Senin, 23 Januari 2017

[Cerbung] Affogato #5-1








Sebelumnya  



* * *


Lima


Bip bip bip... Bip bip bip... Bip bip bip...

Bunyi dengan ritme teratur itu membuat mata Olivia mengerjap. Tangannya kemudian meraba-raba ke sekitar bantal, berusaha menemukan sumber bunyi itu. Ketika sebuah ponsel tergenggam di tangannya, seketika itu juga bunyi alarm berhenti. Olivia menguap sambil meregangkan seluruh tubuhnya.

Ia menengok ke arah jendela. Menemukan bahwa keadaan di luar sana sudah mulai terang. Dengan mata menyipit, ia melihat ke arah layar ponsel. Pukul enam lebih sedikit.

Hari Sabtu selalu memberi kelonggaran bagi Olivia untuk bangun lebih siang. Seisi rumah libur, kecuali Carmela yang punya jadwal tetap mengikuti ekskul mulai pukul delapan pagi, dan Muntik yang baru datang pukul sembilan nanti.

Dengan malas, Olivia menarik tubuhnya dari kehangatan kasur. Sejenak ia duduk menjuntaikan kaki di tepi ranjang. Menguap sekali lagi sambil mengucek mata dan menggeliatkan punggungnya. Setelah dirasanya cukup punya daya untuk membuka mata lebih lebar lagi, ia pun masuk ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi.

Setelah selesai, ia pun keluar dari kamar sambil menggelung rambut. Dilihatnya pintu kamar Maxi dan Carmela sudah terbuka semua, tanda penghuninya sudah memulai aktivitas. Benar saja, begitu ia menginjak anak tangga terbawah, tercium aroma sedap telur yang digoreng dari arah dapur. Ke arah itulah Olivia kemudian melangkahkan kakinya. Tapi apa yang dilihatnya di dalam sana membuatnya tertegun.

Carmela tampak duduk manis di depan island. Menghadapi segelas susu coklat, beberapa lembar roti tawar kosongan di atas sebuah piring, dan tampak sedang menunggu sesuatu. Maxi berdiri di depan kompor, kelihatan cukup sibuk. Dan beberapa saat kemudian pemuda itu berbalik, meletakkan sebuah telur mata sapi di atas selembar roti tawar panggang yang sudah diolesi mayonaise dan dialasi daun selada. Dengan cekatan Maxi kemudian membubuhkan saus sambal di atas telur mata sapi dan menutupnya dengan selembar roti panggang yang lain. Disodorkannya piring kecil berisi sandwich siap makan itu ke hadapan Carmela.

“Dah, kamu makan dulu. Mas mau mandi,” ucap Maxi sambil mengecup ringan puncak kepala Carmela yang menggumamkan ucapan terima kasih.

Pemuda itu berbalik dan mendapati Olivia masih berdiri di ambang pintu dapur. Tampak diam tercenung.

“Mbak Livi mau sarapan juga?” tanya Maxi dengan wajah terlihat serius. “Tapi sebentar, ya? Nanti aku buatkan. Aku mandi dulu. Takut nggak keburu sebelum antar Mela.”

Olivia buru-buru menggeleng. “Aku bikin sendiri saja,” senyumnya.

Maxi mengangguk sambil berlalu. Tak lupa memberikan kecupan yang sama di puncak kepala Olivia yang hanya setinggi bahunya. Olivia menatap Maxi hingga sosok itu menghilang di tangga. Ia kemudian duduk di dekat Carmela yang asyik menikmati sarapan.

“Enak?” senyum Olivia.

Carmela nyengir. Ia kemudian mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah Olivia.

“Enakan kalau Mbak Livi atau Papa yang bikin, sih...,” bisiknya. “Mas Maxi suka kelupaan kasih garam di telurnya. Tapi jangan sampai Mas Maxi tahu aku bilang begini. Nanti dia nggak mau bikin sarapan lagi buat aku.”

Olivia terkikik di balik rasa harunya. Tanpa setahunya, ternyata sudah beberapa minggu belakangan ini Maxi membuatkan sandwich telur mata sapi kesukaan Carmela untuk sarapan. Biasanya Carmela sendiri yang meramu sarapannya di hari Sabtu, atau Prima kalau papa mereka itu sudah bangun.

Olivia kemudian bangkit dari duduknya untuk membuat secangkir kopi. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.

“Oh, ya, semalam Pak Luken titip sesuatu buat kamu,” ucapnya sambil membawa cangkir kopinya kembali ke island.

“Hah?” Carmela batal menggigit sandwich-nya yang tinggal separuh.

“Sebagai tanda terima kasih karena kamu sudah menyediakan makan malam hari Rabu kemarin,” Olivia mengedipkan sebelah mata.

“Hadeeeh...,” wajah Carmela tampak sedikit tersipu.


Sudah hampir pukul sepuluh malam ketika Luken menepikan mobilnya di depan pintu pagar rumah Olivia. Kepalang tanggung sudah telanjur berbohong pada Arlena, Luken mengajak Olivia ‘mengukur jalan’ seusai makan. Supaya terkesan mereka betul-betul ada acara meeting.

“Wah, kemalaman, ya, Liv?” sekilas Luken menatap Tag Heuer-nya.

Olivia hanya bisa meringis. Sebetulnya ia juga merasa tidak enak terhadap Luken. Tapi tampaknya sang boss cukup santai menghadapi situasi itu.

“Semoga Mela belum tidur,” ujar Olivia.

Luken menjajari langkah Olivia menyeberangi carport. Di tangannya ada kantong kertas berisi tas untuk Carmela. Pintu depan tidak terkunci ketika Olivia mendorongnya pelan-pelan. Rumah itu sepi. Hanya sayup terdengar suara televisi dari ruang tengah.

“Duduk dulu, Pak,” Olivia menyilakan. “Saya panggil Mela, sebentar.”

Luken mengangguk sambil menempatkan diri di atas sebuah sofa panjang. Olivia menghilang ke dalam, tapi kembali lagi tak lama kemudian.

“Mela sudah tidur, Pak,” ucap Olivia dengan wajah menyesal. “Maaf...”

“Oh, ya, sudah,” Luken mengangguk maklum. “Memang sudah malam ini...” Ia kemudian berdiri dan menyodorkan kantong kertas itu pada Olivia. “Kalau begitu aku titip saja, ya? Sekalian aku pamitan. Ada Papa atau Mama?”

“Mm...,” Olivia terlihat ragu sejenak. “Ada Papa, sih. Tapi... Eh, masuk sajalah, Pak.”

Tanpa ragu, Luken kemudian mengekor langkah Olivia. Dan pemandangan yang terpampang di depan mata itu sempat membuatnya tersenyum. Carmela tertidur pulas dalam posisi meringkuk di sofa, dengan kepalanya terletak di atas paha Prima.

“Maaf, Pak,” ucap Prima lirih sambil meringis. “Saya nggak bisa gerak, ini...”

“Oh, iya, Pak,” Luken buru-buru menjabat tangan Prima sambil berbisik, tak ingin membangunkan Carmela. “Saya sekalian mau pamit pulang. Maaf, Pak, sampai malam begini.”

“Iya, nggak apa-apa,” senyum Prima. “Terima kasih, Pak, sudah mengantar Livi pulang.”

“Iya, Pak Prima, sama-sama. Permisi...”


“Huaaa...,” Carmela menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Ketahuan aku bobok sampai ngiler-ngiler...”

Olivia tergelak. Ia kemudian bangkit dari duduknya.

“Sebentar, aku ambil dulu titipannya.”

Di depan pintu dapur, Olivia berpapasan dengan Prima. Laki-laki itu mengangkat alisnya.

“Ada apa? Pagi-pagi sudah meriah ketawa-ketawa?” senyum Prima.

“Hehehe... Mela, tuh, Pa. Semalem epik banget gaya tidurnya,” jawab Olivia sambil meneruskan langkahnya.

Prima tertawa di belakang punggung Olivia. Tapi sedetik kemudian Olivia berbalik.

“Pa, kalau mau kopi, itu punyaku masih utuh. Minum saja.”

“Oke,” angguk Prima.

Dan suasana dapur itu kian meriah ketika Olivia kembali lagi bersama Maxi yang sudah selesai mandi. Apalagi beberapa kali Carmela memekik senang setelah membuka kantung kertas titipan dari Luken.

“Huaaa...! Ini keren! Ini kereeen! Aku sukaaa!”

“Eh, sebentar!” Maxi menyetop kegirangan Carmela. “Bisa diulangi, nggak? Bagusnya direkam, nih! Kasih lihat ke boss-nya Mbak Livi.”

“Haaa! Ide bagus!” Olivia bertepuk tangan.

Maxi mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Bagai sutradara berpengalaman, ia kemudian merekam Carmela yang disuruhnya beraksi kembali. Ekspresi Carmela tetap sama. Natural menunjukkan kegembiraan yang meluap. Cahaya riang wajahnya pun terekam sempurna.

“Kirim ke ponselku, ya, Max,” ucap Olivia dengan mata berbinar.

“Siap!”

Carmela pun segera memindahkan seluruh isi tasnya ke dalam tas baru itu. Semuanya tertawa melihat ulah Carmela.

Menjelang pukul tujuh, mereka membubarkan diri. Rintik hujan yang mulai turun membuat Prima mengulurkan kunci mobilnya pada Maxi.

“Bawa mobil saja, Max, jangan pakai motor.”

Maxi mengangguk patuh sambil merangkul bahu Carmela. Membawa adiknya itu ke garasi untuk diantarkan ke sekolah. Sepeninggal kedua anak itu, Prima tetap melanjutkan obrolannya dengan sang putri sulung sambil menikmati secangkir kopi dan beberapa potong sandwich. Benar-benar melupakan bahwa masih ada lagi satu orang anggota keluarga yang tercecer, yang masih bergelung di bawah kehangatan selimut di dalam kamar.

* * *

Selesai mandi, Arlena segera berdandan. Ada undangan untuk menghadiri sebuah arisan yang diadakan oleh seorang sosialita Jakarta. Kesempatan untuk menawarkan beberapa perhiasan berlian yang masih dimilikinya. Sambil memulaskan riasan di wajahnya, dinikmatinya keheningan itu.

Mendung dan hujan rintik di luar jendela kamar meredupkan suasana di dalam kamar itu. Arlena terpaksa menghidupkan lampu agar riasannya tidak salah alamat dan menjadi sempurna. Ketika ia sedang memulaskan pewarna pipi, pintu terbuka dan Prima melangkah masuk.

“Mau pergi?” tanya Prima sambil melangkah ke kamar mandi.

“Arisan,” jawab Arlena singkat.

Dengan ekor matanya, Arlena menangkap bayangan tubuh Prima menghilang di balik pintu kamar mandi. Sejujurnya, ia merindukan Prima-nya. Prima yang hangat dan penuh cinta. Entah sejak kapan semua kehangatan itu seolah hilang aroma.

Seingatnya, Prima menjadi lebih diam setelah beberapa kali ia menolak keinginan Prima agar mengurangi sedikit kesibukannya. Dan itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Tidak pernah ada pertengkaran hebat atau sejenisnya. Yang ada hanyalah Prima meminta dan mengingatkan dengan nada halus seperti biasa, dan ia menjawabnya dengan nada lebih tinggi. Setelah beberapa kali terjadi hal seperti itu, maka akhirnya Prima memilih untuk diam.

Dan mulai tidak mengacuhkan aku...

Arlena mengoleskan lipstick cair dengan hati-hati di bibirnya.

Dan anak-anak pun ikut menjauh.

Arlena mengedikkan bahu sambil terus berdandan.

Dan aku menemukan duniaku sendiri. Menebus masa muda yang aku belum puas menikmatinya.

Ditatapnya pantulan wajahnya yang sudah jadi lebih cantik dan berona melalui cermin besar itu. Matanya terlihat lebih memikat dengan tambahan bulu mata palsu yang lentik dan menempel sempurna.

Ia menikah dengan Prima saat ia berumur 20 tahun dan Prima 24 tahun. Banyak orang memandang itu usia yang terlalu muda. Tapi ia merasa mantap dengan pilihannya.

Prima sudah menyelesaikan kuliahnya. Sudah mulai bekerja di sebuah kantor perusahaan kimia industri dengan posisi staf biasa dengan masa depan menjanjikan. Gajinya cukup untuk menghidupi sebuah keluarga kecil, termasuk menanggung biaya kuliah Arlena hingga lulus, mencicil sebuah rumah mungil yang kini menjadi kantor Arlena, dan membayar kredit motor untuk dipakai sehari-hari oleh Arlena.

Pada akhir tahun pertama usia pernikahan mereka, Olivia lahir. Membuat Arlena sempat cuti kuliah selama satu tahun untuk mengurusi Olivia. Dan Prima menjelma menjadi ayah yang paling berbahagia sedunia ketika bayi cantik itu lahir. Semua yang bisa dikerjakan, diselesaikan laki-laki itu dengan senang hati. Membuat tugas Arlena sebagai seorang ibu baru menjadi lebih ringan.

Setelah cuti kuliahnya selesai, Arlena kembali ke kampus. Menyelesaikan kuliahnya dengan susah payah. Tepat dua hari setelah ia menyelesaikan sidang skripsi, Maxi lahir. Memiliki sepasang anak balita membuat Arlena segera tenggelam dalam kesibukan di dalam rumah, meskipun dibantu oleh ibunya.

Sesekali bekas teman-teman sekolah dan kuliahnya mengajak hang out. Terutama saat akhir pekan. Prima tak pernah melarang. Bahkan terlihat senang karena itu berarti Prima memiliki waktu sepanjang hari bersama Olivia dan Maxi.

Karir Prima terus meningkat. Memberikan kehidupan yang lebih baik lagi untuk mereka. Setahun setelah mereka pindah ke rumah baru yang lebih besar, Carmela lahir.

Seharusnya kebahagiaan itu sudah lengkap. Pada usia 29 tahun, ia sudah memiliki suami yang baik, anak-anak yang cerdas dan lucu, dan kehidupan dengan taraf lebih dari cukup. Tapi ia selalu melihat ke sisi yang lain. Sisi kosong yang entah terasa sejak kapan.

Diam-diam ia selalu merasa iri melihat teman-teman sebayanya yang masih bebas membangun karir. Bebas menikmati kehidupan sosial yang seolah tak terbatas. Sementara ia hanya berkutat di seputar urusan rumah, suami, anak-anak, dan hanya sesekali saja menikmati me time. Prima masih tetap sama sekali tak pernah membatasi keinginannya untuk menikmati me time itu. Hanya saja, entahlah, sisi kosong itu tetap terasa ada. Bahkan makin luas dari hari ke hari.

Dan pada ujungnya ia telah terjebak. Pada sesuatu yang maya tapi dianggapnya sebagai tempat yang tepat untuk mengisi kekosongan itu. Pada sesuatu yang sudah membuainya sedemikian rupa hingga ia tak tahu kapan harus bangun dan mengakhiri mimpi itu.

Arlena menatap keseluruhan penampilannya di cermin. Ia sudah siap. Terlihat lebih dari cukup layak untuk masuk ke area sosialita. Dan ia pun melangkah. Berlalu dari depan cermin.

Tepat ketika ia menutup pintu kamar dari luar, Prima membuka pintu kamar mandi dari dalam. Keheningan menyergapnya. Membuatnya hanya bisa menghela napas panjang.

* * *

Nyaris setiap hari Sabtu, dagangan Minarti sudah habis sebelum pukul delapan pagi. Sudah banyak pelanggan yang memintanya untuk menambah jumlah porsi nasi uduknya pada saat weekend. Tapi Minarti hanya menanggapinya dengan senyuman. Baginya, semua ini sudah lebih dari cukup. Apalagi saat Navita sudah bekerja dengan gaji yang lebih dari cukup pula. Sebenarnya anak gadisnya itu sudah memintanya untuk berhenti berjualan, tapi Minarti menolaknya dengan tegas. Ia masih cukup kuat untuk menghasilkan uang sendiri walaupun tidak banyak. Ia pun butuh kesibukan. Dan Navita pun terpaksa menyerah terhadap keinginan Minarti.

“Bu, aku nanti mau keluar. Janjian sama Linda dan Selly. Ibu nggak apa-apa kutinggal?” ujar Navita sambil membawa termos nasi berukuran besar yang sudah kosong dari depan rumah ke dapur.

“Pergi saja, Vit,” senyum Minarti. “Ibu juga ada pertemuan PKK jam sepuluh. Habis itu kayaknya mau nengok Bu Sinar. Kamu bawa kunci saja, ya?”

Navita mengangguk.

Setelah teras bersih dan segala perabot kotor di dapur selesai dicucinya, Navita segera masuk ke kamarnya untuk berdandan. Ia memulaskan bedak tipis dan lipstick berwarna nude ke bibirnya. Wajahnya terlihat segar dibingkai rambut hitam kelam sempurna berpotongan bob. Sesudahnya, ia mengganti celana capri dan kaos oblongnya dengan celana jeans biru tua dan blus polos berlengan pendek berwarna merah hati. Terakhir, ia mengganti sandal jepitnya dengan sepasang moccasin suede berwarna hitam. Sebelum beranjak, ia meraih hobo bag-nya yang sewarna dengan sepatu. Sambil menggenggam ponsel, ia kemudian keluar dari kamar. Minarti dijumpainya tengah duduk di depan meja makan, menghadapi buku catatan warung, ditemani segelas besar teh hangat.

“Naik apa?” Minarti mengangkat sejenak wajahnya.

“Nih, mau pesan ojek,” jawab Navita sambil duduk di seberang Minarti.

Minarti menutup buku catatannya. Tatapannya kini jatuh seutuhnya pada wajah Navita.

“Kamu nggak mau beli motor saja, Vit?” tanya Minarti dengan nada halus.

Navita balik menatap ibunya. “Ibu butuh motor?”

“Buatmu,” tegas Minarti, “bukan buat Ibu.”

Navita tersenyum lebar. “Ibu nggak butuh motor, begitu juga aku. Belum butuh, Bu.”

Sehari-harinya memang ada armada jemputan dari kantor Navita. Ia hanya perlu menunggu di depan gang pada jam tertentu di pagi hari, dan turun lagi di tempat yang sama di sore hari. Bila harus lembur, itu artinya ia ketinggalan mobil jemputan, ia bisa pulang naik ojek atau taksi dengan penggantian ongkos transportasi setara taksi pada perhitungan gaji bulan berikutnya. Pada saat akhir pekan atau hari libur pun ia jarang keluar kecuali ada janji dengan temannya atau sengaja mengajak Minarti jalan-jalan.

Motor? Ah, nanti dulu.

Minarti hanya mengangkat bahu sambil meraih gelas tehnya. Navita kemudian sibuk sejenak dengan ponselnya. Sambil menunggu datangnya ojek online yang dipesan Navita, mereka mengobrolkan beberapa hal ringan, termasuk salah seorang tetangga mereka yang harus masuk RS karena terkena demam berdarah.

Hanya dalam hitungan menit, jemputan dari Great-jek sudah datang. Navita berpamitan dengan mencium kedua pipi Minarti sebelum keluar.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

8 komentar: