Selasa, 17 Januari 2017

[Cerbung] Affogato #3-2








Sebelumnya  



* * *


Sebelum menghidupkan mesin mobil, Prima mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja. Ia menoleh sekilas ke arah Navita.

“Sebentar, ya, Vit. Aku telepon anakku dulu.”

“Silakan, Pak.”

Prima menempelkan ponsel ke telinganya sesudah menyentuh beberapa bagian layar. Sambil menunggu jawaban, ia menghidupkan mesin mobil dan menyalakan AC.

“Halo...”

“Ya, Mel. Mbak Livi sudah pulang?”

“Belum, Pa. Lagi jalan. Baru saja WA-an sama aku. Diantar pulang boss-nya.”

“Oh, ya? Eh, kamu sudah makan?”

“Belum, Pa. Aku tunggu Mbak Livi saja.”

“Mau Papa bawakan makanan? Papa mau mampir makan dulu ini, Mel.”

“Nggak usah, Pa. Ada makanan, kok. Tadi Bibik masak soto.”

“Oh... Ya, sudah. Kamu baik-baik di rumah, ya? Love you...”

“Love you too. Papa hati-hati di jalan, ya?”

“Oke!”

Prima meletakkan ponselnya di atas konsol tengah, dan mulai meluncurkan mobilnya keluar dari basement.

Dalam hati, Navita bersyukur karena tidak harus nebeng Rio hingga ke pangkalan angkot. Ia juga sangsi akan cepat mendapat taksi dalam kondisi hujan begini. Dan diam-diam ada debar aneh dalam hatinya.

Sedikit banyak, Navita tahu bahwa Prima Arbianto adalah ayah yang sangat baik bagi putra-putrinya, sekaligus suami yang sempurna di mata istrinya. Ia pernah iseng membaca artikel Arlena Arbianto di BlogSip, karena sempat heboh juga di kalangan rekan-rekan kerjanya yang punya hobi nge-blog. Profile picture Arlena terlihat sangat cantik sekaligus sexy. Sepaket lengkap dengan kecerdasannya mengolah topik apa pun menjadi sebuah artikel yang berkemasan menarik, meskipun sebenarnya isinya biasa-biasa saja. Dan sebenarnya, Navita juga merasa ragu apakah benar ada rumah tangga sesempurna itu.

Tapi melihat Pak Prima...

Ia sudah lama mengagumi Prima. Laki-laki pendiam berusia 49 tahun yang sikap kebapakannya sangat kental itu sudah menjadi atasannya sejak ia masuk ke divisi HRD perusahaan ini empat tahun lalu. Sikap sabar dan santun yang selalu ditunjukkan Prima tak pernah menjadi sandungan untuk tetap tegas memegang prinsip-prinsip yang harus ditegakkan di perusahaan itu. Membuatnya disegani dengan caranya sendiri.

“Kita mampir makan dulu, ya, Vit.”

Gumaman Prima menyentakkan kesadaran Navita. Jam digital di dashboard menunjukkan angka 06:19 PM. Dan mereka baru saja masuk ke jalan, langsung disambut oleh arus lalu lintas yang padat merayap.

“Sekalian ucapan terima kasihku karena kamu sudah membelikanku makan siang tempo hari,” sambung Prima.

“Oh... Eh... Aduh, Bapak masih saja ingat hal begituan.”

Prima tertawa ringan. Tawa yang langsung memporakporandakan hati Navita.

Prima kemudian membelokkan mobilnya ke area parkir sebuah restoran cepat saji terdekat. Kira-kira 200 meter jauhnya dari kantor. Beberapa menit kemudian, keduanya sudah duduk berhadapan sambil menikmati isi nampan masing-masing.

“Ibu nggak apa-apa, Pak, kalau Bapak makan di luar begini?’ celetuk Navita tiba-tiba.

“Nggak apa-apa,” Prima tersenyum sambil menggeleng. “Toh, biasanya juga makan di rumah kalau lagi nggak lembur.”

Baru kali ini, Prima bisa sedikit banyak mengamati sosok Navita dari jarak dekat. Ada semburat kelelahan pada wajah manis Navita. Tatap matanya tampak sedikit sayu. Tapi tetap ada cahaya yang berpendar di dalamnya.

“Kamu di sini kost, kan, ya, Vit?” tanya Prima dengan nada ringan.

“Enggak, Pak,” Navita menggeleng. “Saya masih tinggal sama ibu saya.”

“Oh... Kirain kost. Kamu berapa bersaudara?”

“Cuma saya, Pak.”

“Tunggal?” Prima menegaskan.

Navita mengangguk.

“Ayahmu kerja di mana?”

Seketika ada mendung menaungi wajah Navita. “Sudah nggak ada, Pak.”

“Oh...,” Prima merasa bersalah. “Maaf, Vit. Aku nggak tahu.”

“Nggak apa-apa, Pak,” Navita berusaha untuk tersenyum. “Ayah saya meninggal seminggu setelah saya lahir. Ketabrak mobil waktu berangkat kerja.”

Astaga... Prima menatap Navita dengan wajah prihatin.

“Ibumu kerja?”

“Enggak, Pak,” Navita menggeleng. “Ibu buka warung nasi di rumah.”

“Oh...,” Prima manggut-manggut.

Selanjutnya obrolan mereka hanya berkisar pada masalah pekerjaan, tak lebih. Prima berhenti mengorek kehidupan Navita lebih lanjut, dan berusaha untuk tidak lagi keluar dari jalur ke arah pribadi. Ia masih mengingat dengan jelas mimpinya semalam. Sekaligus ucapan Nando.

Dan diam-diam, ia merasa ngeri karenanya.

* * *

Hampir satu setengah jam kemudian, barulah Luken menghentikan mobilnya di depan rumah Olivia.

“Mari, Pak, mampir,” ucap Olivia manis. “Nge-teh dulu.”

Luken bimbang sejenak. Ia butuh ke toilet, sebenarnya. Maka ia memutuskan untuk mengangguk.

“Boleh numpang ke toilet, ya?” senyumnya.

“Oh, silakan, Pak,” Olivia menyambut senyum itu dengan senyum yang lebih lebar lagi.

Carmela menyambut kedatangan mereka dengan wajah gembira. Disalaminya Luken dengan sikap sopan tapi hangat. Olivia kemudian menyilakan Luken untuk ke kamar mandi. Carmela mengikuti langkah mereka.

“Sana, Mbak Livi ganti baju dulu. Aku yang bikinin minum,” ujar Carmela, begitu Luken menghilang ke dalam kamar mandi.

Olivia mengangguk sambil naik ke lantai dua. Sekadar untuk melepas blazer, mengganti high heels-nya dengan sandal flat, dan membasuh wajah di kamar mandi atas. Digantinya juga blusnya yang agak tipis dengan blus lain. Ketika ia kembali ke ruang tamu, dilihatnya Carmela dan Luken tengah berbincang akrab. Luken tampak bisa meladeni keceriwisan remaja seperti Carmela.

“Bapak belum makan, ya?” celetuk Carmela tiba-tiba. “Makan di sini saja, ya, Pak? Mela siapin, nih.”

“Hah? Nggak usah, Mel,” Luken buru-buru menolak, walaupun perutnya sudah mulai berontak. “Bikin repot saja.”

“Enggaklah, Pak,” Carmela mengayunkan tangan ke depan wajah. “Tadi dimasakin banyak, kok, sama Bibik. Ada soto ayam lengkap, lho! Ya? Mela siapin, ya?”

Luken bimbang sejenak. Dan rupanya Olivia menangkap ekspresi itu. Ia tersenyum.

“Bapak sudah antar saya dengan selamat sampai rumah,” ucapnya halus. “Seharusnya sekarang Bapak sendiri sudah enak-enak di rumah, sudah makan, istirahat. Tapi Bapak masih di sini, masih cukup jauh dari rumah. Mari, Pak, makan dulu di sini. Hanya makanan rumahan biasa. Itu juga yang memasak ART kami. Saya harap Bapak berkenan.”

“Jujur, aku mau banget,” senyum Luken. “Asal nggak merepotkan.”

“Nggak merepotkan,” sahut Carmela cepat sambil bangkit dari duduknya. “Tunggu sebentar, Mela siapin dulu.”

Senyum Luken melebar begitu Carmela menghilang ke dalam. Ditatapnya Olivia.

“Adikmu bawel sekali. Lain banget sama kamu.”

“Oh... Hehehe... Maaf, Pak. Bapak keberisikan ya?”

“Enggak... Santai saja,” Luken tergelak. “Lucu, kok. Aku suka.”

Olivia meringis geli.

* * *

“Terima kasih banyak, Pak,” ucap Navita begitu Prima menepikan mobilnya di ujung gang tempat Navita tinggal. “Saya ingin menawari Bapak untuk mampir, tapi mobil Bapak nggak bisa masuk.”

“Oh, nggak apa-apa,” Prima menggeleng sambil tersenyum. “Rumahmu jauh masuknya?”

“Enggak, Pak. Cuma tiga rumah dari ujung sini.”

“Oh... Ya, sudah, aku langsung jalan, ya? Sampai ketemu besok.”

“Baik, Pak. Terima kasih.”

Hujan sudah berhenti menitik. Hanya menyisakan hembusan angin dingin. Navita menunggu hingga mobil Prima berlalu sebelum melangkah memasuki gang. Sambil berjalan pelan, ia memikirkan apa yang baru saja dilakoninya.

Prima terasa sekali menjaga jarak aman dengannya. Mungkin begitu juga sikapnya terhadap staf perempuan yang lain. Bukan suatu sikap tinggi hati atau menganggap rendah bawahannya. Bukan seperti itu! Hanya saja...

Navita mendesah.

Rasa-rasanya perasaannya sudah mulai menggelinding ke arah yang salah. Kesempatan untuk makan bersama dengan duduk berhadapan seperti tadi sudah membuatnya nekad untuk mengambil kesempatan mengamati dan menyerap sosok Prima, dan mengendapkan bayangan laki-laki itu sekaligus dalam benak dan hati.

Di matanya, Prima mutlak laki-laki yang sangat menarik. Sudah tidak muda lagi, memang. Tapi justru di situlah letak sisi menawannya. Sudah ada semburat keperakan di sela-sela rambut hitam Prima. Sosoknya masih tetap terlihat bugar dan tegap walaupun usianya sudah mendekati angka 50. Belum lagi ekspresi wajahnya yang selalu terlihat segar dan teduh. Begitu menenteramkan hati.

Ah, seandainya...

Navita menghela napas panjang sambil membuka pintu pagar rumahnya. Minarti tampak bangkit dari duduknya di teras.

“Wah, sampai jam segini, Vita?” Minarti menatap putri tunggalnya dengan khawatir.

Sekilas Navita melihat ke arah arlojinya. Sudah hampir pukul setengah sembilan.

“Iya, Bu, mampir makan dulu tadi,” Navita mengambil tangan kanan Minarti dan mencium punggung tangan itu.

“Memangnya kamu naik apa?” Minarti mengikuti langkah Navita, masuk ke dalam rumah.

“Diantar Pak Prima, Bu,” jawab Navita sambil duduk di depan meja makan mungil mereka. Melepas sepatunya. “Tadi hujannya deras banget. Mau nebeng teman naik motor ke pangkalan angkot, temanku nggak mau. Bukannya kenapa-napa, cuma dia nggak mau aku kebasahan. Aku disuruh pesan taksi. Lagi ngomong, Pak Prima nongol. Aku disuruhnya ikut dia. Ya, sudah...,” Navita mengangkat bahu. “Diajak mampir makan segala.”

“Oh... Ya, sudah. Kamu mandi dulu. Itu, Ibu sudah rebuskan air buat mandi. Didihkan lagi kalau kurang panas.”

Navita menyalakan kompor untuk memanaskan lagi sepanci besar air.

“Ibu sudah makan?”

“Sudah,” Minarti mengangguk.

“Tadi sama Pak Prima ditawari untuk sekalian membungkus fried chicken buat Ibu, tapi nggak enaklah. Jadinya kutolak. Segan, Bu.”

“Iya, nggak apa-apa,” senyum Minarti. “Sudah untung kamu diajak makan.”

Navita mengangguk.

* * *

Prima mengerutkan keningnya sedikit ketika melihat ada sebuah mobil SUV berwarna gelap parkir tepat di depan pintu pagar yang terbuka lebar. Menghalanginya untuk melajukan mobil secara langsung ke garasi. Tapi ia kemudian ingat, tadi Carmela mengatakan bahwa Olivia diantar pulang oleh boss-nya. Maka ia menghentikan city car-nya di belakang SUV itu. Dengan menenteng tas laptopnya, ia kemudian melintasi carport.

“Selamat malam...,” dengan bibir mengembangkan senyum, ia melangkah masuk melalui pintu depan yang terbuka lebar.

“Eh, Papa,” mata Olivia berbinar menatapnya. “Kok, nggak kedengaran suara mobilnya?”

“Oh, itu...,” Prima mengembangkan senyumnya sambil menatap laki-laki tinggi tegap yang sudah berdiri dan mengulurkan tangan ke arahnya.

“Selamat malam, Pak,” Luken menjabat tangan Prima. “Saya Luken, tadi mengantar Olivia pulang.”

“Oh, ya,” Prima mengangguk. “Saya Prima, ayah Livi. Terima kasih banyak, Pak Luken. Maaf, merepotkan.”

“Enggak, Pak,” Luken menggeleng cepat. “Saya justru berterima kasih karena sudah dijamu dengan sangat baik di sini.”

“Oke, silakan diteruskan,” Prima membuka telapak tangannya.

“Saya justru mau pamitan, Pak.”

“Lho, jadi buru-buru?” senyum Prima lagi.

“Sudah malam, Pak,” jawab Luken dengan sangat sopan. “Saya permisi dulu.”

“Oh, begitu... Sekali lagi, terima kasih karena sudah mengantarkan Livi.”

“Sama-sama, Pak.”

Olivia dan Carmela mengantarkan Luken hingga ke depan pagar. Di sana ia tersenyum karena melihat mobil ayahnya tidak bisa masuk. Luken rupanya menyadari hal itu.

“Wah, mobilku menghalangi mobil papamu, Liv,” ujarnya dengan nada menyesal.

“Hehehe... Nggak apa-apa, Pak. Santai saja,” sahut Livi. Gadis itu menengok ke arah Carmela. “Mel, minta kunci mobil Papa, biar sekalian Mbak Liv masukin ke garasi.”

Carmela pun menuruti ucapan Olivia.

“Mel, makasih makannya tadi, ya!” seru Luken sebelum masuk ke mobilnya.

Gadis itu berbalik sambil mengacungkan jempolnya sebelum melanjutkan langkah ke arah rumah.

Luken menurunkan jendela sebelah kiri.

“Liv, sampai ketemu besok pagi, ya?” senyumnya.

“Ya, Pak. Bapak hati-hati di jalan,” Olivia membungkukkan badannya sedikit. “Terima kasih banyak.”

“Sama-sama, Liv.”

Olivia melambaikan tangannya ketika mobil Luken mulai melincur dan berlalu. Bersamaan dengan itu, serenceng kunci sudah terulur di depannya. Olivia menerimanya dan segera mengurusi mobil Prima.

* * *

Prima membiarkan air hangat dari shower membasahi seluruh tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seolah-olah dengan begitu, bayangan Navita dipaksanya untuk meluruh dari dalam benaknya.

Astaga, Prim... Dia seusia Livi!

Prima mengerjapkan mata.

Dan dia tidak lebih cantik daripada Arlena!

Prima menggosok rambutnya dengan gusar, hingga air terciprat ke mana-mana. Beberapa saat kemudian ia menyudahi acara mandinya. Kepalanya terasa sedikit pening. Tapi setelah berpakaian, ia tetap keluar dari kamar dan turun ke ruang tengah. Dilihatnya Olivia masih duduk di sofa dan Carmela duduk berselonjor di atas karpet, di dekat kaki Olivia. Prima pun duduk di sebelah Olivia. Secangkir lemon tea hangat tersodor di depannya.

“Makasih, Liv,” gumamnya.

Disesapnya isi cangkir itu dengan nikmat. Carmela mengganti posisi. Menyenderkan kepalanya di kaki Prima. Tangan Prima terulur, membelai kepala Carmela.

“Tadi ada cerita apa di sekolah, Mel?” tanyanya lembut.

“Biasa saja,” jawab Carmela, menoleh sekilas. “Nggak ada yang istimewa.”

“Hm...” Prima menoleh ke arah Livi. “Kok, bisa diantarkan Pak Luken itu, gimana ceritanya?”

“Nggak dapat taksi, aku, Pa. Biasanya kayak gitu juga kan kalau hujan. Yang taksi reguler juga kosong di pangkalan dekat kantor. Tadinya, sih, aku minta Pak Luken turunkan aku di halte busway, tapi sama dia malah dibablasin sampai rumah. Makanya aku WA Mela, kuminta siapkan makanan.”

“Mau dia makan di sini?”

“Malah habis banyak, Pa,” sahut Carmela.

“Oh... Hehehe...”

Derum motor terdengar memasuki garasi. Olivia sekilas menengok ke arah jam dinding. Sudah lewat sedikit dari pukul setengah sepuluh. Dan sejenak kemudian Maxi muncul dengan wajah lelahnya.

“Sudah makan, Max?” sambut Olivia.

Maxi menggeleng. Setelah menyapa Prima, ia segera melangkah ke arah tangga.

“Aku siapkan makanan, ya, Mas?” tawar Carmela, setengah berseru.

Sejenak Maxi menghentikan langkahnya. Ditatapnya Carmela.

“Nggak usah, Mel. Nanti aku siapkan sendiri. Aku mau mandi dulu.”

Carmela mengangguk sambil mengacungkan jempol.

Prima tercenung sambil menatap kosong ke arah layar televisi.

Anak-anak yang manis... Meskipun kurang perhatian mamanya...

Ia mengerjapkan mata sambil menghela napas panjang.

“Capek, Pa?”

Sebelum ia sempat menjawab, tangan Carmela sudah memijat kakinya dengan sangat lembut.

“Kamu nggak bobok, Mel? Sudah jam segini,” Prima kembali mengusap kepala Carmela.

“Belum ngantuk,” sahut Carmela sambil terus memijat kaki Prima.

Olivia bangkit dari duduknya, kemudian melangkah ke dapur. Dipanaskannya kuah soto di dalam panci sambil membuat secangkir besar lemon tea hangat. Kuah soto mendidih tepat ketika Maxi muncul di dapur.

“Sudah kupanasi kuahnya,” ujar Olivia. “Ini tehmu.”

Maxi menggumamkan terima kasih sembari mengambil mangkuk dan mengisinya dengan nasi. Olivia meninggalkannya dan kembali ke ruang tengah. Maxi kemudian menyusul dengan semangkuk nasi soto ada di tangannya.

“Sampai jam segini, kok, belum makan, Max?” tegur Prima.

“Nggak sempat, Pa,” Maxi meletakkan mangkuknya di atas meja, kemudian duduk lesehan di atas karpet. “Habis kuliah diseret temen-temen ke perpus, cari bahan buat paper.”

Carmela menguap. Olivia menowel bahu si bungsu itu.

“Bobok, yuk! Mbak Liv juga mau bobok.”

Carmela menguap sekali lagi sambil menerima kecupan dari Prima di puncak kepalanya. Olivia merangkul bahu Carmela dan menggiringnya ke kamar mereka di lantai atas. Membiarkan Prima dan Maxi membuka percakapan di ruang tengah.

* * *

“Masih ingat pulang, rupanya, Ma?”

Suara dingin itu menyambut Arlena begitu sebelah kakinya menginjak area ruang tengah. Ia menoleh dan mendapati Maxi yang duduk berselonjor di sofa tengah menatapnya tajam.

“Kamu bikin kaget Mama saja,” gerutu Arlena lirih.

Pemuda itu mendengus dan mengalihkan tatapannya ke arah televisi.

“Kayak nggak punya keluarga saja,” gumam Maxi pedas.

“Papamu saja nggak pernah cerewet,” balas Arlena sengit.

“Ya, karena Papa sudah capek lihat Mama. Ditegur juga nggak mempan.”

“Berisik!”

Arlena melepas high heels-nya dan buru-buru menapaki tangga. Maxi menggelengkan kepalanya dengan gusar. Diingatnya obrolannya dengan Prima beberapa saat lalu.


“Memangnya Papa nggak pernah menegur Mama? Pulang malam terus. Nggak ingat punya suami sama anak yang harus diurusi,” gerutu Maxi.

Prima menggeleng dengan tatapan kelam. “Sudah pernah, Max. Hasilnya malah ribut.”

“Papa terlalu sabar,” Maxi menatap Prima dengan gemas.

“Max, mamamu itu nggak bisa dikasari. Malah makin menjadi nantinya.”

Maxi mendengus.


Sejujurnya, ia sudah bosan menjadi obyek artikel Arlena. Ia risih. Apalagi ketika ia mulai dikenal sebagai anak Arlena Arbianto, terutama di kalangan teman-temannya yang suka nge-blog di BlogSip. Tidak sampai dijuluki ‘anak mami’, memang, tapi pandangan kagum mereka terhadap Arlena sudah mulai membuatnya muak.

Dan seutuhnya ia memahami ayahnya. Seorang yang sangat sabar tanpa kehilangan ketegasan terhadap anak-anaknya. Tapi menghadapi Arlena, seorang Prima Arbianto terkesan kalah dan melempem. Sikap yang terkadang tak bisa ia mengerti, walaupun ia tak pernah kehilangan rasa segan terhadap ayahnya itu.

Dengan gusar, ia meninju sofa dengan kepalan tangannya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



6 komentar:

  1. Aq bayangno Arlena itu ayu tapie super megelno polae munafik wakwakwakwak
    Jempol pisan cerbung iki mb Lis.

    BalasHapus
  2. Kereeeen...semakin penasaran aku mbak Lis..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga nggak mengecewakan ya, Mbak... 😊😊😊

      Hapus