Senin, 27 Juni 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #11







* * *


Sebelas


Terisak dalam pelukan Kakung di dalam kamarku. Hanya itu yang kini bisa kulakukan. Dan Kakung memelukku dalam hening. Membiarkan aku mengalirkan seluruh rasa yang masih tersisa dalam hatiku tentang seorang Otto Brandt. Kurasakan belaian lembut tangan Kakung. Membuatku pelan-pelan kembali menguasai dan mengendalikan diri.

“Dia... bukan... Otto, kan?” bisikku, terbata.

Tangan kukuh Kakung kurasa meremas lembut rambutku. “Bukan, Pluk. Dia Gerd. Gerd Brandt. Abang Otto. Gerd dan Ava minta maaf sudah mengagetkanmu sedemikian rupa hingga membuatmu pingsan.”

“Harapanku terlalu tinggi, Kung,” keluhku, mulai terisak lagi.

“Bukan salahmu, Pluk,” Kakung mengeratkan pelukannya. “Bukan salahmu. Kalau kamu sudah siap, fisik dan mental, Gerd dan Ava masih ingin bertemu denganmu. Ada yang mereka ingin sampaikan padamu.”

“Jangan sekarang, Kung,” gelengku. “Aku belum bisa.”

“Iya, Kakung mengerti. Kami semua mengerti.”

Kakung merangkum wajahku ke dalam dua telapak tangannya yang hangat, lalu mencium keningku. Mengalirkan ketenangan yang kubutuhkan. Sejenak kemudian, aku kembali tenggelam dalam pelukan Kakung.

* * *

Aku hanya bisa diam dan tertunduk ketika sorenya Irvan datang dan menatapku dengan khawatir. Rasanya ia sudah tahu apa yang terjadi. Seseorang di luar sana, di luar kamarku ini, pasti sudah bercerita padanya. Aku memejamkan mata ketika tangannya dengan lembut membelai kepalaku.

“Kamu sudah mandi?” bisiknya.

Aku menggeleng. Ia kemudian duduk di tepi ranjang. Menghadap ke arahku.

“Mandi, ya?” bujuknya halus. “Setelah itu kita keluar. Ke mana saja kamu ingin.”

Entah kenapa, seolah aku tak punya daya untuk menolak kata-katanya. Aku menurut saja ketika ia membimbingku ke kamar mandi, kemudian meninggalkan aku sendirian di dalam dan menutup pintu rapat-rapat. Selanjutnya kubiarkan air dingin menguyurku selama bermenit-menit dari shower.

Aku menangis lagi. Entah untuk apa. Aku sendiri juga tak tahu. Rasanya dadaku sesak tak terkira. Dan rasa sesak itu perlahan melonggar seiring dengan mengalirnya airmataku.

Kusebut nama Otto berkali-kali sampai aku puas. Sampai aku benar-benar menyadari bahwa ia memang seutuhnya tak akan pernah bisa kutemui lagi. Aku sudah pernah melewati fase ini. Seharusnya sudah selesai.

Tapi laki-laki itu... Siapa tadi namanya? Ah, ya! Gerd. Kenapa harus semirip itu dengan Otto? Dan selama aku kenal Otto, ia jarang bercerita soal keluarganya secara utuh. Memang waktuku bersama Otto hanyalah setahun, tapi...

Aku tersentak ketika pintu kamar mandi diketuk dari luar. Sudah hampir menyerupai gedoran.

“Pluk,” seutuhnya aku menangkap ada nada khawatir dalam nada suara Uti, “kamu mandinya lama sekali. Kamu tak apa-apa?”

“Ya, Ti,” jawabku dengan suara serak.

Buru-buru aku menyelesaikan acara mandiku. Setelah mengeringkan seluruh tubuh, kusambar jubah mandi dari gantungan di sudut. Aku mengenakannya, kemudian membuka pintu. Uti masih berdiri di sana, di depan pintu kamar mandiku, menatap was-was.

“Irvan mengkhawatirkanmu,” ujar Uti, lembut. “Oh, ya, dia tadi minta ijin untuk mengajakmu keluar.”

Aku mengangguk. Dengan cepat aku memakai baju yang pantas. Sementara aku berdandan sedikit, Uti berusaha mengeringkan rambutku yang basah kuyup parah dengan sehelai handuk besar.

* * *

Kali ini aku hanya ingin ke taman bersama Irvan. Kembali menikmati semangkuk bakso Arema yang panas mengepul dengan isian komplit plus lontong. Menambahkan sambal dan saus tomat banyak-banyak, kemudian melahapnya sampai habis.

Irvan tak bertanya apa-apa. Bagiku memang sebaiknya begitu. Supaya aku pelan-pelan bisa menata hatiku sendiri. Dalam diam itu aku menatapnya. Dan ia balik menatapku.

“Kamu mau kutemani?”

Aku mengerutkan kening. “Ke mana?”

“Rumah sebelah.”

Kuhela napas panjang. Lalu gumamku, “Sebetulnya buat apa juga aku pingsan, coba?”

Irvan tak menjawab. Hanya tertunduk sambil kembali menikmati bakso dalam mangkuknya.

“Seharusnya logikaku berjalan,” sesalku lagi. “Bukannya malah terbawa pikiran bahwa Otto masih ada.”

“Ri...”

“Ya?” aku menoleh padanya.

“Kamu normal,” mata Irvan seolah lurus menembus manik mataku. “Apalagi Otto yang terakhir kamu temui adalah Otto dalam bentuk sempurna. Otto yang kamu harapkan kembali padamu seutuhnya.”

“Tapi sudah tiga tahun berlalu, Mas,” sergahku lirih. “Dan aku sudah mengikhlaskan kepergiannya. Aku rasa seperti itu...”

“Ya, aku tahu,” angguk Irvan. “Makanya, kalau kamu mau menyelesaikan semuanya di rumah sebelah, aku temani. Mungkin ada yang mereka ingin sampaikan pada seorang Arinda Wirahadi.”

Lama aku memikirkan perkataan Irvan. Dan melihat ke dalam matanya, aku seolah memiliki kekuatan baru untuk mengangguk. Irvan menggenggam tanganku. Hangat.

* * *

We’re so sorry, Riri, we’re so sorry,” Ava memelukku erat.

Aku mengerjapkan mata dengan kepala masih terasa pening. Setengah mati aku kemudian berusaha fokus pada setiap ucapan Ava ketika bercerita tentang keluarga mereka setelah ia melepaskan pelukannya padaku, sambil menunjukkan foto-foto yang ia punya.

Jürgen Brandt, seorang diplomat Jerman yang kini telah pensiun, menikah dengan Irina Basikova, seorang putri imigran Rusia. Mereka memiliki 3 anak. Ava, Gerd, dan Otto. Si sulung Ava adalah seorang interior designer yang memilih untuk meninggalkan karirnya setelah menikah dengan Miguel Ballesteros, seorang diplomat Spanyol. Si tengah Gerd adalah seorang asisten profesor sebuah universitas di Darmstadt, Jerman. Dan si bungsu Otto mengikuti jejak ayah mereka, menjadi seorang diplomat. Penempatan di luar negeri pertamanya adalah Australia. Sebuah tempat yang jauh dari rumah dan merenggut nyawanya ketika harus pulang.

“Beberapa minggu lalu Gerd mencarimu ke Australia. Tapi kamu sudah pulang, Riri,” Ava menutup ceritanya.

Aku mendesah. Kutatap wajah Otto dan Gerd yang berdiri bersisian dalam sebuah foto keluarga itu. Foto yang diambil beberapa minggu sebelum ia berangkat ke Australia. Seutuhnya aku melihat kemiripan keduanya. Apalagi menurut Ava tadi, usia Gerd dan Otto hanya bertaut lima belas bulan.

“Namamu begitu sering muncul dalam kabar yang dia kirimkan pada kami setahun terakhir sebelum dia...,” Ava menatapku dengan sedih.

“Seharusnya aku ikut bersamanya,” ucapku. Serak. “Tapi saat itu Mama hendak datang mengunjungiku. Jadi...”

“Takdir, Riri,” Ava kembali menggenggam tanganku.

“Lalu... untuk apa Gerd mencariku?”

Ava menatapku lama sebelum menjawab, “Ada benda kesayangan Otto yang kami putuskan untuk memberikannya padamu. Sebagai kenang-kenangan. Kami tahu bahwa kamu akan merawatnya dengan baik. By the way, kamu tak apa-apa bertemu Gerd?”

Aku ragu-ragu sejenak. Walau guncangannya masih terlalu hebat untukku, aku harus berpikir jernih dan tidak pernah boleh menganggap Otto kembali lagi ke dunia ini. Semirip apa pun Gerd dengan Otto. Dan itu membuat kepalaku mengangguk.

Ava beranjak untuk memanggil Gerd. Dan saat laki-laki itu kemudian muncul dengan wajah diliputi mendung, seketika itu juga aku menyesali keberanianku untuk bertemu dengannya.

Ia benar-benar sangat mirip dengan Otto. Hanya sedikit berbeda di warna rambut. Warna rambut Gerd sedikit lebih gelap daripada warna rambut Otto. Bahkan matanya pun sama. Mata yang sanggup menenggelamkan aku dalam sesuatu yang aku sendiri tidak tahu.

“Hai, Arinda,” ucapnya lirih, sambil menjabat tanganku.

“Hai,” jawabku singkat.

“Maaf, sudah mengagetkanmu seperti tadi,” suara dan matanya begitu tulus ketika kalimat itu meluncur dari mulutnya. “Kami semua sungguh-sungguh tak menyangka akan bertemu denganmu, Arinda Wirahadi, dengan cara seperti itu.”

Aku mengangguk. “Ava mengatakan bahwa kamu mencariku ke Australia, ada apa?”

“Hm... ya,” Gerd berdehem sejenak. “Aku hendak menyerahkan violin Otto padamu.”

“Violin Otto?” seketika aku mengerutkan kening.

“Kupikir kamu tahu Otto bisa bermain violin,” Gerd menatapku, ragu-ragu.

“Ya, aku tahu,” anggukku. “Beberapa kali aku menyaksikan sendiri dia memainkan violin. Violinku.”

Gerd pun mengangguk. “Ya, dia tidak membawa violin kesayangannya ke Australia. Kami semua tidak ada yang bisa bermain violin, kecuali Otto dan Mama. Mama... Beliau sudah berpulang hampir dua tahun yang lalu. Mama terlalu sedih kehilangan Otto.”

“Oh...,” aku kehilangan kata. Apalagi ketika melihat kabut dalam mata Gerd kian menebal. “My deep condolence, Gerd.”

“Terima kasih,” Gerd tersenyum sedikit. “Mama merasa sangat bersalah karena saat itu Mama-lah yang memaksa Otto untuk mengambil cuti dan pulang ke Jerman menjelang pernikahan Ava dan Miguel. Kami sudah berusaha membantu Mama menghilangkan rasa bersalah itu, tapi kami gagal. Pernikahan Ava tetap berjalan karena keluarga besar Miguel terlanjur datang dari Spanyol.”

Aku kembali kehilangan kata. Kesunyian menyergap kami selama beberapa saat. Aku sempat sedikit tergeragap ketika Gerd berdiri.

“Sebentar, Arinda, aku ambilkan dulu,” ucapnya kemudian. Halus.

Aku termangu ketika ia berlalu. Tak butuh waktu lama bagi Gerd untuk kembali. Kali ini sambil memeluk sebuah kotak biola berwarna hitam. Ia kemudian meletakkan kotak itu dengan hati-hati di atas meja. Tepat di depanku.

“Itu hadiah ulang tahun dari Mama untuk Otto,” ujar Gerd, hampir menyerupai bisikan, “setahun sebelum penempatannya di Australia. Dipesan secara khusus pada Stefan-Peter Greiner.”

Aku ternganga. Benda dalam kotak itu benar-benar bukan violin biasa. Sekejap kemudian tatapanku beralih pada Gerd.

“Ini...,” ucapku terbata, “... terlalu berharga... untukku. Aku... tak... bisa, Gerd...”

“Tentu saja bisa, Arinda,” Gerd mengangguk. Tersenyum sedikit. “Tidak ada orang yang paling tepat untuk menyimpannya selain dirimu. Otto sangat mencintaimu. Semua itu tercermin dari caranya menceritakan pada kami tentang dirimu. Dan semua ini adalah pesan terakhir Mama, agar menyerahkan violin milik Otto ini padamu, bagaimanapun caranya.”

Aku tercekat. Semuanya terasa terlalu di awang-awang.

“Kami tidak bisa langsung memenuhi keinginan Mama,” sambung Gerd. “Aku sibuk, harus menyelesaikan program doktoralku. Ava juga lebih banyak berada di Spanyol setelah menikah dengan Miguel. Papa sendiri sekarang aktif dalam kegiatan sosial untuk mengurangi rasa sepi. Baru beberapa waktu belakangan ini waktuku longgar. Sehingga aku bisa menelusuri jejakmu di Australia. Tapi kamu sudah pergi dari Brisbane. Bersamaan dengan itu Miguel mendapat tugas di sini, di Indonesia, dan Ava tentu saja ikut dengannya. Jadi awalnya aku bermaksud untuk mengalihkan tugas mencarimu padanya. Tapi ternyata kita bertemu di sini. Jadi... kami titipkan violin ini padamu.”

Aku benar-benar kehilangan kata.

* * *

Aku hampir terlambat bangun keesokan paginya. Alarmku sampai berbunyi dua kali dengan jeda lima belas menit. Rinnel masih tidur pulas ketika aku bangun dan meloncat ke kamar mandi. Barulah ketika aku selesai menyisir rambut, ia bangun dan menguap lebar-lebar.

“Berisik amat, sih, Mbak?” gerutunya.

“Aku mau ke taman. Ikut nggak?”

“Masih gelap begini?” Rinnel menguap sekali lagi.

“Aku mau konser.”

“Hah?” Rinnel terjaga seketika.

“Konser komunitas musik. Kamu menyusul saja, bareng Kakung sama Uti.”

“Mbak nggak hilang nanti?” mata Rinnel bulat menatapku. “Montok begini, kan, lumayan dikiloin.”

Sisir di tanganku segera melayang ke arahnya. Membuat Rinnel tergelak sambil menghindar. Aku segera keluar melalui pintu garasi yang sudah dibuka oleh Pak Wahid. Seperti biasa, Irvan sudah menungguku di teras. Menyambutku dengan senyumnya yang menghangatkan hati. Motornya pun sudah rapi terparkir di carport. Ia kemudian meraih kotak violin dari tanganku, dan kami berjalan bersama menuju ke taman. Tentu saja ia tak akan membiarkan seorang pun menculik dan meloakkan aku secara kiloan.

“Ini yang kemarin?” Irvan mengangkat sedikit kotak violin di tangan kanannya. Kotak violinku. Miliknya sendiri ada di tangan kiri.

Aku mengangguk. “Tak apa-apa, Mas?”

Irvan menggeleng. Bisa kulihat senyum tipisnya dalam keremangan cahaya lampu jalan yang masih menyala.

“Kenapa harus merasa kenapa-kenapa?”

“Entahlah,” aku mengangkat bahu. “Aku hanya khawatir segala hal yang berhubungan dengan Otto membuat Mas Irvan nggak nyaman.”

“Santai sajalah, Ri,” senyum Irvan melebar. “Mau diapakan juga masa lalu itu akan tetap ada dan tak bisa dihapus. Toh, kamu sudah memutuskan dan berusaha untuk terus melangkah ke depan. Itu sudah lebih dari cukup.”

Aku terkadang heran bagaimana Irvan selalu bisa berpikir sedewasa itu dengan kepala dingin. Seolah emosinya bisa terjaga dengan begitu baik. Bagaimana caranya?

“Apa?”

Aku terjingkat kaget. Menoleh cepat ke arah Irvan. “Apanya?”

“Apanya yang bagaimana caranya?” ia menatapku.

Astaga... Aku langsung menutup mulutku dengan sebelah tangan. Jadi aku mengucapkannya dengan suara? Tak hanya sekadar dalam hati?

“Hm...,” aku mendegut ludah. “Bagaimana caranya Mas Irvan bisa selalu tenang dan sabar seperti ini?”

“Oh...,” ia tertawa ringan. “Selalu berusaha untuk berpikir positif, Ri.”

“Hanya itu?”

“Ya,” ucapnya mantap.

Kami sudah sampai di taman. Masih sepi. Belum ada yang datang. Kami kemudian duduk bersisian di sebuah bangku beton.

“Oh ya, Ri,” Irvan menatapku. “Semalam, waktu kamu bicara dengan Gerd, aku sempat menceritakan komunitas kita ini pada Miguel dan Ava. Mereka kelihatannya sangat tertarik. Jadi... mungkin mereka nanti datang menonton kita.”

“Mereka tahu lokasi ini?” aku mengerutkan kening.

“Aku bilang supaya menunggu Eyang lewat, jadi mereka bisa barengan.”

“Oh...,” aku manggut-manggut.

“Ngomong-ngomong, Gerd itu mirip sekali dengan Otto, ya?”

“Memangnya Mas Irvan pernah tahu Otto?”

“Tahulah...,” senyumnya. “Dan aku langsung merasa kalah sekian level.”

Aku menggelengkan kepala. “Tapi sejujurnya, aku takut jatuh cinta pada Gerd.”

“Wajar, Ri,” timpalnya, kalem.

Aku terdiam. Tidakkah ia cemburu? Tapi ia kemudian seolah menjawab pertanyaan tak terucap itu.

“Dan apa pun pilihanmu, aku akan tetap menerima dan menghormatinya.”

Seketika aku tercekat.

“Tapi kamu sudah tak apa-apa, kan, Ri?”

Aku mendengar nada khawatir dalam suaranya. Aku lantas menggeleng.

“Aku mengkhawatirkanmu kemarin. Sangat,” gumamnya.

Membuatku makin tercekat.

* * *

Selanjutnya

14 komentar:

  1. Balasan
    1. Maaf, tayang dan balesin komennya telat melulu, Mbak Mila... 😳

      Hapus
  2. saya suka cara mbak membangun karakter cempluk. pelan, ga kesusu akhirnya kebayang deh profil dan karakter cempluk. Saya juga seneng sama cara mbak mengembangkan cerita. Perlahan dan santai, jadi nyangkut di hati yang baca. Mantep, wis!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiaaah... Eike jadi tersipu-sipuuu 😳😳😳

      Hapus
  3. Balasan
    1. Laju tapi tayangnya telat melulu, Mas Pical 😳

      Hapus
  4. Aq telat mba
    Jok diseneni yoh ?
    Mblayu nang selanjutnya wuuuuuuuzzzzzz

    BalasHapus