Jumat, 17 Juni 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #8







* * *


Delapan


Agak ragu-ragu aku membelokkan mobil ke area parkir itu. Hatiku menolak, sementara pikiranku memaksa. Tapi aku sudah sampai. Kepalang tanggung. Masih terduduk dalam mobil yang kuparkir tepat menghadap tempat itu, kuarahkan tatapanku ke seberang. Mau tak mau, terbayang lagi kejadian siang tadi.


Rapat yang berjalan cukup alot sejak pukul sembilan pagi akhirnya berakhir juga. Kulirik arlojiku. Sudah jam makan siang. Bergegas aku menuju ke mejaku. Masih ada pekerjaan tambahan dari Mas Hasto. Kuputuskan untuk mengerjakannya sambil makan siang saja di mejaku. Tinggal meminta bantuan dari OB atau OG untuk membelikannya.

Tapi...

Ada sebuah tas kertas bertengger di atas mejaku. Dengan logo dan tulisan Restoran Godhong Gedhang. Aku mengerutkan kening. Perasaan aku tak pernah memesan apa-apa? Ruangan tempatku bekerja sudah sepi. Tak ada yang bisa kutanyai. Jangan-jangan salah kirim?

Tapi ternyata tidak. Ketika iseng kubuka tas kertas itu, ada amplop di atas kotak makanan. Dan ada pesan pendek di dalamnya.

‘Selamat siang, Ri. Kukirim makan siang untukmu. Semuanya kusiapkan sendiri. Semoga berkenan. Salam, Irvan.’

Seketika ada denyar-denyar aneh terasa di sekujur tubuhku. Di seluruh pembuluh darahku. Diikuti oleh debar jantung yang sungguh tak beraturan. Pelan-pelan kuambil kotak kertas dari dalam tas. Seketika mataku nanar ketika menatap isi kotak yang kini sudah terbuka di hadapanku. Nasi tercetak dalam bentuk setengah bola, ayam bakar yang masih hangat, dua potong tempe goreng, sambal berjumlah melimpah dalam kemasan plastik, dan setumpuk lalapan segar. Di dalam tas kertas masih ada juga sebuah kerupuk udang berukuran besar dan dua buah jeruk keprok.

Seketika itu juga otakku memerintahkan untuk menunda sejenak penyelesaian pekerjaan dari Mas Hasto. Maka kunikmati saja makan siangku dengan penuh rasa syukur. Makan siang yang benar-benar lezat dan rasanya tanpa cacat.


Rasa yang sepertinya masih melekat di ujung lidahku hingga detik ini...

Aku memang memutuskan untuk tidak menelepon Irvan sekadar untuk mengucapkan terima kasih. Sebagai gantinya, kukumpulkan seluruh rasa nekadku untuk menemuinya secara langsung sore ini. Saat ini.

Dan di sinilah aku sekarang. Menghela napas panjang sebelum melangkah menyeberangi area parkir.

Alunan musik keroncong menyapa telingaku ketika aku sudah berada di dalam Godhong Gedhang. Sengaja kupilih sebuah meja di sudut dekat jendela kaca. Seorang pramusaji melayaniku dengan ramah. Kupesan segelas es kelapa muda dan seporsi gado-gado. Sungguh, aku ingin tahu gado-gado seperti apa yang terhidang di tempat ini. Apakah lebih enak daripada buatan Tante Laras? Hm... Aku benar-benar penasaran.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Eh, Mbak,” kutahan sejenak pramusaji itu. “Mas Irvan ada?”

“Ada, Mbak,” senyumnya.

“Saya ingin bertemu, tapi...,” aku terpaksa menggantung kalimat begitu rasa ragu itu muncul lagi.

“Sebentar saya sampaikan. Dengan Mbak siapa?”

“Riri.”

“Baik. Tunggu sebentar, ya, Mbak?”

Aku mengangguk. Pramusaji itu berbalik dan aku iseng membuka-buka buku menu yang ditinggalkannya di mejaku.

“Ri...”

Aku mendongak. Tak ada hitungan menit, ia sudah muncul di depanku. Dengan wajah segar yang seolah tak habis dimakan kelelahan. Dengan senyumnya yang sungguh menghangatkan hati.

“Apa kabar?”

Kusambut jabat tangannya. “Baik.”

Ia menempatkan diri tepat di seberangku. Kutatap Irvan.

“Terima kasih atas kiriman tadi siang,” ucapku.

“Oh...,” ia tertawa ringan. “Sama-sama. Masih menunggu kritik dan saran.”

