Minggu, 27 Mei 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #7-3








Sebelumnya



* * *


Mereka datang terlambat. Alex sudah tidak berada di rumah ketika rombongan Seta sampai di Gondang. Pada awalnya Seta dan Mahesa tak mau menjelaskan alasan mereka datang mencari Alex, tapi kedua orang tua Alex mendesak. Wajah ibu Alex berubah pias setelah Seta dan Mahesa bergantian menyelesaikan penuturan mereka, sedangkan wajah ayah Alex jadi merah padam menahan marah.

“Anak itu...,” hanya itu yang mampu laki-laki itu desiskan.

“Ini baru dugaan, Pak,” ucap Mahesa, berusaha menenangkan. “Makanya kami ingin penjelasan dari Alex. Kalau Bapak bertemu Alex, tolong, segera kabari kami. Tanpa titik terang dari penjelasan Alex, anak saya belum bisa kembali.”

Tampaknya, keluarga Alex memahami situasi itu. Setelah rombongan kecil itu berpamitan, ayah Alex – seorang saudagar tembakau terkaya di Gondang – segera menyuruh beberapa orangnya untuk menyebar mencari Alex ke seluruh penjuru kota, bahkan hingga ke luar kota. Ada beberapa tempat yang mungkin jadi tujuan Alex. Ke sanalah para orang suruhan itu menuju.

* * *

Siang sudah meredup ketika mereka berlima kembali ke Bawono Kinayung. Paitun, Wilujeng, dan Suket Teki asyik bercakap dalam hening, sementara Pinasti dan Kresna lebih banyak diam. Mendengarkan. Sesekali Kresna melirik Pinasti. Sebetulnya perawan sunti itu merasakan debar jantungnya meliar setiap kali tatapan Kresna jatuh sekilas padanya. Ia hanya bisa menunduk sambil melangkah.

Ujung perjalanan mereka dari pondok Sentono dan Winah sampai pada sebuah dermaga kecil. Sebuah sampan yang tertambat di dermaga itu menunggu mereka. Paitun segera meraih tali sampan dan membuka simpul tambatan. Kresna naik pertama kali, kemudian mengulurkan tangan pada Wilujeng. Perempuan itu pun menyambut uluran tangan Kresna dan naik ke sampan. Berikutnya adalah Pinasti. Lagi-lagi ada sengatan lembut aliran listrik ketika tangannya bertemu dengan tangan Kresna. Pemuda itu mengangguk ketika Pinasti menggumamkan ucapan terima kasih. Setelah itu Paitun. Dengan senang hati menyambut uluran tangan Kresna. Terakhir adalah Suket Teki, yang langsung melompat ke dalam sampan.

Kresna sudah tidak heran lagi ketika arus sungai berbalik arah. Membawa sampan yang mereka tumpangi kembali ke Bawono Kinayung. Tapi ia masih juga terkagum-kagum dengan suasana asri di sepanjang sungai, dan sisa pantulan sinar matahari di langit-langit tinggi yang menaungi mereka. Tepian sungai berair sangat bening itu penuh dengan berbagai tumbuhan hijau. Pada beberapa bagian dihiasi aneka bunga warna-warni dalam berbagai ukuran. Sesekali tercium aroma harum bebungaan, menguar di udara. Bercampur dengan segarnya aroma rumput basah.

Kali ini, sampan yang mereka tumpangi meluncur agak pelan, sehingga Paitun dapat mengambil sulur-sulur pakis muda yang ujungnya masih tergulung rapat di sepanjang perjalanan mereka. Batang-batang pakis muda itu enak sekali bila dimasak. Kemarin Kresna sudah merasakannya. Hasil masakan Pinasti. Rasa lezat tumis pakis itu seolah masih melekat di lidahnya.

“Kamu suka tumis pakis, Kres?” usik Paitun tiba-tiba. Ia sudah selesai memetik banyak sekali sulur pakis yang diletakkannya di dalam keranjang.

“Suka, Ni,” Kresna terlihat agak tersipu. “Yang kemarin enak sekali.”

“Besok biar dimasakkan lagi sama Pinasti,” senyum Paitun.

Kresna mengangguk, masih dengan wajah tersipu. Wilujeng tersenyum simpul melihatnya. Sementara Pinasti berpura-pura tak acuh dengan asyik memetik bebungaan liar yang batangnya menjulur hingga ke pertengahan sungai. Ia tak asal memetik, tapi memilih yang bisa digunakan untuk melezatkan masakannya besok. Bebungaan itu pun diletakkannya di keranjang, bercampur dengan sulur-sulur pakis.

Sampan itu seolah tahu bahwa Paitun dan Pinasti sudah selesai dengan maksud masing-masing. Kini, mereka melaju sedikit lebih kencang. Ketika hari sudah makin temaram, sampan pun merapat ke dermaga di belakang pondok Paitun.

Suket Teki berpamitan begitu kakinya menginjak tanah. Ajak putih itu melompat ke arah seberang sungai, dan menghilang dalam rimbunnya ‘hutan’ Bawono Kinayung. Aroma sedap ikan bakar menyambut mereka ketika berjalan menyusuri jalan setapak. Pintu belakang pondok Paitun terbuka lebar. Janggo duduk manis di beranda belakang pondok. Dari dalam pondok, muncul Tirto.

