Jumat, 15 Juli 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #14-2







* * *


Ri, sebelumnya aku minta maaf. Aku mohon beberapa hari ini sampai acara lamaran kakakku, tolong aku jangan dihubungi dulu, ya? Banyak yang harus kupikirkan, kukerjakan, dan kuselesaikan. Aku khawatir kalau kamu menghubungiku, justru kekecewaan yang nanti kamu dapat karena responku mungkin nggak seperti yang kamu inginkan. Bisa mengerti, ya, Ri?

Senyum tipis terbit di wajahku begitu selesai membaca SMS Irvan. Ya, aku pasti mengerti. Aku percaya Irvan tidak akan macam-macam. Hatiku yang berkata seperti itu. Karena itu, rasa maklumku sudah kusetel sampai ke titik maksimum. Lagipula aku masih bisa mengalihkan perhatian dan mengisi waktuku dengan hal lain. Contohnya hari ini tadi. Aku menghabiskan Sabtu liburku dengan menemani Tante Laras menunggui Endra di rumah sakit. Sejak Kamis kemarin Endra dirawat karena positif kena demam berdarah.

Beberapa hari lalu, beberapa hari setelah insiden dengan Pak Banyu, aku pernah meluangkan waktu sepulang kerja untuk menengok Irvan di Godhong Gedhang. Tapi yang kutemukan adalah Irvan yang tengah terlelap di atas sofa di dalam ruang kerjanya. Aku tercenung lama melihat keletihan yang sarat di wajahnya. Seketika itu juga aku memutuskan untuk tak mengganggunya. Pelan aku meninggalkan Irvan tetap dalam lelapnya.

Dan sekarang ia memintaku untuk membiarkannya sendirian sejenak. Kuhela napas panjang. Aku tersentak ketika sebuah elusan lembut mampir di bahuku.

“Ada apa?” bisik Uti.

Beliau kemudian duduk di sebelahku, yang sedang sendirian menikmati gelapnya malam di teras belakang sambil menyesap secangkir besar teh hangat. Tangan Uti mengelus kepalaku.

“Nggak kenapa-kenapa, Ti,” kurebahkan bahuku di bahu Uti.

“Irvan baik-baik saja?”

Aku mengangguk. “Cuma sedang sibuk. Mamanya minta dia yang mengurus hidangan dalam acara lamaran kakak sulungnya. Belum lagi shooting. Belum lagi restonya. Makin ramai sekarang, Ti.

“Kamu juga makin sibuk akhir-akhir ini,” desah Uti.

“Nggak apa-apa, Ti. Dengan sibuk seperti itu aku jadi nggak terlalu kepikiran Mas Irvan.”

Sekali lagi Uti mengelus rambutku. “Sudah malam. Uti masuk kamar dulu, ya? Kamu besok tetap konser?”

Aku mengangguk.

“Jangan terlalu malam kamu tidurnya, Pluk.”

Aku kembali mengangguk. Uti kemudian meninggalkan aku setelah mengecup ringan keningku.

* * *

Senin pagi, ketika aku sampai di kantor, Mbak Jani sudah duduk manis di kursiku. Dengan ringan aku menyapanya. Melihat gelagatnya, sepertinya ada hal penting yang hendak disampaikannya padaku.

“Ri, ikut ke ruanganku sebentar, ya?”

Aku mengangguk. Secepat kilat kugeletakkan begitu saja semua barang bawaanku di atas meja, kemudian mengikuti langkah cepat Mbak Jani.

“Duduk, Ri.”

Kuambil tempat di depan Mbak Jani, di seberang meja.

“Begini, Ri,” Mbak Jani menatapku lekat-lekat. “Om Nor, kan, Jumat besok ini mau menghadiri pembukaan pabrik kita di Sidoarjo. Bisa nggak, kamu ikut ke sana?”

Aku terbengong sejenak. Sudah sejak beberapa minggu yang lalu aku tahu bahwa Eternal Rubberplast akan segera membuka pabrik baru di Sidoarjo. Otomatis Om Nor akan ke sana untuk meresmikannya. Tapi aku ikut ke sana juga? Benar-benar agak terlalu jauh dari jangkauan pikiranku.

“Bagaimana, Ri?”

Aku tersentak mendengar suara Mbak Jani.

“Kok, aku, Mbak?”

“Kelihatannya Om Nor kelak akan menaruhmu di Rubberplast,” Mbak Jani menyandarkan punggungnya. “Tapi masih nantiii... Tugasku untuk menempamu lebih dulu di sini. Lagipula, sekalian kamu sementara jadi sekpri Om Nor. Selasa pagi rencananya sudah kembali lagi ke sini. Senin ada agenda ke Surabaya. Ke kantor cabang Eternal Sekuritas.”

“Tante Laras nggak ikut?”

Mbak Jani menggeleng. “Kan, kamu tahu sendiri Endra baru saja kena DB.”

Oh, iya! Seketika kutepuk pelan keningku.

“Mbak Rosy juga nggak mungkin ikut.,” lanjut Mbak Jani. “Kandungannya sudah matang begitu.”

Aku manggut-manggut. HPL Mbak Rosy, sekretaris Om Nor, memang sudah tinggal menunggu waktu saja.

“Ya, oke kalau begitu,” aku mengangguk mantap.

“Nah, sekarang kamu ke kantor Om Norman,” Mbak Jani menepukkan kedua belah telapak tangannya. “Mulai hari ini, kamu ngepos di sana.”

Aku bisa bilang apa, coba? Posisiku di sini memang masih kroco. Nyaris bekerja serabutan. Bagaikan gelas, isiku mungkin baru seperdelapan penuh. Masih jauh dari full tank. Aku kemudian berdiri dan berpamitan pada Mbak Jani.

Sekira sepuluh menit kemudian, aku sudah meluncurkan mobilku keluar dari area parkir Eternal Beverages. Berusaha bersabar menembus satu per satu kemacetan yang menghadangku sepanjang jalan menuju ke kantor induk Eternal Corp. Lewat beberapa menit dari pukul sembilan, barulah aku sampai di depan ruangan kantor Om Nor.

Mbak Rosy menyambutku dengan senyum manis dan wajah cerahnya. Untuk ukuran orang yang usia kehamilannya sudah masuk sembilan bulan, Mbak Rosy masih sangat enerjik. Ia segera menggiringku masuk ke dalam ruangan sang Boss. Om Nor sendiri sedang meeting. Tapi Mbak Rosy sudah siap dengan daftar hal-hal yang harus kupelajari.

 Here I am!

* * *

Ternyata acara di Sidoarjo dan Surabaya cukup padat. Di samping agenda peresmian pabrik baru Eternal Rubberplast dan inspeksi kantor cabang Eternal Sekuritas, Om Nor juga menjadwalkan beberapa pertemuan dengan rekan-rekan bisnisnya. Tentu saja jabatanku tetap sebagai dayang Om Nor. Malah ada yang mengira aku adalah istri muda Om Nor. Parah!

Tapi Om Nor tak lupa menyelipkan acara santai. Hari Minggu, Om Nor mengajakku ke Taman Safari Prigen. Lumayan untuk menyegarkan otak dan mata. Sekaligus aku jadi banyak ngobrol dengan Om Nor.

“Kamu benar-benar mantap untuk meneruskan karir di Eternal, Pluk?” celetuk Om Nor ketika kami menikmati makan siang.

Aku mengangguk, “Ya, Om.”

“Sama sekali tidak merasa terpaksa?”

Aku menggeleng.

“Aku sedang mempertimbangkanmu untuk pegang Rubberplast nanti, Pluk,” ucap Om Nor dengan mimik serius. “Nggak tahu kenapa, tapi naluriku bilang kamu cocok di Rubberplast.”

“Aku belajar dulu, ya, Om?” aku menanggapinya dengan tak kalah serius. “Bekalku sama sekali belum cukup untuk menggawangi Rubberplast.”

Om Nor mengangguk, “Ya, makanya kamu sekarang kutaruh di bawah Anjani. Kamu bisa belajar banyak dari dia.”

“Ya, Om.”

“Hm... Lalu, soal anaknya Banyu itu?”

Seutuhnya aku bisa melihat senyum pada wajah Om Nor. Aku tersipu sedikit.

“Dijalani saja dulu, Pluk,” Om Nor mengedipkan sebelah mata.

Aku tertawa ringan.

“Atau kamu mau mengembangkan resto itu bersama dia?”

Aku tercenung sejenak.

“Kupikir Kakung tak akan keberatan kalau kamu masuk juga ke resto itu.”

Seketika kutatap Om Nor. “Jadi Om nggak tahu ceritanya?”

“Cerita apa?” Om Nor mengerutkan kening.

Kakung atau Uti nggak cerita ke Om Nor?”

“Cerita soal apa?” ulang Om Nor dengan nada sabar.

“Yang diinvestasikan itu bukan uang Kakung, Om.”

“Hah?”

Lalu secara ringkas aku menceritakan peristiwa yang sebenarnya pada Om Nor. Dengan penuh perhatian Om Nor mendengarkan penuturanku.

“Sebenarnya aku takut kalau Mas Irvan tahu soal itu, Om,” pungkasku.

Om Nor manggut-manggut sambil menyedot es tehnya. Beberapa detik kemudian tatapannya kembali padaku.

“Suatu saat dia pasti tahu, Pluk,” gumam Om Nor. “Bagaimanapun jujur itu jauh lebih baik, sebenarnya. Tapi kalau dalam kondisi darurat, ya...,” Om Nor mengedikkan bahunya. “Hanya saja kuharap dia bakal mengerti.”

“Pak Banyu itu seram juga orangnya, Om,” celetukku.

Om Nor tergelak mendengar nada mengadu dalam suaraku. Digeleng-gelengkannya kepala.

“Sebenarnya nggak seperti itu juga, Pluk,” ujar Om Nor di tengah tawanya. “Dia orangnya baik, kok. Mungkin memang lagi jaga wibawa saja di depan anaknya. Apalagi yang membelot itu.”

“Hehehe...,” aku terkekeh.

Tepat saat itu ponselku berbunyi. Aku menyingkir sejenak untuk menerimanya. Sempat kukerutkan kening ketika melihat sederet nomor asing tertera pada layar ponselku.

“Halo, selamat siang,” sapaku.

“Selamat siang...”

Sepertinya aku kenal suara itu...

“Dengan Riri-kah?”

“Iya, benar. Maaf, dengan siapa ini?”

“Dengan Ibu, Ri.”

Ibu? Kerut di keningku makin dalam. Ibu siapa? Tapi sepersekian detik kemudian aku tersentak. Ibu!

“Riri apa kabar?”

“Baik, Bu,” jawabku cepat. “Ibu bagaimana? Acara lamarannya kemarin bagaimana, Bu?”

“Ibu baik, Ri. Acara kemarin juga lancar. Mm... Ri, kita bisa bertemu? Secepatnya?”

“Aduh, maaf, Ibu, saya masih di Jawa Timur. Tugas kantor. Pulangnya baru besok Selasa.”

“Oh... Ya, sudah. Tolong, Riri kabari Ibu kalau sudah sampai Jakarta, ya? Ke nomor ini. Ini nomor ponsel Ibu.”

“Baik, Bu, baik. Segera setelah saya mendarat di Jakarta, saya hubungi Ibu.”

“Oke, kalau begitu. Terima kasih banyak, ya, Ri. Selamat siang.”

“Selamat siang...”

Kutatap sejenak ponselku sebelum aku menekan direct call di angka sembilan. Ada tiga nada sambung sebelum panggilanku di-reject. Kuulangi lagi menekan angka sembilan. Sekali lagi rejected. Pada panggilan ketiga bahkan tak tersambung sama sekali. Kuputuskan untuk mengirimkan SMS.

Mas Irvan, Ibu baru saja meneleponku. Ada apa, ya?

Beberapa detik kemudian masuk laporan ke ponselku. SMS berstatus sent, bukan delivered.

Ada apa ini?

* * *


10 komentar:

  1. Ish !
    Garai deg"an mba e .....

    BalasHapus
  2. Saya kok deg-degan ya, Irvan sudah tahu asal sumber dana yang sebenarnya. Hiii... serem!

    BalasHapus
  3. Tambah oke cerita ini, good post mbak

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Hihihi... Udah tayang lanjutannya ya, Mbak. Makasiiih... 😘

      Hapus
  5. Palingo si Riri dilamar kuwi :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Point dikurangi 100, jawaban meleset, huehehe...

      Hapus