Senin, 07 Maret 2016

[Cerbung] Vendetta #19







Episode sebelumnya : Vendetta #18 : Would You?
                       

* * *


What Do I Have To Do?


Angel berbaring dengan gelisah di atas ranjang. Hening di sekelilingnya terasa begitu menulikan telinga. Membuat matanya tak juga bisa dipejamkan walaupun ia sudah sedemikian lelah.

Beberapa saat kemudian ia meraih ponsel dan mengetuk-ngetuk layarnya dengan lembut. Dibacanya sekali lagi pesan yang ditulisnya sebelum menyentuh kotak send.

Sya, kamu sudah tidur? Bagaimana pertemuanmu dengan Bastian?

Sejujurnya bukan itu yang ingin ia ketahui, karena Karunia sudah mengirimkan pesan panjang-lebar padanya tentang Felitsa dan Bastian. Pesan yang membuatnya tersenyum begitu lebar begitu ia selesai membacanya.

Tapi kali ini ia ingin mengobrolkan hal yang lain. Tentang Lukas. Hanya saja, hingga bermenit-menit ia menunggu balasan dari Felitsa, yang ditunggunya tak juga muncul di layar ponselnya.

Sepertinya Sasya sudah tidur, Angel mengedikkan sedikit bahunya sambil meletakkan kembali ponsel di atas nakas. Dan keheningan kembali menyergapnya.

* * *

Ia tahu isi hatinya. Ia mengenalinya dengan baik. Belum pernah sebelumnya ia merasakan hal seperti ini. Sesuatu yang begitu dalam, menggelorakan sesuatu di dasar lautan hatinya, membuatnya terbuai, dan... ia harus berhenti sebelum terhanyut terlalu jauh.

Tapi kenapa aku harus berhenti? Aaah..., Lukas mengerang dalam hati.

Angel telah memenangkan hampir seluruh hatinya yang masih bebas dan tersisa. Kalau ia harus menjawab pertanyaan ‘kenapa?’ maka ia menyerah dan tak tahu jawabannya. Tapi masih ada sesuatu yang besar di balik itu.

“Kau kenal Vania Hanandito?” tanya Tama ketika ada kesempatan mereka bicara berdua saat ia baru saja masuk ke Utama Corporation.

“Kenal, Pak,” Lukas mengangguk.

“Akrab?”

“Beberapa kali kami ada kesempatan mengobrol singkat.”

“Hm... Kau dulu polisi yang memeriksanya kan?”

“Dia sebagai saksi, ya,” Lukas kembali mengangguk.

“Lalu?”

“Maksud Bapak?” Lukas menentang tatapan Tama.

“Kamu percaya kakakku yang membunuh Ferry Frianto?”

Lukas paham seketika. Nalurinya langsung berteriak bahwa ia harus lebih berhati-hati. Entah untuk apa. Tapi ia juga harus jujur.

“Tidak, Pak,” Lukas menggeleng. “Tapi faktanya berlawanan dengan apa yang saya pikirkan. Semuanya telak mengarah pada Ibu Luita. Apalagi Ibu Luita sendiri mengakuinya, dan bersikukuh bahwa dialah otak pembunuhan itu sekaligus yang menyingkirkan pembunuh Ferry Frianto.”

“Lalu apa pendapatmu tentang Vania Hanandito?”

Lukas terdiam sejenak. Ia kini mengerti kenapa ia merasa harus lebih berhati-hati.

Vania Hanandito... Angel...

“Kamu sedang berusaha mendekatinya?”

Lukas mengangkat wajahnya. Matanya langsung menangkap senyum Tama. Dan ia benar-benar tak tahu apa arti senyum Tama itu.

“Kakakku sangat menyayangi Vania...,” Tama melebarkan senyumnya, “... atau Angel. Dan dia berpesan padaku agar mengingatkanmu supaya tidak mengganggu Vania Hanandito.”

“Hm...,” Lukas tersenyum masam. “Saya masih laki-laki normal yang tertarik pada perempuan, Pak. Terutama yang bening seperti Vania Hanandito.”

“Hahaha...,” Tama tergelak ringan mendengar kejujuran Lukas. Tapi wajahnya kemudian berangsur menjadi serius kembali. Bahkan terkesan muram.

“Kadang-kadang kasus ini membuatku kacau, Luk,” gumamnya. “Saking tak percayanya aku bahwa Luitalah pembunuh Ferry, aku pernah berpikir bahwa sebetulnya yang lebih cocok untuk jadi pembunuh Ferry adalah Vania. Ah, tapi sudahlah,” Tama mengibaskan tangan kanan sekilas di depan wajahnya. “Luita toh sudah menyatakan diri sebagai pembunuh Ferry. Dia juga punya motif kuat. Bahkan sangat kuat.”

Serasa ada jalur es yang sangat dingin menjalari tulang punggung Lukas. Ia kehilangan kata-kata. Hingga ia harus mengundurkan diri dari ruangan Tama, ia hanya sanggup berpamitan dengan singkat.

Jadi bukan aku saja yang mencurigai Vania Hanandito?

Lukas telungkup, membenamkan wajahnya dalam-dalam pada bantal. Ketika dirasanya napasnya jadi sesak, ia mengalihkan arah wajahnya ke samping.

Lalu apa jadinya kalau kasus ini dibuka lagi dan Vania Hanandito jadi pihak yang dibidik?

Lukas kembali membenamkan sejenak wajahnya pada bantal sebelum berguling, berbaring tertelentang. Seluruh langit-langit kamarnya seolah dipenuhi gambaran samar wajah Vania Hanandito.

Atau Angel..., Lukas meralatnya. Menjadi Vania Hanandito adalah mimpi buruk baginya.

Hingga malam bergulir menuju pagi, Lukas masih sulit untuk memejamkan matanya. Pikirannya sudah meletih, tapi tetap saja menggelinding ke sana-sini dengan liarnya, dan mengerucut pada satu pertanyaan yang menggema berkali-kali dalam benaknya.

Apa yang harus kulakukan?

* * *

Samar Angel mendengar bel pagar bergema. Beberapa kali ia mengerjapkan mata. Suara bel itu terdengar lagi. Ternyata bukan mimpi. Pelan Angel beringsut dari ranjang dan menyibakkan sedikit tirai jendela kamarnya yang berhadapan dengan taman kecil di depan rumah.

Matanya langsung terbuka lebar begitu melihat siapa yang berdiri di depan pintu pagar. Buru-buru ia menggelung rambutnya, mengucek mata, meraih rencengan kunci, kemudian berjalan keluar. Melihat kakaknya muncul, senyum Felitsa langsung terulas.

“Hai, Kak!” sapa Felitsa ringan. “Masih tidur ya? Maaf. Aku baru baca pesanmu waktu aku bangun tadi. Lalu aku buru-buru bersiap dan ke sini.”

Angel mengangguk-angguk sambil membuka pintu pagar selebar-lebarnya. Felitsa kemudian masuk ke dalam mobil mungilnya, kemudian melajukan mobil itu hingga berhenti di atas carport. Sementara itu Angel kembali menutup pintu pagar dan menggemboknya baik-baik.

“Jadi, bagaimana?” tanya Angel sambil melangkah masuk.

“Mm...,” Felitsa mengikuti langkah Angel. “Ya, begitulah.”

“Begitulah bagaimana?”

Felitsa tergelak dengan nada tersipu ketika menangkap ada nada menggoda dalam suara Angel. Angel meraih bahu Felitsa.

“Kamu sudah sarapan?”

Felitsa menggeleng. Wajah Angel langsung muram.

“Aku tak punya apa-apa,” desahnya.

“Oh, jangan khawatir!” Felitsa mengacungkan tas kertas yang dibawanya. “Aku bawa dua porsi nasi goreng buatan Nanny.

Wajah Angel langsung cerah karenanya. Felitsa membawa tas kertas berisi dua kotak nasi goreng itu ke dapur.

“Kakak mandilah dulu,” ujar Felitsa. “Aku panaskan nasi gorengnya.”

Angel pun menuruti perkataan adiknya. Ketika ia kembali ke ruang makan dalam keadaan sudah segar dan bersih, dua piring nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan irisan mentimun sudah siap di atas meja. Pun dua gelas susu coklat.

Lalu Felitsa menceritakan semua kejadian semalam pada Angel. Seutuhnya Angel menangkap binar keceriaan dan semburat kebahagiaan ada di wajah Felitsa. Ia pun turut tersenyum karenanya.

“Jadi kamu memang benar-benar mencintainya ya?” gumam Angel kemudian.

Wajah Felitsa kali ini terlihat serius. “Terlepas dari dia anak siapa ya, Kak, aku mencintainya.”

“Dia sudah berubah,” Angel menyesap sedikit susu coklatnya. “Maksudku, dia sekarang meniti hidup dengan caranya sendiri. Sama sekali lepas dari semua yang dirintis ayahnya. Butuh keberanian untuk menjalani itu, Sya. Lepas dari semua kemewahan yang pernah dinikmatinya.”

“Hm...,” Felitsa mengangguk-angguk.

“Aku mengamatinya. Dia menjalankan usahanya dengan sungguh-sungguh. Dia menikmatinya karena dia suka pekerjaan itu. Dan tahukah kamu, Sya? Hampir setiap sore kalau kamu ke kafe dan duduk di luar, dia ada di seberang jalan. Diam dalam mobilnya. Kupikir dia memuaskan diri melihat dan mengamatimu.”

“Benarkah?” mata Felitsa membulat karenanya. “Pantas saja...,” Felitsa menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi makan.

“Kenapa?” Angel mengerutkan keningnya sedikit.

“Aku sering merasa ada sesuatu yang mengusikku,” senyum Felitsa. “Kupikir selama ini Kakak yang mengamatiku dari dalam kantor Kakak. Terutama kalau ada Mas Lukas.”

Angel langsung mengalihkan tatapannya. Ia jadi sibuk dengan nasi goreng yang masih ada di piringnya.

“Kak,” bisik Felitsa.

“Hm?” Angel mengangkat wajahnya.

“Dia ganteng sekali kan?” Felitsa memasang wajah polos dengan tatapan menggoda.

Angel langsung tergelak karenanya.

“Aku benar kan?” Felitsa kembali melebarkan matanya.

Angel menghela napas panjang. “Itulah yang sebenarnya ingin kubicarakan denganmu semalam. Sayangnya pesanku tak terbalas.”

I’m here! I’m here!” Felitsa mengatupkan kedua tangannya di depan dada.

Mau tak mau Angel tertawa geli melihat ekspresi Felitsa. Ia kemudian menangkupkan sendok dan garpu di atas piringnya yang sudah kosong. Tangannya kemudian bersidekap, bertumpu di atas meja. Ditatapnya Felitsa baik-baik.

“Semalam aku makan malam bersamanya,” ucap Angel dengan wajah dan suara datar.

“Whoaaa...,” mata Felitsa kembali berbinar karenanya.

“Jangan dibayangkan makan malam yang romantis,” tukas Angel. “Hanya makan di tempat Cik Yin.”

“Sama saja,” timpal Felitsa, keras kepala. “Terus?”

“Dia mengatakan ingin berteman denganku. Begitulah...”

“Kak, jujurlah padaku,” Felitsa menatap Angel, dalam. “Kakak sebetulnya juga menyukainya kan?”

“Hm...”

“Jawabannya adalah YA,” Felitsa menjawab sendiri pertanyaannya.

“Kamu ini memaksa sekali,” gerutu Angel.

“Ayolah, Kak... Tak perlu ingkar. Kelihatan, kok!”

Angel menghela napas panjang. Merasa kalah telak oleh ucapan Felitsa.

“Dua orang berlainan jenis kelamin  yang saling tertarik satu sama lain itu wajar,” lanjut Felitsa. “Dan memang sudah seharusnya begitu. Dia orang yang lurus, baik, pekerjaannya juga menjanjikan. Apa lagi?”

Ya, apa lagi? Angel menatap Felitsa dengan sorot mata kelam. Perbuatanku, Sasya... Perbuatanku! Dia tahu pembunuh Ferry Frianto bukan Mami!

“Apa sebetulnya yang menahan Kakak?”

Lidah Angel terasa kelu seketika. Sama sekali tak mungkin mengungkapkan alasannya. Pada Felitsa sekalipun. Itu namanya bunuh diri.

“Entahlah,” Angel berbisik, akhirnya. “Aku hanya merasa... dia seharusnya mendapat yang lebih baik daripada aku. Dia juga pernah terluka oleh Ferry Frianto. Ayahnya meninggal ditembak kaki-tangan Ferry ketika melakukan penggerebekan terkait narkoba.”

Seketika bibir Felitsa membundar tanpa suara.

“Karena itu dia jadi polisi. Untuk menyelesaikan dendamnya pada Ferry. Ketika Ferry mati, walaupun bukan olehnya, ia memutuskan untuk keluar. Begitu ceritanya.”

“Lalu apa?” ucap Felitsa lembut. “Kupikir kalian akan bisa saling menjaga dengan baik.”

“Sudah kukatakan, dia berhak untuk mendapatkan yang jauh lebih baik daripada aku, Sya...”

Felitsa terdiam. Ditatapnya Angel yang tertunduk sedikit sambil kembali menyesap susu coklatnya yang sudah dingin.

Sebetulnya kenapa, Kak? Sesederhana itukah alasanmu?

Angel kemudian juga terdiam. Dengan kecamuk pikiran yang lain.

Kalau dia benar-benar berhasil mendapatkan yang lain, yang jauh lebih baik daripada aku, tidakkah aku akan mati karena patah hati?

Angel menggeleng samar.

Lukas... Kau sungguh-sungguh membuatku takut... Takut berdekatan denganmu, takut rahasiaku dan Mami terbongkar, takut aku jatuh cinta makin dalam padamu...

Angel pelan-pelan meletakkan mugnya di atas meja.

Kalau kau tak berhenti mendekatiku, apa yang harus kulakukan, Lukas? Andai semua yang sudah kulakukan bisa kuhapus begitu saja...

* * *

Bersambung ke episode terakhir : Vendetta #20 : Confession


10 komentar:

  1. Waaaah membingungkan Vania niih..
    Pembaca ikut binguung buu. :-)

    BalasHapus
  2. kupikir gpp juga seh kalo Lukas tau...
    kan dah bukan pulisi lagi...

    #hmmmmm...

    BalasHapus
  3. Hmmm...kayaknya perlu nyanyi juga nih...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Weiks! Nyanyi lagi? Hayuuuk...
      🎬🎤🎶🎼🎹

      Hapus
  4. Hmmm kalau aku sih yes ga tau mas dani

    BalasHapus
  5. Aaaaawwwwww klik episode lanjutnya .......

    BalasHapus