Kamis, 23 Juni 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #10







* * *


Sepuluh


Hari-hari berlalu dengan cepat tanpa kusadari larinya. Seutuhnya aku menikmati kehidupanku saat ini. Tak kutemukan alasan untuk tidak betah berada di tanah air. Aku mulai berteman dengan kemacetan. Menikmatinya seperti aku menikmati tiap waktu indahku yang lain. Waktu bersama keluarga besarku, terutama waktu bersama Uti dan Kakung. Juga waktu bersama Irvan.

Kami tidak setiap hari bisa bertemu. Alasan patennya hanya satu, sama-sama sibuk. Tapi kami tak pernah melewatkan waktu untuk sekadar saling menyapa lewat pesan pendek. Mengetahui bahwa ia baik-baik saja, itu sudah sangat menenangkan aku. Dan bertemu dengannya pada akhir atau menjelang akhir minggu, itu membuatku sangat bersemangat. Seperti saat ini. Saat ia menyempatkan diri menjemputku di kantor pada suatu Jumat sore. Aku sudah bisa pulang tepat pukul empat. Kejadian yang cukup langka.

“Aku terpaksa harus melepaskan kegiatanku mengajar di tempat Pak Satmoko, Ri,” ucapnya pada suatu detik, sambil menyetir mobilnya. “Sayang sebetulnya, tapi mau bagamana lagi?”

“Pak Satmoko sempat memintaku untuk menggantikan Mas Irvan,” tanggapku, “tapi aku juga nggak bisa berjanji. Apalagi sekarang boss-ku workaholic seperti itu.”

“Jangan merasa terpaksa, Ri,” ucapnya lembut. “Kamu juga punya kesibukan sendiri. Yang penting jangan sampai kamu kecapekan. Tetap jaga kesehatan.”

“Hm...,” senyumku. “Pasti selalu sehat kalau seminggu dua kali selalu dapat jatah makan siang yang sehat dan yummy.

“Dan dimasak dengan penuh cinta,” tambahnya sambil tersenyum lebar.

“Ha! Itu yang paling penting!” sambarku, membuatnya tergelak.

Tiba-tiba saja aku teringat pembicaraanku dengan Mbak Jani siang tadi. Saat menikmati makan siang bersama di warteg sebelah kantor.


“Kata Hasto, kamu sekarang pacaran dengan temannya, ya, Pluk?” Mbak Jani menatapku. “Yang mana?”

“Irvan, Mbak.”

“Irvan koki itu?”

Aku mengangguk.

“Wah, cocok!” senyum Mbak Jani melebar. “Dia koki, kamu hobi makan.”

Aku tergelak.

“Irvan anaknya baik, Pluk,” wajah Mbak Jani berubah menjadi serius. “Yang aku tahu, dia pekerja keras. Setidaknya, kalau kalian serius dan memutuskan untuk menikah, kemungkinan besar nggak akan bermasalah seperti aku.”

Aku terhenyak.

Bahwa Mbak Jani seolah ‘menikah dengan orang yang salah’, itu sudah menjadi rahasia umum dalam keluarga kami. Tapi Mbak Jani secara terbuka mengungkapkannya padaku, ini adalah hal baru bagiku.

“Masa depan Irvan sepertinya cerah, Pluk,” lanjut Mbak Jani. “Ini sama sekali bukan masalah persamaan atau perbedaan level ekonomi keluarga, ya? Tapi masalah mental.”

Aku berusaha untuk mendengarnya baik-baik sambil menikmati makan siangku.

“Jujur, aku malu sekali ketika Mas Gatot ditekan untuk mengundurkan diri dari Eternal dua tahun yang lalu,” suara Mbak Jani melirih. “Tapi sungguh, aku nggak pernah menyalahkan Om Nor. Menjadi bagian dari keluarga pemilik Eternal bukan berarti bisa mempermainkan keuangan Eternal seenaknya, seperti Mas Gatot. Apalagi kalau dihitung, gaji Mas Gatot dan gajiku sebenarnya lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga kecil kami. Aku tak menikmatinya sesen pun uang yang digelapkannya, Pluk. Semuanya mengalir ke keluarganya. Om Nor masih baik hati tidak memecatnya dengan tidak hormat. Kuharap kamu tidak mengalami hal sepertiku, Pluk. Pilihanmu harus benar-benar tepat.”

Aku termangu.

Aku tahu seluruh keluarga besarku tak pernah memandang bahwa perbedaan status ekonomi dalam hal jodoh adalah suatu hal yang besar sehingga patut dipermasalahkan. Apalagi Kakung dan Uti sendiri sejatinya berasal dari keluarga sederhana. Beliau berdua mendidik putra-putrinya untuk hidup dalam kesederhanaan. Cara yang juga diberlakukan seluruh putra-putri Eyang terhadap keturunan selanjutnya.

Bahwa Mas Gatot berasal dari keluarga sederhana, itu tak pernah dipermasalahkan oleh Budhe Danik dan Pakdhe Juno. Seperti juga masalah tak pernah timbul dalam keluarga besar ketika Budhe Danik menikahi Pakdhe Juno, ataupun Tante Ninin menikahi Om Bimo, yang juga berasal dari keluarga sederhana. Bahkan ketika Om Nor menikahi Tante Laras yang punya putri di luar nikah. Tak ada masalah yang timbul.

Yang membedakan adalah keluarga Mas Gatot memiliki mental aji mumpung yang kental. Mumpung punya menantu dari keluarga berada. Mumpung anak mereka bekerja di sebuah perusahaan keluarga di mana anak mereka itu pun termasuk dalam keluarga itu.

Kutatap Mbak Jani. “Tapi Mbak masih mau bertahan, kan?”

Mbak Jani menghela napas panjang sebelum menjawab, “Aku belum tahu, Pluk. Yang jadi fokusku sekarang adalah mendidik dan membesarkan Dinda. Sekaligus menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk. Sementara ini Mas Gatot dan keluarganya belum bisa berubah. Aku sendiri nggak bisa berharap banyak.”

Aku tercenung.


“Melamunkan apa, Ri?”

Aku tersentak. Mobil Irvan sudah berhenti. Tepat di depan rumah Eyang. Kuhela napas panjang sambil menggeleng.

“Nggak ada hubungannya dengan kita secara langsung,” jawabku. “Tapi suatu saat akan kuceritakan pada Mas Irvan.”

Ia mengangguk sambil membuka pintu mobil.

“Masuk dulu?” tawarku sebelum keluar.

“Iyalah,” jawabnya dengan suara mantap. “Aku, kan, harus mengantarkanmu pada Kakung dan Uti dengan utuh dan selamat. Tapi nggak bisa lama-lama, ya? Aku harus kembali ke resto.”

Aku mengangguk. Belum lagi melangkah ke arah pagar, pintu pagar sudah terbuka lebar. Dan sosok yang membukanya sungguh-sungguh membuatku ternganga.

“Mbak Cempluuuk!” ucapnya riang sambil memelukku erat-erat.

Astaga! Rinnel! Adik bungsuku!

“Kapan kamu datang?” aku balas memeluknya.

“Belum lama,” ia mencium kedua pipiku dengan gemas. “Kejutan!”

Aku kemudian memperkenalkannya pada Irvan. Kedua laki-laki tinggi besar itu kemudian berjabat tangan dengan hangat. Dan ketika Rinnel meninggalkan kami untuk memanggil Kakung dan Uti karena Irvan akan berpamitan, Irvan menatapku dengan sinar mata penuh tawa.

“Cempluk?” ada nada geli yang kental dalam suaranya.

Aku hanya bisa nyengir tak jelas.

* * *

Aku lanjut mengobrol dengan Rinnel ketika ada tamu untuk Kakung dan Uti. Ia nongkrong di kamarku. Tak mau pindah. Bahkan tanpa segan menggotong sepotong kasur yang dihamparkannya di lantai kamarku untuk alas tidurnya nanti.

“Kamu kapan balik, Nel?”

“Senin sore, Mbak. Senin aku libur. Makanya kuputuskan pulang sebentar.”

“Ah, sebentar banget, Nel?” desahku.

“Iya, sih...,” gumamnya. “Tapi, kan, aku juga nggak bisa bolos kuliah cuma gara-gara masih kangen.”

Kami kemudian bertukar cerita tentang banyak hal sambil menikmati bubur candil asli buatan Uti. Aku terpaksa menjawab dengan segan ketika ia mencecarku tentang Irvan. Tak terhitung berapa kali saja ia menggodaku terkait ini, membuatku berkali-kali pula menggebuknya dengan guling hingga ia terbahak-bahak.

Tengah kami asyik bercanda, pintu kamarku diketuk dari luar. Rinnel segera meloncat bangun dan membukanya.

“Lha, keberisikan, ya?” Rinnel menggaruk kepalanya.

Kakung dan Uti berdiri di depan pintu dengan wajah penuh senyum.

“Kalian ini berisiknya bikin penasaran. Boleh gabung?” Kakung menatap kami dengan mata berbinar.

Akhirnya kami berempat melanjutkan acara berisik itu dengan lebih heboh. Senang sekali rasanya melihat seri di wajah Kakung dan Uti.

“Tamunya tadi siapa, Kung?” tanya Rinnel sambil mengunyah keripik singkong.

“Oh, itu dari rumah kalian.”

“Sudah datang?” aku mengangkat alis. “Sudah ditempati?”

“Sudah,” jawab Uti. “Sudah seminggu ini, malahan.”

“Lha, Mbak Cempluk ke mana saja? Kok, sampai nggak tahu?” Rinnel mengerutkan kening.

“Aku sibuk, Nel. Jadi anak buah Mbak Jani itu harus siap tempur sewaktu-waktu.”

“Iya,” sahut Kakung. “Mbakmu ini kalau belum jam tujuh malam belum sampai di rumah. Setelah itu, ya, sudah, mengeram saja, nggak ke mana-mana.”

“Terus, kapan pacarannya?” Rinnel mengerling jahil.

“Rinneeelll...,” ucapku gemas.

Kakung dan Uti  tergelak. Meriah sekali kamarku malam ini.

“Besok ada acara dengan Irvan, Pluk?” tanya Uti tiba-tiba.

“Paling sore, Ti. Tapi belum tahu juga. Tadi belum sempat janjian lagi.”

“Hm... Besok jam sembilan pagi diundang coffee morning di sebelah. Sekalian berkenalan secara resmi.”

“Oh...,” aku manggut-manggut. “Aku harus ikut?”

“Ya, iyalah!” tukas Kakung. “Sekalian mumpung Rinnel pas pulang. Yang punya rumah, kan, kalian.”

Aku kembali manggut-manggut. Tapi segera saja tergelak mendengar desah lirih Rinnel.

“Aduuuh... Aku cuma bawa kaos oblong sama celana pendek,” Rinnel menggaruk pelipisnya. “Ada, sih, jeans. Cuma satu. Gimana, dong?”

“Pakai kemeja batiknya Kakung-lah, Nel...,” timpal Uti. “Sekalian celana panjangnya.”

Rinnel menatapku. Bibirnya mengerucut lucu.

“Ukuranmu sama Kakung, kan, sama,” aku mendapat kesempatan untuk meledek.

“Ya, enggaklah,” tapi Kakung langsung membantah. “Langsingan Kakung sedikiiit...”

“Iya, wong Kakung sudah kisut,” timpal Uti.

Seketika tawa kami meledak.

Akhirnya kuantar juga Rinnel untuk mencari kemeja batik di butik Budhe Risa. Celana jeans-nya yang berwarna biru gelap masih bersih sehingga masih bisa dipakai besok. Hanya tinggal cari kemeja saja yang cocok. Dan Rinnel bersikeras ingin memakai kemeja batik seperti kebiasaan kami kalau bertemu tamu dari negara asing.

“Nanti sekalian pilih dua atau tiga potong, Nel,” cetusku sambil menyetir. “Tinggalkan saja di sini. Sewaktu-waktu kamu pulang, ada acara mendadak, nggak bingung lagi seperti sekarang.”

“Selusin juga mau asal ada yang bayarin, Mbak,” timpalnya usil. “Ngomong-ngomong, ini nanti yang bayarin Mbak Cempluk, kan? Kasihanilah anak kuliahan ini, Mbak...”

Aduuuh... Adikku yang satu ini! Kelihatannya saja dia pendiam. Padahal jahilnya minta ampun.

* * *

Sepuluh menit sebelum pukul sembilan pagi, kami semua sudah siap untuk berangkat. Uti tampak cantik dengan gaun batik berwarna coklat gelap yang kontras sekali dengan kulitnya yang kuning langsat bersih. Batiknya sarimbit dengan kemeja Kakung. Kakung sendiri juga masih tampak sangat gagah dengan tubuh tinggi besarnya. Walaupun sebagian besar rambutnya sudah memutih, Kakung masih juga kelihatan sangat tampan. Ketampanan yang menurun pada Rinnel. Bahkan Uti sendiri pernah menyatakan bahwa Rinnel adalah seutuhnya bentuk muda dari Kakung. Aku sendiri mengenakan sackdress batik berwarna biru. Senada dengan kemeja batik yang dikenakan Rinnel walaupun lain corak.

“Yang menyewa orang dari mana, sih?” tanya Rinnel saat kami melangkah keluar dari rumah.

“Spanyol,” jawab Kakung. “Orang kedutaan.”

“Anaknya ada yang bisa digebet, nggak?” Rinnel nyengir.

“Anaknya masih bayi,” Uti tergelak.

“Kania mau dikemanaiin?” sambarku.

Rinnel langsung mendelik.

Sudah jadi rahasia umum juga bahwa Rinnel sangat menyukai Kania. Secara hukum, Kania memang sudah jadi putri Om Nor. Tapi secara garis darah, Kania tetaplah ‘orang lain’. Sementara ini belum ada yang meributkan perasaan Rinnel itu. Bahkan yang kutahu, Mama sangat menyetujui pilihan Rinnel.

“Daripada dia nanti pacaran sama gadis lain yang nggak jelas,” begitu ucap Mama.

Tapi selama ini Rinnel masih berusaha mengelak. Keluarga besar juga adem ayem saja. Mungkin berpikir bahwa Rinnel masih bisa berubah haluan. Tapi seandainya tidak, sepertinya itu juga bukan masalah. Dengar saja komentar Kakung!

“Satu hal yang Kakung harap,” tangan Kakung menepuk halus bahu Rinnel, “jangan pernah sakiti Kania. Ingat itu, ya, Nel?”

Dan Rinnel sepertinya tak punya pilihan lain kecuali mengangguk. Kemudian melanjutkan pelototannya padaku. Membuatku terkikik geli dan bersembunyi di balik tubuh Kakung.

* * *

Acara coffee morning itu berlangsung menyenangkan. Tuan dan nyonya rumahnya sangat ramah. Miguel dan Ava Ballesteros, dengan Celeste, bayi perempuan mereka yang sangat imut dan cantik. Cukup banyak tamu yang datang. Sebagian besar adalah orang-orang dari kedutaan besar Spanyol. Selebihnya beberapa tetangga di sekitar sini.

“Saya tak pernah bermimpi untuk kembali lagi ke sini,” ucap Ava dengan mata berbinar. “Bahkan ke rumah ini.”

“Anda pernah tinggal di rumah ini?”

Ia mengangguk dengan antusias.

Aku ternganga sejenak. Walaupun rumah kami cukup sering disewa ekspatriat, tapi kedengarannya ‘kembali ke rumah yang sama di negara asing’ adalah suatu hal yang istimewa.

“Sekitar usia belasan,” jawabnya dengan mata berbinar. “Ayah saya seorang diplomat, Riri. Kami pernah tinggal di sini selama tiga-empat tahun. Benar-benar di rumah ini.”

“Oh...,” aku manggut-manggut. “Tahukah Anda, Ava, saat ini ayah kami sedang bertugas di Spanyol.”

Really?” binar di matanya terlihat makin nyata. “Negara yang sangat indah, Riri. Saya jatuh cinta padanya, pada segala hal yang ada di sana...”

“Pada Miguel...,” sambungku jahil.

Ia tergelak. “Itu pasti, bisiknya. “Tapi jangan keras-keras, nanti dia bisa besar kepala.”

Kami kemudian terkikik berdua. Lalu aku menatapnya.

“Anda bukan orang Spanyol, Ava?”

Ia menggeleng. “Saya orang Jerman. Saya bertemu Miguel ketika saya sedang berlibur ke Spanyol, mengunjungi orang tua saya yang saat itu sedang bertugas di sana.”

“Oh...”

“Sudah pernah ke Spanyol?”

Aku menggeleng. “Dari Australia, saya langsung pulang ke sini. Tinggal dan bekerja di sini.”

“Australia...,” mendadak mata Ava mengabut. “Adik saya dulu ada yang di Australia juga.”

“Oh, ya?” gumamku. “Tapi Australia luas juga.”

“Ya, Anda betul. Tapi biasanya sesama orang sebangsa di negara asing saling mengenal, ya?”

“Biasanya begitu,” anggukku.

“Hm... Apakah Anda mengenal Arinda Wirahadi?”

Aku tercengang seketika. Kutatap Ava lekat-lekat. Tapi sebelum aku menjawab, seseorang yang datang dan menggendong Celeste untuk menyerahkannya pada Ava membuat duniaku seolah berhenti berputar.

Otto? Otto Brandt?

Bagaimana mungkin?

Lalu ia menoleh ke arahku ketika Ava memperkenalkan aku. Ada seberkas sorot terkejut dan mengenali. Tapi dengan tenang ia mengulurkan tangannya. Aku masih menatapnya. Pelan, kuulurkan tanganku, menyambut jabat tangannya.

“Arinda Wirahadi,” ucapku dengan suara bergetar hebat.

Seketika terdengar pekik kecil Ava. Dan setelah laki-laki itu menyebutkan namanya, aku tak ingat apa-apa lagi.

* * *

10 komentar:

  1. Selamat pagi mbak Lizz......., woow kejutan lainnya......lanjoot...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiyaaa... Selamat malam, Mbak Dewi. Maaf baru balesin komen sekarang. Udah ngacir sampe #13-1 yak... 😊

      Hapus
  2. waowww, kejutan.
    Bertemu Otto.
    Tx. Mbak Lis u

    BalasHapus
    Balasan
    1. Otto abal-abal, huahaha...
      Makasih singgahnya, Mbak Umi 😊

      Hapus
  3. Hloh !
    Otto balik ?????

    BalasHapus