Kamis, 14 Januari 2016

[Cerbung] Vendetta #4








Episode sebelumnya : Vendetta # 3 : Gold Medallions



* * *


Burning Life


Felitsa kecil sungguh tak mengerti kenapa Nanny menyeretnya dengan begitu kasar malam itu. Ia tengah tertidur dan dibangunkan Nanny dengan paksa. Terasa begitu sakit ketika tangan Nanny mencengkeram lengannya. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Berteriak? Oh, tangan Nanny yang sebelah lagi membekap kuat mulutnya.


Di sudut gelap area kolam renang Nanny berhenti. Memaksa Felitsa kecil untuk duduk. Meringkuk di balik sebuah pot besar. Nanny menatapnya dalam genangan airmata.

“Felitsa, dengar Nanny,” bisik Nanny dengan suara bergetar hebat.

Felitsa kecil hanya bisa mengangguk-angguk karena salah satu tangan Nanny masih membekap mulutnya.

“Ada orang jahat di dalam rumah,” bisik Nanny lagi. “Kita aman di sini, asal Felitsa mau diam.”

Felitsa kecil kembali mengangguk-angguk. Pelukan Nanny membuatnya merasa aman. Menyembunyikan suara-suara mengerikan dari dalam rumah. Dari arah ruang tengah. Bentakan, tembakan, jeritan. Lalu Nanny seperti tersengat sesuatu.

“Felitsa masih mau dengar Nanny?”

Getar suara itu masih sarat. Felitsa mengangguk tanpa suara. Perlahan Nanny melepaskan pelukannya.

“Felitsa diam di sini. Diam ya? Tutup mata, tutup telinga. Nanny pergi sebentar. Nanny janji cepat kembali.”

Lalu Nanny bergerak pergi. Menyusuri relung-relung gelap rumah besar itu. Entah ke mana. Felitsa kecil percaya Nanny tak akan meninggalkannya. Maka ia pun tetap duduk diam dalam kegelapan. Menunggu. Menunduk. Menutup mata. Menutupi kedua telinganya dengan dua telapak tangannya yang halus dan mungil.

Sesekali masih lolos menyusup ke dalam telinganya suara-suara yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Suara yang terdengar sangat menyedihkan. Membuatnya makin mengerut dan ingin segera Nanny kembali.

Dan ia kembali. Nanny-nya. Muncul dari dalam kegelapan. Setelah melampaui waktu yang dirasanya terlalu panjang untuk dilaluinya sendirian. Kembali memeluknya. Tak berapa lama kemudian menghelanya pergi. Menyelinap lewat pintu yang menembus ke jalan di belakang rumah itu.

Felitsa kecil sempat menoleh. Mendapati api berkobar di belakang mereka. Makin besar. Makin besar. Dan mereka makin jauh. Berjalan dalam diam menembus pekat dan sunyinya malam. Hingga mereka tiba di sebuah tempat yang terang, besar dan asing. Felitsa kecil yang baru belajar mengenal huruf mengejanya dalam diam. K-A-N-T-O-R-P-O-L-I-S-I.

Lalu Felitsa terbangun. Di dalam kamarnya. Dengan peluh yang bercucuran di sekujur tubuh. Walau hawa dingin menjelang pagi cukup menggigit. Membuatnya segera tersadar. Sudah dua puluh tahun berlalu. Mengapa mimpi buruk itu tak juga hilang?

* * *

Seutuhnya Karunia tak pernah melupakan malam itu. Malam kelam, dingin, dan sunyi. Yang berubah menjadi kobaran api. Entah bagaimana ia mendadak terbangun. Dan mendapati ada dengungan-dengungan suara manusia yang begitu asing.

Sebelum benar-benar menyadari apa yang terjadi, matanya menangkap sosok mungil Felitsa yang tidur di kasur di atasnya. Dan ketika semua celah pemikirannya berhasil mengumpul, ia segera memaksa Felitsa bangun dan menyeret gadis kecil itu ke satu-satunya tempat gelap yang berhasil ia pikirkan.

Kolam renang.

Sebuah tempat yang menyimpan gelap sepanjang malam. Lalu gadis kecil kesayangannya itu akan aman. Dan ke sanalah ia menyembunyikan Felitsa. Sebelum ia terpikir untuk melakukan sesuatu.

Perampokan? Mengapa tak ada yang menyentuh kamar-kamar?

Dari tempatnya bersembunyi ia bisa melihat bayang-bayang samar berkumpulnya seisi rumah di ruang tengah. Dengan beberapa orang asing yang terdengar begitu kasar.

Karunia menggigil. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan entah mendapat dorongan dari mana ia kemudian memutuskan untuk bangkit dan berbuat sesuatu. Menyelinap ke kamar Tuan Arfa dan Nyonya Sofia di lantai dua, melalui tangga belakang. Memberanikan diri menggeratak lemari Nyonya Sofia dan mendapatkan sekotak perhiasan emas dan berlian yang ia tahu harganya tak akan pernah ia bayangkan.

Lalu ia kembali pada Felitsa, gadis kecil asuhannya itu. Menyelinap pergi lewat pintu belakang. Dan secepatnya lari ke kantor polisi. Berusaha melenyapkan bayangan membara rumah yang terbakar. Yang tak cukup dihapusnya hanya dengan berurai airmata.

Dan semuanya berubah begitu saja. Keselamatan Felitsa adalah hal yang paling utama. Hingga polisi mengijinkannya membesarkan Felitsa dengan bekal perhiasan yang diambilnya dengan sengaja. Begitu saja. Entah bagaimana prosesnya. Ia tak mau memikirkan itu.

Gadis kecil itu sebatang kara. Seluruh keluarganya habis. Dan entah bagaimana caranya kepolisian memasukkan nama Felitsa dalam daftar kematian. Agar gadis kecil itu punya kesempatan kedua untuk hidup. Bersamanya.

Karunia menghela napas panjang.

Kehidupannya seakan habis hanya untuk Felitsa. Menyesalkah ia? Oh! Sama sekali tidak. Apalagi ketika selalu didapatinya tatapan memuja dari Felitsa. Yang dibalasnya dengan rengkuhan sayang bak seorang ibu sejati buat Felitsa.

Karunia berharap Nyonya Sofia dan Tuan Arfa bahagia di Surga. Bila menatap ke bawah dan mendapati Felitsa telah mendapatkan kembali kehidupannya. Sebuah kehidupan baru yang tak pernah diperolehnya dengan mudah. Tapi gadis itu pejuang. Dan ia memenangkan seluruh pertandingan.

Pelan Karunia mengusap airmata yang mendadak meleleh di pipi. Detak jarum jam terdengar begitu nyaring dalam dekapan sunyi menjelang tengah malam. Karunia menarik selimutnya, menghilang dalam jalinan mimpi hingga menjelang pagi.

* * *

Semuanya terasa makin panas dan menyakitkan. Tapi tak ada yang mendengarnya. Semua terbaring diam. Hanya ada bunyi gemertak di sana-sini yang diikuti hawa panas yang luar biasa.

Angel merintih. Wajahnya panas. Pipinya nyeri. Sekuat tenaga ia berteriak. Tapi hanya ada desahan halus yang tak pernah berhasil menggema. Lalu ia menyerah. Membiarkan kobaran api itu menari-nari di depan matanya. Makin dekat... Makin dekat... Membakar semua kehidupan indah yang pernah dimilikinya.

Dan ketika semua menjadi semakin gelap dan ringan, tiba-tiba ada yang menarik tubuhnya. Membawanya pergi. Menjauhi kobaran api. Hingga beratus kilometer jauhnya.

Angel mengerjapkan mata.

Semua mimpi yang sama. Tentang sebuah malam yang mengubah seluruh hidupnya.

Dan Mami.

Yang sudah menariknya pergi. Menyelamatkan secuil nyawanya. Memberinya hidup dan wajah baru. Mengikis parut luka yang tersisa di sebagian wajahnya.

Angel menyingkap selimut dan turun perlahan dari tempat tidur. Cermin segera menangkap dan memenjara bayangannya.

Cantik. Dengan mata dingin tanpa emosi. Yang seutuhnya telah menguap pergi. Saat kehidupannya terbakar habis bersama orang-orang yang ia cintai.

Airmata?

Angel menggeleng dan mencibir. Untuk apa? Apakah dengan aliran airmata maka semuanya akan kembali? Maka kobaran api itu akan sirna dan keluarganya akan muncul dari dalamnya dalam keadaan hidup, tersenyum, bahkan tertawa?

Lalu kenapa masih tersisa banyak relung kosong yang terasa hampa? Memenuhi setiap inci perasaannya?

Ferry Frianto.

Sudah mati. Lalu siapa bajingan kecil itu? Ah ya! Bastian Frianto. Kapan?

Angel mengedikkan bahu.

Kematiannya akan menyakiti Mami, gumam Angel. Luluh. Kalau harus menyakiti Mami, lebih baik ia yang mati. Bukan Bastian Frianto.

Mungkin...

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #5 : Journey Into The Dark



11 komentar:

  1. ah kok mesakke men...

    lanjut jeng...

    eh, aku pertamax lagiiii... horeeeeee...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pertamax suguhane gethuk. Hihihi...
      Nuwus mampire yo, Jeng...

      Hapus
  2. aku malah terpesona sama musik yang nempel di tulisan ini. klop banget sama ceritanya. so dark... so black...apalagi baca ulang malem hari ini setelah tadi baca nggak pakai musiknya.

    lanjut wis...

    BalasHapus
  3. Uh sakno e ....... :'(
    Ga isok komen neh wis an :'(
    Tapi tetep ae penasaran terusane mba !

    BalasHapus