Aku menggeleng. “Semuanya sudah sempurna.”

“Apa karena gratis?”

Aku tergelak karenanya. “Itu salah satunya.”

Ia pun terseret dalam gelak tawaku. Sungguh, dengan menatap wajah yang memancarkan kehangatan dan semangat itu, aku seolah masuk ke atmosfer lain yang asing tapi terasa sangat menyenangkan.

Beberapa detik kesunyian datang bersamaan dengan hadirnya pramusaji yang membawa nampan berisi segelas es kelapa muda, dua gelas air putih, dan secangkir minuman lagi. Dari baunya aku mengenali minuman itu. Jahe hangat.

“Gado-gadonya sedang disiapkan ya, Ri? Sabar...,” senyum Irvan.

Aku mengangguk. Beberapa saat kemudian kembali kutatap Irvan.

“Jadi... Koki di KBRI Canberra kalau ada acara itu Mas Irvan?” tanyaku. Ragu-ragu.

Irvan menggeleng. “Nggak selalu. Karena aku juga nggak selalu bisa hadir kalau ada acara.”

“Oh...,” aku manggut-manggut. “Kok, bisa aku nggak pernah lihat Mas Irvan di sana?”

Irvan tertawa ringan. “Kamu sibuk, Ri. Nggak mudah juga, kan, mempersiapkan penampilan.”

“Iya, sih...”

“Yang penting, kita sekarang bisa benar-benar bertemu di sini.”

Aku mendapati ada nada riang dalam suaranya. Aku juga menemukannya dalam hatiku.

“Oh, iya,” tatapan Irvan tampak ragu-ragu. “Mungkin terlambat untuk mengucapkannya. Aku juga khawatir membuatmu sedih. Tapi sudah lama aku ingin menyampaikan padamu. Aku turut berduka cita atas kepergian Otto, Ri. Maaf...”

“Oh...,” seluruh kata-kata seolah menguap begitu saja dari dalam benakku. Hanya beberapa saja yang masih tertinggal. “Terima kasih.”

Tepat saat itu gado-gado pesananku muncul. Irvan dengan cepat mengangkat piring berisi gado-gado itu dari nampan yang dibawa pramusaji, kemudian meletakkannya tepat di depanku.

“Silakan, Ri,” ucap Irvan. Masih dengan senyum hangatnya. “Ini bukan gado-gado ulek model Betawi, tapi gado-gado siram.”

Suapan pertama, aku seolah menemukan sentuhan Tante Laras di dalamnya. Sempurna. Bahkan aku merasakan sesuatu yang lebih kaya. Membuatku meneruskannya ke suapan kedua, ketiga, dan seterusnya.

Any comment?” ada binar dalam mata Irvan.

Aku menggeleng. Hanya mengacungkan jempol sejenak.

“Merasa akrab dengan rasa itu?”

Aku menatap Irvan. Tak mengerti.

“Aku mendapatkan resepnya dari Tante Laras,” senyum Irvan melebar.

Ah, pantas!

“Dulu, waktu masih SMA, aku pernah diajak Hasto makan siang di sana,” lanjut Irvan. “Gado-gado paling enak yang pernah kurasakan. Lalu aku minta resepnya. Dari situ aku mencoba terus untuk mendapatkan rasa yang otentik. Dan inilah hasilnya.”

“Wow...”

Entah kenapa, lagi-lagi aku kehilangan kata.

* * *

Jadi ia tahu soal aku dan Otto... Kurebahkan diriku di atas ranjang. Tapi kenapa hal yang berhubungan dengan Otto kali ini tak lagi bisa menyeretku kembali ke dalam kesedihan itu? Aku hanya merasa sekilas sudut hatiku tersentuh. Benar-benar sekilas. Setelah itu sudah. Berlalu begitu saja.

Kuhela napas panjang. Membiarkan keheningan malam pelan-pelan menyelimuti dan menyeretku ke dalam layar mimpi. Hingga esok pagi.

* * *

Gelap masih membayang ketika aku sudah sampai di taman. Sudah ada beberapa anggota Kopimusik yang hadir. Sejenak kemudian kami mengobrol sambil menunggu datangnya anggota yang lain.

Dalam beberapa minggu ini ada anggota baru lagi yang bergabung. Sebagian sudah pernah belajar, sebagian lagi benar-benar nol. Kata Pak Satmoko, biasanya anggota baru yang berminat tinggi tapi masih berkemampuan tiarap menjadi urusan Irvan. Hanya saja belakangan ini Irvan sungguh-sungguh sibuk dengan bisnisnya. Jadi alokasi waktunya untuk Kopimusik berkurang drastis.

Beberapa waktu lalu aku sudah bicara dengan Kakung dan Uti, tentang kemungkinan para anggota baru Kopimusik bisa berlatih di beranda belakang. Tanpa banyak ribet, Kakung dan Uti menyetujui keinginanku. Tentu saja Pak Satmoko senang mendengarnya. Karena berlatih di beranda belakang sebuah rumah menjelang siang hari tentunya jauh lebih nyaman daripada tetap di taman. Apalagi tempat tinggalku inilah yang paling dekat dengan taman.

Samar-samar mulai terlihat bias jingga di langit Timur. Di sebuah bangku beton, Alessandro sudah duduk manis menunggu penampilan kami. Ia tengah mengobrol dengan Irvan. Ketika tatapanku dan Irvan bertemu sejenak, ia melambaikan tangannya padaku. Aku pun menghampirinya.

“Ya, Mas?”

“Kamu kenapa nggak bilang kalau Ale sudah mau kembali ke Italia?”

Aku terbengong sejenak. “Nggak ada yang tanya.”

Ale tersenyum mendengar jawabanku. Irvan hanya menggelengkan kepala. Tepat saat itu Pak Satmoko memanggil Irvan, hingga ia pamit meninggalkan kami.

“Kamu benar,” celetuk Ale tiba-tiba.

Aku menatapnya. Tak mengerti.

“Sepertinya aku memang harus melihat Lucia dari sisi yang lain.”

“Oh...”

“Mungkin kita memang harus bertemu lagi seperti ini setelah aku melihatmu di Canberra dulu,” senyum Ale. “Agar segalanya jadi jelas. Dengan segala hal yang harus kualami dan kurasakan, dulu dan sekarang. Cinta tak bisa dipaksakan. Ya, pada akhirnya aku memahami. Aku tak memaksa diri untuk begitu saja mengalihkan rasa cintaku pada Lucia, tapi aku memilih untuk mencoba menjalaninya. Terima kasih, Arinda.”

Aku menatapnya dengan mata mengabur. Ada haru yang menyesakkan dadaku.

“Ale, maafkan aku,” bisikku. “Aku sudah menyakitimu.”

“Oh, tidak, Arinda!” tukasnya lembut. “Kalaupun ada rasa sakit yang kurasakan, itu sama sekali bukan salahmu. Tolong, ya? Jangan pernah salahkan dirimu sendiri. Aku tak apa-apa. Sungguh!”

Aku lega mendengarnya. Seolah ada beban berat yang terlepas begitu saja dari pundakku.

Tapi... Aku teringat sesuatu.

“Ale, kamu kenal Otto?”

Ale menggeleng dengan wajah jujur.

“Lalu bagaimana kamu tahu soal Otto dan aku?”

Ale tersenyum. “Kalian legenda, Arinda. Legenda yang beredar dengan manis walau berakhir sangat menyedihkan.”

Legenda? Aku ternganga.

“Oh, ya, Arinda, tadi aku meminta Irvan untuk memainkan Storm. Dia memanggilmu agar aku bisa memintanya secara langsung padamu. Boleh? Aku akan pulang Jumat besok. Jadi... ini terakhir kalinya aku menonton kalian. Aku belum tahu kapan bisa kembali lagi ke sini.”

Tanpa pikir panjang aku mengangguk. Kemudian aku pun meninggalkannya untuk mempersiapkan diri.

“Ale minta Storm?” kutatap Irvan, memastikan.

Irvan mengangguk. “Dia juga mau merekam penampilan kita.” Lalu ia menatapku dalam. Dengan bersit-bersit rasa khawatir menghiasi wajahnya. “Ri, apakah kamu akan trance lagi?”

Aku tak tahu apakah harus tertawa atau menangis mendengar pertanyaan Irvan. Tapi rasa geli itu begitu saja menghinggapi hatiku. Membuat senyumku lebih menang. Aku menggeleng.

“Aku harap tidak. Tapi nggak janji juga.”

Oh my...,” Irvan menepuk keningnya sambil berbalik.

Aku tertawa tertahan di belakangnya.

* * *

Aku menangkap senyum di wajah Kakung dan Uti di tengah keriuhan yang ada di beranda belakang rumah. Setelah hanya ada lebih banyak kesunyian di rumah ini, tentu saja suasana meriah seperti ini terlihat dan terdengar cukup menghibur.

Irvan mengorbankan waktunya untuk memulai latihan perdana kelompok terbaru ini. Ia memiliki dua orang asisten dengan kemampuan cukup mumpuni di restoran. Membuatnya tak perlu terlalu khawatir bahwa restoran akan berantakan tanpa kehadirannya sejenak.

Jujur, aku belum pernah melatih siapa pun bermain violin selama ini. Aku hanya – katakanlah – mahir memainkannya. Tapi ilmu melatih atau mengajar? Hm... Sepertinya aku harus belajar dulu, yang dimulai dengan mengamati. Maka aku duduk diam di sudut. Dan dengan mata kepalaku sendiri, bisa kulihat betapa sabarnya Irvan berusaha menjelaskan dan mengajari. Menyatakan teori langsung dalam bentuk praktek.

“Dia mau berhenti mengajar,” bisik Pak Satmoko, “tapi aku masih berat melepasnya. Belum ada gantinya yang seperti dia.”

“Di sekolah musik Bapak?” bisikku pula.

Pak Satmoko mengangguk.

Bertambah satu lagi pengetahuanku tentang seorang Irvan. Entah untuk apa sedikit demi sedikit informasi itu kukumpulkan. Aku hanya merasa penting saja untuk mengetahuinya.

“Mungkin Mbak Riri bisa?”

“Hah?” aku menoleh seketika. “Maksud Bapak?”

“Menggantikan Irvan mengajar,” tatapan Pak Satmoko tampak serius.

“Saya nggak ada sertifikat, Pak,” elakku.

“Irvan juga nggak punya,” Pak Satmoko menggeleng. “Tapi kemampuannya lebih. Sangat lebih. Sama seperti Mbak Riri.”

Aku menggeleng. “Saya nggak yakin bisa mengajar seperti dia.”

“Belum dicoba,” senyum Pak Satmoko.

Aku kembali menggeleng. “Bukan saya tidak bersedia atau tidak mau mencoba, Pak. Tapi untuk hari kerja, walaupun sudah lepas jam kerja, saya khawatir saya justru tak bisa rutin memenuhi kewajiban saya untuk mengajar. Kadang-kadang saya harus lembur, ikut rapat sampai lewat waktu pulang kerja, dan sebagainya. Status saya masih kerja ikut orang, Pak.”

“Hm...,” Pak Satmoko manggut-manggut. “Ya. Aku mengerti, Mbak Riri.”

Kembali kualihkan tatapanku pada para anggota baru Kopimusik yang tengah berlatih. Kuperhatikan Irvan. Caranya, materinya, keseluruhan sosoknya. Dan tiba-tiba saja aku mendapati bahwa diriku hampir saja tak bisa melepaskan tatapan darinya.

Entah kenapa.

Lalu mendadak saja ia berbalik karena latihan sudah selesai. Tatapannya langsung bertemu tatapanku. Senyumnya mengembang. Lalu tatapannya beralih pada Pak Satmoko.

“Minggu ini cukup sekian dulu, ya, Pak?” ujarnya. “Saya harus kejar tayang, hehehe...”

“Ya, sudah. Kamu duluan saja. Biar aku teruskan sedikit.”

“Inventaris?”

“Nanti biar aku dan Bommy yang urus.”

Sejenak kemudian Irvan berpamitan padaku. Sekaligus pada Kakung dan Uti. Aku mengantarkannya sampai ke pagar depan.

“Oh, ya, Ri,” ucapnya saat sudah nangkring di atas motor sport 600 cc-nya. “Aku lupa bilang padamu. Nanti sore kamu ada acara?”

“Enggak,” aku menggeleng.

“Aku tadi pagi sempat mengundang Ale ke resto, nanti sore jam enam. Dia bilang mau bawa temannya. Cewek. Mm... Kamu bisa datang juga, kan? Menemaniku. Biar aku nggak jadi obat nyamuk.”

Seketika aku tertawa melihat Irvan meringis.

“Okelah... Nanti aku datang sebelum jam enam.”

“Jangan! Nanti aku jemput.”

Aku terbengong sekejap. Menjemput? Lalu nanti mengantarkan aku pulang?

“Nggak praktislah, Mas, kalau Mas Irvan harus menjemputku segala. Sudahlah, nggak apa-apa aku datang sendiri. Nggak usah dijemput.”

“Tapi...”

“Mas...,” senyumku, “maksudmu baik. Sangat baik. Tapi sungguh, kurang praktis. Aku nggak akan nyasar, kok. Janji!”

Ia tertawa melihatku mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahku ke atas.

“Oke, deh! Terima kasih banyak, ya, Ri.”

Aku mengacungkan jempol.

* * *



13 komentar: