Rabu, 15 Februari 2017

[Cerbung] Affogato #11-3










* * *


Arlena ragu-ragu sejenak ketika melihat wajah letih Prima. Walaupun laki-laki itu berusaha menutupinya dengan senyum, tapi gurat-gurat samar itu masih terlihat juga.

“Gimana, jadi rencana sore ini?” tanya Prima begitu Arlena melajukan mobilnya.

“Mm...,” suara Arlena terdengar mengambang. “Sampai aku berangkat ke sini tadi, setengah tiga, Mela belum pulang. Tadi sambil tunggu Papa, aku telepon Muntik. Mela masih belum pulang.”

Prima terhenyak. Ingatannya melayang pada panggilan telepon yang di-reject putri bungsunya itu menjelang pukul dua tadi. Pelan, ia mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Dihubunginya nomor Carmela. Nihil. Ia menggelengkan kepala. Dicobanya menghubungi Maxi. Tidak diangkat. Mungkin pemuda itu masih ada di jalan dengan motornya. Harapan terakhirnya hanya satu. Olivia.

“Ya, Pa?”

Prima menghela napas lega mendengar jawaban itu.

“Kamu sudah mau pulang?”

“Sebentar lagi.”

“Mm... Mela belum pulang, Liv. Kira-kira kamu tahu, nggak, Mela ke mana?”

Hening selama sekian detik. Prima menunggu dengan sabar.

“Mela ada sama aku, Pa,” gumam Olivia. “Tadi pulang sekolah dia kusuruh ke sini.”

“Kamu kenapa nggak bilang Papa atau Mama dulu, sih?”

Arlena sedikit kaget mendengar nada tak sabar dalam suara Prima. Ia menoleh sekilas. Mendapati Prima tengah membuang pandang ke arah luar jendela kiri.

“Aku cuma berusaha membantu menyelesaikan masalah.”

Prima menahan napas sejenak mendengar gumaman dengan tekanan pada setiap katanya itu.

“Tapi kalau Papa merasa bisa menyelesaikan sendiri, ya, sudah. Aku menyerah. Aku dan Maxi menyerah.”

“Liv, maksud Papa bukan...”

Klek.

“Liv? Halo... Liv? Halo!”

Pembicaraan itu berakhir. Lebih tepatnya, Olivia mengakhiri pembicaraan itu tanpa menunggu Prima menyelesaikan ucapannya. Prima menghentakkan kepalanya ke headrest dengan wajah keruh. Arlena kembali menoleh sekilas. Terdiam. Benar-benar tak tahu harus mengatakan apa. Helaan napas Prima terdengar sangat berat.

“Aku akan menunggu anak-anak pulang,” ucap Prima lirih. “Mama kalau mau keluar, keluar saja. Seperti rencana semula.”

Arlena mengangguk. Prima merebahkan sedikit sandaran joknya dan meluruskan kaki. Sejenak sebelum ia memejamkan mata, dirasanya tangan Arlena meraba dadanya.

“Ingat kata Dokter Jo, ya, Pa? Jaga jantung Papa,” ucap Arlena lembut.

Prima mengerjapkan mata sebelum mengatupkannya kembali.

* * *

Menjelang pukul 16.30, Maxi meluncurkan motornya masuk ke garasi. Muntik tergopoh menyusulnya dari arah depan.

“Mas Maxi!” serunya.

“Ya?” jawab Maxi sambil melepaskan helmnya.

“Baru saja Mbak Liv telepon Bibik, kasih pesan, kalau Mas Maxi pulang langsung disuruh telepon ke Mbak Liv. Penting banget, katanya.”

Maxi sejenak mengerutkan kening sebelum mengangguk. Pemuda itu kemudian melangkah masuk ke ruang tengah sambil mencari ponselnya di dalam ransel. Ketika ia duduk di sofa sambil menghidupkan layar ponsel, secangkir besar es coklat tersodor di depannya. Ia mengangkat wajah, tersenyum sambil mengucapkan terima kasih pada Muntik.

“Sudah beres semua, Bik?” tanya Maxi sebelum meneguk minuman itu.

“Sudah, Mas,” angguk Muntik.

“Ya, sudah, Bibik pulang saja. Kan, sudah ada aku. Oh, ya, Mela di atas?”

Tatapan Muntik langsung berubah resah. “Mbak Mela belum pulang, Mas...”

Maxi terbengong sejenak. Tepat saat itu matanya menatap layar. Ada beberapa panggilan tak terjawab. Juga ada satu pesan WA dari Olivia.

‘Begitu pulang, kamu langsung ke Kedai Es Boom. Aku tunggu di sana. Mela ada sama aku. BURUAN SEBELUM PAPA SAMA MAMA PULANG.’

Maxi berdiri. Ia tersadar Muntik masih ada di dekatnya.

“Kalau mau pulang, nggak apa-apa, Bik. Aku mau keluar lagi,” ujar Maxi.

“Mbak Mela gimana, Mas?” Muntik mengerutkan kening.

“Tenang saja... Mela ada sama Mbak Liv,” senyum Maxi. “Aku mau mandi dulu, habis itu keluar. Bibik kalau mau pulang, tolong, semua pintu ditutup, sama pintu pagarnya diselot lagi.”

“Baik, Mas.”

Maxi naik ke kamarnya dengan langkah bergegas sambil menelepon Olivia. Pada nada sambung keempat, barulah panggilannya terjawab.

“Ya, Mas?”

“Mel, Mbak Liv mana?”

“Lagi nyetir.”

“Bilang Mbak Liv, Mas sudah baca pesannya. Nih, lagi mau mandi. Habis mandi, Mas secepatnya ke Boom. Kita ketemu di sana.”

“Oke.”

* * *

Prima dan Arlena saling menatap ketika melintasi carport. Semua lampu sudah menyala, semua tirai tertutup. Bahkan pintu garasi yang biasanya terbuka salah satu daun pintunya, kini tertutup rapat. Sama seperti pintu pagar tergembok yang terpaksa dibuka Arlena dengan kunci cadangan yang ada di laci dashboard. Ketika masuk melalui garasi, tempat itu kosong melompong. Mobil Prima tidak ada, begitu juga motor Maxi. Arlena berinisiatif menelepon Muntik.

“Tik, anak-anak belum pulang? Kamu tadi pulang jam berapa? Itu kunci gembok pagar siapa yang bawa?” berondong Arlena begitu terdengar jawaban Muntik dari seberang sana.

“Saya tadi pulang setelah Mas Maxi pulang, Bu,” jawab Muntik sabar. “Tapi Mas Maxi memang bilang mau pergi lagi. Tadi Mbak Liv sempat telepon saya, titip pesan supaya Mas Maxi telepon ke Mbak Liv kalau sudah pulang.”

“Terus?”

“Selanjutnya saya nggak tahu, Bu. Soalnya Mas Maxi nyuruh saya pulang. Kerjaan saya sudah selesai.”

Arlena menghela napas panjang. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menutup begitu saja pembicaraan itu. Ditatapnya Prima.

“Kelihatannya anak-anak janjian,” desahnya, putus asa.

Prima mengerucutkan bibirnya. Ia kemudian tersenyum sedikit. Sekadar menenangkan Arlena.

“Nggak apa-apa,” ucap Prima dengan nada sabar. “Sudah, Mama berangkat saja. Nanti aku coba selesaikan dengan anak-anak.”

Arlena menatap Prima dengan penuh keraguan. Laki-laki itu kemudian mengulurkan sebelah tangannya yang bebas. Memberikan rengkuhan hangat di sekeliling bahu Arlena. Dikecupnya ringan puncak kepala perempuan itu.

“Berangkatlah,” bisiknya lembut. “Aku akan baik-baik saja di rumah.”

Arlena mengangguk.

* * *

Keheningan melingkupi ketiga kakak beradik itu. Wajah Carmela tampak datar-datar saja. Menyiratkan kepolosan ekspresi seorang remaja. Maxi diam-diam menikmati es kacang merah di hadapannya. Olivia sesekali menatap kedua adiknya itu. Pada akhirnya, gadis itu memutuskan untuk memecahkan kebekuan.

“Jadi, kita ini sebenarnya ingin apa?” tanyanya dengan nada halus. “Maunya bagaimana?”

Hening sejenak sebelum Maxi balik bertanya lirih, “Kayaknya kita genting banget ini, sebenarnya masalah utamanya Mama, kan?”

“Ya,” Olivia mengangguk, “dan artikel Mela.”

“Artikel apa?” Maxi melengak.

Mata Olivia melebar ketika menatap Maxi. “Kamu beneran nggak tahu?’

Maxi menggeleng. Olivia cepat-cepat membuka ponselnya, kemudian mencari artikel yang siang tadi ia sempat simpan agar bisa dibaca secara luring (= luar jaringan = offline). Sejenak kemudian ia mengangsurkan ponsel itu pada Maxi, yang segera membacanya dengan tekun.

Setelah selesai, pemuda itu mengangkat wajahnya. Dikembalikannya ponsel itu pada Olivia. Maxi menatap Carmela dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Itu kamu yang nulis, Mel?” tanyanya dengan nada antusias.

“Kelihatannya?” Carmela balas menatap dengan sorot mata mencemooh.

Maxi tertawa. Ia menggelengkan kepala sambil menggumam, “Hebat... Hebaaat... Kereeen...”

Hadeeeh... Anak-anak ini!

Olivia mengerucutkan bibir sambil menatap kedua adiknya dengan wajah dongkol. Maxi yang pertama menyadari ekspresi Olivia. Pemuda itu kemudian nyengir.

“Ini tulisannya tepat sasaran banget, lho, Mbak,” gumamnya, berusaha membela Carmela.

“Iya,” Olivia mengangguk. “Memang tulisan Mela bagus. Kalau aku orang lain, aku suka membacanya. Tapi please, deh! Yang diumbar Mela itu kondisi keluarga kita. It’s OK, mungkin memang jujur kondisi kita seperti itu. Cuma masalahnya, apakah harus dengan cara seperti itu?”

“Lalu bagaimana lagi?” tukas Carmela dengan nada lirih namun tegas. “Sampai kapan bertahan mau memendam?”

“Mama sudah mulai berubah, Mel,” nada suara Olivia terdengar masih sangat sabar.

“Aku nggak percaya ini akan selamanya,” Carmela tepat menatap manik mata Olivia. “Dan aku percaya kita semua belum bisa mempercayai Mama. Please, deh, jangan mungkir.”

Olivia terdiam. Sejujurnya, ia membenarkan seluruh kalimat terakhir Carmela.

“Sekarang gini, deh,” celetuk Maxi. “Mau bagaimanapun, artikel Mela sudah telanjur menggelinding. Pasti memancing banyak pro-kontra. Kita tinggalkan itu. Mela nggak usah masuk lagi ke sana,” Maxi menatap Carmela. “Yang jadi masalah sekarang, menurutku, yang kurasakan, kita semua lagi nggak enak hati sama Papa. Ada Mama nempel terus, Papa seolah lupa sama kita.”

“Papa berhak menerima itu, Max,” tegur Olivia lembut. “Mama masih istri Papa. Kita juga masih anak-anak Mama. Tapi selama beberapa tahun belakangan ini kita sudah terbiasa mandiri. Tanpa terlalu banyak campur tangan Mama. Menurutku, Mama kembali atau tidak, sama saja. Kehidupan kita sudah telanjur terbentuk seperti ini. Sudahlah, kita terima. Kita nikmati seperti biasanya. Toh, kita bertiga masih saling memiliki.”

Kemudian hening. Ketiganya sedikit tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga suara lirih Carmela memecahkannya. Membuat kakak dan abangnya menatap dengan penuh haru.

“Jujur, aku merasa berdosa sama Papa. Papa sudah banyak berkorban buat kita. Selama bertahun-tahun jadi papa dan mama kita sekaligus. Kemarahanku sekarang ini rasanya berlebihan. Jadi...,” Carmela mengedikkan bahu ketika suaranya menghilang.

Maxi yang duduk di sebelahnya segera merengkuh bahu gadis muda itu. Dikecupnya puncak kepala Carmela dengan penuh kasih seperti biasanya. Olivia menatap keduanya, kemudian berlabuh pada Carmela.

“Mel, mungkin benar berlebihan,” senyumnya dengan mata mengaca. “Walaupun begitu, Mas Maxi dan Mbak Liv juga merasakan kejengkelan yang sama, kok. Dan soal artikel itu, Mbak paham. Itu adalah manifestasi semua perasaan kecewa yang selama ini nggak terungkapkan. It’s OK. Biar jadi pelajaran juga buat Mama. Yang penting, kita semua segera minta maaf sama Papa. Perkara Mama, bisa kita pikir lagi lain kali.”

Maxi dan Carmela sama-sama mengangguk.

“Sekarang habiskan es dan makanannya, kita pulang,” Olivia menepukkan kedua telapak tangannya dengan lembut.

* * *

Prima kini memahami seperti apa rasanya. Susah payah menyiapkan semua makanan di meja, tapi yang ditunggu tidak datang juga. Sekilas ia menatap jam dinding. Sudah hampir pukul tujuh. Tapi anak-anak belum juga datang.

Kuah rawon dalam mangkuk besar itu sudah kehilangan uap panasnya. Membuatnya bimbang sejenak. Tapi ia ingat masih ada obat yang harus diminumnya sesudah makan. Ia kemudian terpaksa menyuapkan sendok demi sendok makanan ke dalam mulut. Mengunyahnya sambil setengah melamun.

Keheningan itu pada akhirnya buyar ketika telinganya mendengar pintu garasi dibuka, kemudian ada derum mobil memasuki garasi, diikuti dengan sebuah motor. Ia segera bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah garasi.

Ia membuka pintu tembusan tepat ketika Olivia dan Carmela keluar dari mobil. Maxi tengah menutup pintu garasi. Tatapannya bertemu dengan tatapan Carmela. Sejenak kemudian ia mengembangkan lengan ketika si bungsu itu menghambur ke arahnya. Diberinya pelukan yang paling hangat.

“Maafkan Papa, ya, Mel,” bisiknya.

Carmela menenggelamkan wajahnya lebih dalam lagi ke dada sang ayah. Diam-diam Olivia menarik tangan Maxi agar secepatnya menyingkir dari tempat itu.

“Maafkan Mela, Pa, sudah bikin Papa khawatir. Sudah bikin Papa sedih,” ucap Carmela dengan suara serak.

“Iya, sama-sama,” Prima mengecup puncak kepala Carmela. “Sudah makan?”

Masih dalam pelukan Prima, Carmela menggeleng. “Cuma ngemil.”

“Makan, yuk! Eh, tapi Papa sudah makan, cuma belum minum obat. Papa temani saja, ya? Kamu mandi dulu, Papa panasi lagi kuah rawonnya.”

Carmela mengangguk.

* * *

Pelan-pelan Olivia keluar dari kamarnya. Ia berhenti sejenak ketika melihat pintu kamar utama masih terbuka lebar. Tanda penghuninya belum masuk. Dan setahunya, Arlena memang belum pulang.

Ia kemudian turun dan mendapati Prima tengah berbaring di sofa ruang tengah dengan tangan masih memegang tabletnya. Laki-laki itu mengalihkan tatapannya dari layar tablet ketika melihat ada yang turun.

“Belum tidur, Liv?” ucap Prima sembari bangun dan menurunkan kakinya dari sofa.

Olivia menggeleng, kemudian duduk di sebelah kanan Prima.

“Makasih, ya, Liv, kamu sudah bantu Papa meredakan kemarahan Mela,” ucap Prima. “Yang jelas, Papa tahu, Papa salah.”

“Hm... Ya, sebenarnya Mela juga nggak marah-marah banget, sih, Pa, kalau masalahnya cuma karena Papa pulang telat dan nggak kasih tahu,” gumam Olivia. “Toh, selama ini juga sudah pernah beberapa kali ada kejadian yang sama.”

Prima melingkarkan lengan kanannya ke sekeliling bahu Olivia. “Masalahnya... Yang kemarin itu, kan, karena melibatkan Mama. Papa paham, Liv, Mela menyimpan banyak kekecewaan terhadap Mama. Memendam banyak kemarahan juga. Dan Papa rasa bukan hanya Mela, tapi kamu dan Maxi juga.”

Olivia termenung sejenak. Sepertinya sang papa belum tahu tentang artikel menggelegar sang putri bungsu di BlogSip.

Apa bijak kalau memberi tahu Papa tentang artikel itu?

Tapi ia kemudian ingat apa yang dialaminya siang tadi. Ketika Sandra menunjukkan artikel itu padanya. Dengan tujuan agar ia tahu dengan mata kepala sendiri, bukan mendengar dari orang lain dengan bumbu yang mungkin sudah lain daripada racikan aslinya. Jadi ia memutuskan untuk melakukan hal yang sama dengan Sandra.

“Pa...,” ucapnya hati-hati. “Papa kayaknya belum tahu, ya, kalau semalam Mela menggunggah artikel ke BlogSip?”

“Oh, ya?” suara Prima terdengar antusias. “Artikel apa itu?”

Olivia memainkan sebentar ponselnya, kemudian menyerahkan benda itu pada Prima. Terdengar helaan napas berkali-kali selama Prima membaca artikel penuh emosi itu. Ketika selesai, ia hanya bisa mendesah, “Gusti...”

“Tolong, maafkan Mela, Pa,” tangan Olivia menggenggam tangan Prima ketika laki-laki itu mengembalikan ponselnya. “Mela juga terbeban dengan semua keadaan ini. Sama seperti Papa, seperti aku, Maxi... Cuma manifestasinya jadi lain karena dia masih remaja. Tapi kami tadi sudah sepakat untuk menutup kasus artikel ini, karena diakui atau tidak, Mela sendiri sudah merasa bersalah karena unggahannya itu. Dia hanya takut kehilangan Papa. Kami semua takut, Pa.”

Prima tertunduk. Mengatur napas. Pikirannya serasa terhadang jalan buntu. Saat itu terdengar pintu garasi dibuka, kemudian ada mobil yang masuk. Olivia bangkit dari duduknya. Diusapnya bahu Prima dengan lembut.

“Pa, aku ke atas dulu,” bisiknya. “Papa juga istirahat dulu. Jangan sampai maag Papa kambuh lagi.”

Prima menatap punggung Olivia yang bergerak menjauh. Hampir saja dua butir air mata menggelinding di pipinya. Tapi sebelum itu terjadi, ia sudah lebih dulu menghapusnya.

Bukan maag, Nak... Tapi jantung Papa yang mulai bermasalah...

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



4 komentar:

  1. Balasan
    1. Makasih singgahnya, Pak Subur... 😊😊😊

      Hapus
  2. Ealaaaaa iki ta sing garai mamae arek2 misek2????? Wkwkwkwkwk isok ae awakmu nyah! Aku male penasaran. Ate moco tutuk ngarep. Hado yo opo iki?????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Angger awakmu muncul kok muesti berisik kenopo seh??? 😆😆😆

      Hapus