Sabtu, 23 Juli 2016

[Cerpen] Dukun Cinta Madame Spectra








... Kau tahu rasanya cinta pada pandangan pertama? Terasa seperti seluruh napas dan kehidupanmu tersedot oleh suatu kekuatan yang tak terdefinisi, sehingga kau meleleh tanpa terkendali dan tak tahu kapan bisa merasa normal lagi. ...



Bibir Alleda seketika mengerucut membaca bagian itu. Seandainya ia tidak tahu siapa pemilik Blog Dukun Cinta Madame Spectra itu, mungkin ia akan 75% percaya. Tapi Madame Spectra adalah Shanti. Sahabat di kantor dengan stadium jomblo sama dan sebangun dengannya. Menuju ke kronis.

Herannya, banyak sekali ABG labil yang menggemari blog abal-abal milik Shanti itu. Terbukti dengan banyaknya komentar yang masuk untuk berkonsultasi ini-itu. Tak pernah di bawah 50 komentar pada setiap artikelnya. Dan Shanti seolah tak pernah kekurangan energi untuk membalas dengan telaten setiap komentar yang masuk. Untuk itu Alleda terpaksa angkat topi. Detik ini ketika ia membuka blog itu, jumlah pengunjungnya sudah menyentuh angka satu juta lebih sekian ribu.

Satu juta viewer dalam jangka waktu hampir dua tahun tanpa menyadari bahwa semua itu gombalan belaka?

Alleda menggeleng-gelengkan kepala dengan gemas.


“Lho, itu kan curhat gue soal cinta,” elak Shanti suatu ketika. “Itu ekspektasi gue, angan-angan gue, mimpi gue. Perkara orang lain mau percaya, ya, hak mereka, dong!”


Dan Alleda tak punya kata lagi untuk membantah. Toh, hingga detik ini belum ada yang merasa dirugikan oleh Shanti alias Madame Spectra. Alleda tahu, sekoplak-koplaknya Shanti, seabal-abalnya Shanti sebagai blogger tukang bikin heboh jagad percintaan ababil, gadis itu masih punya etika untuk tidak menyebar kebohongan terstruktur untuk meraih keuntungan tertentu.

* * *

Entah mantera apa yang dirapalkan Shanti. Begitu saja Alleda seperti kerbau yang dicocok hidungnya ketika Shanti memintanya untuk menemani menemui kencan butanya di suatu tempat.

“Lu kencan bawa-bawa temen, nggak salah?” Alleda mengerutkan kening.

“Gue udah janjian sama kencan gue itu,” Shanti menjawab sambil mengunyah apel. “Dia juga bawa temen. Antisipasi kalo deadlock. Biar nggak kelihatan bego-bego banget.”

Astaga... Alleda menggumam dalam hati. Lama-lama ia mulai meragukan kewarasan Shanti. Tapi siapa yang lebih tak waras, coba? Shanti yang mengajaknya, atau ia yang menyetujui ajakan Shanti?

“Emang lu kenal dia dari mana?” Alleda menekan pedal gas mobil mungilnya begitu mulai terbebas dari kemacetan.

“Dari Alexa, salah seorang pengunjung setia blog gue,” Shanti tersenyum penuh kemenangan. “Dante ini abang Alexa.”

Alleda mulai kehabisan kata.

“Temen Dante juga jombo tragis. Siapa tahu lu cocok sama dia.”

Ucapan ringan Shanti seperti godam seukuran Gaban yang menghantam kesadaran Alleda. Mantera Shanti sepertinya benar-benar kuat, hingga seolah berhasil menutup akal sehat Alleda.

“Lama-lama gue gila juga kayak elu, Shan,” desah Alleda sambil membelokkan mobilnya ke sebuah tempat parkir.

“Udaaah... Jabanin aja,” Shanti tergelak. “Namanya coba-coba, kan, nggak ada salahnya.”

Alleda terpaksa pasrah dengan kehendak Shanti. Lagipula sudah telanjur basah. Mereka sudah sampai di area parkir tempat kencan buta diadakan.

* * *

... Kau tahu rasanya cinta pada pandangan pertama? Terasa seperti seluruh napas dan kehidupanmu tersedot oleh suatu kekuatan yang tak terdefinisi, sehingga kau meleleh tanpa terkendali dan tak tahu kapan bisa merasa normal lagi. ...


Ketika Alleda menatap laki-laki itu, seluruh kalimat tentang cinta pada pandangan pertama dalam Blog Dukun Cinta Madame Spectra seolah berputar bagai puting beliung di dalam benaknya.

Genggaman tangan laki-laki itu terasa mantap dan hangat. Disertai senyum yang menggetarkan hati. Sosoknya terlihat ramping tapi tegap. Wajahnya? Will Estes versi KW super dengan kulit coklat muda bersih.

Masalahnya, laki-laki itulah yang bernama Diamante Caldera. Nama yang terdengar indah dan unik di telinga Alleda. Membuatnya makin meleleh diam-diam.

Diamante Caldera, atau Dante... Kencan buta Shanti. Bukan Kameswara atau Omesh, yang dipasangkan oleh Shanti dan Dante dengannya.

* * *

Men from Aldebaran ngajakin kita maksi hari ini,” bisik Shanti. “Gimana?”

Jantung Alleda mendadak berdebar kencang. Men from Aldebaran adalah sebutan mereka untuk duo Dante dan Omesh. Kantor keduanya ada di sebelah gedung kantornya dan Shanti. Aldebaran Event Organizer. EO yang saat ini tengah naik daun, bentukan dua sahabat

Bertemu lagi? Mau mengajak makan siang? Oh, no...

Alleda menggeleng samar. Jujur, ia merasa ciut. Makin mengaca, ia merasa bahwa sesungguhnya ia tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Shanti. Dan tentu saja ia belum melupakan bagaimana tatapan Omesh yang tengah mengobrol dengannya berkali-kali jatuh pada Shanti di meja sebelah saat kencan buta mereka di kafe empat hari yang lalu.

Omesh memang teman bicara yang menyenangkan. Cukup sopan, nyambung, tapi matanya sering oleng terarah pada Shanti. Tersinggung? Alleda kembali menggeleng samar. Ia cukup tahu diri.

“Halooo...”

Alleda tersentak. Ia mengedipkan mata, beralih dari layar laptop di depannya ke wajah Shanti.

“Kerjaan gue banyak,” Alleda memutuskan untuk mengelak. “Kayaknya gue maksi di sini aja. Nanti pesan makanan ke OB atau OG.”

“Yah...,” desah Shanti. Terdengar penuh kekecewaan. “Cuma di kantin seberang itu, Led.”

“Aduh... Lain kali aja, Shan,” Alleda menggeleng. “Beneran ini, daripada gue harus lembur lagi.”

Sekali lagi Shanti mendesah kecewa. Dihelanya napas panjang.

“Lu diajak kencan ganda aja susah, Led,” gerutu Shanti. “Gimana mau dapet cowok?”

Alleda mengangkat bahu dengan ringan. Berusaha menulikan telinga. Tak urung, gerutuan Shanti terasa menohok hatinya.

* * *

“Alleda!”

Alleda menoleh ke arah panggilan itu. Seketika darahnya serasa membeku. Napasnya mendadak jadi panjang-pendek tak teratur. Ia hanya mampu menatap nanar pada sesosok laki-laki yang tengah berlari kecil menuju ke arahnya.

“Sendirian?”

Alleda hanya mengangguk dengan wajah tolol begitu laki-laki itu ada di depannya.

“Mau ke mana?”

“Supermarket,” jawab Alleda dengan suara seolah terjepit di tenggorokan.

“Wah, sama, dong!” senyum laki-laki itu mekar melebar. “Kita bareng aja, yuk!”

Alleda sama sekali tidak menemukan alasan untuk ngeles. Yang terjadi padanya saat ini benar-benar hal yang tak pernah dibayangkannya. Bertemu Dante di tempat parkir mall, dan laki-laki itu mengajaknya belanja bersama.

Oh, my...

Alleda melangkah setengah melayang di sebelah Dante. Apalagi ketika tangan Dante otomatis menggenggam tangannya ketika hendak menyeberangi area parkir. Menahannya yang seolah tak sadar ada mobil lain hendak melintas di jalur penyeberangan mereka.

Kalau Shanti tahu kejadian ini, dia pasti menyesali keputusannya untuk menyerahkan urusan belanja bulanannya padaku...

Diam-diam Alleda meringis dalam hati. Makin meringis ketika selanjutnya Dante banyak bertanya soal Shanti, hampir di sepanjang acara belanja mereka dan ketika Dante mentraktirnya makan dan minum.

* * *

Raida  13 Juli 2016  20.14

Gimana dunkz kalo kita suka sama cowoknya sohib sendiri, Madame? Nyesek rasanya. Saya juga gak mau kehilangan sohib. Secara dia sohib yang bener-bener baik. Sohib sejak kecil sampe SMA ini. Tapi saya juga gak bisa ingkarin hati saya sendiri. Mohon advisnya Madame. Thankz!

Balas
           
Balasan

Madame Spectra  16 Juli 2016  08.25

Hai, Raida! Emang nggak enak, ya, kejepit kayak gitu. Tapi jaman sekarang susah, lho, cari sohib yang baik. Apalagi udah sohiban sejak kecil.

Sebaiknya kamu alihin aja perhatian kamu ke cowok lain. Cowok, kan, nggak cuma satu di dunia ini. Nggak cowoknya sohib kamu doang. Coba dulu, deh! Apalagi kamu baru SMA. Waktunya banyak gaul.

OK, darling?

Balas


Alleda tercenung membaca komentar dan jawaban dalam Blog Dukun Cinta Madame Spectra itu. Jawaban Shanti sudah sangat jelas. Tinggalkan jauh-jauh gebetan sohibmu!  Seolah jawaban itu telak Shanti tujukan padanya.

Dihelanya napas panjang. Mungkin akan jauh lebih mudah kalau Omesh tak kelihatan jelas tertarik pada Shanti. Tapi kenyataannya? Huuuft...

“Gue tahu kerjaan lu udah kelar sempurna.”

Alleda menoleh malas ke sebelah kirinya. Shanti tengah menatapnya dengan sorot mata menuntut.

“Jadi sebaiknya lu nggak ngeles lagi kalau gue ajak maksi bareng men from Aldebaran,” tegas Shanti. “Sekarang.”

Dan Alleda memang benar-benar tak menemukan alasan untuk menolak. Ogah-ogahan ia menarik tas kecilnya dari bawah meja.

* * *

Jadi begini rasanya jadi obat nyamuk...

Pelan-pelan Alleda menyedot es jeruknya. Berusaha bersikap santai. Berusaha memasang wajah lempeng. Berusaha jadi pendengar yang baik bagi tiga orang ‘pembicara seminar’ yang duduk di samping dan depannya.

Lalu tatapan Dante jatuh padanya. Membuatnya sedikit gelagapan. Yang ditutupinya dengan menyedot lagi es jeruknya.

“Aku nggak sangka kamu sependiam ini, Led,” senyum Dante.

“Eh, iya, lho!” Omesh ikut mengalihkan perhatian padanya.

“Leda, kan, sedikit bicara, banyak kerja, hehehe...,” Shanti kelihatannya berusaha ‘menyelamatkan’ Alleda. “Tapi kalau sudah kenal dekat, jangan heran kalau dia lebih sarap daripada kita.”

“Iyakah?” Dante menaikkan alisnya. Ekspresi yang membuat hati Alleda seolah terbetot-betot tak keruan.

Selanjutnya Alleda hanya bisa nyengir tak jelas. Apalagi ketika pembicaraan berlanjut dengan kesepakatan bahwa mereka akan pergi menonton film bersama Sabtu dua hari lagi. Kesepakatan yang mengharuskannya ikut tanpa menanyakan bagaimana pendapatnya.

* * *

“Menurut lu, gimana Dante?” Shanti menatap Alleda dengan mata berbinar.

Alleda langsung berhenti mengunyah keripik pisangnya. Ia menoleh sekilas.

“Lha, menurut lu sendiri, gimana?” ia malah balik bertanya.

“Lu lebih suka Dante apa Omesh?” ada nada sedikit mendesak dalam suara Shanti.

Alleda terhenyak. Sungguh, pertanyaan sederhana yang jawaban jujurnya kemungkinan bisa memicu perang dunia ketiga antara ia dan Shanti. Alleda mendesah.

“Shan, ini tentang pencarian lu, ya, nggak usah bawa-bawa gue.”

Shanti terduduk diam. Menatap Alleda.

“Led,” suara Shanti begitu lirih, “lu masih normal, kan? Masih minat cowok, kan?”

Alleda menoleh seketika. Dengan wajah jengkel. “Normallah gue!”

“Syukur pada Tuhan...,” Shanti menengadahkan kedua telapak tangannya. “Jadi, gimana?”

Alleda menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi. Ditatapnya Shanti. Berusaha menyorotkan kepolosan.

“Dante sama Omesh, jelas keduanya cowok baik-baik,” jawab Alleda, akhirnya. “Lumayan berharga buat digebet. Jaman sekarang langka cowok kayak gitu.”

“Iya, gue juga tahu itu,” sergah Shanti. Menegakkan kepalanya lagi. “Masalahnya, lu tertarik nggak sama Dante?”

“Lha, kok, jadi gue?” Alleda melebarkan matanya.

“Soalnya Dante ada hati sama lu!”

Alleda ternganga.

* * *

Alleda menatap Dante yang berjalan dari arah toilet menuju ke arahnya. Harus diakui bahwa ternyata Shanti pantas menjadi pemilik Blog Dukun Cinta Madame Spectra. Shanti lebih memahami banyak pertanda cinta yang bertebaran di sekitar mereka daripada Alleda.


“Sejak pertama kali gue lihat Omesh, hati gue sudah nggak keruan,” Shanti meringis malu-malu. “Masalahnya, yang mau kenalan sama gue itu Dante. Tapi gue lihat mata Dante berkali-kali curi pandang ke arah lu, sementara lu sendiri asyik ngobrol sama Omesh. Belakangan Omesh ngaku ke Dante kalo dia suka sama gue. Makanya Dante coba korek-korek keterangan soal gue waktu ketemu lu. Buntu juga. Akhirnya gue sama Dante ngomong berdua. Baru jelas kalau Omesh sama gue saling suka. Tinggal elu sama Dante...”


Itu ucapan Shanti kurang lebih setahun yang lalu.

Kini, pelan, Alleda menghela napas panjang. Lega. Dante sudah duduk kembali di depannya. Dengan wajah secerah matahari. Tangannya meraih kantung kertas kecil di atas meja, tepat di depan Alleda. Diambilnya sebuah kotak kecil dari dalam kantong kertas itu.

Sepasang cincin emas putih ada di dalamnya. Cincin pesanan mereka yang baru saja diambil dari sebuah toko emas. Senyum Dante mengembang ketika matanya membaca ukiran nama dalam cincin itu. Victoria Alleda pada bagian dalam sebuah cincin polos dengan sedikit motif pasir di bagian luarnya, dan Diamante Caldera pada sebentuk cincin yang lain, cincin yang bertatahkan sebutir berlian berkilau.

“Nggak sabar mau pakai ini,” celetuk Dante sambil menyimpan kembali sepasang cincin itu ke dalam kotak, kemudian memasukkannya lagi ke dalam kantong kertas.

“Sabar...,” senyum Alleda. “Satu setengah sebulan lagi.”

“Hm... Jadi balik besok, Shanti sama Omesh?”

“Jadilah... Mau kupentung, apa?” gerutu Alleda. “Enak-enakan honeymoon, ninggalin seabreg urusan pernikahan kita.”

Dante tergelak mendengarnya.

Setelah Alleda dan Dante berjibaku ikut menyiapkan pernikahan Shanti dan Omesh, pastilah harus tiba saatnya si pengantin baru melakukan hal yang sama untuk calon pengantin satunya lagi. Itu pun pasangan mana yang menikah duluan ditentukan dengan suit semut-orang-gajah antara Dante dan Omesh. Ketika hasilnya diketahui, keempatnya pun tertawa gembira.

Dan tentu saja Shanti tak lupa membagikan pengalaman unik itu dalam blog-nya. Mengukuhkan dirinya sebagai Madame Spectra, sang Dukun Cinta.

* * * * *

Ilustrasi : pixabay.com

16 komentar:

  1. Mbaaaaa namae apiiiik !!!!!
    Diamante Caldera haduuuuuu .....
    Aq jadie deg"an dewek a.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Oleh kok diembat gae jenenge anak ketigamu 😁😁😁

      Hapus
    2. Pabrike es ditutup semi permanen nya! Pemegang saham tunggale es tuwek hareeee wkkkkkkkk
      2 anak cukup jare pemrentah wkkkkkkk

      Hapus
    3. Astagaaa... Kumat slendro neh arek ikiii! 😱

      Hapus
  2. Good post mbak, akhirnya muncul juga sesuai janji

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Iya, Pak Subur. Makasih singgahnya ya... 😊

      Hapus
  3. Siipp, udah nemu pasangan masing-masing, tinggal saya nih yang belom #eh lah kok curhat =D

    Jadi pengen curhat sama Madame Spectra, uhuk!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bentar, tak'kolinge si Madame e dulu ya... 😁😁😁

      Hapus
  4. Balasan
    1. Makasih mampirnya, Mbak Dewi. Semoga nggak mengecewakan ya... 😘

      Hapus
  5. Will Estes ?
    Will Estes ???

    Teganyaaaaa....

    😱😱😱😱😱😱

    BalasHapus