Senin, 15 Februari 2016

[Cerbung] Vendetta #13







Episode sebelumnya : Vendetta #12 : Surrender


* * *


Black Memory


“Ibu tak suka melihat wajahmu yang seperti itu.”

Lukas menoleh. Mendapati ibunya tengah menatapnya dengan mata menyipit. Lalu ia tertawa karenanya.

“Seperti apa, Bu?”

“Tanpa senyum, alis dan kening berkerut. Hilang gantengmu, Nak.”

Lukas merengkuh bahu ibunya. Perempuan berusia menjelang 60 tahun itu ikut tersenyum.

“Ada apa sebenarnya, Luk?”

Seketika garis tawa surut dari wajah Lukas. Wajahnya kembali serius.

“Entahlah, Bu," Lukas menghela napas panjang. “Rasa-rasanya aku meninggalkan pekerjaan yang belum selesai. Tapi sekaligus aku merasa bahwa aku sudah selesai di sana. Entahlah,” Lukas mengedikkan bahu.

Rissa mengelus lembut bahu putra tunggalnya. “Sudah berapa kali Ibu katakan, lepaskan dendammu.”

“Aku tidak dendam, Bu,” tukas Lukas halus. “Aku hanya ingin keadilan.”

“Dan keadilan itu sudah datang kan?” Rissa menatap Lukas. Tajam. “Pembunuh yang dibunuh. Tuhan tidak pernah tidur.”

“Aku hanya ingin tahu siapa pembunuhnya,” gumam Lukas.

“Pembunuhnya sudah dipenjara kan?”

Lukas menggeleng. “Bukan dia, Bu. Pembunuh Ferry yang sebenarnya bukanlah dia. Bukan Luita Hadikusumo.”

“Apa bedanya?”

Ya, apa bedanya?

“Ferry Frianto sudah mati, Luita Hadikusumo sudah mengaku, semua bukti sudah mengarah padanya. Apa lagi?”

Lukas tercenung.

“Dendam sekian banyak orang yang nyawa orang-orang terkasihnya melayang di tangan Ferry sudah terbayar. Juga rasa sakit kita, Luk. Semuanya sudah selesai. Sudah lunas.”

Betulkah rasa sakit itu sudah terbayar?

Sekilas Lukas menatap Rissa. Mata bening itu balik menatapnya. Teduh.

Betulkah sudah lunas?

Lukas mengalihkan tatapannya, kemudian tercenung menatap layar tabletnya yang menghitam.

Tapi kenapa rasanya masih ada ‘sesuatu’?

Lukas memejamkan mata.

Apakah karena bukan aku yang menyelesaikannya?

Tanpa permisi ingatannya berputar pada titik waktu belasan tahun silam.

* * *

Rissa dan Lukas saling menatap. Berbagi gundah yang sama di tengah deru hujan dan gemuruh petir yang saling menyambar di luar sana. Entah kenapa ada yang terasa lain di hati. Perasaan resah, tak nyaman, gelisah. Semua berbaur jadi satu sepanjang hari, sejak Hendrik berangkat bertugas dini hari tadi.

Rissa tahu, sebagai istri seorang polisi, ia bisa kehilangan Hendrik sewaktu-waktu, saat hidup tak lagi berpihak padanya. Lukas tahu, sebagai putra seorang polisi, ia bisa saja berpisah dengan ayahnya tanpa kata pamit.

Banyak waktu sudah mereka lalui dalam harap cemas tentang keselamatan Hendrik. Tapi belum pernah secemas sekarang. Rissa menatap Lukas.

“Kamu sudah belajar?”

Lukas mengangguk. Esok hari, rangkaian ujian kelulusan SMP akan dimulai. Ia sudah siap. Jauh-jauh hari. Hendrik selalu mengajarinya untuk siaga. Juga tentang menghadapi semua pelajaran di sekolah.

Lalu ternyata saat itu tiba. Kabar kematian Hendrik. Ditembak mati gerombolan pengedar narkoba. Hampir semua orang tahu siapa dalangnya. Hanya saja tak pernah ada bukti yang mengarah padanya. Ferry Frianto seakan terlalu tinggi untuk bisa dijangkau jerat hukum.

Tak ada waktu untuk terpuruk lama. Menatap Rissa yang tetap berdiri tegar, Lukas pun tertulari sikap itu. Keesokan harinya ia tetap muncul di sekolah. Mulai mengikuti ujian. Di tengah tatapan iba para guru dan tangis teman-temannya yang mengenal Hendrik dengan sangat baik.

Hendrik dimakamkan sepulangnya Lukas dari ujian hari pertamanya. Ada air mata yang tertumpah. Ada rasa sakit yang sangat dalam hati. Ada pelukan yang saling menguatkan antara ia dan Rissa. Ada dendam yang mulai terbit.

Karena itulah ia memutuskan untuk menjadi seorang polisi seperti ayahnya. Berusaha mengendus setiap titik debu kejahatan seorang Ferry Frianto. Tapi hingga akhir pengabdiannya semuanya tak membuahkan hasil.

Ferry Frianto keburu mati. Bukan di tangannya ataupun hukum yang erat digenggamnya. Melainkan di tangan orang lain yang nalurinya menggaungkan siapa nama orang itu. Tapi ia tetap terbentur dinding yang sama.

Tak ada bukti.

* * *

Luita menatap Tama. Tama mengerutkan keningnya.

“Aku tahu dia mengejar Angel,” bisik Luita.

“Buat apa?” kerutan di kening Tama makin dalam.

“Entahlah,” Luita menggeleng lemah. “Tapi kurasa dia tak pernah percaya bahwa akulah yang membunuh Ferry.”

“Jadi sebetulnya pembunuh Ferry bukan kamu kan, Lui?” Tama menyipitkan matanya.

“Kamu ini ngomong apa?” gerutu Luita. “Harus berapa kali lagi aku mengakui bahwa pembunuh Ferry itu benar-benar aku?”

Tama terdiam. Ia memahaminya sekarang. Apa yang dikejar mantan polisi muda bernama Lukas itu. Nalurinya dan Lukas kelihatannya bicara pada frekuensi yang sama, bahwa Luita bukanlah pembunuh Ferry yang sebenarnya.

“Hm...,” Tama menggumam. “Aku memang sedang butuh kepala keamanan yang baru. Pak Sudin akan pensiun bulan depan. Oke, Lui, mungkin itu pekerjaan yang cocok untuknya.”

Luita tersenyum lebar. Ia mengangguk-angguk. Tapi sedetik kemudian wajahnya berubah jadi serius.

“Tapi tolong, Tam,” Luita menatap tajam pada Tama. “Tolong awasi dia. Jangan sampai dia mengganggu Angel.”

Entah kenapa, Tama menangkap ada nada ancaman dalam suara Luita. Ia tak punya pilihan lain kecuali mengangguk.

* * *

“Lukas Aditya?” mata Sudin melebar.

Tama mengangguk sambil menatapnya. “Mantan polisi. Masih muda. Tapi prestasinya bagus.”

“Bapak tak akan rugi menarik dia,” Sudin mengacungkan jempol. “Saya kenal almarhum ayahnya. Hendrik gugur dalam tugas ketika Lukas masih remaja. Dan saya memahami alasan Lukas mengundurkan diri dari kepolisian.”

“Apa itu, Pak Sudin?”

“Lukas masuk kepolisian karena dendam. Ia ingin menghabisi pembunuh ayahnya melalui jalur legal. Jalur hukum. Tapi ketika pembunuh itu sudah mati melalui tangan orang lain, ya sudah,” Sudin mengangkat bahunya.

“Maksud Pak Sudin...,” Tama mengerutkan keningnya, “... Ferry Frianto?”

Sudin tertawa.

“Semua orang tahu siapa Ferry Frianto, Pak,” ucapnya di sela-sela tawa. “Bapak tahu, saya juga tahu. Tapi... yah! Ferry terlalu mahir mempermainkan hukum.”

Tama menggigit bibirnya. Seolah ada bel yang mendadak berdenting di dalam kepalanya.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #14 : Can't Take My Eyes Off Of You




14 komentar: