Senin, 11 Juli 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #13-1






* * *


Tiga Belas


Ada harga yang harus dibayar. Ada tanggung jawab lebih saat harus ‘menjalankan’ uang milik ‘orang lain’. Itu yang terjadi pada Irvan. Ditambah dengan harus menyelesaikan kontrak dengan Candika TV. Nama Godhong Gedhang makin meroket seiring dengan mulai ditayangkannya program acara kuliner yang dipandu oleh Irvan. Ia makin sibuk. Hampir tak ada lagi waktu yang tersisa untukku. Bahkan kiriman paket makan siang darinya pun lebih sering tersendat.

Aku memakluminya. Harus. Mau tidak mau. Walaupun aku sudah berusaha untuk mengabaikan dan menutupinya dengan menyibukkan diri, tetap saja ada sesuatu yang terasa hilang dari hidupku. Aku memang masih bisa menatap sosoknya setiap hari Sabtu pagi di layar Candika TV. Tak cukup, sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi?

Mata Mbak Jani lekat menatapku. “Kamu tidak memastikan dia baik-baik saja atau bagaimana, begitu?”

Suapan pertama nasi soto seketika  itu juga batal masuk ke mulutku. Pelan-pelan aku menurunkan tangan. Balik kutatap Mbak Jani.

“Dia baik-baik saja, Mbak,” sahutku, halus. “Hanya makin sibuk. Dan aku tak mau mengganggunya.”

Mbak Jani menghela napas panjang. “Pluk... Pluk...,” desahnya kemudian. “Sudah berapa lama kalian tidak bertemu?”

“Hm...,” aku menghitung-hitung. “Sebulan. Eh..., lima minggu. Sekitar itulah.”

“Kelamaan, Pluk,” Mbak Jani menggeleng. “Temuilah dia sesekali.”

“Aku tak mau mengganggunya, Mbak,” ulangku sekali lagi.

“Bukan mengganggu,” sergah Mbak Jani pelan. “Tapi kamu perlu bertemu dengannya. Mengetahui kondisinya secara langsung. Itu yang namanya perhatian.”

Aku tercenung.

“Hei! Jangan bilang kamu belum menyudahi hubunganmu dengan Gerd!” Mbak Jani menghardikku, dengan suara tetap terdengar terkendali.

Seketika aku menatapnya. “Sudah,” tegasku.

Mbak Jani terlihat menghela napas lega.

Beberapa waktu belakangan ini aku memang lebih intens lagi berhubungan dengan Gerd melalui email. Jujur, di tengah kosongnya hatiku karena kejedot sibuknya Irvan, email-email Gerd yang manis sungguh berhasil menghibur hati.

Gerd banyak bercerita tentang pekerjaannya, kehidupannya, kehidupan keluarga mereka saat masih lengkap dulu, Otto, dan masih banyak lagi hal yang lain. Banyak pengalamannya yang sama denganku. Beberapa kali menjalani rangkaian kehidupan di beberapa negara yang berbeda. Suka-dukanya. Membuatku seolah bercermin dan punya teman untuk bercerita.

Tapi entah kenapa selalu ada rasa bersalah setiap kali mengirimkan email balasan untuk Gerd. Email yang membalas semua rasa manis yang dihantarkan Gerd untukku. Apakah karena ada cabang kecil yang mulai bertunas dalam hatiku?

Sampai kapan pun Gerd bukanlah Otto. Aku tahu betul hal itu. Dan dari secuil sudut hatiku, ya, aku tak bisa memungkiri bahwa ada rasa tertarik itu. Pada Gerd. Rasa tertarik yang kupikir tidak terletak di tempat yang benar walaupun berbalas. Gerd menginginkan ia dan aku mewujudkan mimpiku dan Otto. Hidup bersama membentuk sebuah keluarga kecil dan menjadi bagian pokok dari keluarga Brandt.

Tapi aku sudah memutuskan untuk mengakhiri mimpi yang pernah kulukis bersama Otto setelah ia pergi. Memutuskan untuk kembali ke sarangku yang hangat. Tanah airku. Keluarga besarku. Sudah terlalu letih rasanya memikirkan harus memulai hidup lagi di negara lain. Yang kelihatannya bisa memberi jaminan hidup lebih baik sekali pun.

Lagi pula aku sudah mulai melukis mimpi yang baru bersama Irvan. Gerd ada hubungannya dengan Otto. Masa laluku. Yang aku ingin menutupnya rapat-rapat setelah aku menemukan pelabuhan baru. Sebesar apa pun rasa tertarikku pada Gerd, aku memandangnya hanya sebagai sisa romantisme masa lalu yang tak akan pernah lekang kalau aku tak memutuskan untuk menyudahinya.

Dan hatiku sudah mantap. Memutuskan untuk menyudahi saja sisa-sisa romantisme masa lalu itu. Harus kukatakan ‘cukup!’ pada diriku sendiri. Dan hidup selalu berjalan maju. Ke arah masa depan. Bersama Irvan, kuharap.

“Setidaknya jangan seperti membeli kucing dalam karung, Pluk.”

Aku sedikit tergeragap mendengar suara lirih Mbak Jani.

“Usahakan untuk mengetahui semua yang harus kamu ketahui tentang Irvan,” Mbak Jani melanjutkan ucapannya, masih dengan suara lirih, “sebelum memutuskan untuk melangkah lebih jauh lagi. Usahakan juga agar Irvan juga memiliki pemikiran yang sama denganmu tentang itu. Kejujuran, Pluk. Itu yang utama.”

Aku hanya bisa mengangguk.

“Sekarang habiskan makananmu,” tangan Mbak Jani menepuk lembut punggung tanganku. “Pekerjaan kita masih banyak.”

Aku kembali mengangguk.

* * *

Dari luar sudah terlihat bahwa Godhong Gedhang penuh dengan pengunjung sore ini. Agak ragu-ragu juga aku melangkah mendekat. Tapi kerinduanku pada Irvan sudah hampir tak tertahan lagi. Semakin aku berusaha mengelak, semakin aku merasakan kerinduan itu menggelembung makin besar memenuhi hatiku.

Hm... Ada yang sedikit berubah dengan penampilan Godhong Gedhang. Kini ada tambahan empat meja di bawah kanopi di bagian depannya. Seorang pramusaji yang sedang membersihkan salah satu meja di luar menyambutku dengan senyumnya.

“Mbak Riri,” sapanya ramah. “Lama sekali nggak mampir ke sini?”

“Sibuk, May,” aku meringis tak jelas. “Mas Irvan ada?”

Maya menggeleng dengan wajah terlihat menyesal. “Hari gini belum pulang shooting, Mbak.”

Aku pun kemudian duduk di depan meja yang sedang dibersihkan Maya.

“Memangnya Mbak Riri nggak janjian sama Mas Irvan?” Maya menatapku sekilas.

Aku menggeleng.

“Tapi sebentar lagi juga nongol Mas Irvan-nya, Mbak. Mbak Riri tunggu di dalam saja, yuk! Soalnya meja ini sudah dipesan orang. Tapi...”

“Kenapa, May?” aku mengerutkan kening.

“Di dalam juga sudah penuh, Mbak,” kembali ekspresi menyesal memenuhi wajah Maya.

“Hm...,” seketika aku kehilangan akal.

“Eh, tapi Mbak Riri tunggu saja di kantor Mas Irvan. Bagaimana?”

Aku mendongak sedikit. Menatap wajah Maya yang mendadak terlihat cerah.

“Tidak apa-apa?”

“Nanti kalau Mas Irvan marah, saya yang tanggung, Mbak,” Maya mengedipkan sebelah matanya. “Tapi nggak mungkin juga Mas Irvan marah. Yuk, Mbak!”

Aku pun berdiri dan mengikuti langkah Maya. Ia menyuruhku menunggu sebentar di depan ruang kantor Irvan sementara ia terus ke belakang membawa perabot makan kotor yang baru saja diringkasnya. Sejenak kemudian Maya kembali dan membukakan pintu ruang kerja Irvan untukku.

“Silakan masuk dan duduk dulu, Mbak. Mbak Riri mau minum apa? Mau makan sekalian?” dengan cekatan Maya menghidupkan pendingin udara.

Aku menggeleng. “Minum saja dulu, May. Es cincau saja kalau ada.”

“Ada, Mbak. Sebentar, ya?”

Dalam sekejap aku sudah ditinggalnya duduk sendirian dalam ruangan ini. Ruangan yang tak terlalu luas, tapi rapi dengan beberapa perabot minimalis yang fungsional. Sebuah meja kerja dengan kursi kantor biasa, dua buah kursi lipat di depan meja itu, sebuah sofa L dan meja pendeknya, sebuah rak pajangan berisi beberapa trofi, dan dinding yang penuh dengan bingkai foto beserta isinya dalan berbagai ukuran. Tengah asyik mengelilingi ruangan itu dengan tatapan mataku, tiba-tiba saja aku tertegun.

Ada sebuah lukisan besar tergantung di dinding, tepat di seberang kursi Irvan. Hanya perlu sedetik untuk menyadari bahwa lukisan itu adalah aku. Aku yang tengah duduk tegak memakai gaun berwarna merah hati, dengan violin berada di pangkuanku.

Pelan aku mendekati lukisan itu. Lukisan cat minyak dengan sedikit tulisan berukuran kecil di sudut kanan bawah. Arinda Wirahadi at Canberra 2002. Jakarta – the end of May 2005 – Irvan Wibowo. Aku tercekat. Akhir Mei 2005 sudah berlalu beberapa belas bulan lalu. Sebelum aku tiba kembali di sini. Berarti lukisan ini sudah ada sebelum kami benar-benar berkenalan? Oh my...

Aku menoleh ketika pintu terbuka. Maya kembali dengan membawa segelas besar es cincau di atas nampan. Diletakkannya gelas itu di atas meja pendek di depan sofa panjang. Secepat kilat aku menghapus genangan airmataku.

“Terima kasih, ya, May,” ucapku, agak serak.

“Silakan es cincaunya, Mbak,” senyum Maya. “Baru saja Mas Teddy menelepon Mas Irvan. Pas Mas Irvan sudah selesai shooting. Jadi sekarang Mas Irvan lagi jalan ke sini. Saya tinggal dulu, ya, Mbak. Kalau Mbak Riri butuh sesuatu, jangan segan minta pada kami.”

Aku mengangguk. Dalam sekejap Maya sudah menghilang lagi dari ruangan ini. Kuhela napas panjang sambil mengangkat gelas es cincau itu. Aku menikmatinya pelan-pelan sambil mencoba untuk menyatu dengan harmoni ruangan kecil ini. Seutuhnya aku merasa nyaman dan ada kehangatan yang menyentuh hatiku. Bahkan samar-samar hidungku membaui aroma parfum musk yang biasa dipakai Irvan.

Tak terasa es cincauku sudah tak bersisa. Pelan kuletakkan gelas kosong itu kembali ke atas meja pendek. Aku menoleh ketika pintu terbuka.

“Ri? Sudah lama?”

Seutuhnya aku melihat kerinduan yang sama dengan milikku berlayar di dalam matanya. Aku tak tahan lagi untuk tidak bangkit dan menghambur ke arahnya. Hanya perlu beberapa detik sebelum ia menenggelamkan aku ke dalam pelukannya yang hangat.

“Ri, apa kabar? Aku kangen,” bisiknya.

“Aku... juga...,” balasku, terbata.

Pelan ia melepaskan pelukannya. Rasanya aku masih tak rela.

“Ri, kamu nggak pingsan?” matanya mengerjap saat menatapku.

Aku mendongak. “Kenapa memangnya?”

“Aku keringatan. Belum mandi.”

“Aku juga! Dari kantor aku langsung ke sini.”

“Tapi kamu masih wangi,” Irvan mencium rambutku.

“Mas Irvan juga,” aku mulai tergelak.

Dan ia memelukku lagi.

* * *


Catatan :
Mulai minggu ini, Miss Cempluk akan tayang empat kali seminggu (Senin-Selasa dan Kamis-Jumat), dengan per bab-nya akan dipecah menjadi dua bagian. Terima kasih...

14 komentar:

  1. makin keren ceritanya mbak...aku ketinggalan banyak..ntar aku kejar....

    BalasHapus
  2. Topbgt. Manteeebbbb, mak jleb di hati. Soal pilihan hidup itu loh.... Suwun wis tayang. Dah ditungguin dr sore 😍☺️😗 Jam jepang tapinya.... Liburan ke mana????? Malang ato Jogjakarta ??? Pasti seru, bisa pulkam..... Sepurane mbak, minal Aidin nggih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Liburan di rumah aja. Serem liat macetnya 😱

      Hapus
  3. yihaaaa....jadi nunggunya nggak lama mba

    BalasHapus
  4. ......mBa Lizz....ditunggu lhoooh...

    BalasHapus
  5. Uwiiiiii seminggu 4x ?????
    Jwempol mbae iki rek !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak jempol iki... Nulise nek kedawan malah nggak keuber 😳

      Hapus