Kamis, 30 Juni 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #12-1







* * *


Dua Belas


Sepasang mata coklat itu menghantamku dengan telak. Hingga aku perlahan merasa mulai tenggelam di dalamnya. Tanpa aku mampu mengelak. Otakku berteriak melarang, tapi perasaanku memberontak tanpa bisa terkendali. Pesonanya membungkusku sedemikian rapat. Membuatku nyaris kehabisan napas.

Tapi dia Gerd! Bukan Otto! Ada apa ini?

Aku tak sanggup menceritakan perasaanku yang satu ini pada Irvan. Aku enggan menyakitinya. Oh, bukan! Lebih tepatnya, aku tak mau melihat diriku memberinya rasa sakit itu. Tapi bukankah dengan begini aku mulai melukainya sedikit demi sedikit? Tanpa ia rasakan, tapi suatu saat bisa menimbulkan bekas parut yang menumpuk dan mungkin luar biasa menyakitkan.

Kutanggapi satu demi satu email Gerd yang mengalir padaku. Sambil setiap kali menyelimuti diriku dengan sehelai kain batik sutra dari Bali yang diberikannya padaku sebagai oleh-oleh sebelum ia kembali ke negaranya. Dan aku menemukan kehangatan di sana. Dalam dekapan kain batik itu, dan sekujur untaian kata dalam email Gerd.

Apalagi belakangan ini Irvan kurasakan sedikit menjauh dariku. Ya, ia sibuk. Aku tahu. Sangat tahu. Karena sebuah stasiun televisi swasta sedang mengincarnya untuk mengisi slot acara kuliner.

Beberapa kali Irvan berusaha mengelak, tapi rupanya orang-orang dari stasiun televisi itu belum mau menyerah. Tetap mengejarnya seperti mengejar seorang buronan. Kabar terakhir yang kudengar, stasiun televisi itu berhasil mendapatkan kontrak eksklusif dari seorang Chef Irvan Wibowo.

Kontrak yang berharga sangat mahal bagi kelangsungan hidup Godhong Gedhang yang dengan susah payah didirikan oleh seorang Irvan Wibowo.

* * *

“Rasa-rasanya aku salah menandatangani kontrak dari Candika TV,” keluhnya patah.

Akhirnya kami bisa juga meluangkan waktu untuk bertemu. Pada suatu senja yang dibalut hujan lebat di luar Godhong Gedhang. Kutatap Irvan. Tampak lebih tirus daripada biasanya. Dan tatapannya yang jatuh ke pupil mataku tampak sedemikian lelah.

Ya, Tuhan... Ke mana saja aku selama ini?

Perlahan mataku menghangat. Ia balas meremas jemariku ketika kuremas lembut jemarinya.

“Maaf, aku meninggalkan Mas akhir-akhir ini,” desahku.

Ia menggeleng. “Tak apa, Ri. Aku tahu akhir-akhir ini kamu juga sangat sibuk.”

Sebuah ucapan lirih yang mampu menghantam hatiku dengan telak. Nyerinya seolah terasa dari ujung rambut ke ujung kaki.

“Jadi bagaimana?”

“Papa marah besar,” Irvan mengalihkan tatapannya ke luar dinding kaca Godhong Gedhang yang hanya menyisakan pekat. “Kamu, kan, tahu, Candika TV itu saingan berat Press TV.”

Seketika aku paham. Putra seorang Banyu Wibowo, pemilik Press TV, mengikat kontrak dengan saingan utama. Ini pasti musibah besar bagi seorang Banyu Wibowo.

“Lalu sekarang bagaimana?” sorot mataku pastilah dipenuhi kekhawatiran.

Irvan menghela napas panjang. Terdengar begitu berat. Kembali ditatapnya aku.

“Papa meminta uangnya kembali,” mata Irvan kehilangan cahayanya. “Uang Papa seluruhnya ada di sini,” ia membuka tangannya, dan tatapannya sekilas menyapu seluruh ruangan restoran. “Aku memegang sedikit untuk cadangan operasional. Dan aku baru memegang sepertiga dari keseluruhan nilai kontrak dari Candika TV. Jauh jumlahnya dari yang kupinjam pada Papa.”

“Kapan Mas mulai dengan Candika TV?”

“Sudah berjalan hampir tiga minggu ini. Sudah menyelesaikan enam episode. Kalau ada stok sepuluh episode, baru akan tayang.”

“Kapan tenggat waktu yang diminta Pak Banyu, Mas?”

“Akhir bulan depan.”

Aku terhenyak.

* * *

Malam ini, aku membaca email yang masuk dari Gerd tanpa nafsu sama sekali. Bahkan kubiarkan saja batik sutra Bali itu terlipat rapi dan tersimpan dalam lemari pakaianku. Sesaat setelah membaca salam penutupnya, aku pun menutup laptop. Tak secuil pun isi email Gerd menyangkut dalam otakku. Mesin vital dalam kepalaku ini justru dipenuhi bayangan seorang Irvan. Dengan tatapan dan wajah lelahnya.

Apa yang bisa kulakukan? Tentu saja aku tak punya uang sebanyak sekian M. Walau harus kujual secara kiloan seluruh tubuhku. Sedetik kemudian sebuah pikiran berkelebat dalam benakku.

Segera saja kutegakkan tubuhku kembali di depan laptop. Ketika aku masuk ke akun YM-ku, kulihat Mama sedang online. Aku sudah cukup hafal kebiasaan Mama. Selalu online sambil menunggu Papa pulang kerja. Kurang dari lima menit, aku sudah asyik chatting dengan Mama.


Miss.Cempluk : Ma, punya duit, nggak?

Pippy_Haryanto : Punyalah... Kamu lagi butuh? Berapa?

Miss.Cempluk : Sekitar 2-3 M.


Agak lama jawaban Mama tak muncul, sampai akhirnya terbit juga jawaban itu di layar laptopku.


Pippy_Haryanto :  BERAPA???


Aku meringis.


BUZZ!

Pippy_Haryanto : Kamu jangan main-main, Pluk! Buat apa uang sebanyak itu???


Kuhela napas panjang sebelum aku menjelaskan semuanya pada Mama. Berderet-deret huruf yang kuketikkan memenuhi layar laptopku. Tampaknya di seberang sana Mama menunggu dengan sabar hingga aku menyelesaikan penuturanku.


Miss.Cempluk : Ma, Mas Irvan tak pernah memintaku melakukan ini. Tapi aku merasa harus menolongnya. Aku harus bagaimana lagi, Ma?

Pippy_Haryanto : Astaga, Pluk... Kenapa kamu harus terlibat hal seperti ini, sih?


Aku tak mampu menjawabnya. Aku harus menengok jauh ke dalam hatiku lebih dulu.


Pippy_Haryanto : Pluk, rasa-rasanya Mama harus mengatakan hal ini pada Papa. Mungkin Papa punya jalan keluar. Bagaimana?

Miss.Cempluk : Tapi Papa, kan, sibuk, Ma...

Pippy_Haryanto : Sesibuk apa pun Papa, Papa itu tetap papamu. Berhak untuk tahu apa yang sedang dihadapi putri kesayangannya ini. Mungkin Papa punya solusi. Siapa tahu? Bagaimana?

Miss.Cempluk : Tapi Mama yang bilang Papa, ya?

Pippy_Haryanto : Iya.

Miss.Cempluk : Okelah kalau begitu, Ma. Terima kasih, ya... Aku ingin peluk Mama tapi sayangnya jauh.

Pippy_Haryanto : Mama peluk dari sini. Kamu istirahat, ya? Sleep tight, I love you...

Miss.Cempluk : Love you too, Ma. Cium buat Papa, ya?

Pippy_Haryanto : Sampaikan salam Mama untuk Kakung dan Uti, ya?

Miss.Cempluk : Sip!


Hatiku mendadak saja dipenuhi kelegaan yang luar biasa. Solusi memang sama sekali belum kudapatkan, tapi setidaknya aku punya seseorang tempat mencurahkan isi hati. Mama. Orang yang sangat kusayangi.

* * *

Aku sendiri merasa bahwa tiga harian ini aku bekerja seperti robot. Otomatis, sama sekali tanpa perasaan. Mbak Jani menatapku dengan heran, aku tahu. Tapi ia tak bertanya apa-apa. Lagipula pekerjaanku beres semua. Tidak menyisakan sesuatu yang bisa dijadikan pangkal perkara. Jadi ketika aku pamitan pulang sore ini, Mbak Jani pun tak menahan. Hanya saja ucapan lirihnya sempat membuatku kelu.

“Kalau ada apa-apa, cerita saja, Pluk. Jangan disimpan sendiri.”

Aku hanya mengangguk, kemudian berbalik dan keluar dari dalam kantornya. Sebelum melajukan mobil, aku sempat menghela napas panjang. Entah untuk apa. Bahkan aku mengemudi untuk menempuh perjalanan pulang pun masih seperti robot. Herannya, aku bisa selamat sampai di rumah.

Begitu saja aku meluncurkan mobil hingga masuk ke dalam garasi, tanpa menyadari ada apa di sekelilingku. Baru ketika aku keluar dari dalam mobil, Uti menyongsongku dengan ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya.

“Ada apa, Ti?” tanyaku sambil memencet tombol alarm.

“Ada tamu yang mencarimu,” jawab Uti, masih dengan ekspresi terlihat agak bingung.

“Siapa?” aku pun mengerutkan kening.

“Mawarni Wibowo.”

Seketika aku membeku.

* * *

Selanjutnya

6 komentar: