Selasa, 16 Agustus 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #23-2







* * *


Di bawah penanganan Om Bimo sebagai kontraktornya, bakal rumahku dan Irvan mulai berdiri sedikit demi sedikit. Bahkan belakangan kudengar, Mas Priyo diajak bergabung oleh Om Bimo ke dalam tim perusahaannya. Hampir tiap sore aku mampir untuk melihat kemajuan pembangunan itu. Kadang-kadang aku bertemu Irvan, tapi lebih sering tidak.

Godhong Gedhang sudah makin berkembang saat ini. Daripada mendirikan cabang, untuk sementara Irvan lebih memilih menginvasi ruko kosong di sebelah kiri Godhong Gedhang untuk perluasannya. Ia melibatkan aku dalam mengambil keputusan itu. Pertimbangannya, meluaskan restoran membutuhkan modal lebih kecil daripada membuka restoran baru. Dan saat ini, ia memiliki uang tunai untuk melaksanakan niat itu.

Sejak awal Irvan berkeras agar aku tidak terlibat secara finansial dalam hal pembangunan calon rumah kami. “Soal pembangunan, itu urusanku, Pluk. Nanti soal mengisi, nah, itu kamu ratunya,” begitu ujarnya. Aku mengamininya, tapi di lain pihak aku berbisik-bisik dengan Om Bimo, kalau ‘ada apa-apa’ beliau harus memberitahuku dan aku akan turut merogoh kantong untuk menyelesaikannya. Toh, kelak rumah ini rumahku juga. Tapi rupanya Irvan sudah memperhitungkan segalanya dengan cermat. Kalaupun uangku ikut terbang dan menempel jadi bagian-bagian kecil pada bangunan calon rumah kami, jumlahnya tidak seberapa dan tak sampai menguras habis tabunganku.

Tanpa setahu Irvan, Bu Mawarni sudah menghubungi aku. Meminta kalau ‘ada apa-apa’, sebaiknya aku cepat-cepat menghubungi beliau. Aku mengiyakan saja demi membuat beliau lega. Tapi pada kenyataannya, aku berusaha menghormati keinginan Irvan untuk mewujudkan segala mimpi dengan usaha kerasnya sendiri.

* * *

Bulan demi bulan bergulir dengan cukup cepat bagiku. Aku makin memantapkan diri di Eternal Rubberplast. Pada awal tahun baru, Om Norman menjadikan aku sebagai General Manager PT. Eternal Rubberplast. Direkturnya masih tetap Om Norman, tapi sehari-harinya akulah yang menjadi pengendali utama Rubberplast.

Pada saat yang sama, Om Norman melepaskan Eternal Beverages untuk sepenuhnya ditangani Mbak Jani sebagai direkturnya. Mas Hasto dan Mas Nanda pun sudah dipasang di posisi masing-masing. Mas Hasto sebagai GM PT. Eternal Insurance, dan Mas Nanda GM di PT. Eternal Sekuritas. Dan di level bawah kami, ada Mas Ronny yang diangkat menjadi Manager Produksi PT. Eternal Chemico.

Kakung tampak puas dengan keputusan Om Nor. Pada suatu akhir minggu, Kakung mengumpulkan kami berlima di rumah. Dan beliau memberikan pesan yang sangat mengena di hatiku.

“Eternal besar bukan karena Kakung,” begitu ucap Kakung. “Kakung hanya mengawali. Meletakkan dasarnya. Selanjutnya, Norman yang membesarkan Eternal untuk kita semua. Dan setelah Eternal menjadi besar, dia perlu bala bantuan untuk mempertahankan kebesaran Eternal. Kalianlah bala bantuan itu. Baik Norman maupun Kakung, kami semua percaya kalian bisa. Kalian mampu. Eternal adalah satu keluarga besar. Kejujuran, kerja keras, semangat untuk terus maju, dan usaha untuk selalu menciptakan kenyamanan, itu yang harus tetap jadi kuncinya. Seluruh staf dan karyawan Eternal itu bukan bawahan yang boleh diperlakukan seenaknya. Tapi mereka adalah partner kalian untuk terus bergerak maju.”

Aku makin memahami kenapa para staf dan karyawan Eternal secara umum sangat loyal pada perusahaan. Karena mereka partner yang dianggap penting bagi kelangsungan hidup perusahaan. Karena mereka dihargai secara pantas sebagai motor-motor penggerak perusahaan. Dan mereka membalas penghargaan itu dengan kesetiaan yang berharga sangat tinggi bagi perusahaan.

Jabatan naik, otomatis pendapatanku meningkat. Aku mulai berhitung dan menyisihkan sebagian besar gajiku untuk mengisi rumah kami kelak. Belum sampai ke taraf mengunjungi pameran-pameran furniture, tapi sudah mulai melirik berbagai artikel soal penataan rumah di majalah-majalah.

* * *

Waktu bergulir lagi menuju ke pertengahan tahun. Sedikit demi sedikit kiriman barang pribadi Papa dan Mama sampai ke rumah Eyang. Aku berunding dengan Uti dan Kakung untuk pindah ke kamar lain saja yang lebih kecil. Biar nanti kamar besar yang saat ini kutempati dipakai Papa dan Mama saja.

“Pokoknya nggak perlu sewa apartemen, Pluk,” ujar Uti. “Rumah begini besar. Biar sementara orang tuamu di sini dulu.”

“Kalau masih ngeyel juga, biar nanti Kakung yang menghadapi mereka.”

Aku tertawa geli melihat Kakung berlagak siap pasang badan. Dan sedikit demi sedikit aku mulai memindahkan barang-barangku ke bekas kamar Tante Ninin, yang letaknya ada tepat di sebelah kamar utama yang ditempati Kakung dan Uti.

Dan ketika hari itu tiba, lega sekali rasanya ketika melihat Papa dan Mama tiba tanpa kurang satu apa pun di Jakarta. Kakung benar-benar pasang badan ketika Mama memintaku untuk mencari apartemen sewaan.

“Py, buat apa menyewa apartemen?” bujuk Kakung sabar. “Sudahlah, sementara ini di sini saja. Kalian, kan, menumpang bukan karena tak punya rumah.”

Papa dan Mama saling menatap. Papa kemudian tersenyum.

“Ya, sudah, di sini saja,” putus Papa, akhirnya. “Sambil menemani Bapak dan Ibu.”

Mama pun mengangguk tanpa banyak kata.

Keesokan harinya, Mama membisikiku, “Sebetulnya, kalau disuruh memilih, Mama lebih senang tinggal di sini, Pluk. Nggak perlu susah-susah masak, hihihi...”

Tawaku meledak mendengar nada jahil dalam suara Mama.

Dan akhir minggu itu, seluruh keluarga besar kami berkumpul untuk menyambut kepulangan Papa dan Mama. Rinnel pun bisa ikut bergabung. Hanya Dipa yang tidak, karena tidak memungkinkan.

Pada acara itu pula aku secara resmi memperkenalkan Irvan sebagai kekasihku. Papa dan Mama kelihatan senang sekali karena pada akhirnya bisa bertemu dengan Irvan. Apalagi Papa, karena Irvan adalah putra bungsu sahabatnya sendiri.

“Mama tadi menitip pesan, Pak,” ucap Irvan sopan. “Kapan bisa bertemu berempat dengan Om Anto dan Tante Viska bersama keluarga masing-masing?”

“Nanti Bapak sempatkan dalam waktu dekat ini, ya, Van,” jawab Papa dengan antusias. “Nanti biar Bapak telepon mamamu.”

Irvan mengangguk dengan wajah cerah.

* * *

Akhir minggu berikutnya benar-benar menjadi ajang reuni keempat sahabat itu. Papa, Bu Mawarni, Bu Viska, dan Pak Anto, beserta seluruh keluarga masing-masing termasuk menantu dan para calon menantu. Minus Dipa dan Rinnel, tentu saja. Tempatnya di mana lagi kalau bukan di Godhong Gedhang? Irvan sengaja menutup area baru resto untuk acara sore itu, sementara ruang lama tetap buka seperti biasa.

Bu Viska dan Pak Amri punya satu putra, Dito, saat ini sedang menyelesaikan skripsinya. Dito ternyata benar-benar pacaran dengan Mirta, putri bungsu Pak Anto dan Bu Wulan, yang setahun lebih muda daripada Dito. Mbak Finda, putri sulung Pak Anto dan Bu Wulan yang setahun lebih tua daripada aku, baru saja beberapa bulan bertunangan dengan Mas Rico.

“Ini bagaimana, kok, ternyata kita ruwet saja?” celetuk Papa. “Besanannya lu lagi – lu lagi.”

Tawa kami langsung berderai.

“Padahal kita nggak janjian, lho!” timpal Bu Viska.

Selanjutnya obrolan terpecah menjadi dua kelompok besar. Irvan sudah menyiapkan meja lainnya untuk kami, para anak, yang segera saja tersingkir begitu obrolan para orang tua menyentuh wilayah nostalgia. Pada awalnya kami masih malu-malu, tapi lama-lama jadi malu-maluin. Perbedaan usia pada akhirnya tidak jadi halangan bagi kami untuk mengobrol dengan akrab.

“Jadi, Riri dan Mas Irvan kapan ini acaranya?” tanya Mbak Finda sambil nyengir.

“Oh...,” Irvan tertawa sambil mengarahkan kedua tangannya pada Mbak Arsita dan Mas Deva. “Senior dulu, Fin. Takut dikutuk jadi jambu mete kalau berani mendahului.”

Tawa pun pecah dengan meriah. Pada kesempatan itu juga Mbak Arsita dan Mas Deva mengundang semua junior yang duduk mengelilingi meja itu untuk menghadiri acara pernikahan mereka tiga minggu lagi.

“Undangan resminya lewat ortu, ya?” senyum Mbak Arsita. “Pokoknya yang ada di sini semua harus hadir. Terus, kalian kapan?” Mbak Arsita menatap Mbak Finda dan Mas Rico.

“Akhir tahun ini,” jawab Mas Rico. “Sama, ya? Kalian semua juga harus datang.”

“Berarti tahun depan siap-siap datang ke pernikahan Riri sama Mas Irvan, nih!” Mbak Finda mengedipkan sebelah mata.

Aku terkikik. Rumah kami sudah hampir siap untuk diisi. Hati kami pun sudah mantap untuk bergandengan dan saling mengisi. Masalahnya...

“Semoga, ya?” Irvan meringis. “Belum lamaran secara resmi, soalnya.”

Sebagian muda-mudi yang ada di sekitar meja ini ternganga.

* * *

Mama menatapku melalui cermin besar yang ada di dalam kamar yang kutempati. Aku pun menatap pantulan diriku di dalamnya. Sanggul tradisional Jawa yang kukenakan sudah menempel dengan rapi. Bersama dengan sasakan rambutku, tampak membingkai wajahku dengan apik. Rias wajahku pun sudah sempurna. Begitu pun Mama, memakai dandanan yang sama. Bedanya, Mama mengenakan kebaya berwarna biru langit dengan bunga-bunga putih, sedangkan kebayaku berwarna keemasan dengan hiasan bordir dan payet.

Sore ini keluarga besarku kembali berkumpul, lengkap dengan Dipa yang datang jauh-jauh dari Chicago, dan juga Rinnel. Kami akan menyambut keluarga besar Irvan yang akan datang meminangku secara resmi, sekaligus mengadakan acara peningsetan.

“Akhirnya hari ini tiba,” gumam Mama, dengan suara sedikit bergetar. Dielusnya bahuku. “Sepertinya baru kemarin Mama mengalami euphoria ketika kamu lahir. Dan bayi Mama yang paling cantik ini sekarang sudah siap untuk mengepakkan sayap membina keluarga baru. Cepat sekali waktu berlalu.”

Seketika mataku terasa mengembun. Hangat.

“Tapi Mama dengan senang hati melepasmu untuk dipinang calon suamimu itu, Pluk,” senyum Mama, dengan mata mengaca. “Karena perasaan Mama mengatakan, dia laki-laki baik-baik yang akan selalu berusaha membahagiakanmu.”

Baru saja hendak menanggapi ucapan Mama, pintu kamarku terbuka. Mama dan aku sama-sama menoleh. Papa menatap Mama sambil menutup pintu di belakang punggungnya.

“Ma, dicari Ibu, tuh!” ujar Papa halus.

Mama mengangguk, kemudian beranjak. Ganti Papa yang kini menatapku. Dalam.

“Rasanya... Papa belum puas... membuaimu,” bisik Papa, sedikit terbata. “Dan tiba-tiba saja kamu sudah akan jadi milik laki-laki lain. Bilang padanya, jangan pernah menyakitimu. Atau pembalasan Papa nanti bisa lebih kejam.”

Aku menatap senyum Papa. Memburam. Tapi aku menangkap ada kilau bening dalam matanya. Papa kemudian memelukku. Hati-hati. Supaya tidak merusak dandananku.

Pintu terbuka lagi. Mama melongokkan kepalanya.

“Mbak Mawarni baru saja meneleponku,” ucap Mama. “Mereka sudah jalan.”

Papa segera mengulurkan tangannya padaku. Membantuku berdiri. Sejenak kemudian tanganku sudah berada erat dalam genggamannya. Hangat. Selalu hangat.

* * *


14 komentar: