Selasa, 30 Agustus 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #1-2










* * *


Berkali-kali Mai sekilas melirik Qiqi yang duduk manis di jok sebelahnya sambil memangku sebuah boneka lebah lucu berukuran jumbo yang masih rapat terbungkus plastik bening. Bertambah lagi koleksi aneka boneka di kamar Qiqi. Dan ia lega sekali melihat keceriaan dalam wajah Qiqi.

“Ma, baju-baju bekas punya Qiqi mau dibawa ke mana?”

Mai agak tersentak ketika suara Qiqi menggema lembut di dalam kabin mobil. Dilihatnya Qiqi sekilas.

“Yang Mama masukin ke kardus kapan itu,” lanjut Qiqi.

“Oh... Mau Mama bawa ke tempatnya Oma Amey, Qi. Pasti lebih berguna di sana.”

“Ng... Boneka Qiqi yang kecil-kecil sekalian saja, Ma,” celetuk Qiqi lagi.

“Hah? Boleh? Beneran?”

“Iya,” Qiqi mengangguk mantap.

“Ya, sudah, Nanti Qiqi pilih-pilih dulu, ya? Hari Minggu kita antar ke Oma Amey.”

Qiqi kembali mengangguk.

Mai membelokkan mobilnya dengan mulus, masuk ke carport rumah merangkap kantor online shop di sebelahnya. Qiqi turun sambil menggendong boneka lebahnya, sementara Mai kemudian menurunkan kantong-kantong berisi baju baru Qiqi.

“Qi, tolong panggil Mbak Yayah, ya?”

Qiqi mengangguk sambil masuk ke dalam rumah. Sejenak kemudian, ART Mai bernama Yayah itu pun muncul.

“Yah, tolong, ini nanti dicabut semua labelnya, jangan dicuci dulu,” Mai menyodorkan kantong-kantong itu pada Yayah. “Kamu lepas dulu jahitan semua lengan kirinya. Biar nanti aku perbaiki dulu, baru kamu cuci. Oh, ya, yang isinya daster, itu buat kamu. Terus, sekalian bantu Qiqi ganti baju. Kalau dia mau main ke tempat Ibu, biarkan saja. Aku langsung ke kantor.”

“Baik, Bu. Terima kasih,” wajah Yayah tampak cerah karena mendapat pula daster baru.

“Oh, iya, itu pizza-nya yang kecil buat kamu. Yang besar buat Bapak sama Ibu. Tolong, yang besar kamu masukkan kulkas dulu.”

“Baik, Bu.”

Mai lekas berjalan menuju ke pavilyun di sebelah rumah mungilnya. Silvi dan Noni menyambutnya dengan ucapan selamat siang, yang dibalas Mai dengan ringan.

“Bagus raportnya Qiqi, Mbak?” tanya Silvi dengan nada antusias.

“Baguslah...,” senyum Mai. “Kata gurunya, nilai Qiqi tertinggi di kelasnya.”

“Whoaaa... Hebat!” Silvi mengacungkan kedua jempol.

Mai meneruskan langkah menuju ke ruangan kantornya dengan bibir tetap mengulum senyum. Qiqi-nya memang benar-benar luar biasa. Setidaknya, sejak awal kehadirannya selalu jadi yang luar biasa di hidup dan hati Mai.

“Mbak...”

Mai menoleh sambil membuka pintu ruangan kantornya. “Ya, Non?”

“Ng... Ada yang saya mau bicarakan dengan Mbak Mai,” ucap Noni lirih. “Mbak Mai ada waktu?”

Mai mengerutkan kening sekilas.

“Boleh...,” angguknya kemudian. “Asal jangan ngomongin soal salah kirim saja...”

Ucapan Mai yang begitu kental bernada canda itu seketika membuat nyali Noni menciut. Tapi sudah telanjur. Ia tak bisa mundur lagi.

* * *

Suara ketukan di pintu membuyarkan keheningan yang sempat tercipta dalam jeda yang cukup panjang itu.

“Ya? Masuk!”

Yayah melongokkan kepala melalui sela pintu yang dibukanya.

“Bu, maaf, ganggu,” wajah Yayah terlihat ragu-ragu. “Itu... Mbak Qiqi lagi pilih-pilih bonekanya, katanya mau disumbangkan. Apa benar, Bu?”

“Oh...,” Mai mengangguk. “Iya, tolong, kamu bantu, ya? Carikan beberapa kardus bekas yang bersih di MM.”

“Baik, Bu,” senyum Yayah seraya mengundurkan diri.

Begitu pintu tertutup lagi, tatapan Mai kembali jatuh pada Noni. Yang ditatap hanya bisa menunduk dalam. Mai menghela napas panjang.

“Coba tawarkan padanya untuk memilih asesori yang lain,” gumam Mai. “Bilang padanya, tak perlu menambah uang kalau harga pilihan barunya lebih mahal. Kalau dia menolak, tawarkan opsi mengembalikan uangnya secara utuh dulu sambil kita berusaha memperoleh lagi pesanannya. Nanti kalau sudah kita peroleh, akan kita kirimkan padanya. Gratis. Sebagai wujud permintaan maaf dan itikad baik kita.”

“Kalau tidak?” Noni masih terlihat gelisah.

“Kita pikirkan lagi nanti. Masih ada tenggat waktu tiga minggu, kan?”

Noni mengangguk. Dengan takut-takut, diangkatnya wajah dan ditatapnya Mai.

“Mbak Mai... nggak marah?”

Mai tertegun sejenak. Tapi diulasnya juga senyuman tipis.

“Kasus seperti ini, itu salahnya siapa?”

“Saya, Mbak,” Noni tertunduk lagi. “Sekali lagi, saya minta maaf yang sebesar-besarnya.”

Mai mengangguk. “Kamu sengaja melakukannya?”

“Tentu saja tidak, Mbak,” dengan cepat Noni mengangkat wajahnya. “Saya sama sekali nggak sengaja. Tapi dalam hal ini, saya memang kurang teliti. Dan saya akan berusaha keras untuk tidak mengulanginya lagi. Janji.”

“Kamu menyadari kesalahanmu, tidak?”

“Iya, Mbak, sepenuhnya.”

“Ya, sudah,” senyum Mai. “Kamu tidak sengaja, kamu kurang teliti, kamu sepenuhnya menyadari kesalahanmu, kamu berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, kamu sudah minta maaf, dan kamu berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik. Itu sudah lebih dari cukup. Yang penting, selesaikan apa yang harus diselesaikan. Kepuasan pelanggan itu tetap yang utama.”

Noni menarik napas lega. Sekali lagi ia minta maaf dan mengucapkan terima kasih, kemudian mengundurkan diri dari hadapan Mai.

Mai menghembuskan napasnya keras-keras begitu pintu kantornya tertutup kembali. Hilang sudah mood-nya untuk merangkai kalung bertema etnik yang sudah direncanakannya sejak kemarin. Daripada memaksakan diri dan hasilnya tak sesuai keinginan, ia memilih untuk menundanya sejenak.

Ia mengalihkan waktunya dengan memeriksa email yang masuk. Ada beberapa dari supplier NitNit dan MM. Kebanyakan menyatakan bahwa pesanan sudah siap untuk dikirim. Itu tandanya ia harus transfer 50% dari total harga barang yang sudah dipesannya. 50%-nya lagi biasanya ia lunasi bila pesanan sudah sampai di tangannya dalam kondisi mulus tanpa cacat, sesuai dengan perjanjian awal.

Segera saja ia sibuk merekapitulasi semua kewajibannya. Dan dilanjutkan sibuk dengan aplikasi e-banking untuk menyelesaikan semua pembayaran itu.

* * *

Noni dengan pasrah membiarkan telinganya mendengar suara cempreng itu ngeyel dari seberang sana.

“Pokoknya, ya, Mbak, saya maunya kalung dan liontin itu. Saya bayar. Nggak mau gratisan. Nggak mau yang lain, kecuali kalau nanti soal ini selesai dan saya masih berniat belanja-belanja lagi di NitNit. Paham?”

“Iya, Mbak,” jawab Noni dengan suara rendah.

“Tahu, nggak, sih? Pertama kali saya lihat kalung dan liontin itu, saya sudah merasa kayak soulmate. Makanya cepat-cepat saya pesan, saya lunasin. Tapi nyatanya? Saya kecewa berat lho, Mbak! Paham?”

“Iya, Mbak,” Noni mengangguk diam-diam.

Deadline-nya tetap, ya! Akhir bulan ini. Kayaknya udah, deh, saya nggak mau pakai polisi-polisi segala. Saya masih percaya itikad baik NitNit. Apalagi responnya cepat kayak gini. Tapi saya tetap mau barang yang saya pesan itu balik. Itu saja. Paham?”

“Iya, Mbak,” ucap Noni untuk kesekian kalinya.

Dan Noni menghela napas lega ketika pembicaraan itu berakhir. Silvi menatapnya sambil tersenyum. Senyum prihatin, bukan mengejek.

“Gimana?”

“Dia melunak,” jawab Noni, dengan wajah sedikit lebih cerah. “Nggak mau bawa-bawa polisi lagi. Dia cuma mau pesanannya sampai ke tangan dia.”

“Hm...,” Silvi manggut-manggut. “Untung Mbak Mai nggak marah.”

“Justru karena Mbak Mai nggak marah, aku jadi merasa lebih nggak enak lagi, Mbak,” Noni menyandarkan punggungnya dengan wajah lelah.

“Ya, sudah. Itu,” tunjuk Silvi, “pesanan kapan mau di-pack?”

“Iya, sekarang,” Noni buru-buru menegakkan punggungnya.

“Sini, aku bantuin check. Aku lagi nggak banyak kerjaan hari ini.”

“Terima kasih, Mbak!”

Sejenak kemudian, keduanya sudah sibuk mencocokkan pesanan dengan data pemesan. Noni sampai tiga kali memeriksa ulang sebelum mengemas masing-masing pesanan dengan rapi, sekaligus menempelkan alamat pemesan yang sudah disiapkan Silvi.

* * *

“Qi... Kamu sudah makan?”

Qiqi menoleh. Senyumnya terulas begitu melihat sang nenek masuk ke dalam kamar.

“Lho, itu bonekanya yang kecil-kecil mau diapakan, Qi?” Hening mengerutkan kening. “Kok, dimasukkan ke dalam kardus?”

“Ini, Nek, mau dikasih ke Oma Amey. Sekalian sama baju-baju Qiqi yang sudah sempit.”

“Oh...,” Hening manggut-manggut. “Nggak sayang?”

Qiqi menggeleng. “Nanti juga kalau Qiqi ingin boneka lagi, pasti dibelikan sama Mama. Kasihan temen-temen Qiqi yang di Oma Amey, Nek. Mainannya cuma sedikit. Ini Qiqi satu orang saja punya banyak begini.”

Hening mengelus kepala Qiqi, dengan leher tercekat keharuan yang sangat. Betapa Qiqi sungguh sempurna dalam ketidaksempurnaannya.

“Nenek masak soto ayam kesukaan Qiqi,” gumam Hening. Berusaha menahan getar dalam suaranya. “Makan, yuk!”

“Masih kenyang, Nek. Nanti saja. Tadi Qiqi diajak makan pizza sama Mama.”

“Oh... Lho, Nenek nggak dibawain pizza-nya?”

Qiqi menoleh ke arah Yayah yang tengah membenahi kardus. “Pizza buat Nenek sama Kakek mana, Mbak?”

“Ada di kulkas, Mbak, Bu. Mau diambil sekarang?”

“Biarkan dulu, Yah. Bapak juga belum pulang,” senyum Hening.

“Nek, kok, nggak tanya raport Qiqi, sih?” Qiqi kemudian menggelendot manja pada Hening.

“Ih! Ngapain tanya?” Hening mengernyitkan alisnya sembari mencolek ujung hidung Qiqi yang mungil dan mancung. “Nenek sudah tahu kalau raport Qiqi pasti bagus.”

Qiqi terkekeh dalam pelukan Hening. Tapi sejenak kemudian keduanya sudah tenggelam dalam keasyikan mengamati dan membicarakan isi raport Qiqi. Sesekali keduanya tertawa. Sesekali keduanya berpelukan.

“Jadi...,” Hening mengelus kepala Qiqi untuk kesekian kalinya. “Qiqi mau hadiah apa dari Kakek sama Nenek?”

“Ng... Apa, ya?” Qiqi berlagak berpikir. “Waktu itu Kakek bilang katanya mau belikan Qiqi piano kalau nilai Qiqi banyak 9 sama 10-nya. Gimana, dong, Nek?”

Hening tertegun tiba-tiba.

* * *



Ilustrasi : www.ebay.com

9 komentar:

  1. Mb Lis tangan kirie Qiqi .... ?
    Ouch ....
    Bener prasaanku.
    Ada sing laen gek crita ini.
    Lanjut mb.
    Aq setia menunggu.

    BalasHapus
  2. lho ya...piano kuwi abot lho mbak xixixi...lanjut mbake :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Kucing ketiban piano iso langsung penyet yo, Mas... 😁

      Hapus
  3. Keren sekali..mbak..skrg menang lagi musim ol shop..mbak Lis .emang inspiratif

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini yang super keren Mas Suhe, Mbak. Karena ide soal olshop dsb itu murni dari Mas Suhe 😊

      Hapus