“Mak, aku habis memancing tadi,” ucap Tirto. “Sudah kubakar ikannya. Aku juga sudah menanak nasi dan membuat sambal. Ada lalapan juga.”

Seketika Kresna mendegut ludah begitu mendengar sederetan menu yang disebutkan Tirto. Paitun mengucapkan terima kasih. Pinasti mengulurkan tangan, mengelus kepala Janggo. Ajak cokelat kemerahan itu mendengking senang.

‘Pin, kamu capek atau tidak?’ tanya Janggo.

Pinasti menggeleng. ‘Kenapa?’

‘Mau kuajak ke danau.’

‘Boleh... Tapi aku mandi dan makan dulu, ya?’

Sekali lagi, Janggo mendengking senang.

* * *

Sepeninggal Pinasti dan Janggo, Paitun mengajak Wilujeng dan Kresna duduk-duduk di beranda depan pondok. Kesempatan itu dipakai Paitun untuk membicarakan perjalanan pasangan ibu dan anak itu kelak.

“Jadi, kalian harus siap sewaktu-waktu meninggalkan tempat ini,” ucap Paitun pada suatu detik. Lirih.

Wilujeng terdiam, sedangkan Kresna menatap Paitun.

“Siapa yang lebih dulu, Ni?” tanyanya.

“Seharusnya kamu,” Paitun balas menatap Kresna. Tajam. “Lebih cepat lagi kalau kamu mau mengatakan padaku siapa yang sudah membuatmu celaka.”

Kresna tertunduk. Sekilas, peristiwa itu terbayang lagi dalam ingatannya. Paitun tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Kabut hitam yang rapat menyelimuti benak Kresna sedikit tersingkap. Paitun berusaha untuk masuk sejenak sebelum kabut itu merapat kembali. Dan, sesuatu yang ia dapatkan membuatnya sedikit tersentak.

Pinasti benar! Karena seorang gadis berambut ikal panjang. Tapi... gadis berambut pendek itu? Dia...

Mata Paitun menyipit. “Siapa gadis berambut pendek itu? Yang sudah mendorongmu ke dalam jurang?”

Seketika Kresna mengangkat wajahnya. Ada kilasan rasa ngeri membayang dalam sorot matanya. Tapi, tatapan tajam Paitun membuatnya terkunci. Ia pun menyerah.

“Alex,” bibirnya bergerak-gerak tanpa suara. “Alexandra...”

Wilujeng ternganga. Sedangkan Paitun mengangguk puas. Samar-samar, terdengar suara petir menggelegar di kejauhan. Paitun memejamkan mata sejenak.

Itu balasannya! Benang merah sudah terangkai...

* * *

Hujan yang turun sejak siang membuat Alex merasa sedikit kedinginan. Salah satu vila milik keluarganya di Bukit Seribu Kembang Goyang itu jadi tempat persinggahannya kali ini. Sejenak ia membayangkan nikmatnya menyantap jagung bakar manis-pedas di warung-warung yang berjajar di kaki bukit.

Tanpa berpikir lagi, ia menyambar kunci mobil dan berlari-lari kecil di bawah siraman gerimis menuju ke mobilnya yang masih terparkir di luar. Dihelanya napas lega begitu ia masuk, dan ia segera meluncurkan mobil itu.

Jalur dari puncak bukit menuju ke bawah penuh dengan kelokan tajam yang membuatnya harus mengemudi dengan hati-hati. Kembali dihelanya napas lega ketika mobilnya melewati gapura Kecamatan Samenik yang ada di kaki bukit. Tempat itu cukup ramai walaupun gerimis masih merinai. Deretan warung aneka makanan menyambutnya di kedua tepi jalan.

Warung jagung bakar yang jadi tujuannya terletak agak di ujung. Warna-warni terang warung itu sudah tampak di bawah siraman cahaya lampu. Jalanan melengang, dan Alex menekan sedikit lebih dalam lagi pedal gas mobilnya. Tapi...

BLAAARRR!!!

Sebuah kilatan cahaya yang jatuh tepat di depan mobil dan menimbulkan suara menggelegar membuat Alex terkejut setengah mati. Seketika ia hilang kendali. Mobilnya yang berkecepatan cukup tinggi di jalan menurun itu oleng dan menyeruduk sebuah warung iga bakar di sisi kiri. Masih sempat didengarnya jeritan dan teriakan dari arah warung setengah hancur itu, di tengah teriakan paniknya sendiri. Sebuah benturan keras terasa menyakitkan di kepalanya, diikuti sebuah ledakan dan timbulnya kobaran api di luar mobil.

Lalu gelap.

Dan, ia tak ingat apa-apa lagi.

* * *

Selanjutnya

Mari silakan singgah juga ke CATATAN DI BALIK LAYAR ini. Terima kasih... 🙏

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
 

7 komentar:

  1. Lo jebul Alex ki cewek toh ?
    Weh jan ora ngira blas aku dik ! Aku ki dek kapan kae takon Domi piye mlakune crita iki. Ning Domi mung guyu tok. Ha ha ha ha ...... Pada sekongkol bungkam toh iki ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Domi ndak mempan disuap ambek diancam areke haha..

      Hapus