Senin, 22 Februari 2016

[Cerbung] Vendetta #15









* * *


Too Good To Be True


Kedua calon mempelai itu mengamati layar laptop Bastian dengan wajah bercahaya. Bastian tersenyum melihatnya. Tampilan di layar berganti-ganti. Wajah-wajah yang bahagia. Kostum yang apik. Pose yang menyiratkan keintiman dan kedekatan. Pencahayaan yang sempurna. Sudut pengambilan gambar yang pas. Semuanya indah.

“Kalau masih ada yang kurang memuaskan bisa aku edit lagi,” celetuk Bastian.

“Iya, Bas, masih kurang,” ujar calon mempelai laki-laki. “Kurang dulu fotonya, hahaha...”

Bastian turut tertawa karenanya.

Sejenak kemudian kesibukan kembali terjadi di sekeliling Bastian. Dua orang asistennya tengah membenahi properti. Sepasang calon mempelai itu menghilang untuk berganti baju dan mengahapus riasan.

Jadi seperti ini hasilnya, Bastian mengamati laptopnya.

Sebuah awal yang bagus. Di tengah rasa kurang percaya dirinya untuk memulai usaha baru yang bersih berdasarkan hobinya.

Beberapa waktu lalu ia cukup terkejut ketika Winan, salah seorang temannya, memintanya untuk jadi fotografer pre-wedding-nya. Apalagi Winan dan Wanda ingin agar pemotretan diadakan di Angel’s Coffee Shop, tempat keduanya bertemu untuk pertama kalinya dulu.

Ia bukannya tak pernah berkunjung ke kafe itu. Sering malahan. Tapi dulu. Sebelum ia tahu siapa pemiliknya. Sebelum ia...

Ah...

Masih untung pemilik kafe itu mengijinkannya memakai tempat itu untuk pemotretan. Walaupun dengan tatapan dingin dan suara datar.

Bastian menghela napas panjang sambil mengangkat tatapannya. Wajah teduh itu tertangkap lagi oleh matanya. Felitsa. Menimbulkan irisan yang terasa sangat perih di dalam dada.

Seandainya...

Samar, Bastian menggelengkan kepalanya. Waktu selalu tak bisa berputar balik. Apa yang sudah terjadi tak bisa dihapus tanpa meninggalkan bekas. Juga sejarah yang sudah terlanjur tertoreh. Bahwa ia anak seorang Ferry Frianto. Seorang pembunuh berdarah dingin yang kematiannya diotaki oleh bekas istrinya. Luita Hadikusumo. Ibunya sendiri.

Siapa yang harus disalahkan?

Bastian kembali menggelengkan kepalanya. Tak kentara. Ia tak tahu apa jawabannya.

Tapi mengetahui bahwa Felitsa baik-baik saja, itu sudah lebih dari cukup untuknya. Mengetahui bahwa Felitsa ternyata masih punya keluarga, itu sudah cukup menghangatkan hatinya. Selebihnya? Sepertinya ia harus mematikan rasa karena Felitsa seolah tak terjangkau lagi olehnya.

* * *

“Aku sering ke kafe itu selepas jam kerja, Bu,” Lukas menolong ibunya keluar dari mobil. “Suasananya nyaman, makanan dan minumannya enak.”

“Sendirian atau...”

Lukas menangkap sorot menggoda dalam tatapan ibunya. Ia tertawa.

“Kadang bersama teman-teman, tapi lebih sering sendirian.”

“Hm...”

Lukas menggandeng tangan Rissa erat-erat ketika menyeberang jalan. Tapi ia sedikit kecewa ketika melihat tampaknya kafe itu tak menyisakan tempat lagi. Kalau tempat duduk di luar penuh, biasanya di dalam lebih sesak lagi.

“Kelihatannya penuh, Bu,” gumam Lukas.

“Mas!”

Lukas sedikit tersentak ketika mendengar suara itu. Ia menoleh dan mendapati Felitsa tengah melambaikan tangan ke arahnya. Ke sanalah ia kemudian membimbing Rissa melangkah. Senyum Felitsa menyambutnya dan Rissa.

“Duduk di sini saja, Mas,” Felitsa dengan cekatan menggeser barang-barangnya yang memenuhi meja. “Di dalam lagi ada pemotretan pre-wed. Di luar juga penuh begini.”

“Hm...,” Lukas terlihat ragu-ragu sejenak.

Tatapannya jatuh pada Angel. Gadis itu tampak menatap adiknya, sebelum beralih ke arahnya. Tapi gadis itu mengulas senyum sambil menggerakkan tangan, mempersilakan Lukas duduk.

* * *

Mendengar ucapan Felitsa, sekaligus melihat apa yang diperbuat Felitsa, mau tak mau Angel menjatuhkan tatapannya pada orang yang baru datang itu. Diam-diam ia mengeluh dalam hati, dia lagi... Tapi ketika melihat bahwa laki-laki itu tidak datang sendirian, ia berusaha untuk mengembangkan senyumnya.

“Silakan duduk,” Angel menggerakkan tangannya.

“Terima kasih,” ucap Lukas. Ia kemudian menoleh ke arah perempuan yang digandenganya. “Bu, ini Mbak Vania, pemilik kafe ini.”

Angel berdiri sambil mengulurkan tangannya. Menjabat tangan perempuan itu.

“Angel,” ucapnya sambil tetap tersenyum, “seperti yang tertera di sana,” ditatapnya sekilas neon sign di atas mereka. “Dan ini Felitsa, adik saya.”

“Oh... Ya, saya Rissa,” perempuan itu mengangguk dan menyambut senyum Angel, kemudian ganti menyalami Felitsa. “Saya ibu Lukas.”

“Silakan duduk, Bu. Silakan pesan apa saja.”

“Terima kasih.”

“Sasya,” Angel menatap Felitsa. “Kita pindah ke dalam saja yuk! Supaya tidak mengganggu tamu.”

Felitsa mengangguk dan dengan sigap membenahi tas barang bawaannya. Lukas menatap Angel.

“Mbak, saya jadi tidak enak,” ucapnya dengan nada serba salah.

“Tidak apa-apa,” Angel menggeleng dengan wajah ramah. “Selamat bersantai di sini. Mari, Bu, Mas...”

Tanpa menunggu tanggapan dari kedua tamunya, Angel melangkah pergi, dengan Felitsa mengekor di belakangnya. Sekilas Angel melihat bahwa pemotretan sudah selesai, hanya tinggal bebenah saja.  Maka ia berjalan terus menuju ke kantornya.

* * *

“Ada apa sebenarnya?” Rissa menatap Lukas.

“Apanya yang ada apa, Bu?” Lukas menyuapkan sesendok makaroni panggang ke dalam mulutnya.

“Gadis itu tadi... Dia seperti tak suka kamu memanggilnya Vania.”

“Oh...,” Lukas menatap Rissa, tersenyum tipis. “Dia Vania Hanandito, Bu. Tapi setelah kejadian pembunuhan keluarganya itu namanya berubah jadi Angelita. Tepatnya, ibu angkatnya yang mengubah nama Vania menjadi Angelita.”

“Oh...,” Rissa mengangguk-angguk. “Mungkin dia merasa masa lalunya terlalu menyakitkan, Luk.”

“Ya,” Lukas juga mengangguk. “Terlalu menyakitkan sampai kupikir dia bisa saja membunuh Ferry Frianto.”

“Ah!” Rissa mengibaskan tangannya. “Sudah ada orang lain yang membunuh si tengik itu. Setidaknya...”

“Luita Hadikusumo itu ibu angkat Angel, Bu,” potong Lukas halus.

Rissa tertegun sejenak. Tapi kemudian ditatapnya Lukas.

“Bagaimana kalau kita melupakan saja semuanya, Luk? Menutup semuanya. Sudah selesai, Luk. Sudah selesai.”

Lukas mengangkat bahu. Tapi demi melihat seri yang kini sudah membayang lagi di wajah ibunya setelah Ferry Frianto mati, Lukas tak punya pilihan lain.

“Jadi bagaimana sore ini, Bu?” senyum Lukas, akhirnya.

Rissa menyambut senyum itu. Ditepuknya lembut punggung tangan Lukas di atas meja.

“Kamu benar. Makanan di sini enak. Suasana di sini juga nyaman walaupun hanya di luar ruangan. Ibu merasa...,” Rissa menghela napas dalam-dalam, “... ada cinta di tempat ini. Dan... dia cantik sekali kan, Luk?”

Tatapan Lukas sekilas menyapu bagian dalam kafe di balik dinding kaca, juga partisi cermin di sudut. Ia tahu yang dimaksud ibunya ada di balik partisi itu.

Entah dengan cara apa aku harus menggapaimu...

Lukas menunduk, menekuni makaroni panggangnya.

Entah bagaimana aku harus memerangkapmu...

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Vendetta #16 : I Do Miss You...



10 komentar:

  1. Waduh jd Lukas suka Angel? Jgn ama Angel buu.. plis. Huahahaha lukas medeni

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Tak'ngitung kancing dulu ya, Mbak.
      Muakasiiih mampirnya...

      Hapus
  2. Cene wis garai nyandu soro cerbunge pean mb Lis !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Whoaaa... Ati-ati sakaw lho, Nit! Hihihi...
      Suwun mampire yo...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Makasih banyak atas kesetiaannya singgah, Pak Subur...

      Hapus
  4. Dan... dia cantik sekali kan, Luk?

    Ah, Ibu...

    #tersipu

    BalasHapus