh
    gak bisa nulis bikin pengsaaaaaaaaannnn... #eh #eh #eh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... sampe speechless akuuu...
      Nuwus mampire, Jeng...

      Hapus
  2. Ah Rengga...kenapa mesti hadir di tengah kedamaian hidup Dahlia? Btw jadi ingin minum gula asem nih, pasti segar lagi panas-panas begini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hayuuuk, Bu, gula asemnya... hehehe...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  3. dalem banget penjiwaan tokohnya.......hebat Mbak Lis.....setiap pembaca diajak masuk menyelami hati setiap tokohnya. Penggambaran latar juga hebat....waah harus banyak belajar sama mbak Lis ..niih... Benar-benar TOP penulisnyaaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... nulisnya sampe jumpalitan, Mbak...
      Makasih udah mampir...

      Hapus
  4. Balasan
    1. Singkat, padat, jelas, hehehe...
      Makasih mampirnya, Mbak...

      Hapus
  5. Balasan
    1. Bisaaa... yakin deh!
      Makasih singgahnya ya, Mbak...

      Hapus
  6. Menghibur, menambah ilmu, khas tulisan mbakyu cantik. Mksih buat cerbungnya... Nunggu Senin lagi...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah Senin, udah tayang yang terbaru.
      Makasih mampirnya, Mbak...

      Hapus
  7. ...tulisan dengan bahasa yang haluuus, jadi iri nih pengen bisa bikin tulisan sehalus ini...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... jangan ngiri, Mas. Nganan aja, jabaniiin...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus